Share

Psalm V

last update Last Updated: 2021-10-30 07:38:42

Perlahan tapi pasti, seiring detak waktu yang enggan berhenti. Sang Surya menenggelamkan diri. Suasana menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi kelebat burung camar yang terbang ke sana ke mari. Hanya terdengar debur ombak yang memecah keheningan sesekali.

Di bawah langit malam yang jauh dari gegap gempita perkotaan. Di mana cahaya bintang adalah satu-satunya penerangan. Dua anak manusia berbaring di atas pasir pantai, berdampingan. Sesekali angin malam berhembus kencang. Sehingga membuat mereka saling menghangatkan dalam satu pelukan.

"Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita," gumam Albern.

Zenith terkekeh. "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea."

Krimea. Salah satu tonjolan kecil di Eropa Tenggara. Di sanalah mereka berkenalan dengan Bora yang dingin dan kering. Albern masih ingat betul dengan wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Mereka mengunjunginya dua tahun lalu.

Setelah cukup lama terdiam dalam lamunan. Albern berkata, "Apa kamu melihatnya?"

"Apa?"

"Tepat di atas sana. Bintang merah yang paling terang."

"Maksudmu Venus?" tanya Zenith naïf sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

"Venus bukan bintang!"

"Huft... kamu ini. Baiklah akan kucari lagi."

Zenith lantas memfokuskan indera penglihatannya, membuat lensa matanya berakomodasi berkali-kali lipat tipisnya. Ia mengamati setiap sisi angkasa raya, mencari-cari bintang merah di tengah lebatnya hutan cahaya di sepanjang cakrawala. Lalu pandangannya naik semakin ke atas, coba untuk menjamah bagian lain angkasa raya. Namun, bintang merah itu tak kunjung ia temukan. Pandangannya hanya menangkap konstelasi Crux di selatan dan Ursa Mayor di utara. "Apa bintang itu bagian dari kostelasi?"

Albern mengangguk pelan. Pandangannya tetap tertuju pada cahaya bintang yang bertebaran. "Antares..."

"Apa?" seru Zenith impulsif.

Albern mengangkat tangan kanannya tepat di atas kepala, menunjuk bintang yang paling terang. "Bintang merah itu. Tepat di perut Scorpio, di sebelah barat Sagitarius. Itulah Antares. Ia adalah primadona di bulan September. Meski begitu ia bukan yang terpanas."

Zenith mengangguk takzim. Akhirnya ia bisa menemukan bintang merah itu. Tapi, ia masih penasaran dengan hal lain. "Lalu bintang apa yang terpanas?"

"Spica adalah salah satunya. Bintang berwarna kebiru-biruan pada konstelasi Virgo. Tapi sayangnya kita butuh teleskop untuk bisa melihatnya dengan jelas."

Zenith tersenyum tipis. Albern selalu membuatnya terkesan dengan segala pesona dan kecerdasan intelektualnya. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Katakanlah."

"Apa yang membuatmu menguasai banyak hal?"

Sesaat Albern menatap Zenith sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke langit luas. "Aku terlahir dari kebencian, tumbuh besar dalam kebohongan dan mungkin akan mati dalam keterasingan. Aku menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pelarian. Obat dari segala duka lara dan penderitaan. Dan hanya di bawah keremangan cahaya malam, aku bisa berterus terang."

***

Malam semakin larut. Hawa dingin perlahan kian menusuk. Sisa hujan beberapa jam lalu sepertinya masih meninggalkan bekas yang terekam. Tak ada yang terdengar selain keheningan. Setiap sudut kota seperti dihantui kesenyapan. Tak terkecuali suasana di dalam rumah itu.

Usai pergulatan yang cukup melelahkan, pria itu berjalan tersaruk-saruk menuju dapur. Ia mengambil sebotol air mineral dan lekas menenggaknya. Ia kehausan, permainannya kali ini terasa sangat melelahkan. Ia lalu mengambil sekaleng coke dan berjalan menuju ruang kerja rahasianya.

Pria itu segera menyalakan komputer. Ia membuka folder berjudul 'VWV' –Very Wanted Victims–. Folder itu berisi daftar nama dan informasi para calon korbannya. Ia kemudian membuka folder lanjutan berjudul 'Ardi Mulya Lesmana'.

Di dalam folder itu terdapat foto-foto seorang anak dari berbagai sudut pandang. Selain foto, juga terdapat file-file lain berisi informasi detail tentang anak itu. Mulai dari nama keluarga, hal-hal yang dibenci dan disukai serta informasi lain yang ia butuhkan. Sambil membaca setiap file, ia membuka kaleng coke dan meminumnya.

Di tengah keheningan, ia mendengar rintihan tangis dari ruang eksekusi. 'Rupanya dia sudah bangun', pikirnya. Ia menuju ruangan itu dan memakai kembali sarung tangannya sebelum mengambil pakaian korbannya.

"Cepat pakai kembali pakaianmu, Rendy," ujarnya sembari menyodorkan pakaian itu kepada sosok kecil yang meringkuk telanjang di sudut ruang. Seberkas cahaya lampu dari ruangan sebelah menyorot senyum bengisnya. "Kamu akan segera pulang," tukasnya sambil mengusap lembut kepala bocah malang itu dan tersenyum bengis.

Related chapters

  • Ellipsis   Psalm VI

    Udara siang di luar cukup terik. Tapi tidak dengan suasana di rumah itu. Terasa sangat dingin dan beku. Beberapa orang yang berkumpul di ruang tengah terdiam dan menundukkan pandangan, sementara yang lain sibuk menangis dan menyesalkan takdir buruk yang datang menghampiri. Tangis mereka terdengar hingga ke jalan sempit yang dipenuhi sepeda motor dan mobil yang terparkir. Para pengendara yang melintas menoleh dengan pandangan sarat tanya ke rumah berhalaman sempit itu, beberapa di antaranya berhenti dan bertanya langsung kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut. "Ada apa ini Pak kok rame-rame?" tanya seorang pengendara motor. "Korban sodomi, Mas," jawab lelaki tua yang menata deretan sepeda motor berpelat hitam dan merah yang terparkir di depan rumah itu. Pengendara sepeda motor itu tercenung sebentar, melihat kerumunan orang yang hilir-mudik di rumah itu sebelum akhirnya menarik tuas gasnya. Di dalam rumah, Zenith dan beberapa rekannya dari KPAN sedang berusaha menenangka

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm VII

    Suasana stadium Gedung Basket GBK ramai dan dengan penonton yang datang penuh euforia. Mengingat, ini adalah pertandingan pertama IBL Tokopedia 2022 digelar dengan penonton setelah sempat ditangguhkan akibat badai omicron pandemi Covid-19. Sebagian tribun di arena indoor itu didominasi corak putih yang merupakan warna kebesaran SM Pertamina. Tak kurang dari 10.000 penonton hadir untuk menonton pertandingan. Para supporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim kesayangan. Ini adalah partai Bigmatch dari dua musuh bebuyutan yang merupakan tim unggulan Divisi Merah. Hari ini... kurang dari 5 menit lagi pertandingan antara Satria Muda Pertamina dan West Bandits Combiphar akan segera dimulai.. Sebagai juara bertahan musim sebelumnya, SM Pertamina tak ingin kehilangan muka di depan para pendukungnya pada pertandingan pertama. Banyak kalangan memprediksi persaingan kedua tim akan lebih ketat di musim ini. Mengingat West Bandits Combiphar telah banyak berbenah dengan mendatangkan beberapa w

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm VIII

    Julian baru saja tiba di Rumah Sakit Premier Jatinegara. Adnan memberinya perintah untuk menjenguk seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Bocah malang bernama Ardi itu ditemukan tergeletak di sebuah halte bus di Jalan Otista semalam. Dan lagi-lagi lokasinya tak jauh dari kantor polisi. Kondisi Ardi masih memprihatinkan. Meski tidak terlihat luka fisik yang terekam, akan tetapi sorot mata yang buram itu menyiratkan beratnya penderitaan yang tengah ia tanggung. Peristiwa kelam itu membuat jiwanya terguncang. Dan mengembalikan kehidupannya seperti semula tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan izin dari orang tua Ardi, Julian lekas menghampiri bocah malang itu dan duduk di sisi luar ranjangnya. Ia terhenyak sejenak saat melihat tato yang tertera di kening sempit Ardi. 'Tanda yang sama,' pikirnya. Usai kembali terjaga, ia menatap Ardi dengan sorot penuh kelembutan. "Hai, Ardi!" Tak ada tanggapan. Bocah berambut ikal itu bergeming diam. Julian melir

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm IX

    Murid-murid SLB itu sedang berlatih untuk pertunjukkan yang akan diselenggarakan di sekolah mereka minggu depan. Mereka berlatih drama, menari dan juga menyanyi. Meski didekap keterbatasan, mereka tetap berlatih dengan semangat juang tinggi. Tak sedikit pun tertera rasa malu ataupun rendah diri. Tidak tampak rasa sungkan. Mereka hanya tertawa riang jika ada yang melakukan kesalahan. Di salah satu ruang kelas yang terletak paling ujung dari bangunan sekolah itu, tampak beberapa anak-anak sedang berlatih paduan suara. Mereka terus bernyanyi dengan semangat empat lima. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan ketidakharmonisan nada yang tercipta. Yang mereka pedulikan hanyalah keceriaan yang terumbar dalam tawa. Dan sepertinya hanya Nayla yang mengerti tangga nada di antara mereka semua. Sambil tetap tersenyum ia selalu berusaha mengimbangi nyanyian teman-temannya. Ia tetap menekan tuts-tuts piano penuh dengan semangat dan suka cita. "Que sera-sera... whatever will be... will be..." *

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm X

    "Besok Mama berangkat kerja nggak?" Tanya Nayla. Ia dan ibunya sedang menyantap sarapan bersama, sebuah momen yang jarang terjadi di antara keduanya. "Uhmmmm... memangnya ada apa, Nak?" Zenith balik bertanya sambil menyentuh pipi puterinya. "Besok Nay ada pertunjukan di sekolah. Semua orang tua dan wali murid diminta untuk hadir," papar Nay sembari menyantap omelette sandwich-nya. Zenith terhenyak. Ia tidak ingin melukai perasaan Nayla. Tapi, besok adalah jadwal pertemuan keduanya dengan Rendy. Nayla mendesah tak sabar. Ia meletakkan pisau dan garpunya. "Ma..." Zenith tergagap. Tanpa sadar ia telah terbawa arus lamunan. Ia bingung. Ia masih belum bisa membuat keputusan. "Nanti sore Mama akan memberitahu jawabannya. Sekarang, habiskan dulu sarapan Nay. Oke?" tukas Zenith sembari membelai lembut dagu puterinya. Nayla terdiam. Tak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dan sesering itu pula ia dikecewakan. *** Ruangan itu memili

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XI

    Sudah cukup lama Zenith tidak berkunjung ke rumah itu. Rumah berarsitektur Korea yang memiliki taman luas sarat dengan beragam jenis bunga, kolam dengan aneka jenis Pisces dan halaman berumput hijau yang menjadi tempat bermain beberapa jenis Aves.. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini terasa begitu nyaman asri. Wajar saja jika sang pemilik selalu betah berlama-lama seorang diri di dalamnya. Dari tempat berdirinya sekarang, Zenith melihat Albern sedang duduk di halaman belakang rumah sambil memainkan biola. Albern tampak begitu tenang dan damai. Beberapa burung merpati mengerumuninya, seolah enggan untuk menjauh darinya. Mereka mematuk remah-remah roti yang telah ia tebarkan sebelumnya. Dengan langkah perlahan, Zenith berjalan menghampiri Albern. Setiap langkahnya seolah mengikuti irama musik yang Albern mainkan. "Blue Danube ... Johann Straus," gumam Zenith saat ia sudah berada di dekat Albern. Albern berhenti menggesek biolanya, senyumnya terkembang penuh pesona. Ia lantas men

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XII

    Ini adalah untuk pertama kalinya Adnan mendatangi sebuah salon kecantikan. Sebelumnya, selama 43 tahun hidupnya, tak pernah sekali pun ia mendatangi tempat perawatan tubuh semacam itu. Biasanya –untuk urusan penampilan, ia hanya datang ke barber shop yang ada di dekat rumahnya. Adnan memang memiliki kepribadian yang unik. Bisa dibilang, ia sama sekali tidak pernah peduli dengan penampilannya. Jambang dan kumisnya pun lebih sering dibiarkan tumbuh semrawut seperti halnya rumpun jewawut. Intinya, ia tidak terlalu menyukai kerapian dan segala sesuatu yang bersifat keteraturan. Ia adalah pemuja kebebasan. Tapi khusus untuk malam ini, ia memutuskan untuk sedikit mengubah haluan. Ia merasa ada sesuatu yang mesti ia lakukan untuk memudahkannya dalam melakukan pendekatan. Zenith adalah salah satu alasan dan tujuan dari hidupnya. Ia merasa perlu ada beberapa perubahan untuk bisa memiliki wanita yang menjadi pujaan hatinya. Perlu ada penyesuaian agar Zenith bisa memiliki ketertarikan lebih ke

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XIII

    Ringtone ponsel Ashmir berdering keras, membangunkannya dari tidur yang belum terlampau pulas. Ia baru saja terlelap. Dan sekarang, seseorang di luar sana memaksanya untuk terjaga dalam sekejap. Butuh waktu cukup lama bagi Ashmir untuk mencari ponselnya. Dengan mata terpejam ia terus meraba-raba, mencari ponsel yang terus bersuara "Uhmmm... siapa yang menelepon di pagi buta seperti ini." Dan ketika tangannya berhasil menjangkau ponsel, ia langsung menekan geser tombol berwarna merah di layarnya. Suara itu pun lenyap seketika. Suasana kembali senyap seperti semula. Namun tak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Dan kali ini terdengar semakin nyaring. Ashmir yang merasa kesal karena tidurnya terganggu lekas membanting bantalnya dan mengambil kembali ponsel itu. "Halo!" ucapnya lantang. "Siapa di sana?!" "Maaf jika aku membangunkan tidurmu," jawab suara di ujung saluran. "Aku ingin memberimu tugas tambahan hari ini." Ashmir terhenyak. Ia mengenal suara di ujung saluran. "Maaf

    Last Updated : 2021-10-30

Latest chapter

  • Ellipsis   Psal XLVI

    Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti

  • Ellipsis   Psalm XLV

    Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam

  • Ellipsis   Psalm XLIV

    Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.

  • Ellipsis   Psalm XLIII

    Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia

  • Ellipsis   Psalm XLI

    Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku

  • Ellipsis   Psalm XL

    Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d

  • Ellipsis   Psalm XXXIX

    Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan

  • Ellipsis   Psalm XXXVIII

    AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s

  • Ellipsis   Psalm XXXVII

    An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar

DMCA.com Protection Status