Perlahan tapi pasti, seiring detak waktu yang enggan berhenti. Sang Surya menenggelamkan diri. Suasana menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi kelebat burung camar yang terbang ke sana ke mari. Hanya terdengar debur ombak yang memecah keheningan sesekali.
Di bawah langit malam yang jauh dari gegap gempita perkotaan. Di mana cahaya bintang adalah satu-satunya penerangan. Dua anak manusia berbaring di atas pasir pantai, berdampingan. Sesekali angin malam berhembus kencang. Sehingga membuat mereka saling menghangatkan dalam satu pelukan.
"Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita," gumam Albern.
Zenith terkekeh. "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea."
Krimea. Salah satu tonjolan kecil di Eropa Tenggara. Di sanalah mereka berkenalan dengan Bora yang dingin dan kering. Albern masih ingat betul dengan wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Mereka mengunjunginya dua tahun lalu.
Setelah cukup lama terdiam dalam lamunan. Albern berkata, "Apa kamu melihatnya?"
"Apa?"
"Tepat di atas sana. Bintang merah yang paling terang."
"Maksudmu Venus?" tanya Zenith naïf sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
"Venus bukan bintang!"
"Huft... kamu ini. Baiklah akan kucari lagi."
Zenith lantas memfokuskan indera penglihatannya, membuat lensa matanya berakomodasi berkali-kali lipat tipisnya. Ia mengamati setiap sisi angkasa raya, mencari-cari bintang merah di tengah lebatnya hutan cahaya di sepanjang cakrawala. Lalu pandangannya naik semakin ke atas, coba untuk menjamah bagian lain angkasa raya. Namun, bintang merah itu tak kunjung ia temukan. Pandangannya hanya menangkap konstelasi Crux di selatan dan Ursa Mayor di utara. "Apa bintang itu bagian dari kostelasi?"
Albern mengangguk pelan. Pandangannya tetap tertuju pada cahaya bintang yang bertebaran. "Antares..."
"Apa?" seru Zenith impulsif.
Albern mengangkat tangan kanannya tepat di atas kepala, menunjuk bintang yang paling terang. "Bintang merah itu. Tepat di perut Scorpio, di sebelah barat Sagitarius. Itulah Antares. Ia adalah primadona di bulan September. Meski begitu ia bukan yang terpanas."
Zenith mengangguk takzim. Akhirnya ia bisa menemukan bintang merah itu. Tapi, ia masih penasaran dengan hal lain. "Lalu bintang apa yang terpanas?"
"Spica adalah salah satunya. Bintang berwarna kebiru-biruan pada konstelasi Virgo. Tapi sayangnya kita butuh teleskop untuk bisa melihatnya dengan jelas."
Zenith tersenyum tipis. Albern selalu membuatnya terkesan dengan segala pesona dan kecerdasan intelektualnya. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Katakanlah."
"Apa yang membuatmu menguasai banyak hal?"
Sesaat Albern menatap Zenith sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke langit luas. "Aku terlahir dari kebencian, tumbuh besar dalam kebohongan dan mungkin akan mati dalam keterasingan. Aku menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pelarian. Obat dari segala duka lara dan penderitaan. Dan hanya di bawah keremangan cahaya malam, aku bisa berterus terang."
***
Malam semakin larut. Hawa dingin perlahan kian menusuk. Sisa hujan beberapa jam lalu sepertinya masih meninggalkan bekas yang terekam. Tak ada yang terdengar selain keheningan. Setiap sudut kota seperti dihantui kesenyapan. Tak terkecuali suasana di dalam rumah itu.
Usai pergulatan yang cukup melelahkan, pria itu berjalan tersaruk-saruk menuju dapur. Ia mengambil sebotol air mineral dan lekas menenggaknya. Ia kehausan, permainannya kali ini terasa sangat melelahkan. Ia lalu mengambil sekaleng coke dan berjalan menuju ruang kerja rahasianya.
Pria itu segera menyalakan komputer. Ia membuka folder berjudul 'VWV' –Very Wanted Victims–. Folder itu berisi daftar nama dan informasi para calon korbannya. Ia kemudian membuka folder lanjutan berjudul 'Ardi Mulya Lesmana'.
Di dalam folder itu terdapat foto-foto seorang anak dari berbagai sudut pandang. Selain foto, juga terdapat file-file lain berisi informasi detail tentang anak itu. Mulai dari nama keluarga, hal-hal yang dibenci dan disukai serta informasi lain yang ia butuhkan. Sambil membaca setiap file, ia membuka kaleng coke dan meminumnya.
Di tengah keheningan, ia mendengar rintihan tangis dari ruang eksekusi. 'Rupanya dia sudah bangun', pikirnya. Ia menuju ruangan itu dan memakai kembali sarung tangannya sebelum mengambil pakaian korbannya.
"Cepat pakai kembali pakaianmu, Rendy," ujarnya sembari menyodorkan pakaian itu kepada sosok kecil yang meringkuk telanjang di sudut ruang. Seberkas cahaya lampu dari ruangan sebelah menyorot senyum bengisnya. "Kamu akan segera pulang," tukasnya sambil mengusap lembut kepala bocah malang itu dan tersenyum bengis.
Udara siang di luar cukup terik. Tapi tidak dengan suasana di rumah itu. Terasa sangat dingin dan beku. Beberapa orang yang berkumpul di ruang tengah terdiam dan menundukkan pandangan, sementara yang lain sibuk menangis dan menyesalkan takdir buruk yang datang menghampiri. Tangis mereka terdengar hingga ke jalan sempit yang dipenuhi sepeda motor dan mobil yang terparkir. Para pengendara yang melintas menoleh dengan pandangan sarat tanya ke rumah berhalaman sempit itu, beberapa di antaranya berhenti dan bertanya langsung kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut. "Ada apa ini Pak kok rame-rame?" tanya seorang pengendara motor. "Korban sodomi, Mas," jawab lelaki tua yang menata deretan sepeda motor berpelat hitam dan merah yang terparkir di depan rumah itu. Pengendara sepeda motor itu tercenung sebentar, melihat kerumunan orang yang hilir-mudik di rumah itu sebelum akhirnya menarik tuas gasnya. Di dalam rumah, Zenith dan beberapa rekannya dari KPAN sedang berusaha menenangka
Suasana stadium Gedung Basket GBK ramai dan dengan penonton yang datang penuh euforia. Mengingat, ini adalah pertandingan pertama IBL Tokopedia 2022 digelar dengan penonton setelah sempat ditangguhkan akibat badai omicron pandemi Covid-19. Sebagian tribun di arena indoor itu didominasi corak putih yang merupakan warna kebesaran SM Pertamina. Tak kurang dari 10.000 penonton hadir untuk menonton pertandingan. Para supporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim kesayangan. Ini adalah partai Bigmatch dari dua musuh bebuyutan yang merupakan tim unggulan Divisi Merah. Hari ini... kurang dari 5 menit lagi pertandingan antara Satria Muda Pertamina dan West Bandits Combiphar akan segera dimulai.. Sebagai juara bertahan musim sebelumnya, SM Pertamina tak ingin kehilangan muka di depan para pendukungnya pada pertandingan pertama. Banyak kalangan memprediksi persaingan kedua tim akan lebih ketat di musim ini. Mengingat West Bandits Combiphar telah banyak berbenah dengan mendatangkan beberapa w
Julian baru saja tiba di Rumah Sakit Premier Jatinegara. Adnan memberinya perintah untuk menjenguk seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Bocah malang bernama Ardi itu ditemukan tergeletak di sebuah halte bus di Jalan Otista semalam. Dan lagi-lagi lokasinya tak jauh dari kantor polisi. Kondisi Ardi masih memprihatinkan. Meski tidak terlihat luka fisik yang terekam, akan tetapi sorot mata yang buram itu menyiratkan beratnya penderitaan yang tengah ia tanggung. Peristiwa kelam itu membuat jiwanya terguncang. Dan mengembalikan kehidupannya seperti semula tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan izin dari orang tua Ardi, Julian lekas menghampiri bocah malang itu dan duduk di sisi luar ranjangnya. Ia terhenyak sejenak saat melihat tato yang tertera di kening sempit Ardi. 'Tanda yang sama,' pikirnya. Usai kembali terjaga, ia menatap Ardi dengan sorot penuh kelembutan. "Hai, Ardi!" Tak ada tanggapan. Bocah berambut ikal itu bergeming diam. Julian melir
Murid-murid SLB itu sedang berlatih untuk pertunjukkan yang akan diselenggarakan di sekolah mereka minggu depan. Mereka berlatih drama, menari dan juga menyanyi. Meski didekap keterbatasan, mereka tetap berlatih dengan semangat juang tinggi. Tak sedikit pun tertera rasa malu ataupun rendah diri. Tidak tampak rasa sungkan. Mereka hanya tertawa riang jika ada yang melakukan kesalahan. Di salah satu ruang kelas yang terletak paling ujung dari bangunan sekolah itu, tampak beberapa anak-anak sedang berlatih paduan suara. Mereka terus bernyanyi dengan semangat empat lima. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan ketidakharmonisan nada yang tercipta. Yang mereka pedulikan hanyalah keceriaan yang terumbar dalam tawa. Dan sepertinya hanya Nayla yang mengerti tangga nada di antara mereka semua. Sambil tetap tersenyum ia selalu berusaha mengimbangi nyanyian teman-temannya. Ia tetap menekan tuts-tuts piano penuh dengan semangat dan suka cita. "Que sera-sera... whatever will be... will be..." *
"Besok Mama berangkat kerja nggak?" Tanya Nayla. Ia dan ibunya sedang menyantap sarapan bersama, sebuah momen yang jarang terjadi di antara keduanya. "Uhmmmm... memangnya ada apa, Nak?" Zenith balik bertanya sambil menyentuh pipi puterinya. "Besok Nay ada pertunjukan di sekolah. Semua orang tua dan wali murid diminta untuk hadir," papar Nay sembari menyantap omelette sandwich-nya. Zenith terhenyak. Ia tidak ingin melukai perasaan Nayla. Tapi, besok adalah jadwal pertemuan keduanya dengan Rendy. Nayla mendesah tak sabar. Ia meletakkan pisau dan garpunya. "Ma..." Zenith tergagap. Tanpa sadar ia telah terbawa arus lamunan. Ia bingung. Ia masih belum bisa membuat keputusan. "Nanti sore Mama akan memberitahu jawabannya. Sekarang, habiskan dulu sarapan Nay. Oke?" tukas Zenith sembari membelai lembut dagu puterinya. Nayla terdiam. Tak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dan sesering itu pula ia dikecewakan. *** Ruangan itu memili
Sudah cukup lama Zenith tidak berkunjung ke rumah itu. Rumah berarsitektur Korea yang memiliki taman luas sarat dengan beragam jenis bunga, kolam dengan aneka jenis Pisces dan halaman berumput hijau yang menjadi tempat bermain beberapa jenis Aves.. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini terasa begitu nyaman asri. Wajar saja jika sang pemilik selalu betah berlama-lama seorang diri di dalamnya. Dari tempat berdirinya sekarang, Zenith melihat Albern sedang duduk di halaman belakang rumah sambil memainkan biola. Albern tampak begitu tenang dan damai. Beberapa burung merpati mengerumuninya, seolah enggan untuk menjauh darinya. Mereka mematuk remah-remah roti yang telah ia tebarkan sebelumnya. Dengan langkah perlahan, Zenith berjalan menghampiri Albern. Setiap langkahnya seolah mengikuti irama musik yang Albern mainkan. "Blue Danube ... Johann Straus," gumam Zenith saat ia sudah berada di dekat Albern. Albern berhenti menggesek biolanya, senyumnya terkembang penuh pesona. Ia lantas men
Ini adalah untuk pertama kalinya Adnan mendatangi sebuah salon kecantikan. Sebelumnya, selama 43 tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia mendatangi tempat perawatan tubuh semacam itu. Biasanya –untuk urusan penampilan, ia hanya datang ke barber shop yang ada di dekat rumahnya. Adnan memang memiliki kepribadian yang unik. Bisa dibilang, ia sama sekali tidak pernah peduli dengan penampilannya. Jambang dan kumisnya pun lebih sering dibiarkan tumbuh semrawut seperti halnya rumpun jewawut. Intinya, ia tidak terlalu menyukai kerapian dan segala sesuatu yang bersifat keteraturan. Ia adalah pemuja kebebasan. Tapi khusus untuk malam ini, ia memutuskan untuk sedikit mengubah haluan. Ia merasa ada sesuatu yang mesti ia lakukan untuk memudahkannya dalam melakukan pendekatan. Zenith adalah salah satu alasan dan tujuan dari hidupnya. Ia merasa perlu ada beberapa perubahan untuk bisa memiliki wanita yang menjadi pujaan hatinya. Perlu ada penyesuaian agar Zenith bisa memiliki ketertarikan lebih ke
Ringtone ponsel Ashmir berdering keras, membangunkannya dari tidur yang belum terlampau pulas. Ia baru saja terlelap. Dan sekarang, seseorang di luar sana memaksanya untuk terjaga dalam sekejap. Butuh waktu cukup lama bagi Ashmir untuk mencari ponselnya. Dengan mata terpejam ia terus meraba-raba, mencari ponsel yang terus bersuara "Uhmmm... siapa yang menelepon di pagi buta seperti ini." Dan ketika tangannya berhasil menjangkau ponsel, ia langsung menekan geser tombol berwarna merah di layarnya. Suara itu pun lenyap seketika. Suasana kembali senyap seperti semula. Namun tak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Dan kali ini terdengar semakin nyaring. Ashmir yang merasa kesal karena tidurnya terganggu lekas membanting bantalnya dan mengambil kembali ponsel itu. "Halo!" ucapnya lantang. "Siapa di sana?!" "Maaf jika aku membangunkan tidurmu," jawab suara di ujung saluran. "Aku ingin memberimu tugas tambahan hari ini." Ashmir terhenyak. Ia mengenal suara di ujung saluran. "Maaf