Sesi kedua pertunjukan seni itu akan segera digelar. Belasan anak-anak sudah berdiri di panggung. Mereka memakai pakaian serba putih dengan sehelai syal berwarna krem yang melingkar di leher. Masing-masing dari mereka menggenggam piring kecil berisi lilin di depan dada. Pancaran cahaya temaram memberi nuansa tersendiri di wajah innocent mereka. Hening sejenak. Semua tampak tegang. Tak terkecuali para orang tua. Hanya anak-anak pengidap down syndrome yang tetap terlihat tenang. Ekspresi wajah mereka tetap datar, seperti biasanya. Di sisi timur pentas, di belakang sebuah piano, Nayla berusaha untuk tersenyum agar tak terlihat tegang. Meski sebenarnya, tak ada seorang pun yang bisa melihat ekspresinya. Sebab wajahnya tertutup kap piano seutuhnya. Usai memastikan kesiapan para peserta choir , sang dirijen segera memberikan aba-aba. Ia menggerak-gerakkan tangan kirinya dan memukul simbal dengan tangan kanannya. Kode audio itu dikhususkan bagi Nayla dan penyandang tunanetra lainnya. 'Tin
Raut wajah Zenith dan Albern sama-sama tegang, mereka tidak menyangka hal buruk itu bisa terjadi di sekitar mereka. Sebenarnya mereka ingin tetap di sana seandainya tidak ada Nayla. Tapi, mereka harus tetap memikirkan kondisi psikis malaikat kecil mereka dan mengisolasinya dari situasi yang kurang baik. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Sementara Nayla yang duduk di jok belakang terus menerus merengut, melipat mukanya karena kesal atas sikap ibunya yang mengajaknya pergi begitu saja. Padahal, masih ada banyak hal yang ingin ia tunjukkan di sesi selanjutnya. Ia merasa latihan kerasnya selama ini terasa sia-sia. "Ma, kenapa kita harus buru-buru pulang?!" protesnya. "Acaranya kan belum selesai." Zenith hanya diam. Tapi, gerakan matanya yang tampak di spion tengah memberi isyarat bagi Albern agar membantunya menenangkan Nayla. "Kata siapa kita mau pulang?" sahut Albern. "Kita pergi lebih awal karena mau menonton konser Louis Tomlinson." Mendengar hal itu raut wajah Nayla berubah
"Apa kau sakit?" tanya Adnan cemas. Zenith menggerakkan bahunya. "Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." Ia tersenyum. Tapi awan gelap yang menyelimuti wajahnya menyiratkan hal yang berlawanan. "Apa kau masih marah?" "Kenapa aku harus marah?" Zenith balik bertanya. "Acara kemarin..." kalimat Adnan terputus. Ia coba merangkai kata yang tepat, dengan sedikit dibumbui kebohongan. Ia hanya ingin Zenith lekas memaafkannya. "Aku terpaksa pulang lebih awal karena kurang enak badan." Zenith tersenyum lagi, meski sebenarnya ia tak ingin melakukannya. "Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Meski mulanya aku sempat khawatir karena kamu menghilang begitu saja dan tidak bisa dihubungi." "Kau ... khawatir?" tanya Adnan dengan suara tertahan. Ada perubahan signifikan di raut wajahnya. "Tentu saja. Kamu ada-" "Anak itu sudah ditemukan!" seru Ashmir menyela percakapan mereka. Ia menghampiri kedua atasannya dengan langkah tergesa. Adnan menyeringai. Ia menatap Ashmir tajam. "Siapa yang ka
Albern kedatangan seorang pesohor wanita di kantornya siang ini. Ia tidak tahu pasti julukan apa yang tepat untuk menggambarkan profesi wanita penuh sensasi itu. Jika dikatakan sebagai penyanyi tentu kurang tepat, sebab suaranya yang pas-pasan lebih sering disimpan saat tampil di panggung. Kalau mau disebut sebagai aktris, rasanya juga kurang tepat. Aktingnya pun tidak bisa dihandalkan, yang benar-benar bisa ia lakukan di depan kamera hanyalah bersuara mendesah dan beradegan panas di atas ranjang. Judul film dan alur cerita yang ia mainkan pun terkesan asal-asalan. Yang terpenting ada adegan di mana ia tampil syur nyaris telanjang. Sehingga membuat para remaja belasan tahun yang sedang mengalami masa pubertas jatuh dalam liang penasaran. Dan pada akhirnya membuat mereka bertanya-tanya ada ikhwal macam apa yang tersembunyi di balik selangkangan sehingga membuat banyak pria mabuk kepayang? Film-film perusak moral itu telah membuat para pemuda masa depan bangsa menjadi anak yang durhaka
Pria itu tersenyum bengis di depan layar laptopnya. Ia melihat foto setiap anak yang telah menjadi korbannya. Tidak terasa, kejahatan kejinya itu sudah berlangsung selama empat tahun. Dan sejauh ini, semua masih berjalan dengan aman dan baik-baik saja. "Tinggal dua lagi," gumamnya lirih. Pria itu melihat arlojinya, pukul 02.00 siang. Sudah waktunya untuk kembali beraksi. Ia menutup laptopnya dan beranjak pergi. Tidak salah memang ia memilih bekerja di tempat ini. Ia bisa keluar kapan pun asal semua pekerjaan bisa ditangani. Tidak ada orang yang mencurigai gerak-geriknya sejauh ini, sebab seekor anjing penjaga tidak mungkin dicurigai sebagai pencuri. ***** Sudah lebih dari enam tahun Albern membeli lokasi itu dari seorang pengepul barang-barang bekas asal Madura. Sepetak tanah berukuran 60x80 meter persegi yang sekelilingnya dibatasi dengan tembok tinggi. Lokasi yang terletak dipinggiran kota itu sudah lama menjadi incaran masyarakat umum dan pengusaha properti, banyak di antara mer
'Kriiiiiiiinggg!' Bel sekolah telah berdering panjang dan lantang. Melengking seperti sirine keadaan darurat di kala perang. Hanya butuh sepersekian detik untuk membuat seluruh siswa berhamburan. Mereka berlari tunggang langgang seperti kambing yang baru saja dibukakan pintu kandang, saling berdesakan dan berebut jalan pulang. Wajah siswa-siswi SD itu tampak begitu riang, bersorak-sorai layaknya rakyat yang baru terbebas dari masa penjajahan. Pelan tapi pasti. Suasana Sekolah Dasar itu mulai lengang. Tidak ada lagi canda tawa dan pekikan yang meramaikan teriknya siang. Hanya tinggal beberapa anak yang masih bermain di halaman. Sebagian karena menunggu jemputan, sementara yang lain karena malas untuk lekas pulang. Ada kesamaan dari dua alasan yang berlainan, mereka sama-sama kurang diperhatikan. Mengetahui situasi sudah lebih aman dan memungkinkan, pria itu turun dari mobilnya. Ia membawa puluhan balon helium aneka warna di tangan kanannya. Seperti biasa, ia tetap mengawasi sekitar t
Setelah selama beberapa bulan terakhir perhatian publik terfokus pada pemberitaan seputar hingar-bingar gelaran Formula di DKI Jakarta, kini berita tentang kasus pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak kembali mencuat ke permukaan. Kisah yang diangkat media kali ini tidak kalah menghebohkan bila dibandingkan dengan pelecehan seksual yang terjadi di salah satu sekolah internasional maupun kasus yang menimpa anak-anak di Sukabumi yang terjadi dalam satu dasawarsa silam. Modus yang digunakan pelaku adalah dengan menculik setiap korban sebelum akhirnya dicabuli di suatu tempat yang belum diketahui keberadaannya. Pedofil misterius itu telah menjadi teror bagi semua orang tua, terutama yang berdomisili di Jakarta. Ia memang memulangkan setiap korbannya dalam keadaan selamat, akan tetapi semua itu seolah tak berarti bila menilik tindakan keji yang telah diperbuatnya. Ia memang selalu mengembalikan jiwa dan raga korbannya, tapi tidak dengan senyum mereka. Polisi dianggap lamban dan ti
Semburat gelap menyeruak kasar, menyelimuti langit pagi dengan gumpalan-gumpalan cendawan pekat cumulonimbus. Angin bertiup kencang, membawa serta titik-titik air dalam setiap hembusan. Hujan tidak lagi turun untuk berkunjung. Mereka datang untuk menyerang, menerjang dan menghujam siapa saja yang menantang dan melawan. Beberapa pohon di pinggir jalan protokol telah tumbang, terhempas badai yang berhembus kencang. Sesekali kilat menyambar terang, mengiringi dentuman guntur yang menggelegar garang. Jika hujan terus turun, bukan tidak mungkin dataran yang terbentuk dari proses sedimentasi fluvial itu akan tenggelam sebagian. Sungai-sungainya akan meluap, menyamarkan bentukan meander yang berliku-liku tajam. Dari dalam ruang kantornya, Albern menatap tajam rinai-rinai hujan. Hujan akan memperlambat pekerjaannya, menghambat semuanya. Ia berharap semoga ini adalah hujan terakhir di bulan Desember. Albern lantas keluar ruangan dan menemui Laika. Ia akan meninjau lokasi proyeknya dan membat