Albern baru saja tiba di kantornya. Sebagai seorang konsultan real estate, ia telah menangani banyak persoalan pelik yang dihadapi kliennya. Tak jarang, solusi yang ia tawarkan sering menjadi konklusi yang dianggap sangat brilian oleh orang-orang yang berada di ruang lingkup pekerjaannya. Ia adalah pembuat jalan, sementara para developer adalah kendaraan yang melintas di atasnya.
Hari ini sebenarnya Albern memiliki beberapa jadwal meeting dengan para kliennya. Namun, sebagian di-reschedule karena ia lebih memilih untuk menjemput Zenith di bandara. Meski pada akhirnya, Zenith tidak menghargai pengorbanannya.
"Selamat siang, Pak!" sapa Laika, sekretarisnya. Wanita berambut bouffant hitam dan berkulit cokelat itu tersenyum sembari menundukkan wajahnya yang lonjong.
Tak ada tanggapan. Pikiran Albern benar-benar sedang kacau sekarang. Ia terus berjalan menyusuri koridor kantornya yang beraksen victoria.
Laika mengikuti Albern dan berusaha mengimbangi langkahnya, "Anda dari mana saja? Ada banyak orang yang ingin bertemu dengan Anda," tambahnya tergesa-gesa.
Albern berhenti dan menatap Laika dengan wajah merah padam, "Aku menggaji kamu untuk menjadi sekretarisku, bukan ibuku. Ngerti kamu?!"
"Maafkan saya, Pak," sesal Laika dengan kepala tertunduk.
"Apa mereka masih menunggu?" tanya Albern seolah tidak peduli dengan penyesalan sekretarisnya.
"Tinggal satu orang, Pak."
"Suruh dia datang ke ruanganku."
"Baik, Pak."
Dengan setengah berlari Laika bergegas melaksanakan perintah atasannya.
"Laika!" seru Albern. Ia menunggu hingga Laika berhenti dan berbalik. "Apa kamu sudah makan siang?"
Laika diam sebentar sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya, "Belum, Pak."
"Makan sianglah dulu. Setelah itu, baru kamu minta orang itu untuk datang ke ruanganku."
Laika mengangguk dengan mulut separuh menganga.
Beragam rasa sudah Laika kecap selama sembilan tahun bekerja di perusahaan itu. Dan selama itu pula Albern menjadi atasannya. Ia membenci sekaligus menyukai Albern dalam kadar yang sama, bertemu di titik equilibrium yang setara.
***
Deasy mengamati setiap inci tubuh Zenith saat mereka bertemu di lobi. Ia terkejut bukan main melihat Zenith datang ke kantor dengan badan basah kuyup dan rambut berantakan.
"Aku naik ojek," terang Zenith. Ia terlihat kesal dengan cara Deasy menatapnya. "Apa itu cukup untuk menjawab keherananmu?"
Deasy tersenyum simpul. Pipinya memerah sebab menahan malu. "Tapi, bukannya tadi Anda bilang kalau sudah ada orang yang menjemput Anda? Dan bukankah bandara cukup jauh kalau harus naik ojek?"
"Apa tadi aku bilang kalau aku naik ojek dari bandara?" Zenith balik bertanya dan menatap Deasy lekat-lekat.
Senyum Deasy terkembang lagi sehingga membuat wajahnya yang bulat tampak bersudut.
Sekilas Zenith melihat sekitarnya. Beberapa orang memandangnya dengan tatapan aneh. "Apa aku bisa titip koperku sebentar? Aku mau ke toilet, mengganti pakaian dan merapikan diri."
"Tentu saja," sahut Deasy sumringah sembari menyambar koper Zenith. "Oya, Pak Adnan menunggu Anda di ruangannya."
"Bukan aku yang dia tunggu, tapi laporanku," tukas Zenith sambil berlalu pergi.
***
Nayla tampak sibuk dengan tumpukan kertas warna-warni di hadapannya. Dengan bantuan Hani, ia membuat beberapa ornamen origami untuk ibunya. Hani membantunya dalam menentukan kombinasi warna. Maklum saja, Nayla adalah penyandang tunanetra. Hal itu bukan hanya membuat ia tidak bisa membedakan warna, tapi juga melihat lingkungan sekitarnya.
"Mama beneran pulang hari ini kan, Mbak?" tanya Nayla sambil melipat kertasnya yang sudah hampir menyerupai bentuk angsa.
"Insyaallah iya, Non. Soalnya kemarin ibu bilang mau pulang hari ini."
"Huuuft. Syukur, deh," sahut Nayla lega, "Oya, kira-kira mama bakalan suka gak ya, Mbak?"
"Sudah pasti itu, Non. Wong semuanya kelihatan bagus, kok."
Nayla tersenyum tipis. Dari sepasang kelopak mata yang kosong itu tersembul secercah harapan. "Semoga saja mama pulang tepat waktu," lirihnya.
***
Albern terlihat santai ketika berbincang-bincang dengan klien barunya, Adrianus Warrouw. Adrian datang jauh-jauh dari Manado untuk mengadu peruntungan di Jakarta. Ia bertekad menaklukkan setiap jengkal tanah di ibukota.
Setelah dirasa cukup berbasa-basi, Albern akhirnya membahas pokok permasalahan yang sedang Adrian hadapi, "Sudah berapa lama Anda bergelut di bidang ini?"
"Kurang lebih empat tahun."
"Berapa total aset yang Anda miliki saat ini?"
"Sekitar 20 Milyar."
"20 Milyar?" tanya Albern dengan nada meremehkan. "Lantas, gedung seperti apa yang ingin Anda bangun?"
"Sebuah komplek apartemen dan kondominium. Saya sudah menemukan lokasinya. Sangat strategis!"
Albern tersenyum tipis. "Sudah berapa banyak konsultan dan bankir yang Anda datangi sebelum menemui saya?"
"Saya rasa dua belas," jawab Adrian kikuk.
Albern memajukan badannya. Sepasang matanya yang buram menatap Adrian tajam. "Apa yang mereka katakan?"
Mimik muka Adrian berubah pias dan bias. Pucat serupa mayat yang dihias paksa sebelum dimasukkan ke dalam keranda. "Semuanya menyarankan agar saya kembali ke Manado dan membangun rumah kos atau perumahan murah."
"Dan sepertinya jawaban saya juga sama dengan mereka."
"Apa?! Apa Anda juga meremehkan kapabilitas saya?"
"Saya tidak meremehkan Anda, tapi... kekuatan finansial yang Anda miliki," balas Albern tenang. "Perlu anda tahu, Jakarta bukan Manado. Anda belum memiliki relasi dan koneksi yang kuat. Anda butuh lebih dari sekedar keberanian untuk bisa berdiri tegak di kota ini."
"Tapi, saya bisa meminjam dana dari bank untuk menutupi biaya yang dibutuhkan."
"Dan Anda sudah mencobanya," sahut Albern. " Tidak akan ada bank yang mau mendanai mega proyek dari developer belum berpengalaman seperti Anda."
Adrian naik pitam. Wajah dan kedua telinganya memerah menahan amarah. Ini adalah kali kesekian ia direndahkan oleh orang-orang sok pintar di Jakarta. Ia mendengus gusar. "Sudah cukup penghinaan ini. Saya menyesal telah membuang waktu dengan datang menemui Anda," ujarnya sambil membereskan beberapa berkas yang tergeletak di meja.
Albern bahkan belum sedikit pun menyentuh dan membaca berkas-berkas itu. Ia hanya bisa tersenyum simpul melihat tingkah temperamental tamunya itu. Meski begitu, ia bisa melihat ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Sesuatu yang patut diapresiasi dan dijadikan bahan pertimbangan.
"Saya tidak akan pernah mundur. Permisi!" tukas Adrian sebelum beranjak pergi.
"Ada sebuah gedung tua bekas perkantoran di Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru," kata Albern lantang. Ia baru melanjutkan kalimatnya ketika Adrian berhenti melangkah. "Saya rasa uang yang Anda miliki cukup untuk biaya pengambil-alihan dan pemugaran gedung itu. Anda bisa mengubahnya menjadi hotel bintang dua. Anggap saja ini sebagai pijakan pertama Anda di Jakarta."
Sepertinya Adrian tahu lokasi gedung itu. Mungkin itu adalah bangunan tua yang ia lihat beberapa hari yang lalu. Lokasinya memang cukup strategis. Ia lantas berbalik dan berkata, "Apakah Anda bisa..."
"Saya pastikan Anda akan bertemu dengan pemiliknya minggu depan," potong Albern. Kalimatnya terdengar sarat dengan kepastian.
Raut wajah Adrian seketika berubah ceria. "Tidak salah saya menemui Anda. Terima kasih."
***
"Apa kamu mencariku?" tanya Zenit ketika bertemu dengan Adnan di ruangannya. Ia sudah berganti pakaian. Rambutnya memang masih agak basah, tapi setidaknya sudah terlihat jauh lebih rapi ketimbang ketika ia datang.
"Lebih tepatnya menunggu," jawab Adnan mengoreksi. "Selama sebelas tahun terakhir," sambungnya lirih.
"Apa? Kamu bilang apa tadi?" tanya Zenit. Ia kurang jelas mendengar kalimat terakhir Adnan.
"Tidak ada... maksudku... ehmm..." Adnan diam sebentar. Ia gugup. Jari-jarinya bergerak di atas meja seperti sedang menekan tuts-tuts piano. Entah kenapa ia selalu saja merasa gugup setiap kali ingin mengungkapkan ketertarikannya pada Zenith. Dan biasanya, setelah saat-saat menegangkan seperti itu, ia akan mengalihkan pembicaraan ke topik lain. "Oh ya, bagaimana kondisi di sana? Maksudku, sepasang anak kembar itu."
"Untuk saat ini, sudah jauh lebih baik. Ada beberapa orang konselor dan psikiater setempat yang aku minta untuk memberikan terapi secara rutin. Setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Aku juga meminta Indah untuk tetap di sana sampai minggu depan."
"Syukurlah kalau begitu," ucap Adnan lega. Ia diam sebentar, sepasang matanya memperhatikan Zenith yang terlihat pucat dan menggigil. "Apa kau kedinginan?"
Zenith bersin beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Sepertinya kau membutuhkan secangkir kopi," kata Adnan sebelum beranjak dari kursinya.
Zenith hanya menjawabnya dengan seulas senyum tipis.
Adnan bergegas ke pantry. Ia sudah hafal betul takaran kopi yang pas untuk Zenith. Jika selama ini ia selalu meminta office boy menyeduhkan kopi untuknya, maka khusus bagi Zenith, ia sendiri yang sering membuatkannya. Dan selama itu pula Zenith tidak pernah merasa keberatan dan sungkan. Sebab bagi Zenith, Adnan bukan hanya rekan kerja, tetapi juga sahabat karibnya. Ya, sahabat. Tidak lebih, tidak kurang.
"Kopi sudah siaaap!" seru Adnan penuh semangat ketika memasuki ruangan.
Tak ada tanggapan. Zenith tidak menyahut seruannya seperti biasanya. Sepertinya ia bukan hanya kedinginan, tapi juga kelelahan. Adnan lekas menaruh cangkir kopi di meja. Ditatapnya Zenith dalam-dalam. 'Bahkan kau masih terlihat anggun saat tertidur', pikirnya.
Perlahan Adnan membuka tuksedonya. Ingin rasanya ia menjamah wajah manis itu. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat, diraihnya tangan Zenith dan dilipatnya di atas perut. Kemudian ia membuka tangannya lebar-lebar dan menyelimuti Zenith dengan tuksedo hitamnya. Hanya sebatas itu yang mampu ia lakukan. Hanya sebatas itu.
***
Lagu 'I'll Be There For You' yang dilantunkan penyanyi wanita di pub itu cukup menghibur suasana hati Albern. Ia terlihat sangat menikmati alunan distorsi lagu Rock Ballads era 90an itu. Ia menyanyikan setiap lirik tanpa sepatah pun kata yang terlewati. Sebab selain menggandrungi Queen, ia juga menggilai Bon Jovi. Dan ia hafal betul sebagian besar lagu yang mereka miliki.
Sudah berjam-jam Albern menghabiskan waktu di dalam pub itu. Ia terus bernyanyi dan menenggak minumannya berulang kali. Albern seolah tak mempedulikan tatapan aneh pengunjung lain.
Sebenarnya bukan perilaku Albern yang mereka permasalahkan, tetapi segelas coke yang ada di mejanya. Dalam hati mereka bertanya-tanya, 'Sejak kapan soda bisa membuat orang mabuk dan bertingkah seperti orang gila?'
***
Sudah hampir pukul 11.00 malam ketika Zenith tiba di rumahnya. Tubuhnya terasa lebih bugar setelah secara tidak sengaja tertidur di ruang kerja Adnan. Dan mungkin ia akan tetap tertidur seandainya office boy kantor tidak membangunkannya.
"Apakah semuanya berjalan dengan baik selama aku di berada luar kota?"
Hani mengangguk kikuk. "Iya, Bu." Ia mengerling sebentar, "Hm... dari tadi Non Nayla menunggu Bu Zenith pulang."
"Menunggu? Maksudmu?"
Hani tak menjawab. Namun gestur tubuhnya meminta Zenith untuk menengok Nayla di kamar.
Zenith tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Hanya saja tiba-tiba batinnya bergemuruh riuh. Tanpa berpikir panjang, ia segera masuk ke kamar puterinya. Suasana terasa berbeda. Sangat berbeda bila dibandingkan saat terakhir kali ia masuk ke dalamnya.
Dalam keremangan, Zenith melihat beragam bentuk ornamen origami aneka bentuk dan warna tergantung di langit-langit kamar Nayla. Dan di setiap ornamen itu, di tengah-tengahnya terdapat foto mereka berdua. Hati Zenith terenyuh melihat itu semua.
Dengan mata berkaca-kaca, Zenith menatap Nayla yang sedang tertidur pulas. Puteri kesayangannya, malaikat kecilnya itu mendekap sebuah amplop berwarna merah muda di dadanya.
Perlahan Zenith mengambilnya. Ia membuka amplop itu dan mulai membacanya. Dengan ujung jarinya ia membaca setiap huruf Braile yang tertera.
"Selamat Hari Anak, Mama. I love you more than I do. :-*"
Air mata Zenith tak lagi tertahankan. Tangisnya pecah. Bulir air mata mengalir deras dan membasahi pipinya. Seharusnya ia yang memberikan ucapan itu kepada puterinya. Ia merasa bersalah. Sangat bersalah. Sudah terlampau sering ia mengecewakan puterinya. Tapi apa mau dikata, Zenith tidak punya banyak pilihan. Ada banyak anak-anak di luar sana yang membutuhkan kehadirannya. Ia hanya bisa berharap semoga Nayla bisa menerima dan memahami keadaannya.
Zenith menyeka air matanya. Ia mengecup kening puteri semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Hanya itu yang bisa ia berikan dengan setulus hati. Setidaknya untuk saat ini.
"Hani... Hani!" teriak Zenith dari dalam kamarnya. Tidak ada respon. Entah ke mana perginya Hani sehingga membiarkan bel terus berbunyi. Zenith bergegas keluar dari kamarnya. Ia memijak setiap anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Selama ini, ia memang tidak pernah membiarkan siapapun yang berkunjung menunggu terlalu lama di beranda. Tidak pernah sekalipun saat ia ada di dalam rumahnya. Sekilas Zenith mengamati setiap sisi ruang keluarga dan ruang makan yang ia lewati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Benar-benar lengang. 'Ke mana Hani dan Nayla?' pikirnya. Dan ketika pintu terbuka, ia terkejut karena mendapati seorang pria setinggi enam kaki berdiri dengan tangan kanan bersandar di kusen pintu. "Albern...?" "Maaf bila aku mengejutkan kamu," kata Albern parau. Ia tersenyum dan memberikan setangkai bunga melati. Bunga itu bahkan tampak jauh lebih segar ketimbang dirinya. "Aku sudah berkeliling tapi semua toko bunga sepertinya masih tutup. Jadi, aku terpaksa memetik bunga ini dar
Oksidasi Alkana ditandai dengan nyala api berwarna biru dan tidak menimbulkan jelaga. Sehingga dapat dihasilkan panas maksimal setelah terbuangnya uap air. Proses pembakaran sempurna itulah yang coba diterapkan KPAN dalam setiap perekrutan anggota barunya. Dari ribuan pelamar yang mengajukan aplikasi dan mengikuti ujian sebelumnya, kini hanya tinggal dua orang yang tersisa. Mereka adalah peserta yang mendapat nilai kumulatif tertinggi dari semua materi yang diujikan. Dan kini, dua orang pemuda itu berada di ruang pertemuan, duduk bersama beberapa komisioner dalam satu meja. Julian Setiabudi, salah seorang komisioner menatap mereka berdua dengan seksama, "Apa kalian tahu kenapa kalian berdua yang terpilih?" Sejenak Ashmir dan Wening saling melempar pandang. Terdiam. "Nasib baik," jawab Ashmir dengan alis kanan terangkat dan mata kiri menyipit. "Saya tidak tahu pasti. Yang jelas saya hanya berusaha melakukan yang terbaik selama proses seleksi," imbuh Wening. Adnan tersenyum. Ia lal
Perlahan tapi pasti, seiring detak waktu yang enggan berhenti. Sang Surya menenggelamkan diri. Suasana menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi kelebat burung camar yang terbang ke sana ke mari. Hanya terdengar debur ombak yang memecah keheningan sesekali. Di bawah langit malam yang jauh dari gegap gempita perkotaan. Di mana cahaya bintang adalah satu-satunya penerangan. Dua anak manusia berbaring di atas pasir pantai, berdampingan. Sesekali angin malam berhembus kencang. Sehingga membuat mereka saling menghangatkan dalam satu pelukan. "Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita," gumam Albern. Zenith terkekeh. "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea." Krimea. Salah satu tonjolan kecil di Eropa Tenggara. Di sanalah mereka berkenalan dengan Bora yang dingin dan kering. Albern masih ingat betul dengan wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Mereka mengunjunginya dua tahun lalu. Setelah cukup lama terdiam dalam lamunan. Albern berkata, "Apa kamu melihatnya?" "Apa
Udara siang di luar cukup terik. Tapi tidak dengan suasana di rumah itu. Terasa sangat dingin dan beku. Beberapa orang yang berkumpul di ruang tengah terdiam dan menundukkan pandangan, sementara yang lain sibuk menangis dan menyesalkan takdir buruk yang datang menghampiri. Tangis mereka terdengar hingga ke jalan sempit yang dipenuhi sepeda motor dan mobil yang terparkir. Para pengendara yang melintas menoleh dengan pandangan sarat tanya ke rumah berhalaman sempit itu, beberapa di antaranya berhenti dan bertanya langsung kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut. "Ada apa ini Pak kok rame-rame?" tanya seorang pengendara motor. "Korban sodomi, Mas," jawab lelaki tua yang menata deretan sepeda motor berpelat hitam dan merah yang terparkir di depan rumah itu. Pengendara sepeda motor itu tercenung sebentar, melihat kerumunan orang yang hilir-mudik di rumah itu sebelum akhirnya menarik tuas gasnya. Di dalam rumah, Zenith dan beberapa rekannya dari KPAN sedang berusaha menenangka
Suasana stadium Gedung Basket GBK ramai dan dengan penonton yang datang penuh euforia. Mengingat, ini adalah pertandingan pertama IBL Tokopedia 2022 digelar dengan penonton setelah sempat ditangguhkan akibat badai omicron pandemi Covid-19. Sebagian tribun di arena indoor itu didominasi corak putih yang merupakan warna kebesaran SM Pertamina. Tak kurang dari 10.000 penonton hadir untuk menonton pertandingan. Para supporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim kesayangan. Ini adalah partai Bigmatch dari dua musuh bebuyutan yang merupakan tim unggulan Divisi Merah. Hari ini... kurang dari 5 menit lagi pertandingan antara Satria Muda Pertamina dan West Bandits Combiphar akan segera dimulai.. Sebagai juara bertahan musim sebelumnya, SM Pertamina tak ingin kehilangan muka di depan para pendukungnya pada pertandingan pertama. Banyak kalangan memprediksi persaingan kedua tim akan lebih ketat di musim ini. Mengingat West Bandits Combiphar telah banyak berbenah dengan mendatangkan beberapa w
Julian baru saja tiba di Rumah Sakit Premier Jatinegara. Adnan memberinya perintah untuk menjenguk seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Bocah malang bernama Ardi itu ditemukan tergeletak di sebuah halte bus di Jalan Otista semalam. Dan lagi-lagi lokasinya tak jauh dari kantor polisi. Kondisi Ardi masih memprihatinkan. Meski tidak terlihat luka fisik yang terekam, akan tetapi sorot mata yang buram itu menyiratkan beratnya penderitaan yang tengah ia tanggung. Peristiwa kelam itu membuat jiwanya terguncang. Dan mengembalikan kehidupannya seperti semula tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setelah mendapatkan izin dari orang tua Ardi, Julian lekas menghampiri bocah malang itu dan duduk di sisi luar ranjangnya. Ia terhenyak sejenak saat melihat tato yang tertera di kening sempit Ardi. 'Tanda yang sama,' pikirnya. Usai kembali terjaga, ia menatap Ardi dengan sorot penuh kelembutan. "Hai, Ardi!" Tak ada tanggapan. Bocah berambut ikal itu bergeming diam. Julian melir
Murid-murid SLB itu sedang berlatih untuk pertunjukkan yang akan diselenggarakan di sekolah mereka minggu depan. Mereka berlatih drama, menari dan juga menyanyi. Meski didekap keterbatasan, mereka tetap berlatih dengan semangat juang tinggi. Tak sedikit pun tertera rasa malu ataupun rendah diri. Tidak tampak rasa sungkan. Mereka hanya tertawa riang jika ada yang melakukan kesalahan. Di salah satu ruang kelas yang terletak paling ujung dari bangunan sekolah itu, tampak beberapa anak-anak sedang berlatih paduan suara. Mereka terus bernyanyi dengan semangat empat lima. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan ketidakharmonisan nada yang tercipta. Yang mereka pedulikan hanyalah keceriaan yang terumbar dalam tawa. Dan sepertinya hanya Nayla yang mengerti tangga nada di antara mereka semua. Sambil tetap tersenyum ia selalu berusaha mengimbangi nyanyian teman-temannya. Ia tetap menekan tuts-tuts piano penuh dengan semangat dan suka cita. "Que sera-sera... whatever will be... will be..." *
"Besok Mama berangkat kerja nggak?" Tanya Nayla. Ia dan ibunya sedang menyantap sarapan bersama, sebuah momen yang jarang terjadi di antara keduanya. "Uhmmmm... memangnya ada apa, Nak?" Zenith balik bertanya sambil menyentuh pipi puterinya. "Besok Nay ada pertunjukan di sekolah. Semua orang tua dan wali murid diminta untuk hadir," papar Nay sembari menyantap omelette sandwich-nya. Zenith terhenyak. Ia tidak ingin melukai perasaan Nayla. Tapi, besok adalah jadwal pertemuan keduanya dengan Rendy. Nayla mendesah tak sabar. Ia meletakkan pisau dan garpunya. "Ma..." Zenith tergagap. Tanpa sadar ia telah terbawa arus lamunan. Ia bingung. Ia masih belum bisa membuat keputusan. "Nanti sore Mama akan memberitahu jawabannya. Sekarang, habiskan dulu sarapan Nay. Oke?" tukas Zenith sembari membelai lembut dagu puterinya. Nayla terdiam. Tak ada lagi kata yang ingin ia ucapkan. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dan sesering itu pula ia dikecewakan. *** Ruangan itu memili
Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti
Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam
Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.
Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia
Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku
Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d
Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan
AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s
An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar