Home / Thriller / Ellipsis / Psalm XI

Share

Psalm XI

last update Last Updated: 2021-10-30 07:45:29
Sudah cukup lama Zenith tidak berkunjung ke rumah itu. Rumah berarsitektur Korea yang memiliki taman luas sarat dengan beragam jenis bunga, kolam dengan aneka jenis Pisces dan halaman berumput hijau yang menjadi tempat bermain beberapa jenis Aves.. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini terasa begitu nyaman asri. Wajar saja jika sang pemilik selalu betah berlama-lama seorang diri di dalamnya.

Dari tempat berdirinya sekarang, Zenith melihat Albern sedang duduk di halaman belakang rumah sambil memainkan biola. Albern tampak begitu tenang dan damai. Beberapa burung merpati mengerumuninya, seolah enggan untuk menjauh darinya. Mereka mematuk remah-remah roti yang telah ia tebarkan sebelumnya.

Dengan langkah perlahan, Zenith berjalan menghampiri Albern. Setiap langkahnya seolah mengikuti irama musik yang Albern mainkan. "Blue Danube ... Johann Straus," gumam Zenith saat ia sudah berada di dekat Albern.

Albern berhenti menggesek biolanya, senyumnya terkembang penuh pesona. Ia lantas men
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ellipsis   Psalm XII

    Ini adalah untuk pertama kalinya Adnan mendatangi sebuah salon kecantikan. Sebelumnya, selama 43 tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia mendatangi tempat perawatan tubuh semacam itu. Biasanya –untuk urusan penampilan, ia hanya datang ke barber shop yang ada di dekat rumahnya. Adnan memang memiliki kepribadian yang unik. Bisa dibilang, ia sama sekali tidak pernah peduli dengan penampilannya. Jambang dan kumisnya pun lebih sering dibiarkan tumbuh semrawut seperti halnya rumpun jewawut. Intinya, ia tidak terlalu menyukai kerapian dan segala sesuatu yang bersifat keteraturan. Ia adalah pemuja kebebasan. Tapi khusus untuk malam ini, ia memutuskan untuk sedikit mengubah haluan. Ia merasa ada sesuatu yang mesti ia lakukan untuk memudahkannya dalam melakukan pendekatan. Zenith adalah salah satu alasan dan tujuan dari hidupnya. Ia merasa perlu ada beberapa perubahan untuk bisa memiliki wanita yang menjadi pujaan hatinya. Perlu ada penyesuaian agar Zenith bisa memiliki ketertarikan lebih ke

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XIII

    Ringtone ponsel Ashmir berdering keras, membangunkannya dari tidur yang belum terlampau pulas. Ia baru saja terlelap. Dan sekarang, seseorang di luar sana memaksanya untuk terjaga dalam sekejap. Butuh waktu cukup lama bagi Ashmir untuk mencari ponselnya. Dengan mata terpejam ia terus meraba-raba, mencari ponsel yang terus bersuara "Uhmmm... siapa yang menelepon di pagi buta seperti ini." Dan ketika tangannya berhasil menjangkau ponsel, ia langsung menekan geser tombol berwarna merah di layarnya. Suara itu pun lenyap seketika. Suasana kembali senyap seperti semula. Namun tak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Dan kali ini terdengar semakin nyaring. Ashmir yang merasa kesal karena tidurnya terganggu lekas membanting bantalnya dan mengambil kembali ponsel itu. "Halo!" ucapnya lantang. "Siapa di sana?!" "Maaf jika aku membangunkan tidurmu," jawab suara di ujung saluran. "Aku ingin memberimu tugas tambahan hari ini." Ashmir terhenyak. Ia mengenal suara di ujung saluran. "Maaf

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XIV

    Sesi kedua pertunjukan seni itu akan segera digelar. Belasan anak-anak sudah berdiri di panggung. Mereka memakai pakaian serba putih dengan sehelai syal berwarna krem yang melingkar di leher. Masing-masing dari mereka menggenggam piring kecil berisi lilin di depan dada. Pancaran cahaya temaram memberi nuansa tersendiri di wajah innocent mereka. Hening sejenak. Semua tampak tegang. Tak terkecuali para orang tua. Hanya anak-anak pengidap down syndrome yang tetap terlihat tenang. Ekspresi wajah mereka tetap datar, seperti biasanya. Di sisi timur pentas, di belakang sebuah piano, Nayla berusaha untuk tersenyum agar tak terlihat tegang. Meski sebenarnya, tak ada seorang pun yang bisa melihat ekspresinya. Sebab wajahnya tertutup kap piano seutuhnya. Usai memastikan kesiapan para peserta choir , sang dirijen segera memberikan aba-aba. Ia menggerak-gerakkan tangan kirinya dan memukul simbal dengan tangan kanannya. Kode audio itu dikhususkan bagi Nayla dan penyandang tunanetra lainnya. 'Tin

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XV

    Raut wajah Zenith dan Albern sama-sama tegang, mereka tidak menyangka hal buruk itu bisa terjadi di sekitar mereka. Sebenarnya mereka ingin tetap di sana seandainya tidak ada Nayla. Tapi, mereka harus tetap memikirkan kondisi psikis malaikat kecil mereka dan mengisolasinya dari situasi yang kurang baik. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Sementara Nayla yang duduk di jok belakang terus menerus merengut, melipat mukanya karena kesal atas sikap ibunya yang mengajaknya pergi begitu saja. Padahal, masih ada banyak hal yang ingin ia tunjukkan di sesi selanjutnya. Ia merasa latihan kerasnya selama ini terasa sia-sia. "Ma, kenapa kita harus buru-buru pulang?!" protesnya. "Acaranya kan belum selesai." Zenith hanya diam. Tapi, gerakan matanya yang tampak di spion tengah memberi isyarat bagi Albern agar membantunya menenangkan Nayla. "Kata siapa kita mau pulang?" sahut Albern. "Kita pergi lebih awal karena mau menonton konser Louis Tomlinson." Mendengar hal itu raut wajah Nayla berubah

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XVI

    "Apa kau sakit?" tanya Adnan cemas. Zenith menggerakkan bahunya. "Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." Ia tersenyum. Tapi awan gelap yang menyelimuti wajahnya menyiratkan hal yang berlawanan. "Apa kau masih marah?" "Kenapa aku harus marah?" Zenith balik bertanya. "Acara kemarin..." kalimat Adnan terputus. Ia coba merangkai kata yang tepat, dengan sedikit dibumbui kebohongan. Ia hanya ingin Zenith lekas memaafkannya. "Aku terpaksa pulang lebih awal karena kurang enak badan." Zenith tersenyum lagi, meski sebenarnya ia tak ingin melakukannya. "Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Meski mulanya aku sempat khawatir karena kamu menghilang begitu saja dan tidak bisa dihubungi." "Kau ... khawatir?" tanya Adnan dengan suara tertahan. Ada perubahan signifikan di raut wajahnya. "Tentu saja. Kamu ada-" "Anak itu sudah ditemukan!" seru Ashmir menyela percakapan mereka. Ia menghampiri kedua atasannya dengan langkah tergesa. Adnan menyeringai. Ia menatap Ashmir tajam. "Siapa yang ka

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XVII

    Albern kedatangan seorang pesohor wanita di kantornya siang ini. Ia tidak tahu pasti julukan apa yang tepat untuk menggambarkan profesi wanita penuh sensasi itu. Jika dikatakan sebagai penyanyi tentu kurang tepat, sebab suaranya yang pas-pasan lebih sering disimpan saat tampil di panggung. Kalau mau disebut sebagai aktris, rasanya juga kurang tepat. Aktingnya pun tidak bisa dihandalkan, yang benar-benar bisa ia lakukan di depan kamera hanyalah bersuara mendesah dan beradegan panas di atas ranjang. Judul film dan alur cerita yang ia mainkan pun terkesan asal-asalan. Yang terpenting ada adegan di mana ia tampil syur nyaris telanjang. Sehingga membuat para remaja belasan tahun yang sedang mengalami masa pubertas jatuh dalam liang penasaran. Dan pada akhirnya membuat mereka bertanya-tanya ada ikhwal macam apa yang tersembunyi di balik selangkangan sehingga membuat banyak pria mabuk kepayang? Film-film perusak moral itu telah membuat para pemuda masa depan bangsa menjadi anak yang durhaka

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XVIII

    Pria itu tersenyum bengis di depan layar laptopnya. Ia melihat foto setiap anak yang telah menjadi korbannya. Tidak terasa, kejahatan kejinya itu sudah berlangsung selama empat tahun. Dan sejauh ini, semua masih berjalan dengan aman dan baik-baik saja. "Tinggal dua lagi," gumamnya lirih. Pria itu melihat arlojinya, pukul 02.00 siang. Sudah waktunya untuk kembali beraksi. Ia menutup laptopnya dan beranjak pergi. Tidak salah memang ia memilih bekerja di tempat ini. Ia bisa keluar kapan pun asal semua pekerjaan bisa ditangani. Tidak ada orang yang mencurigai gerak-geriknya sejauh ini, sebab seekor anjing penjaga tidak mungkin dicurigai sebagai pencuri. ***** Sudah lebih dari enam tahun Albern membeli lokasi itu dari seorang pengepul barang-barang bekas asal Madura. Sepetak tanah berukuran 60x80 meter persegi yang sekelilingnya dibatasi dengan tembok tinggi. Lokasi yang terletak dipinggiran kota itu sudah lama menjadi incaran masyarakat umum dan pengusaha properti, banyak di antara mer

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XIX

    'Kriiiiiiiinggg!' Bel sekolah telah berdering panjang dan lantang. Melengking seperti sirine keadaan darurat di kala perang. Hanya butuh sepersekian detik untuk membuat seluruh siswa berhamburan. Mereka berlari tunggang langgang seperti kambing yang baru saja dibukakan pintu kandang, saling berdesakan dan berebut jalan pulang. Wajah siswa-siswi SD itu tampak begitu riang, bersorak-sorai layaknya rakyat yang baru terbebas dari masa penjajahan. Pelan tapi pasti. Suasana Sekolah Dasar itu mulai lengang. Tidak ada lagi canda tawa dan pekikan yang meramaikan teriknya siang. Hanya tinggal beberapa anak yang masih bermain di halaman. Sebagian karena menunggu jemputan, sementara yang lain karena malas untuk lekas pulang. Ada kesamaan dari dua alasan yang berlainan, mereka sama-sama kurang diperhatikan. Mengetahui situasi sudah lebih aman dan memungkinkan, pria itu turun dari mobilnya. Ia membawa puluhan balon helium aneka warna di tangan kanannya. Seperti biasa, ia tetap mengawasi sekitar t

    Last Updated : 2021-10-30

Latest chapter

  • Ellipsis   Psal XLVI

    Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti

  • Ellipsis   Psalm XLV

    Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam

  • Ellipsis   Psalm XLIV

    Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.

  • Ellipsis   Psalm XLIII

    Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia

  • Ellipsis   Psalm XLI

    Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku

  • Ellipsis   Psalm XL

    Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d

  • Ellipsis   Psalm XXXIX

    Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan

  • Ellipsis   Psalm XXXVIII

    AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s

  • Ellipsis   Psalm XXXVII

    An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar

DMCA.com Protection Status