Pria itu tersenyum bengis di depan layar laptopnya. Ia melihat foto setiap anak yang telah menjadi korbannya. Tidak terasa, kejahatan kejinya itu sudah berlangsung selama empat tahun. Dan sejauh ini, semua masih berjalan dengan aman dan baik-baik saja. "Tinggal dua lagi," gumamnya lirih. Pria itu melihat arlojinya, pukul 02.00 siang. Sudah waktunya untuk kembali beraksi. Ia menutup laptopnya dan beranjak pergi. Tidak salah memang ia memilih bekerja di tempat ini. Ia bisa keluar kapan pun asal semua pekerjaan bisa ditangani. Tidak ada orang yang mencurigai gerak-geriknya sejauh ini, sebab seekor anjing penjaga tidak mungkin dicurigai sebagai pencuri. ***** Sudah lebih dari enam tahun Albern membeli lokasi itu dari seorang pengepul barang-barang bekas asal Madura. Sepetak tanah berukuran 60x80 meter persegi yang sekelilingnya dibatasi dengan tembok tinggi. Lokasi yang terletak dipinggiran kota itu sudah lama menjadi incaran masyarakat umum dan pengusaha properti, banyak di antara mer
'Kriiiiiiiinggg!' Bel sekolah telah berdering panjang dan lantang. Melengking seperti sirine keadaan darurat di kala perang. Hanya butuh sepersekian detik untuk membuat seluruh siswa berhamburan. Mereka berlari tunggang langgang seperti kambing yang baru saja dibukakan pintu kandang, saling berdesakan dan berebut jalan pulang. Wajah siswa-siswi SD itu tampak begitu riang, bersorak-sorai layaknya rakyat yang baru terbebas dari masa penjajahan. Pelan tapi pasti. Suasana Sekolah Dasar itu mulai lengang. Tidak ada lagi canda tawa dan pekikan yang meramaikan teriknya siang. Hanya tinggal beberapa anak yang masih bermain di halaman. Sebagian karena menunggu jemputan, sementara yang lain karena malas untuk lekas pulang. Ada kesamaan dari dua alasan yang berlainan, mereka sama-sama kurang diperhatikan. Mengetahui situasi sudah lebih aman dan memungkinkan, pria itu turun dari mobilnya. Ia membawa puluhan balon helium aneka warna di tangan kanannya. Seperti biasa, ia tetap mengawasi sekitar t
Setelah selama beberapa bulan terakhir perhatian publik terfokus pada pemberitaan seputar hingar-bingar gelaran Formula di DKI Jakarta, kini berita tentang kasus pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak kembali mencuat ke permukaan. Kisah yang diangkat media kali ini tidak kalah menghebohkan bila dibandingkan dengan pelecehan seksual yang terjadi di salah satu sekolah internasional maupun kasus yang menimpa anak-anak di Sukabumi yang terjadi dalam satu dasawarsa silam. Modus yang digunakan pelaku adalah dengan menculik setiap korban sebelum akhirnya dicabuli di suatu tempat yang belum diketahui keberadaannya. Pedofil misterius itu telah menjadi teror bagi semua orang tua, terutama yang berdomisili di Jakarta. Ia memang memulangkan setiap korbannya dalam keadaan selamat, akan tetapi semua itu seolah tak berarti bila menilik tindakan keji yang telah diperbuatnya. Ia memang selalu mengembalikan jiwa dan raga korbannya, tapi tidak dengan senyum mereka. Polisi dianggap lamban dan ti
Semburat gelap menyeruak kasar, menyelimuti langit pagi dengan gumpalan-gumpalan cendawan pekat cumulonimbus. Angin bertiup kencang, membawa serta titik-titik air dalam setiap hembusan. Hujan tidak lagi turun untuk berkunjung. Mereka datang untuk menyerang, menerjang dan menghujam siapa saja yang menantang dan melawan. Beberapa pohon di pinggir jalan protokol telah tumbang, terhempas badai yang berhembus kencang. Sesekali kilat menyambar terang, mengiringi dentuman guntur yang menggelegar garang. Jika hujan terus turun, bukan tidak mungkin dataran yang terbentuk dari proses sedimentasi fluvial itu akan tenggelam sebagian. Sungai-sungainya akan meluap, menyamarkan bentukan meander yang berliku-liku tajam. Dari dalam ruang kantornya, Albern menatap tajam rinai-rinai hujan. Hujan akan memperlambat pekerjaannya, menghambat semuanya. Ia berharap semoga ini adalah hujan terakhir di bulan Desember. Albern lantas keluar ruangan dan menemui Laika. Ia akan meninjau lokasi proyeknya dan membat
Berita tentang penangkapan Adnan, sang ketua KPAN telah menguap di media massa. Berbagai opini publik bermunculan. Sebagian masih tidak percaya, sementara yang lain bersikap bijak dengan memberikan pembelaan karena status Adnan masih tersangka, sedangkan sisanya menghujat dan menghakiminya secara terbuka. Satu hari setelah penetapan Adnan sebagai tersangka, halaman KPAN diserbu kerumunan massa. Bukan lagi untuk melaporkan tindak kejahatan dan berkonsultasi, melainkan untuk menebar ancaman dan bertindak anarki. Polisi yang datang terlambat membuat massa leluasa bergerak. Mereka tidak hanya membentangkan spanduk dan membakar ban, tapi juga mengamuk dan melakukan perusakan. Mereka berusaha merangsek masuk, membuat keadaan semakin memburuk. Sementara di dalam gedung itu, puluhan pegawai terjebak di dalam gedung dengan jantung berdebar-debar. Mereka sama sekali tidak menyangka jika akan ada demonstran yang menyerbu kantor mereka. Puluhan karyawan itu kini berkumpul dalam satu ruang, berh
Dengan ditemani Ashmir, Zenith datang untuk menjenguk Adnan di kantor polisi. Sejauh ini, status Ketua KPAN nonaktif itu masih menjadi tahanan Polda Metro Jaya. Dan mungkin ia akan berpindah tempat ketika berkas kasusnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Sebab pengajuan penangguhan penahanan yang dilakukan oleh tim pengacaranya ditolak pihak kepolisian. Selain menjenguk Adnan, Zenith dan Ashmir juga menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus tersebut. Mereka diperiksa secara terpisah. Beruntung bagi Adnan, kedua rekan kerjanya itu memberikan keterangan yang tidak memberatkan dan menyudutkan posisinya. Bukan sesuatu yang disengaja, sebab mereka memang sama sekali tidak tahu menahu tentang keterlibatan Adnan dalam kasus yang menjeratnya saat ini. Mereka tidak sedikit pun menaruh kecurigaan, karena selama ini semua terlihat normal dan baik-baik saja. "Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Zenith berbasa-basi. Terkesan bodoh memang, sebab Adnan tampak terpuruk dan berant
Seorang tunanetra mungkin memang tidak akan pernah bisa melihat ekspresi orang-orang di sekitarnya. Akan tetapi, ia bisa mendengar apapun yang mereka katakan. Dan hal itu disadari betul oleh Albern. Sejak berada di dalam kafe, mimik muka Nayla berubah dalam sekejap. Tidak ada lagi keceriaan seperti ketika ia masih berada di rumah dan di perjalanan. Bisik-bisik pengunjung kafelah yang menjadi penyebabnya. Ucapan mereka yang mendiskreditkan keterbatasan Nayla telah membuat senyum di bibir malaikat kecil itu memudar. Nayla mendengar semua yang mereka bicarakan tentangnya. Dan itu membuat hati kecilnya merintih karenanya. Albern memandang mereka semua, tidak mungkin baginya untuk meluapkan amarah. Bukan karena ia takut atau segan, tapi lebih karena ia tidak ingin bersikap kasar di hadapan anak kecil. Selain itu juga karena ia sadar, jika setiap orang berhak untuk berkomentar dan memberikan penilaian. Meskipun bersifat insult dan terkesan merendahkan. Albern terus mengamati sekelilingnya
Di salah satu sudut lingkungan padat penduduk di Jakarta, di sebuah perkampungan kumuh yang sudah minim dengan kontrol sosial, Ashmir memilih untuk masuk dan tinggal. Sebuah lingkungan yang keras dan sarat dengan kriminalitas. Fenomena yang biasa terjadi di lingkungan kumuh dengan densitas melebihi ambang batas. Perkelahian antar remaja, kekerasan dalam rumah tangga dan pencurian adalah hal yang sudah biasa Ashmir dengar dan saksikan setiap harinya. Seperti yang terjadi pagi ini, cekcok tetangga kontrakannya di pagi buta telah membangunkan ia dari tidurnya. Hampir setiap pagi pertengkaran mereka terjadi sebelum alarm jam bekernya berbunyi. Tapi, setidaknya hal itu memiliki nilai positif karena membantunya untuk tidak melewatkan doa pagi di jam pertama. Setelah gelap benar-benar hilang dan panas matahari sudah datang menjerang permukaan, Ashmir bersiap-siap untuk memulai aktivitasnya. Ia kemudian mengambil ponselnya, menghubungi seseorang. *** Setiap orang pasti ingin hidup tenang d