Suasana stadium Gedung Basket GBK ramai dan dengan penonton yang datang penuh euforia. Mengingat, ini adalah pertandingan pertama IBL Tokopedia 2022 digelar dengan penonton setelah sempat ditangguhkan akibat badai omicron pandemi Covid-19. Sebagian tribun di arena indoor itu didominasi corak putih yang merupakan warna kebesaran SM Pertamina. Tak kurang dari 10.000 penonton hadir untuk menonton pertandingan. Para supporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim kesayangan. Ini adalah partai Bigmatch dari dua musuh bebuyutan yang merupakan tim unggulan Divisi Merah. Hari ini... kurang dari 5 menit lagi pertandingan antara Satria Muda Pertamina dan West Bandits Combiphar akan segera dimulai..
Sebagai juara bertahan musim sebelumnya, SM Pertamina tak ingin kehilangan muka di depan para pendukungnya pada pertandingan pertama. Banyak kalangan memprediksi persaingan kedua tim akan lebih ketat di musim ini. Mengingat West Bandits Combiphar telah banyak berbenah dengan mendatangkan beberapa wajah baru untuk memperkuat tim asal Kota Solo tersebut.
Di dalam arena itu reputasi kedua klub akan dipertaruhkan. Dan akhirnya ... setelah menunggu detik-detik yang menegangkan cukup lama. Pertandingan dimulai setelah wasit meniup peluit keramatnya.
Sementara di tribun utama, tempat paling dekat dengan sisi lapangan di sebelah utara. Dua orang sahabat lama bertemu secara tidak sengaja. Albern dan Jonas adalah teman satu universitas dan sempat tergabung dalam satu tim basket yang sama. Namun, hubungan mereka merenggang usai sebuah insiden yang terjadi sekitar dua puluh tahun silam. Dan kondisi buruk itu diperpanas dengan kedekatan Albern dengan Zenith tak lama setelah Jonas bercerai dengannya. Hal itu menjadi polemik baru dalam hubungan mereka. Permusuhan keduanya menjadi semakin kental karenanya.
"Aku kira ... kau sudah tidak sempat lagi menyaksikan pertandingan seperti ini," sindir Jonas.
Albern hanya menanggapinya dengan seulas senyuman. Ia memaklumi sikap Jonas yang masih saja skeptis terhadapnya. Jonas tidak pernah berubah. Tidak sedikit pun. Ia selalu membenci orang-orang yang berseberangan dengannya. Sejak dulu, sejak pertama kali mereka bertemu.
"Popcorn?" Jonas menyodorkan box popcornnya dengan mata sipit yang tetap terfokus di lapangan.
Tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan, Albern mengambil sejumput popcorn dari wadah yang dicengkeram Jonas. Pandangannya tak lepas dari pergerakan SF Satria Muda, Arki Wisnu yang memang bermain cukup cemerlang sepanjang musim lalu. Sayang beberapa kali usaha triple treath position-nya dalam pertandingan kali ini masih bisa diblok Point Guard West Bandits Combiphar, Widyanta Putra Teja. "Lihatlah mereka! Seperti David dan Goliath, bukan? Arki memang gesit. Menurutku, dia adalah Small Forward terbaik di IBL saat ini."
Jonas tertawa sesenggukan. Tawa yang terdengar sangat dipaksakan. "Aku bisa jauh lebih hebat darinya andai saja dulu temanku yang menyedihkan tidak mencelakaiku." Pandangan Jonas teralih ke Albern. Alis tebalnya terangkat sebelah, membuat keningnya yang lebar berkerut. "Kau tentu masih ingat dengan kejadian itu, Al."
Albern bergeming. Ia memang masih ingat dengan kejadian itu. Ia ingat semuanya. Sangat mengingatnya. Pikirannya kembali berkelana di masa lalu yang tak pernah ingin diingatnya. Waktu itu dalam sebuah pertandingan eksibisi di universitas, ia secara tidak sengaja menginjak pergelangan tangan Jonas.
Jonas mendapatkan cedera serius, tulang-tulang penyangga pergelangan tangannya patah. Hal itu menyebabkan ia harus menjalani perawatan selama berbulan-bulan. Padahal, saat itu ia akan menjalani trial di salah satu klub liga profesional. Akibat cedera yang ia dapatkan, Jonas mengalami penurunan performa yang sangat drastis. Ia gagal dalam kesempatan kedua yang diberikan di tahun selanjutnya. Dan sejak saat itu, ia harus membuang jauh-jauh mimpi masa kecilnya untuk menjadi pebasket terbaik di negeri ini.
"Dulu, semua orang memujiku. Semua wanita mengelu-elukanku. Aku adalah point guard terhebat. Tapi, semua itu lenyap begitu saja." Tangan berurat timbul Jonas meremas box berbahan duplex itu. "Mimpiku... hidupku... semuanya hancur. Dan semua itu karenamu, Al!"
Albern mulai terpancing provokasi Jonas. Wajah dan telinganya memerah, menahan amarah. Ia memang bersalah. Tapi, bukan berarti Jonas berhak menyalahkannya untuk semua takdir buruk yang ia terima. "Cukup! Sampai kapan kamu akan menyalahkan aku? Aku muak dengan semua omong kosong kamu!"
Jonas terkekeh. "Omong kosong katamu? Faktanya kau memang selalu iri padaku. Karena itu kau ingin menghancurkan kebahagiaanku. Dan juga hidupku. Kau bahkan merebut Zenith dariku. Kau..."
Bug! Sebuah pukulan menghantam wajah Jonas dengan keras.
Jonas tersungkur. Sementara Popcorn yang tadi dipegangnya bertebaran di udara, bertepatan dengan berakhirnya quarter pertama untuk SM Pertamina.
"Kamu sudah melampaui batas. Jangan pernah melibatkan Zenith dalam permasalahan kita!" tukas Albern sarat amarah. Ia lantas memandang orang-orang yang menyaksikan keributan mereka. "Maaf jika kenyamanan kalian terganggu. Silahkan duduk kembali. Pertandingan yang sebenarnya ada di atas lapangan," sambungnya menyudahi. Ia memilih untuk pergi meski pertandingan masih menyisakan tiga quarter lagi.
Julian baru saja tiba di Rumah Sakit Premier Jatinegara. Adnan memberinya perintah untuk menjenguk seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Bocah malang bernama Ardi itu ditemukan tergeletak di sebuah halte bus di Jalan Otista semalam. Dan lagi-lagi lokasinya tak jauh dari kantor polisi. Kondisi Ardi masih memprihatinkan. Meski tidak terlihat luka fisik yang terekam, akan tetapi sorot mata yang buram itu menyiratkan beratnya penderitaan yang tengah ia tanggung. Peristiwa kelam itu membuat jiwanya terguncang. Dan mengembalikan kehidupannya seperti semula tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan izin dari orang tua Ardi, Julian lekas menghampiri bocah malang itu dan duduk di sisi luar ranjangnya. Ia terhenyak sejenak saat melihat tato yang tertera di kening sempit Ardi. 'Tanda yang sama,' pikirnya. Usai kembali terjaga, ia menatap Ardi dengan sorot penuh kelembutan. "Hai, Ardi!" Tak ada tanggapan. Bocah berambut ikal itu bergeming diam. Julian melir
Murid-murid SLB itu sedang berlatih untuk pertunjukkan yang akan diselenggarakan di sekolah mereka minggu depan. Mereka berlatih drama, menari dan juga menyanyi. Meski didekap keterbatasan, mereka tetap berlatih dengan semangat juang tinggi. Tak sedikit pun tertera rasa malu ataupun rendah diri. Tidak tampak rasa sungkan. Mereka hanya tertawa riang jika ada yang melakukan kesalahan. Di salah satu ruang kelas yang terletak paling ujung dari bangunan sekolah itu, tampak beberapa anak-anak sedang berlatih paduan suara. Mereka terus bernyanyi dengan semangat empat lima. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan ketidakharmonisan nada yang tercipta. Yang mereka pedulikan hanyalah keceriaan yang terumbar dalam tawa. Dan sepertinya hanya Nayla yang mengerti tangga nada di antara mereka semua. Sambil tetap tersenyum ia selalu berusaha mengimbangi nyanyian teman-temannya. Ia tetap menekan tuts-tuts piano penuh dengan semangat dan suka cita. "Que sera-sera... whatever will be... will be..." *
"Besok Mama berangkat kerja nggak?" Tanya Nayla. Ia dan ibunya sedang menyantap sarapan bersama, sebuah momen yang jarang terjadi di antara keduanya. "Uhmmmm... memangnya ada apa, Nak?" Zenith balik bertanya sambil menyentuh pipi puterinya. "Besok Nay ada pertunjukan di sekolah. Semua orang tua dan wali murid diminta untuk hadir," papar Nay sembari menyantap omelette sandwich-nya. Zenith terhenyak. Ia tidak ingin melukai perasaan Nayla. Tapi, besok adalah jadwal pertemuan keduanya dengan Rendy. Nayla mendesah tak sabar. Ia meletakkan pisau dan garpunya. "Ma..." Zenith tergagap. Tanpa sadar ia telah terbawa arus lamunan. Ia bingung. Ia masih belum bisa membuat keputusan. "Nanti sore Mama akan memberitahu jawabannya. Sekarang, habiskan dulu sarapan Nay. Oke?" tukas Zenith sembari membelai lembut dagu puterinya. Nayla terdiam. Tak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dan sesering itu pula ia dikecewakan. *** Ruangan itu memili
Sudah cukup lama Zenith tidak berkunjung ke rumah itu. Rumah berarsitektur Korea yang memiliki taman luas sarat dengan beragam jenis bunga, kolam dengan aneka jenis Pisces dan halaman berumput hijau yang menjadi tempat bermain beberapa jenis Aves.. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini terasa begitu nyaman asri. Wajar saja jika sang pemilik selalu betah berlama-lama seorang diri di dalamnya. Dari tempat berdirinya sekarang, Zenith melihat Albern sedang duduk di halaman belakang rumah sambil memainkan biola. Albern tampak begitu tenang dan damai. Beberapa burung merpati mengerumuninya, seolah enggan untuk menjauh darinya. Mereka mematuk remah-remah roti yang telah ia tebarkan sebelumnya. Dengan langkah perlahan, Zenith berjalan menghampiri Albern. Setiap langkahnya seolah mengikuti irama musik yang Albern mainkan. "Blue Danube ... Johann Straus," gumam Zenith saat ia sudah berada di dekat Albern. Albern berhenti menggesek biolanya, senyumnya terkembang penuh pesona. Ia lantas men
Ini adalah untuk pertama kalinya Adnan mendatangi sebuah salon kecantikan. Sebelumnya, selama 43 tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia mendatangi tempat perawatan tubuh semacam itu. Biasanya –untuk urusan penampilan, ia hanya datang ke barber shop yang ada di dekat rumahnya. Adnan memang memiliki kepribadian yang unik. Bisa dibilang, ia sama sekali tidak pernah peduli dengan penampilannya. Jambang dan kumisnya pun lebih sering dibiarkan tumbuh semrawut seperti halnya rumpun jewawut. Intinya, ia tidak terlalu menyukai kerapian dan segala sesuatu yang bersifat keteraturan. Ia adalah pemuja kebebasan. Tapi khusus untuk malam ini, ia memutuskan untuk sedikit mengubah haluan. Ia merasa ada sesuatu yang mesti ia lakukan untuk memudahkannya dalam melakukan pendekatan. Zenith adalah salah satu alasan dan tujuan dari hidupnya. Ia merasa perlu ada beberapa perubahan untuk bisa memiliki wanita yang menjadi pujaan hatinya. Perlu ada penyesuaian agar Zenith bisa memiliki ketertarikan lebih ke
Ringtone ponsel Ashmir berdering keras, membangunkannya dari tidur yang belum terlampau pulas. Ia baru saja terlelap. Dan sekarang, seseorang di luar sana memaksanya untuk terjaga dalam sekejap. Butuh waktu cukup lama bagi Ashmir untuk mencari ponselnya. Dengan mata terpejam ia terus meraba-raba, mencari ponsel yang terus bersuara "Uhmmm... siapa yang menelepon di pagi buta seperti ini." Dan ketika tangannya berhasil menjangkau ponsel, ia langsung menekan geser tombol berwarna merah di layarnya. Suara itu pun lenyap seketika. Suasana kembali senyap seperti semula. Namun tak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Dan kali ini terdengar semakin nyaring. Ashmir yang merasa kesal karena tidurnya terganggu lekas membanting bantalnya dan mengambil kembali ponsel itu. "Halo!" ucapnya lantang. "Siapa di sana?!" "Maaf jika aku membangunkan tidurmu," jawab suara di ujung saluran. "Aku ingin memberimu tugas tambahan hari ini." Ashmir terhenyak. Ia mengenal suara di ujung saluran. "Maaf
Sesi kedua pertunjukan seni itu akan segera digelar. Belasan anak-anak sudah berdiri di panggung. Mereka memakai pakaian serba putih dengan sehelai syal berwarna krem yang melingkar di leher. Masing-masing dari mereka menggenggam piring kecil berisi lilin di depan dada. Pancaran cahaya temaram memberi nuansa tersendiri di wajah innocent mereka. Hening sejenak. Semua tampak tegang. Tak terkecuali para orang tua. Hanya anak-anak pengidap down syndrome yang tetap terlihat tenang. Ekspresi wajah mereka tetap datar, seperti biasanya. Di sisi timur pentas, di belakang sebuah piano, Nayla berusaha untuk tersenyum agar tak terlihat tegang. Meski sebenarnya, tak ada seorang pun yang bisa melihat ekspresinya. Sebab wajahnya tertutup kap piano seutuhnya. Usai memastikan kesiapan para peserta choir , sang dirijen segera memberikan aba-aba. Ia menggerak-gerakkan tangan kirinya dan memukul simbal dengan tangan kanannya. Kode audio itu dikhususkan bagi Nayla dan penyandang tunanetra lainnya. 'Tin
Raut wajah Zenith dan Albern sama-sama tegang, mereka tidak menyangka hal buruk itu bisa terjadi di sekitar mereka. Sebenarnya mereka ingin tetap di sana seandainya tidak ada Nayla. Tapi, mereka harus tetap memikirkan kondisi psikis malaikat kecil mereka dan mengisolasinya dari situasi yang kurang baik. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Sementara Nayla yang duduk di jok belakang terus menerus merengut, melipat mukanya karena kesal atas sikap ibunya yang mengajaknya pergi begitu saja. Padahal, masih ada banyak hal yang ingin ia tunjukkan di sesi selanjutnya. Ia merasa latihan kerasnya selama ini terasa sia-sia. "Ma, kenapa kita harus buru-buru pulang?!" protesnya. "Acaranya kan belum selesai." Zenith hanya diam. Tapi, gerakan matanya yang tampak di spion tengah memberi isyarat bagi Albern agar membantunya menenangkan Nayla. "Kata siapa kita mau pulang?" sahut Albern. "Kita pergi lebih awal karena mau menonton konser Louis Tomlinson." Mendengar hal itu raut wajah Nayla berubah