Home / Thriller / Ellipsis / Psalm III

Share

Psalm III

last update Last Updated: 2021-10-30 07:35:16

"Hani... Hani!" teriak Zenith dari dalam kamarnya.

Tidak ada respon. Entah ke mana perginya Hani sehingga membiarkan bel terus berbunyi.

Zenith bergegas keluar dari kamarnya. Ia memijak setiap anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Selama ini, ia memang tidak pernah membiarkan siapapun yang berkunjung menunggu terlalu lama di beranda. Tidak pernah sekalipun saat ia ada di dalam rumahnya.

Sekilas Zenith mengamati setiap sisi ruang keluarga dan ruang makan yang ia lewati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Benar-benar lengang. 'Ke mana Hani dan Nayla?' pikirnya.

Dan ketika pintu terbuka, ia terkejut karena mendapati seorang pria setinggi enam kaki berdiri dengan tangan kanan bersandar di kusen pintu. "Albern...?"

"Maaf bila aku mengejutkan kamu," kata Albern parau. Ia tersenyum dan memberikan setangkai bunga melati. Bunga itu bahkan tampak jauh lebih segar ketimbang dirinya. "Aku sudah berkeliling tapi semua toko bunga sepertinya masih tutup. Jadi, aku terpaksa memetik bunga ini dari kebun tetanggamu."

"Terima kasih," balas Zenith dengan senyum terkembang. Ia menatap bunga cantik berwarna putih itu dan membelai kelopaknya. "Semestinya kamu tidak perlu repot-repot begini. Lagipula, kita bisa saja dipenjara karena bunga ini."

Albern terkekeh. "Jadi... apa aku sudah dimaafkan?"

Zenith mengangguk dengan tetap mengembangkan senyum manis. Sepasang matanya juga tak lepas mengamati penampilan Albern yang berbeda dari biasanya. "Sepertinya bukan hanya toko bunga yang belum dibuka, tapi juga rumahmu."

Dalam hitungan detik tawa mereka meledak bersama. Ketegangan yang membeku telah mencair seketika.

Albern menyimpulkan bibirnya dan mengamati Zenith dari ujung kaki sampai kepala. "Sepertinya kamu sudah siap berangkat bekerja. Mau aku antar?"

Zenith mengangguk pelan. "Tapi, kita tunggu Nay dulu ya. Tidak apa-apa kan?"

Albern memicingkan mata. "Apa aku tidak salah dengar? Tadi aku melihat Nayla sudah berangkat bersama Hani naik taksi."

"Apa?" Zenith terkejut. Ia mengira Nayla masih ada di kamarnya. Biasanya ia sendiri yang mengantar Nayla ke sekolah. Ya, biasanya. Tapi pagi ini tidak seperti biasanya. Tanpa ia sadari sudah cukup lama ia meninggalkan puterinya dan melewatkan kebersamaan mereka.

Perlahan angin pagi berhembus dan menjamah sekeliling. Terasa dingin dan kering. Hening.

***

Kedua pemuda itu duduk bersanding di ruang tunggu. Sudah hampir satu jam mereka berada di situ. Saling membisu dan termangu. Mereka tampak tegang. Sebab sekarang adalah hari penentuan karir mereka ke depan setelah seangkaian ujian yang melelahkan selama berminggu-minggu.

Salah seorang di antara dua pemuda itu bernama Ashmir. Ia bertubuh tinggi dan kurus, dengan kulit gelap dan rambut ikal yang kusut serta berantakan. Ia terlihat gelisah sejak tadi. Berbeda dengan pria di sebelahnya yang tampak tenang.

Ashmir kembali berdiri, untuk yang kesekian kali. Tak lama berselang ia duduk kembali, menggerutu lagi. "Huft... kenapa lama sekali? Sebenarnya tes macam apa lagi yang akan mereka berikan? Kesabaran? Saya sudah berulang kali mendapatkannya setiap kali terjebak kemacetan. Betul-betul menjengkelkan."

Tak ada tanggapan. Pemuda di sebelah Ashmir bergeming.

Ashmir melirik pemuda di sebelahnya. 'Orang ini sangat membosankan. Dia pasti tidak punya teman.'

Wening, pemuda tampan di sebelah Ashmir itu tiba-tiba menoleh dan tersenyum. Senyum sarat makna, namun tidak jelas apa sebabnya. Hanya saja, mata hitamnya seolah mengisyaratkan sesuatu. "Saya memang tidak memiliki banyak teman. Bagaimana dengan kamu? Sudah berapa banyak teman yang kamu khianati dan mengkhianati kamu?"

Ashmir tersentak. Terkejut bukan main. Ia menatap Wening dengan mata terbelalak. 'Bagaimana bisa... apakah mungkin dia... tidak, itu tidak mungkin, batinnya terkejut. "Apa kamu-"

"Sama seperti kamu. Calon karyawan baru," potong Wening.

"Bukan itu maksud saya. Tapi... ehm, apa kamu bisa mem-"

"Wening Sugiarto... Johannes Ashmir!" seru Deasy dari mulut pintu. "Mari ikut saya."

Wening lekas mengalihkan pandangan. Sedangkan Ashmir malah menundukkan kepalanya. Kesal dan kecewa. Ia tidak suka ucapannya disela. Dan ini untuk kedua kalinya, dari orang yang berbeda.

Wening sberdiri dan beranjak menghampiri Deasy. Sedangkan Ashmir masih terpaku di kursi. Ia berharap semoga apa yang ia pikirkan pagi ini hanyalah halusinasi. 'Tidak mungkin dia bisa membaca pikiran saya. Tidak mungkin. Saya harus tetap tenang. Sekarang saya harus lebih berhati-hati. Dia tidak...'

"Saudara Ashmir?"

"Tidak bisakah kamu diam sebentar?!" hardik Ashmir kesal. "Saya sudah cukup sa..." kalimat Ashmir tiba-tiba terhenti. Terputus ketika ia melihat bidadari tanpa sayap berada di hadapannya. Ia kembali dibuat terkesima. Namun kali ini oleh sebab yang berbeda.

Ashmir terpana.

Dalam pandangan Ashmir, mata Deasy yang sipit tampak selaras dengan alisnya yang tipis. Kulit putihnya nan ranum terlihat seperti bunga kopi di kampung halamannya di awal musim kemarau, segar dan menyejukkan mata. Ia juga memiliki rambut hitam kemerahan yang bergelombang dan tergerai lepas, tampak menawan bak semburat aurora borealis di kutub utara. Dan yang terakhir, yang terpenting bagi Ashmir, bentuk tubuh Deasy yang besar dan minim lekukan itu benar-benar sesuai dengan kriteria wanita idamannya.

Perlahan tapi pasti, adrenalin Ashmir mulai terpacu. Jantungnya berdegup kencang tak menentu. Napasnya pendek-pendek memburu. Dan matanya tetap melotot seolah tak sedikit pun memiliki rasa jemu. Ketegangan seketika membuat tubuhnya terpaku, memaksa otak dan instingnya bersekutu. Bibirnya merapat bisu, giginya bergeming kaku dan lidahnya berkelit kelu.

"Saudara Ashmir?" ulang Deasy sambil melambaikan tangannya di depan wajah Ashmir. "Apa Anda baik-baik saja?"

Tak ada jawaban. Ashmir bergeming. Ia masih belum terjaga dari lamunan indahnya.

Mengetahui gelagat tak wajar pada diri Ashmir, Wening lekas mencolek pinggang kenalan barunya itu. Sontak, Ashmir terjaga dari imajinasi semunya. Dengan suara terbata-bata, ia berkata, "Ma..maaf, sampai di mana kita tadi?"

***

Siang ini Albern sedang bersama dengan salah seorang koleganya. Ia adalah Jeremy Tan. Pria asal Negeri Tirai Bambu yang sudah lama menetap di Indonesia.

Bagi Jeremy, Indonesia adalah surga bagi para pengusaha seperti dirinya. Jeremy sangat yakin dengan hal itu sebab rakyat Indonesia adalah masyarakat konsumtif yang sangat mudah dipengaruhi. Seperti halnya inflasi yang memiliki dua mata sisi, kemarukan inilah yang justru menyelamatkan Indonesia dari badai resesi tahun 2008. Bahkan, banyak kalangan memprediksi, Indonesia akan menjadi pusat gravitasi perekonomian dunia suatu hari nanti. Dan salah satu langkah kecilnya sedang dilangsungkan hari ini.

Albern dan Jeremy sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa investor dari Doha. Hasil dari pertemuan itu akan sangat menentukan kelangsungan mega proyek bernilai USD 18 Milyar yang akan digarap oleh korporat milik Jeremy. Dan Albernlah yang ia percaya untuk menangani proses negosiasi itu.

Sejauh ini, Jeremy masih merasa sangat was-was. Ia khawatir negosiasi itu tidak berjalan dengan lancar. Wajar jika ia merasa cemas, sebab Albern banyak melakukan hal yang tidak wajar selama proses negosiasi berlangsung.

Yang pertama, pertemuan diatur begitu para investor bertudung itu tiba di Indonesia. Mereka bahkan sama sekali tidak diberikan waktu untuk beristirahat, meski hanya sekedar untuk mengusir penat. Dan Albern malah menyajikan Wine yang dicampur dengan Manitoba Shlimbo untuk mereka di saat jetlag masih melanda.

Albern memang telah mengatur pertemuan itu sedemikian rupa sehingga orang-orang Arab itu tidak bisa berkonsentrasi penuh selama proses negosiasi.

"Apa Anda yakin semuanya akan baik-baik saja?" bisik Jeremy sembari berusaha tetap tersenyum di hadapan mereka. Namun usahanya itu tidak terlalu berhasil. Malah terlihat cukup ganjil. Andai saja orang-orang Arab itu tidak teler, pastilah mereka bisa dengan mudah menyadari keganjilan itu.

"Saya tidak pernah meragukan setiap hal yang saya lakukan."

"Tapi..."

"Tidak ada hal yang perlu Anda khawatirkan," tegas Albern. "Saya akan memulai presentasi."

Albern lantas memberi isyarat kepada asistennya agar segera menayangkan slide presentasi. Ia lalu berdiri dan menatap kelima bankir setengah teler itu satu-satu. "Toward AFTA and AEC, various groups predicted that Indonesia will become the destination of any workers and investors from all over Southeast Asia, and also other countries around the world.

....

First question, what a person needs when they first arrived in the new country?

A residence, absolutely. A comfortable dwelling that can support all the activities is a top priority for workers, especially those in the middle-upper class. And Heavenly Island is the answer.

.....

We will construct two interconnected artificial islands. The first island to be used as housing complexes and apartments, condominiums, and the plaza which will be equipped with various facilities such as shopping centers, amusement parks, sports arenas, and others. And one other smaller island will be built with central offices, star hotels, hospitals, and high-quality schools. Heavenly Island will not only be a heaven that offers a lot of flavors but also promises a quiet and peaceful atmosphere such as at dusk. This area will be the number one choice because of its exclusivity and its comfort...."

..."

Presentasi Albern membuat mereka terkesima. Tidak salah jika Jeremy selalu menjadikan pria berdarah Arab-Polandia itu sebagai prioritas utama. Orang-orang Arab itu, di tengah kantuk dan pusing yang melanda, mereka bertepuk tangan sekuat-kuatnya. Efek alkohol dan PCP telah membuat mereka kesulitan mengontrol emosi dan konsentrasi. Fungsi persepsi, fungsi motorik dan regulasi sistem saraf mereka telah terganggu. Mereka juga mengalami berbagai efek delusi dan halusinasi. Bagi mereka, presentasi yang Albern paparkan terdengar sangat inovatif, fenomenal dan akan menjadi investasi yang sangat menguntungkan bagi mereka. Dan satu elemen terpenting, semuanya terdengar sangat rasional.

"Jadi, kapan proyek ini akan dimulai?" tanya salah seorang utusan berghutrah itu.

"Segera setelah Anda menandatangani kontrak kerjasama," jawab Albern mantap.

Jeremy kemudian menyodorkan berkas nota kesepahaman. "Saya sangat berharap kerja sama ini bisa terealisasi secepatnya."

Sheikh Abu Hanif, ketua tim perwakilan itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca setiap butir pasal kontrak kerja sama. Setelah beberapa saat berdiskusi dengan keempat rekannya, ia segera membubuhkan tanda tangannya. Presentasi Albern telah membuatnya terkesan sehingga merasa tak perlu lagi unuk berpikir panjang. Sebab satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini hanyalah segera beristirahat dan tidur secepatnya, "Semoga kerja sama ini menjadi awal yang baik bagi kita."

"Semoga saja," balas Jeremy sembari menjabat tangan Syekh Abu Hanif, "Terima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan."

"Berterima kasihlah kepada rekan Anda yang luar biasa."

Mendengar pujian itu, Albern hanya tersenyum tipis.

Related chapters

  • Ellipsis   Psalm IV

    Oksidasi Alkana ditandai dengan nyala api berwarna biru dan tidak menimbulkan jelaga. Sehingga dapat dihasilkan panas maksimal setelah terbuangnya uap air. Proses pembakaran sempurna itulah yang coba diterapkan KPAN dalam setiap perekrutan anggota barunya. Dari ribuan pelamar yang mengajukan aplikasi dan mengikuti ujian sebelumnya, kini hanya tinggal dua orang yang tersisa. Mereka adalah peserta yang mendapat nilai kumulatif tertinggi dari semua materi yang diujikan. Dan kini, dua orang pemuda itu berada di ruang pertemuan, duduk bersama beberapa komisioner dalam satu meja. Julian Setiabudi, salah seorang komisioner menatap mereka berdua dengan seksama, "Apa kalian tahu kenapa kalian berdua yang terpilih?" Sejenak Ashmir dan Wening saling melempar pandang. Terdiam. "Nasib baik," jawab Ashmir dengan alis kanan terangkat dan mata kiri menyipit. "Saya tidak tahu pasti. Yang jelas saya hanya berusaha melakukan yang terbaik selama proses seleksi," imbuh Wening. Adnan tersenyum. Ia lal

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm V

    Perlahan tapi pasti, seiring detak waktu yang enggan berhenti. Sang Surya menenggelamkan diri. Suasana menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi kelebat burung camar yang terbang ke sana ke mari. Hanya terdengar debur ombak yang memecah keheningan sesekali. Di bawah langit malam yang jauh dari gegap gempita perkotaan. Di mana cahaya bintang adalah satu-satunya penerangan. Dua anak manusia berbaring di atas pasir pantai, berdampingan. Sesekali angin malam berhembus kencang. Sehingga membuat mereka saling menghangatkan dalam satu pelukan. "Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita," gumam Albern. Zenith terkekeh. "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea." Krimea. Salah satu tonjolan kecil di Eropa Tenggara. Di sanalah mereka berkenalan dengan Bora yang dingin dan kering. Albern masih ingat betul dengan wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Mereka mengunjunginya dua tahun lalu. Setelah cukup lama terdiam dalam lamunan. Albern berkata, "Apa kamu melihatnya?" "Apa

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm VI

    Udara siang di luar cukup terik. Tapi tidak dengan suasana di rumah itu. Terasa sangat dingin dan beku. Beberapa orang yang berkumpul di ruang tengah terdiam dan menundukkan pandangan, sementara yang lain sibuk menangis dan menyesalkan takdir buruk yang datang menghampiri. Tangis mereka terdengar hingga ke jalan sempit yang dipenuhi sepeda motor dan mobil yang terparkir. Para pengendara yang melintas menoleh dengan pandangan sarat tanya ke rumah berhalaman sempit itu, beberapa di antaranya berhenti dan bertanya langsung kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut. "Ada apa ini Pak kok rame-rame?" tanya seorang pengendara motor. "Korban sodomi, Mas," jawab lelaki tua yang menata deretan sepeda motor berpelat hitam dan merah yang terparkir di depan rumah itu. Pengendara sepeda motor itu tercenung sebentar, melihat kerumunan orang yang hilir-mudik di rumah itu sebelum akhirnya menarik tuas gasnya. Di dalam rumah, Zenith dan beberapa rekannya dari KPAN sedang berusaha menenangka

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm VII

    Suasana stadium Gedung Basket GBK ramai dan dengan penonton yang datang penuh euforia. Mengingat, ini adalah pertandingan pertama IBL Tokopedia 2022 digelar dengan penonton setelah sempat ditangguhkan akibat badai omicron pandemi Covid-19. Sebagian tribun di arena indoor itu didominasi corak putih yang merupakan warna kebesaran SM Pertamina. Tak kurang dari 10.000 penonton hadir untuk menonton pertandingan. Para supporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim kesayangan. Ini adalah partai Bigmatch dari dua musuh bebuyutan yang merupakan tim unggulan Divisi Merah. Hari ini... kurang dari 5 menit lagi pertandingan antara Satria Muda Pertamina dan West Bandits Combiphar akan segera dimulai.. Sebagai juara bertahan musim sebelumnya, SM Pertamina tak ingin kehilangan muka di depan para pendukungnya pada pertandingan pertama. Banyak kalangan memprediksi persaingan kedua tim akan lebih ketat di musim ini. Mengingat West Bandits Combiphar telah banyak berbenah dengan mendatangkan beberapa w

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm VIII

    Julian baru saja tiba di Rumah Sakit Premier Jatinegara. Adnan memberinya perintah untuk menjenguk seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Bocah malang bernama Ardi itu ditemukan tergeletak di sebuah halte bus di Jalan Otista semalam. Dan lagi-lagi lokasinya tak jauh dari kantor polisi. Kondisi Ardi masih memprihatinkan. Meski tidak terlihat luka fisik yang terekam, akan tetapi sorot mata yang buram itu menyiratkan beratnya penderitaan yang tengah ia tanggung. Peristiwa kelam itu membuat jiwanya terguncang. Dan mengembalikan kehidupannya seperti semula tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan izin dari orang tua Ardi, Julian lekas menghampiri bocah malang itu dan duduk di sisi luar ranjangnya. Ia terhenyak sejenak saat melihat tato yang tertera di kening sempit Ardi. 'Tanda yang sama,' pikirnya. Usai kembali terjaga, ia menatap Ardi dengan sorot penuh kelembutan. "Hai, Ardi!" Tak ada tanggapan. Bocah berambut ikal itu bergeming diam. Julian melir

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm IX

    Murid-murid SLB itu sedang berlatih untuk pertunjukkan yang akan diselenggarakan di sekolah mereka minggu depan. Mereka berlatih drama, menari dan juga menyanyi. Meski didekap keterbatasan, mereka tetap berlatih dengan semangat juang tinggi. Tak sedikit pun tertera rasa malu ataupun rendah diri. Tidak tampak rasa sungkan. Mereka hanya tertawa riang jika ada yang melakukan kesalahan. Di salah satu ruang kelas yang terletak paling ujung dari bangunan sekolah itu, tampak beberapa anak-anak sedang berlatih paduan suara. Mereka terus bernyanyi dengan semangat empat lima. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan ketidakharmonisan nada yang tercipta. Yang mereka pedulikan hanyalah keceriaan yang terumbar dalam tawa. Dan sepertinya hanya Nayla yang mengerti tangga nada di antara mereka semua. Sambil tetap tersenyum ia selalu berusaha mengimbangi nyanyian teman-temannya. Ia tetap menekan tuts-tuts piano penuh dengan semangat dan suka cita. "Que sera-sera... whatever will be... will be..." *

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm X

    "Besok Mama berangkat kerja nggak?" Tanya Nayla. Ia dan ibunya sedang menyantap sarapan bersama, sebuah momen yang jarang terjadi di antara keduanya. "Uhmmmm... memangnya ada apa, Nak?" Zenith balik bertanya sambil menyentuh pipi puterinya. "Besok Nay ada pertunjukan di sekolah. Semua orang tua dan wali murid diminta untuk hadir," papar Nay sembari menyantap omelette sandwich-nya. Zenith terhenyak. Ia tidak ingin melukai perasaan Nayla. Tapi, besok adalah jadwal pertemuan keduanya dengan Rendy. Nayla mendesah tak sabar. Ia meletakkan pisau dan garpunya. "Ma..." Zenith tergagap. Tanpa sadar ia telah terbawa arus lamunan. Ia bingung. Ia masih belum bisa membuat keputusan. "Nanti sore Mama akan memberitahu jawabannya. Sekarang, habiskan dulu sarapan Nay. Oke?" tukas Zenith sembari membelai lembut dagu puterinya. Nayla terdiam. Tak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dan sesering itu pula ia dikecewakan. *** Ruangan itu memili

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XI

    Sudah cukup lama Zenith tidak berkunjung ke rumah itu. Rumah berarsitektur Korea yang memiliki taman luas sarat dengan beragam jenis bunga, kolam dengan aneka jenis Pisces dan halaman berumput hijau yang menjadi tempat bermain beberapa jenis Aves.. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini terasa begitu nyaman asri. Wajar saja jika sang pemilik selalu betah berlama-lama seorang diri di dalamnya. Dari tempat berdirinya sekarang, Zenith melihat Albern sedang duduk di halaman belakang rumah sambil memainkan biola. Albern tampak begitu tenang dan damai. Beberapa burung merpati mengerumuninya, seolah enggan untuk menjauh darinya. Mereka mematuk remah-remah roti yang telah ia tebarkan sebelumnya. Dengan langkah perlahan, Zenith berjalan menghampiri Albern. Setiap langkahnya seolah mengikuti irama musik yang Albern mainkan. "Blue Danube ... Johann Straus," gumam Zenith saat ia sudah berada di dekat Albern. Albern berhenti menggesek biolanya, senyumnya terkembang penuh pesona. Ia lantas men

    Last Updated : 2021-10-30

Latest chapter

  • Ellipsis   Psal XLVI

    Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti

  • Ellipsis   Psalm XLV

    Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam

  • Ellipsis   Psalm XLIV

    Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.

  • Ellipsis   Psalm XLIII

    Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia

  • Ellipsis   Psalm XLI

    Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku

  • Ellipsis   Psalm XL

    Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d

  • Ellipsis   Psalm XXXIX

    Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan

  • Ellipsis   Psalm XXXVIII

    AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s

  • Ellipsis   Psalm XXXVII

    An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar

DMCA.com Protection Status