Albern kedatangan seorang pesohor wanita di kantornya siang ini. Ia tidak tahu pasti julukan apa yang tepat untuk menggambarkan profesi wanita penuh sensasi itu. Jika dikatakan sebagai penyanyi tentu kurang tepat, sebab suaranya yang pas-pasan lebih sering disimpan saat tampil di panggung. Kalau mau disebut sebagai aktris, rasanya juga kurang tepat. Aktingnya pun tidak bisa dihandalkan, yang benar-benar bisa ia lakukan di depan kamera hanyalah bersuara mendesah dan beradegan panas di atas ranjang. Judul film dan alur cerita yang ia mainkan pun terkesan asal-asalan. Yang terpenting ada adegan di mana ia tampil syur nyaris telanjang. Sehingga membuat para remaja belasan tahun yang sedang mengalami masa pubertas jatuh dalam liang penasaran. Dan pada akhirnya membuat mereka bertanya-tanya ada ikhwal macam apa yang tersembunyi di balik selangkangan sehingga membuat banyak pria mabuk kepayang? Film-film perusak moral itu telah membuat para pemuda masa depan bangsa menjadi anak yang durhaka
Pria itu tersenyum bengis di depan layar laptopnya. Ia melihat foto setiap anak yang telah menjadi korbannya. Tidak terasa, kejahatan kejinya itu sudah berlangsung selama empat tahun. Dan sejauh ini, semua masih berjalan dengan aman dan baik-baik saja. "Tinggal dua lagi," gumamnya lirih. Pria itu melihat arlojinya, pukul 02.00 siang. Sudah waktunya untuk kembali beraksi. Ia menutup laptopnya dan beranjak pergi. Tidak salah memang ia memilih bekerja di tempat ini. Ia bisa keluar kapan pun asal semua pekerjaan bisa ditangani. Tidak ada orang yang mencurigai gerak-geriknya sejauh ini, sebab seekor anjing penjaga tidak mungkin dicurigai sebagai pencuri. ***** Sudah lebih dari enam tahun Albern membeli lokasi itu dari seorang pengepul barang-barang bekas asal Madura. Sepetak tanah berukuran 60x80 meter persegi yang sekelilingnya dibatasi dengan tembok tinggi. Lokasi yang terletak dipinggiran kota itu sudah lama menjadi incaran masyarakat umum dan pengusaha properti, banyak di antara mer
'Kriiiiiiiinggg!' Bel sekolah telah berdering panjang dan lantang. Melengking seperti sirine keadaan darurat di kala perang. Hanya butuh sepersekian detik untuk membuat seluruh siswa berhamburan. Mereka berlari tunggang langgang seperti kambing yang baru saja dibukakan pintu kandang, saling berdesakan dan berebut jalan pulang. Wajah siswa-siswi SD itu tampak begitu riang, bersorak-sorai layaknya rakyat yang baru terbebas dari masa penjajahan. Pelan tapi pasti. Suasana Sekolah Dasar itu mulai lengang. Tidak ada lagi canda tawa dan pekikan yang meramaikan teriknya siang. Hanya tinggal beberapa anak yang masih bermain di halaman. Sebagian karena menunggu jemputan, sementara yang lain karena malas untuk lekas pulang. Ada kesamaan dari dua alasan yang berlainan, mereka sama-sama kurang diperhatikan. Mengetahui situasi sudah lebih aman dan memungkinkan, pria itu turun dari mobilnya. Ia membawa puluhan balon helium aneka warna di tangan kanannya. Seperti biasa, ia tetap mengawasi sekitar t
Setelah selama beberapa bulan terakhir perhatian publik terfokus pada pemberitaan seputar hingar-bingar gelaran Formula di DKI Jakarta, kini berita tentang kasus pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak kembali mencuat ke permukaan. Kisah yang diangkat media kali ini tidak kalah menghebohkan bila dibandingkan dengan pelecehan seksual yang terjadi di salah satu sekolah internasional maupun kasus yang menimpa anak-anak di Sukabumi yang terjadi dalam satu dasawarsa silam. Modus yang digunakan pelaku adalah dengan menculik setiap korban sebelum akhirnya dicabuli di suatu tempat yang belum diketahui keberadaannya. Pedofil misterius itu telah menjadi teror bagi semua orang tua, terutama yang berdomisili di Jakarta. Ia memang memulangkan setiap korbannya dalam keadaan selamat, akan tetapi semua itu seolah tak berarti bila menilik tindakan keji yang telah diperbuatnya. Ia memang selalu mengembalikan jiwa dan raga korbannya, tapi tidak dengan senyum mereka. Polisi dianggap lamban dan ti
Semburat gelap menyeruak kasar, menyelimuti langit pagi dengan gumpalan-gumpalan cendawan pekat cumulonimbus. Angin bertiup kencang, membawa serta titik-titik air dalam setiap hembusan. Hujan tidak lagi turun untuk berkunjung. Mereka datang untuk menyerang, menerjang dan menghujam siapa saja yang menantang dan melawan. Beberapa pohon di pinggir jalan protokol telah tumbang, terhempas badai yang berhembus kencang. Sesekali kilat menyambar terang, mengiringi dentuman guntur yang menggelegar garang. Jika hujan terus turun, bukan tidak mungkin dataran yang terbentuk dari proses sedimentasi fluvial itu akan tenggelam sebagian. Sungai-sungainya akan meluap, menyamarkan bentukan meander yang berliku-liku tajam. Dari dalam ruang kantornya, Albern menatap tajam rinai-rinai hujan. Hujan akan memperlambat pekerjaannya, menghambat semuanya. Ia berharap semoga ini adalah hujan terakhir di bulan Desember. Albern lantas keluar ruangan dan menemui Laika. Ia akan meninjau lokasi proyeknya dan membat
Berita tentang penangkapan Adnan, sang ketua KPAN telah menguap di media massa. Berbagai opini publik bermunculan. Sebagian masih tidak percaya, sementara yang lain bersikap bijak dengan memberikan pembelaan karena status Adnan masih tersangka, sedangkan sisanya menghujat dan menghakiminya secara terbuka. Satu hari setelah penetapan Adnan sebagai tersangka, halaman KPAN diserbu kerumunan massa. Bukan lagi untuk melaporkan tindak kejahatan dan berkonsultasi, melainkan untuk menebar ancaman dan bertindak anarki. Polisi yang datang terlambat membuat massa leluasa bergerak. Mereka tidak hanya membentangkan spanduk dan membakar ban, tapi juga mengamuk dan melakukan perusakan. Mereka berusaha merangsek masuk, membuat keadaan semakin memburuk. Sementara di dalam gedung itu, puluhan pegawai terjebak di dalam gedung dengan jantung berdebar-debar. Mereka sama sekali tidak menyangka jika akan ada demonstran yang menyerbu kantor mereka. Puluhan karyawan itu kini berkumpul dalam satu ruang, berh
Dengan ditemani Ashmir, Zenith datang untuk menjenguk Adnan di kantor polisi. Sejauh ini, status Ketua KPAN nonaktif itu masih menjadi tahanan Polda Metro Jaya. Dan mungkin ia akan berpindah tempat ketika berkas kasusnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Sebab pengajuan penangguhan penahanan yang dilakukan oleh tim pengacaranya ditolak pihak kepolisian. Selain menjenguk Adnan, Zenith dan Ashmir juga menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus tersebut. Mereka diperiksa secara terpisah. Beruntung bagi Adnan, kedua rekan kerjanya itu memberikan keterangan yang tidak memberatkan dan menyudutkan posisinya. Bukan sesuatu yang disengaja, sebab mereka memang sama sekali tidak tahu menahu tentang keterlibatan Adnan dalam kasus yang menjeratnya saat ini. Mereka tidak sedikit pun menaruh kecurigaan, karena selama ini semua terlihat normal dan baik-baik saja. "Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Zenith berbasa-basi. Terkesan bodoh memang, sebab Adnan tampak terpuruk dan berant
Seorang tunanetra mungkin memang tidak akan pernah bisa melihat ekspresi orang-orang di sekitarnya. Akan tetapi, ia bisa mendengar apapun yang mereka katakan. Dan hal itu disadari betul oleh Albern. Sejak berada di dalam kafe, mimik muka Nayla berubah dalam sekejap. Tidak ada lagi keceriaan seperti ketika ia masih berada di rumah dan di perjalanan. Bisik-bisik pengunjung kafelah yang menjadi penyebabnya. Ucapan mereka yang mendiskreditkan keterbatasan Nayla telah membuat senyum di bibir malaikat kecil itu memudar. Nayla mendengar semua yang mereka bicarakan tentangnya. Dan itu membuat hati kecilnya merintih karenanya. Albern memandang mereka semua, tidak mungkin baginya untuk meluapkan amarah. Bukan karena ia takut atau segan, tapi lebih karena ia tidak ingin bersikap kasar di hadapan anak kecil. Selain itu juga karena ia sadar, jika setiap orang berhak untuk berkomentar dan memberikan penilaian. Meskipun bersifat insult dan terkesan merendahkan. Albern terus mengamati sekelilingnya
Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti
Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam
Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.
Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia
Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku
Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d
Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan
AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s
An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar