Udara siang di luar cukup terik. Tapi tidak dengan suasana di rumah itu. Terasa sangat dingin dan beku. Beberapa orang yang berkumpul di ruang tengah terdiam dan menundukkan pandangan, sementara yang lain sibuk menangis dan menyesalkan takdir buruk yang datang menghampiri. Tangis mereka terdengar hingga ke jalan sempit yang dipenuhi sepeda motor dan mobil yang terparkir.
Para pengendara yang melintas menoleh dengan pandangan sarat tanya ke rumah berhalaman sempit itu, beberapa di antaranya berhenti dan bertanya langsung kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut.
"Ada apa ini Pak kok rame-rame?" tanya seorang pengendara motor.
"Korban sodomi, Mas," jawab lelaki tua yang menata deretan sepeda motor berpelat hitam dan merah yang terparkir di depan rumah itu.
Pengendara sepeda motor itu tercenung sebentar, melihat kerumunan orang yang hilir-mudik di rumah itu sebelum akhirnya menarik tuas gasnya.
Di dalam rumah, Zenith dan beberapa rekannya dari KPAN sedang berusaha menenangkan korban dan keluarganya. Mereka berpencar dan menempati pos masing-masing, memberikan pendampingan serta dukungan moral untuk mereka. Mereka datang bersama keluarga korban dari rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya.
"Rendy ..." kata Zenith dengan senyum lembut dan tatapan hangat.
Tak ada tanggapan. Bocah malang itu tetap bungkam.
Sejak ditemukan kemarin lusa di sebuah halte bus di dekat kantor Polsek Jatinegara, tak sepatah pun kata terucap dari bibir Rendy. Tatapan matanya kosong, seolah menembus batas-batas naluriah lingkungan sekitarnya.
Di lain hal, ada sesuatu yang mengusik pikiran Zenith. Tanda itu, tato tiga lingkaran sejajar berwarna hitam yang ada di kening Rendy. Ia seperti pernah melihat tato semacam itu, tapi ia lupa kapan dan di mana persisnya. Polisi yang menangani kasus itu pun masih menduga-duga apa motif pelaku meninggalkan tanda itu di kening korbannya.
Zenith menghela napas panjang, "Baiklah. Kalau Rendy memang masih belum mau bicara dengan siapapun. Termasuk dengan tante. Tante akan pergi dari sini agar Rendy bisa merasa lebih tenang. Tapi sebelum pergi, tante mau memberi sebuah puzzle, buku gambar dan juga pensil warna. Rendy bisa menggambar apa pun yang Rendy mau, suka dan benci. Apa pun itu. Dan Rendy juga boleh membuang atau mematahkan pensil warna apa pun yang tidak Rendy disukai," tutur Zenith penuh kesabaran. "Dan sekarang, tante mau pulang dulu. Kita akan ketemu lagi minggu depan."
Itu adalah untuk kali kesekian Zenith berbicara dan tidak mendapatkan respon sedikitpun. Sebuah senyum ia kembangkan sebelum meninggalkan bocah malang itu. Ia lalu berjalan ke ruang tengah, menghampiri kedua orang tua Rendy yang sudah menunggunya sejak tadi.
"Dia masih delapan tahun," kata Teresa –ibu Rendy– disertai isak tangis. Ia sama sekali tidak menyangka hal seperti bisa terjadi pada anaknya. Hatinya benar-benar hancur.
"Sudahlah, Ma," bujuk Susilo –ayah Rendy–, coba menenangkan kesedihan isterinya. Ia lalu mendekap isterinya dari samping dan mengusap-usap bagian belakang bahunya. "Kita harus tabah dan tetap kuat. Kita tidak boleh terus menerus larut dalam kesedihan. Rendy membutuhkan semangat dan kasih sayang kita untuk membuatnya bangkit dan bisa menjalani hidup seperti sedia kala."
Perbincangan sepasang suami isteri itu menohok titik terdalam nurani Zenith. Perasaannya luluh lantak. Ia tidak hanya merasa iba kepada mereka, tapi juga merasakan kedengkian yang menyeruak semena-mena. Seandainya saja dulu Jonas bisa bersikap seperti laki-laki itu. Seandainya saja mantan suaminya itu mau menerima keadaan Nayla apa adanya. Pastilah perceraian itu tidak akan terjadi. Tidak akan pernah.
Zenith segera berpamitan dan buru-buru beranjak pergi, meninggalkan rekannya yang lain di beranda. Ia tidak kuat berada lebih lama lagi di antara mereka. Ia merasakan sakit yang teramat sangat meski mereka tak bermaksud melukainya. Usai berada di dalam mobil, setelah tidak ada seorang pun yang melihatnya. Ia menangis sejadi-jadinya.
***
"Apa Mbak Hani sudah siap dengan pertanyaan berikutnya?" tanya Nayla. Ia dan Hani sedang bermain tebak kata di kamarnya
"Yap!" jawab Hani antusias.
"Lima poin. Salah satu spesies dari serangga. Burung-burung sangat menyukainya."
"Jangkrik."
Nayla tersenyum hingga terlihat gigi-giginya yang putih berbaris rapi. Dan itu pertanda jika jawaban Hani masih kurang tepat. "Empat poin. Dia adalah hama."
"Hmm ... walang sangit."
"Tiga poin. Kata sebagian orang dia adalah binatang yang menjijikkan."
"Oh ... pasti kecoak."
"No ... no ... no ...," ujar Nayla sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum menggoda. "Dua poin. Binatang ini tidak bisa bertelur atau pun beranak."
Hani mengangkat salah satu alisnya, bingung. "Lha kok gitu, Non? Memangnya ada, ya? Terus gimana cara berkembang biaknya?"
"Ada kok. Mau tahu jawabannya?"
Hani mengangguk pelan. Ia tak lagi punya pilihan selain menyerah.
"Baiklah ... yang terakhir. Satu poin. Dia ada di tangan Nay. Sekarang buka tangan Mbak tepat di bawah kepalan tangan Nay!" perintah Nayla dengan nada sedikit menggoda.
Hani menuruti perintah Nayla tanpa rasa curiga. Walau Nayla sering berbuat usil, tapi ia tetap percaya jika gadis kecil itu kali ini tidak akan berhasil menakutinya. Paling-paling hanya mainan tiruan seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Hani membuka telapak tangannya tepat di bawah tangan Nayla yang masih tergenggam.
Nayla mulai menghitung. "Satu, dua, ti..ga!"
Jatuhlah sudah makhluk mungil berwarna hijau dari tangan Nayla. Menggeliat lucu dan menggoda.
"Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrggggggggggggghhh!" teriak Hani ketakutan. Ia melonjak-lonjak belingsatan ketika melihat seekor ulat hijau menggeliat di telapak tangannya. Meski ulat itu telah jatuh di atas sprei, ia tetap melompat-lompat tak karuan. Ia segera berlari menjauh, menghambur keluar ruangan.
Sementara Nayla, ia hanya tertawa cekikikan. Ia merasa sangat puas sebab berhasil mengerjai Hani. Lagi.
*****
Siang sudah berganti malam. Kejenuhan melanda setiap titik terang. Bagi sebagian orang, sudah waktunya untuk beranjak pulang. Beristirahat dalam dekapan selimut kegelapan. Tak terkecuali mereka, manusia-manusia terasing dan terbuang. Ratusan pengemis dan gelandangan itu saling berdesakan, berebut mencari ruang apartemen yang telah dijanjikan.
Entah mimpi apa mereka semalam. Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka menghabiskan malam di jalanan. Tapi sekarang ... dan entah sampai kapan. Mereka bisa tidur dengan nyenyak penuh kenyamanan. Tak perlu lagi merasa risau dan khawatir dengan razia Satpol PP yang acap kali datang dengan pentungan.
"Harap antri! Tolong antri!" seru salah seorang perempuan di meja konter. Ialah yang bertugas membagikan kunci apartemen. Tapi himbauannya sama sekali tak digubris, hanyut tertelan ricuhnya kerumunan.
"Minggir!"
"Geser!"
"Gantian, woy!"
"Yang sudah dapat kunci cepat pergi!"
Pekik mereka sambil terus berusaha merangsek ke depan. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang mengumpat dan melontarkan kata-kata makian. Mereka terus berebut dan berdesakan. Tidak ada istilah antri dalam kamus hidup mereka. Yang ada di benak mereka sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa segera mendapatkan kunci kamar apartemen itu.
Kedua orang perempuan di balik meja konter itu tampak ketakutan. Mereka tak siap dengan situasi brutal semacam ini. Ada semacam gurat penyesalan yang terukir di wajah mereka. Ternyata tugas membagi kunci tidaklah semudah yang mereka kira.
Dari kejauhan, di dalam sedan Mercedez Benz S-600 Guard berwarna hitam metalik yang terparkir di pinggir jalan, dua orang pria mengamati kerumunan itu dengan memendam seberkas harapan. Sepasang mata mereka menatap tajam, seolah tak ingin ada satu momen pun yang terlewatkan.
"Apa Anda yakin ini akan berhasil?"tanya Jeremy ragu. Ia tidak pernah bermain selembut ini sebelumnya.
"Jika tikus sulit diusir dari rumah. Maka cara terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan memenuhi rumah itu dengan kucing."
"Tapi, bukankah lebih baik dan efisien kalau dibakar saja rumahnya?"
"Dan meninggalkan banyak tanda tanya?" tanya Albern sarkastis. "Ini bukan lagi masa Orde Baru. Sekarang setiap orang bisa dengan mudah berbicara di media. Citra perusahaan Anda jadi taruhan."
Jeremy termenung dan mencerna ucapan Albern dengan seksama. "Anda benar. Sepertinya saya memang sudah harus mulai belajar meninggalkan cara-cara radikal dalam bekerja."
***
Sambil memegangi keningnya yang terasa berdenyut dan panas, anak laki-laki itu menangis sesenggukan di sudut ruangan. Ia masih tidak tahu hal buruk macam apa yang sedang ia alami. Yang ia inginkan sekarang hanyalah bisa segera pulang. Agar ia bisa lekas memeluk ibunya dan merasa aman. Ia menyesal karena tidak mengacuhkan nasehat ibunya untuk tidak berbicara dan mempercayai orang asing. Tapi, sekarang semua sudah terjadi. Sudah jauh terlambat untuk disesali.
Di dalam ruangan itu, tidak ada kesempatan baginya untuk pergi. Tidak ada sedikit pun celah untuk meloloskan diri. Semua tertutup rapat. Gelap dan senyap.
Kraaaak! Suara gagang pintu yang berderak memecah keheningan. Sisa keberanian bocah malang itu semakin berlarian. Saat pintu terbuka, ribuan atau bahkan mungkin jutaan partikel cahaya menerobos masuk ke dalam ruangan, menyorot matanya yang berbinar nanar. Dalam kengeriannya, ia melihat sosok hitam besar berdiri di depan pintu. Sosok itu berjalan mendekat, membelakangi cahaya lampu yang bersinar teramat terang. Sehingga yang bias ia lihat hanyalah sosok hitam serupa bayang-bayang.
"Tenanglah. Om tidak akan menyakiti kamu, Ardi," kata pria misterius itu. Ia membungkukkan badannya, menyejajarkan pandangan mereka. Jarak mereka hanya 5 cm jauhnya, sehingga ia dapat merasakan aroma ketakutan dari setiap hembusan napas calon korbannya. "Mungkin ini akan terasa sedikit sakit. Tapi, aku pastikan kau juga akan menikmatinya."
Ardi semakin ketakutan. Tubuh kecilnya menggigil tak karuan. Ia berusaha untuk menghindar, mencari celah untuk melarikan diri dari sergapan. Ia mengambil ancang-ancang, menumpukan pijakan di kaki kanan dan bersiap menyelinap dalam satu sentakan. Ardi mencobanya. Tapi, berhasil digagalkan. Pria itu menangkapnya hanya dengan satu tangan. Ardi meronta dan berteriak, "Lepaskan! Ardi mau pulang!"
Pria itu terkekeh. "Kamu hanya akan pulang setelah kita selesai bersenang-senang, Ardi."
Setelah dirasa cukup bermain-main, pria itu membalik tubuh kecil Ardi hanya dalam satu gerakan tangan. Ardi masih berusaha untuk terus melawan, akan tetapi tenaganya tidaklah sepadan. Ia terus memukul, menendang dan mencoba melepaskan diri dari penyekapan. Tapi, semuanya hanyalah kesia-siaan. Tenaganya tidak cukup kuat untuk melakukan perlawanan.
"Berhenti melawan!" hardik pria itu. "Rilekslah... permainan akan segera dimulai."
Ardi terus bergerak dan meronta. Meski kali ini lebih lemah karena tenaganya nyaris tak bersisa. Napasnya memburu, terengah-engah dan berseturu. Ia tak tahu perlakuan buruk macam apa lagi yang akan ia terima. Yang ia tahu saat ini hanyalah seluruh pakaiaannya telah dilucuti. Tak ingin ia pasrah, tapi keadaan memaksanya untuk menyerah.
Hingga akhirnya... sebuah lengkingan panjang dan memilukan mengoyak selaput nurani, menandai perbuatan terkutuk yang baru saja terjadi.
Sunyi.
Suasana stadium Gedung Basket GBK ramai dan dengan penonton yang datang penuh euforia. Mengingat, ini adalah pertandingan pertama IBL Tokopedia 2022 digelar dengan penonton setelah sempat ditangguhkan akibat badai omicron pandemi Covid-19. Sebagian tribun di arena indoor itu didominasi corak putih yang merupakan warna kebesaran SM Pertamina. Tak kurang dari 10.000 penonton hadir untuk menonton pertandingan. Para supporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim kesayangan. Ini adalah partai Bigmatch dari dua musuh bebuyutan yang merupakan tim unggulan Divisi Merah. Hari ini... kurang dari 5 menit lagi pertandingan antara Satria Muda Pertamina dan West Bandits Combiphar akan segera dimulai.. Sebagai juara bertahan musim sebelumnya, SM Pertamina tak ingin kehilangan muka di depan para pendukungnya pada pertandingan pertama. Banyak kalangan memprediksi persaingan kedua tim akan lebih ketat di musim ini. Mengingat West Bandits Combiphar telah banyak berbenah dengan mendatangkan beberapa w
Julian baru saja tiba di Rumah Sakit Premier Jatinegara. Adnan memberinya perintah untuk menjenguk seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Bocah malang bernama Ardi itu ditemukan tergeletak di sebuah halte bus di Jalan Otista semalam. Dan lagi-lagi lokasinya tak jauh dari kantor polisi. Kondisi Ardi masih memprihatinkan. Meski tidak terlihat luka fisik yang terekam, akan tetapi sorot mata yang buram itu menyiratkan beratnya penderitaan yang tengah ia tanggung. Peristiwa kelam itu membuat jiwanya terguncang. Dan mengembalikan kehidupannya seperti semula tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan izin dari orang tua Ardi, Julian lekas menghampiri bocah malang itu dan duduk di sisi luar ranjangnya. Ia terhenyak sejenak saat melihat tato yang tertera di kening sempit Ardi. 'Tanda yang sama,' pikirnya. Usai kembali terjaga, ia menatap Ardi dengan sorot penuh kelembutan. "Hai, Ardi!" Tak ada tanggapan. Bocah berambut ikal itu bergeming diam. Julian melir
Murid-murid SLB itu sedang berlatih untuk pertunjukkan yang akan diselenggarakan di sekolah mereka minggu depan. Mereka berlatih drama, menari dan juga menyanyi. Meski didekap keterbatasan, mereka tetap berlatih dengan semangat juang tinggi. Tak sedikit pun tertera rasa malu ataupun rendah diri. Tidak tampak rasa sungkan. Mereka hanya tertawa riang jika ada yang melakukan kesalahan. Di salah satu ruang kelas yang terletak paling ujung dari bangunan sekolah itu, tampak beberapa anak-anak sedang berlatih paduan suara. Mereka terus bernyanyi dengan semangat empat lima. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan ketidakharmonisan nada yang tercipta. Yang mereka pedulikan hanyalah keceriaan yang terumbar dalam tawa. Dan sepertinya hanya Nayla yang mengerti tangga nada di antara mereka semua. Sambil tetap tersenyum ia selalu berusaha mengimbangi nyanyian teman-temannya. Ia tetap menekan tuts-tuts piano penuh dengan semangat dan suka cita. "Que sera-sera... whatever will be... will be..." *
"Besok Mama berangkat kerja nggak?" Tanya Nayla. Ia dan ibunya sedang menyantap sarapan bersama, sebuah momen yang jarang terjadi di antara keduanya. "Uhmmmm... memangnya ada apa, Nak?" Zenith balik bertanya sambil menyentuh pipi puterinya. "Besok Nay ada pertunjukan di sekolah. Semua orang tua dan wali murid diminta untuk hadir," papar Nay sembari menyantap omelette sandwich-nya. Zenith terhenyak. Ia tidak ingin melukai perasaan Nayla. Tapi, besok adalah jadwal pertemuan keduanya dengan Rendy. Nayla mendesah tak sabar. Ia meletakkan pisau dan garpunya. "Ma..." Zenith tergagap. Tanpa sadar ia telah terbawa arus lamunan. Ia bingung. Ia masih belum bisa membuat keputusan. "Nanti sore Mama akan memberitahu jawabannya. Sekarang, habiskan dulu sarapan Nay. Oke?" tukas Zenith sembari membelai lembut dagu puterinya. Nayla terdiam. Tak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dan sesering itu pula ia dikecewakan. *** Ruangan itu memili
Sudah cukup lama Zenith tidak berkunjung ke rumah itu. Rumah berarsitektur Korea yang memiliki taman luas sarat dengan beragam jenis bunga, kolam dengan aneka jenis Pisces dan halaman berumput hijau yang menjadi tempat bermain beberapa jenis Aves.. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini terasa begitu nyaman asri. Wajar saja jika sang pemilik selalu betah berlama-lama seorang diri di dalamnya. Dari tempat berdirinya sekarang, Zenith melihat Albern sedang duduk di halaman belakang rumah sambil memainkan biola. Albern tampak begitu tenang dan damai. Beberapa burung merpati mengerumuninya, seolah enggan untuk menjauh darinya. Mereka mematuk remah-remah roti yang telah ia tebarkan sebelumnya. Dengan langkah perlahan, Zenith berjalan menghampiri Albern. Setiap langkahnya seolah mengikuti irama musik yang Albern mainkan. "Blue Danube ... Johann Straus," gumam Zenith saat ia sudah berada di dekat Albern. Albern berhenti menggesek biolanya, senyumnya terkembang penuh pesona. Ia lantas men
Ini adalah untuk pertama kalinya Adnan mendatangi sebuah salon kecantikan. Sebelumnya, selama 43 tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia mendatangi tempat perawatan tubuh semacam itu. Biasanya –untuk urusan penampilan, ia hanya datang ke barber shop yang ada di dekat rumahnya. Adnan memang memiliki kepribadian yang unik. Bisa dibilang, ia sama sekali tidak pernah peduli dengan penampilannya. Jambang dan kumisnya pun lebih sering dibiarkan tumbuh semrawut seperti halnya rumpun jewawut. Intinya, ia tidak terlalu menyukai kerapian dan segala sesuatu yang bersifat keteraturan. Ia adalah pemuja kebebasan. Tapi khusus untuk malam ini, ia memutuskan untuk sedikit mengubah haluan. Ia merasa ada sesuatu yang mesti ia lakukan untuk memudahkannya dalam melakukan pendekatan. Zenith adalah salah satu alasan dan tujuan dari hidupnya. Ia merasa perlu ada beberapa perubahan untuk bisa memiliki wanita yang menjadi pujaan hatinya. Perlu ada penyesuaian agar Zenith bisa memiliki ketertarikan lebih ke
Ringtone ponsel Ashmir berdering keras, membangunkannya dari tidur yang belum terlampau pulas. Ia baru saja terlelap. Dan sekarang, seseorang di luar sana memaksanya untuk terjaga dalam sekejap. Butuh waktu cukup lama bagi Ashmir untuk mencari ponselnya. Dengan mata terpejam ia terus meraba-raba, mencari ponsel yang terus bersuara "Uhmmm... siapa yang menelepon di pagi buta seperti ini." Dan ketika tangannya berhasil menjangkau ponsel, ia langsung menekan geser tombol berwarna merah di layarnya. Suara itu pun lenyap seketika. Suasana kembali senyap seperti semula. Namun tak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Dan kali ini terdengar semakin nyaring. Ashmir yang merasa kesal karena tidurnya terganggu lekas membanting bantalnya dan mengambil kembali ponsel itu. "Halo!" ucapnya lantang. "Siapa di sana?!" "Maaf jika aku membangunkan tidurmu," jawab suara di ujung saluran. "Aku ingin memberimu tugas tambahan hari ini." Ashmir terhenyak. Ia mengenal suara di ujung saluran. "Maaf
Sesi kedua pertunjukan seni itu akan segera digelar. Belasan anak-anak sudah berdiri di panggung. Mereka memakai pakaian serba putih dengan sehelai syal berwarna krem yang melingkar di leher. Masing-masing dari mereka menggenggam piring kecil berisi lilin di depan dada. Pancaran cahaya temaram memberi nuansa tersendiri di wajah innocent mereka. Hening sejenak. Semua tampak tegang. Tak terkecuali para orang tua. Hanya anak-anak pengidap down syndrome yang tetap terlihat tenang. Ekspresi wajah mereka tetap datar, seperti biasanya. Di sisi timur pentas, di belakang sebuah piano, Nayla berusaha untuk tersenyum agar tak terlihat tegang. Meski sebenarnya, tak ada seorang pun yang bisa melihat ekspresinya. Sebab wajahnya tertutup kap piano seutuhnya. Usai memastikan kesiapan para peserta choir , sang dirijen segera memberikan aba-aba. Ia menggerak-gerakkan tangan kirinya dan memukul simbal dengan tangan kanannya. Kode audio itu dikhususkan bagi Nayla dan penyandang tunanetra lainnya. 'Tin
Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti
Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam
Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.
Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia
Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku
Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d
Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan
AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s
An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar