Author's POV Jika apa yang terjadi di masa lalu harus dibayar, biarlah dia sendiri yang akan membayarnya, bukan dibayar oleh putra satu-satunya. Dia tidak tahu apa-apa. Bu Salwa gelisah, bukannya dulu dia tidak menyadari kesalahannya. Tiap kali hati kecilnya mengingatkan, tapi kalah oleh rasa egois dan kemewahan yang telah menutup mata dan nuraninya.Sebagai ibu sambung, juga bukan ibu yang baik. Tidak bisa merengkuh anak dari wanita yang telah di sakitinya.Setelah membalas pesan Bu Evi, Bu Salwa segera mengirimkan pesan untuk putranya. Sebelum mertuanya tahu, Hendriko harus merubah sikapnya. Ia yakin putranya yang berulah, karena ia tahu bagaimana perasaan Miranda pada anak lelakinya. * * *Hendriko yang bersiap hendak pulang menyempatkan untuk melihat ponselnya yang sejak tadi tidak tersentuh sama sekali. Meski ia merasakan ada getar pesan masuk di saku celananya, tapi ia abaikan. Sebab pekerjaannya memang harus segera diselesaikan hari itu juga. Pesan hanya dibaca tanpa membala
Author's POVBu Salwa yang duduk di salah satu kursi hanya diam memperhatikan. Dalam hati khawatir juga jika Bu Evi mencium gelagat tak wajar dalam hubungan mereka.Mengingat dua anaknya segera berangkat kerja. Bu Evi segera memberitahu bahwa mereka telah mempersiapkan liburan bersama. "Mama sudah nyiapin semuanya. Tiket pesawat, penginapan, dan akomodasi selama di sana. Kalian tinggal berangkat saja. Ini hadiah dari kami."Hendriko dan Miranda saling pandang. Kemudian wanita itu yang bicara pada mamanya. "Tadi malam kami sudah ngebahas ini, Ma. Tampaknya kami belum bisa pergi. Mas Hendri banyak kerjaan begitu juga denganku. Mama tahu kan, kalau aku juga baru beberapa bulan bekerja. Nggak enak kalau selalu mengambil cuti.""Terus, kapan kalian bisa pergi? Lagian kita pergi di akhir pekan.""Nggak tahu," jawab Miranda sambil memandang suaminya."Kalau kami sudah longgar. Akan kami kabari, Ma," kata Hendriko."Bagaimana, Mbak?" tanya Bu Evi pada kakak iparnya. Dulu mereka hanya saling m
Author's POVHendriko memperhatikan kepergian Tante Verra dan asistennya. Nasinya yang tinggal separuh dibiarkan saja karena selera makannya hilang seketika. Hanya es teh yang dihabiskan.Dia mulai bimbang dengan kenyataan yang ia hadapi sekarang. Terlebih jika mengingat peristiwa yang sudah-sudah. Memang ia tahu kalau Andrean tidak pernah dekat dengan mamanya. Sewaktu kecil memang sering bersama, setelah mulai remaja segalanya berubah. Andrean tidak pernah ada lagi ketika mereka liburan. Ia percaya saja ketika sang mama menjawab 'kakakmu sibuk dengan kegiatan sekolah', tiap kali ia bertanya kenapa Andrean tidak diajak.Bahkan ketika liburan ke luar negeri, Andrean tidak pernah ikut. Disney land, Hong Kong, Malaysia, dan yang lebih sering ke Singapura. Nanti kalau pulang papanya yang membelikan oleh-oleh untuk sang kakak.Setelah beranjak remaja, dia menyadari kerenggangan itu sebatas karena sang mama merupakan ibu sambung dari Andrean. Dulu dirinya berpikir bahwa mamanya juga mama ka
Author's POV Andrean dan Embun duduk di bangku kayu tepi danau buatan. Memandang pantulan cahaya rembulan di atas permukaan air yang tenang. "Besok pagi kita pulang," kata Andrean."Hu um. Papanya Mas juga ingin segera bertemu. Mungkin ada hal penting yang ingin dibahas.""Kadang Mas malas bertemu Papa."Embun menatap suaminya. "Jangan malas, Mas. Jika dihati Mas ada unek-unek yang ingin disampaikan, sebaiknya Mas mengajak papa bicara. Biar Mas lega."Andrean menggenggam jemari istrinya dan membawanya ke atas paha. "Apa yang kamu lakukan jika kecewa dengan ibu tirimu? Pernah protes dengan bapak, nggak?"Embun menggeleng pelan."Kenapa?""Karena aku takut hubungan mereka rusak disebabkan aku.""Dan itu yang Mas pikiran juga, walaupun cerita hubungan antara bapak dan papaku jelas saja berbeda. Cukup aku saja yang kehilangan mama. Hendriko jangan."Mendengar kalimat Andrean yang terakhir membuat Embun merinding. Ia menatap suaminya. Dalam luka hati yang teramat sakit, Andrean masih memi
Author's POVBaru saja turun dari mobil, ponsel Hendriko berdering. Pria itu berhenti untuk menerima telepon dari Andy."Halo," jawabnya malas."Hei, lagi di mana? Nggak jadi datang ke rumah?"Hendriko mendengkus kasar sambil bersandar pada body mobil. "Aku baru pulang dari rumahmu.""Loh, kenapa nggak ngetuk pintu. Aku tungguin ini.""Shitt, nungguin apaan. Aku sampe depan rumah kamunya malah ...." Hendriko belum selesai bicara Andy tertawa renyah. "Gila masih jam berapa ini. Itu memang hak kamu, tapi kita udah janjian kan. Mana urusan pekerjaan harus segera kita selesaikan."Andy masih tertawa. "Sorry, sorry banget, Bro. Maklumlah seminggu ini istriku shift malam terus, baru hari ini cuti. Kamu di mana sekarang? Biar aku yang ke sana.""Aku udah di rumah. Tapi besok sajalah kita selesaikan. Berangkat lebih pagi, aku tunggu sambil sarapan di restoran depan kantor.""Woke. Lagian kalau aku yang ke situ pasti bakalan ganti gangguin kamu dan istrimu. Baiklah, selamat menikmati malam man
Author's POV Bu Salwa masih duduk di depan meja rias sambil menyeka air matanya. Ini hari yang luar biasa baginya. Mana sang suami juga belum pulang. Saat di tanya tadi katanya masih ada urusan.Berawal dari butiknya yang sepi belakangan ini. Banyak pelanggannya yang pindah ke butiknya Nency dan ke satu butik lagi yang baru buka semingguan yang lalu.Ditambah lagi waktu arisan tadi. Teman-temannya yang biasa care dan peduli, siang tadi tampak cuek dan menatapnya dengan pandangan aneh. Bahkan mereka tak henti membahas perempuan-perempuan perebut suami orang. Entah siapa yang di perbincangkan. Namun dari cara mereka bicara, tampaknya sengaja untuk menyindir dirinya.Bu Salwa mengenal teman-teman sosialitanya ketika Pak Darmawan sudah sukses. Jadi mereka tahunya, ya cuma Bu Salwa istri pertama dan satu-satunya. Hanya satu orang yang tahu kisah mereka. Yaitu mamanya Nency. Wanita itu tahu kisah mereka, karena Mama Nency kenal baik juga dengan Bu Lili.Mungkin dia yang selama ini diam, mu
Author's POV Mbok Darmi menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan tak enak menggelayut dalam dada. Jika bercerita pasti imbasnya akan luar biasa. Tapi wanita tangguh itu tidak gentar. Dirinya tidak sedang memfitnah, tapi mengungkapkan hal yang sebenarnya. Biar Hendriko juga tahu, seperti apa penderitaan kakaknya.Hendriko sendiri sudah siap mendengar apapun cerita dari Mbok Darmi. Walaupun mungkin dia bisa saja akan terluka. Namun Hendriko tetap akan mencari tahu tentang semuanya."Apa Mama saya adalah orang ketiga dalam pernikahan Papa dan mamanya Mas Andrean?" tanya lelaki itu tidak sabar."Ya," jawab Mbok Darmi sambil mengangguk pelan. Membuat Hendriko menahan napas."Maaf, Mas," ucap Mbok Darmi."Nggak apa-apa, Mbok. Memang sudah saya niati untuk bertemu si mbok dan mengetahui semuanya.""Bahkan Bu Salwa terang-terangan menemui Mbak Lili dan bilang masih kalau antara dirinya dan Pak Darmawan masih saling mencintai. Waktu itu Mas Andrean baru umur setahun. Dan mereka mulai menjalin
Author's POVRasanya tak percaya mamanya bisa bersikap kelewatan seperti itu. Wanita yang merawatnya dengan kasih dan penuh kelembutan ternyata menyimpan sisi gelap yang ia tutup rapat-rapat. Hendriko sangat kecewa dan malu. Bahkan untuk mengangkat wajah di hadapan wanita tua ini pun Hendriko sangat segan."Mas Andrean meniti karirnya sendiri dari bawah. Meskipun putranya bos dan berpendidikan tinggi, dia nggak pernah menuntut lebih. Bertahun-tahun dia jadi mandor di lapangan hingga kemudian naik jabatan. Karena Mas Andrean menyadari, meski perusahaan awalnya milik sang kakek, tapi diangkat dan dibesarkan oleh papa kalian. Pak Darmawan yang mencari dana untuk menyelamatkan bisnis mereka."Mbok Darmi mengambilkan air mineral untuk Hendriko. "Minum, Mas!""Makasih, Mbok." Hendriko menghabiskan setengah botol air mineral."Maafkan, saya ya Mas. Saya nggak bermaksud ingin memecah belah keluarga Mas Hendriko. Saya menceritakan hal yang sebenarnya. Sebab saya menyaksikan sendiri apa yang t