Pulang sekolah, Bill terus berusaha mengajak Elenora untuk pergi. Entah apa yang ada didalam pikiran pemuda itu.
Beruntung Elenora mampu membuat kedua pengawal yang selalu mengikutinya mau menurut, menunggunya di gerbang depan selagi Ia bicara dengan Bill.
"Tolong jangan seperti ini, Bill."
"Sejak menikah Kau semakin menghindariku. Kau banyak berubah, El!" Pemuda itu mencibir.
Sebenarnya tak benar-benar melakukannya, hanya saja Bill tahu bahwa gadis itu akan merasa tak enak hati jika terus menolak ajakannya ini.
Ia tidak berpikir lebih jauh jika gadis yang diajak pergi bukanlah milik sembarang orang.
"Mau ya, please?"
"Tidak bisa, Bill. Herr Hoffman menjemputku. Sudah ya."
Elenora berusaha menolak selembut mungkin, namun Bill tidak mau mendengar. Ia justru menghalangi jalan Elenora dengan kedua tangannya merentang― "Kali ini saja. Aku janji setelah itu tidak akan pernah mengganggumu lagi, El." Wajahnya memohon dan itu membuat Elenora tak sampai hati menolak ajakannya.
"Memang Kita akan kemana? Kau tidak lihat selusin pengawal yang selalu bersamaku?"
Bill menyeringai, Ia seperti sudah mempersiapkan semuanya.
"Itu mudah. Kita hanya perlu menyelinap melalui gerbang belakang. Mereka tidak akan tahu."
"Tapi Aku takut, Bill. Aku takut-"
"Tidak usah takut, Aku bersamamu, El."
Sebelah tangannya terulur untuk menggenggam lembut jemari lentik gadis itu. Elenora menggigit bibir bawahnya, bohong jika Ia tidak berdebar. Ia takut jika Jackson tahu, pasti Ia akan mendapat masalah nanti.
"Kau siap? Ayo pergi."
Mereka berjalan mengendap, melalui jalan setapak yang berada disamping sekolah.
Elenora bahkan tidak tahu jika halaman samping memiliki rumput ilalang sebatas pinggangnya― "Bill, Kita kembali saja. Aku takut."
Lagi.
Elenora merasa bahwa seseorang mengikutinya dibelakang sana namun saat Ia mencoba memeriksa, tidak ada siapapun.
******
Bill hanya mengajaknya ke museum yang berada di pusat kota. Pemuda itu sangat menyukai seni. Sementara Elenora hanya mengikutinya dari belakang.
"Jangan pikirkan apapun. Kau tahu, Aku sangat menantikan momen ini."
Entah apa maksud ucapannya namun Elenora benar-benar tak nyaman. Ia risih ketika Bill berusaha menggandeng tangannya. Berkali-kali gadis itu berusaha menghindar.
"Kau sudah puas? Bisa Kita pulang sekarang?"
Bill menggeleng, "Sebenarnya ada hal lain yang ingin Kukatakan padamu."
"Tentang apa?"
"Perasaanku padamu."
"Bill, please-"
"Aku sungguhan mengatakannya. Aku menyukaimu, El. Sejak satu tahun yang lalu."
"Jika Kau memiliki ponsel dan televisi, membaca dan menonton beritanya maka Kau tidak akan berani menyentuh tangan istriku."
Jackson.
Keduanya terkejut mendapati Jackson disana. Kilatan amarah pada obsidian ambernya membuat siapapun akan bergidik ngeri ketika perlahan, pria itu berjalan mendekat.
"Sentuh Dia lebih dari itu maka Kupastikan Kau tidak bisa memegang bolpoin lagi― Bill Matteo."
"Anda salah paham, Herr. Maaf."
"Tutup mulutmu, brengsek! Penilaianku berdasarkan apa yang Kulihat! Tahu apa bocah kecil sepertimu ini."
Elenora mencoba menengahi agar Jackson tidak semakin murka― "Herr, maafkan Saya."
"Kita pulang sekarang!"
Ya. Tidak ada pilihan untuk membantah ketika tangan itu sudah menarik erat pinggangnya. Tidak ada kalimat apapun sebagai protesnya.
Kesalahan ini pasti membuat Presiden Direktur JH Corporation itu murka. Entah apa yang akan Ia lakukan.
Namun apapun itu, Elenora berharap jika Bill tetap baik-baik saja.
"Urus Dia!"
Satu kalimat perintah sebelum mobil Mereka melaju, membelah jalanan kota Napoli yang lengang.
Sejak tiga puluh menit yang lalu, Jackson tidak mengatakan apapun. Ambernya fokus menatap ke arah jalanan luar dengan sebelah tangan menopang dagu.
Sejujurnya, rasa kecewa itu mendominasi. Ia butuh sesuatu sebagai pelampiasan.
Maka dalam sekali dial― Nama Max sudah tertera dalam sambungan telepon.
"Seperti biasa."
Dan panggilan itu ditutup secara sepihak. Jackson tidak mau repot-repot menjabarkan maksud dari ucapannya itu. Lagipula, Max cukup mengerti sebab menjadi sekretaris pribadi sekaligus sahabat dekat Jackson selama lima tahun tidak membuatnya 'bodoh' untuk mengerti segala ucapan ambigu pria itu.
"Herr-"
Tatapan ambernya yang tajam menusuk itu seketika membuat bibir Elenora kembali terlipat ke dalam. Gadis itu menunduk, tak berani bertatap langsung dengan Jackson.
Pria itu begitu dominan, dalam segala hal dan situasi― Jackson mampu membuatnya mengerdil hanya dengan tatapannya yang setajam katana itu.
Setelah sampai, Mereka tak langsung turun. Dan Elenora begitu bodohnya menunggu sang suami membukakan pintu untuknya.
"Herr, maafkan Saya."
Setelah itu pintu mobil terbuka, bukan Jackson yang melakukannya. Melainkan salah seorang dari pengawal sebab Tuannya sedang dalam situasi yang tidak baik-baik saja sekarang.
Mobil porsche itu menghilang dalam hitungan detik, menyisakan Elenora dan tatapan sendunya sebab kali ini, tidak ada bualan atau sikap manis Jackson untuknya.
Ia berjalan menunduk, mengabaikan para Maid yang sudah berjejer rapi menyambut kedatangannya.
Mengabaikan Mereka dengan perasaan tak menentu.
"Anda ingin sesuatu, Frau?"
Salah seorang Maid menginterupsi namun pikiran Elenora sedang tidak berada ditempatnya. Tanpa menjawab, Elenora langsung pergi menuju kamarnya. Dan mengabaikan ucapan para Maid yang bertanya padanya.
'Bodoh! Kau tidak seharusnya membiarkan Jackson pergi, El!'
"Sevanya-"
'Tidak usah terkejut. Apa perlu Aku yang bertindak sekarang?'
Helaan napas terdengar, Elenora tidak minat untuk bertengkar dengan sang Alter Ego.
'Kau mendengarku? Apa perlu Aku yang-'
"That's enough! Jangan melebihi batasanmu, Sevanya! Aku bisa menyelesaikan semuanya. Hanya pergilah! Aku tidak membutuhkanmu sekarang."
'Baiklah, Aku pergi! Tapi Kau tidak bisa melarangku jika Jackson kembali berulah!'
******
Pria itu sudah berada di club dan menunggu wanita selanjutnya yang akan menjadi 'mainannya'.
Kali ini seorang gadis muda. Mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan sang istri.
"Tell Me, who is Your name, Bitch?"
"Rosalie Lau, Herr."
Gadis itu tersenyum menggoda ketika Jackson memulai aksinya― "Buka semua pakaianmu dan sebelum itu, tutup matamu! Jangan berteriak selagi Aku belum selesai."
Entah mengapa, bayangan wajah cantik istri mungilnya dan pemuda tadi tiba-tiba terlintas. Dan itu membuatnya semakin dirundung amarah.
"Arrgh!" Gadis itu menjerit kesakitan ketika Jackson menarik satu garis panjang dibagian tulang selangkanya. Darah segar mengucur dan yeah, Jackson tidak ingin berlama-lama untuk 'bermain' dengan bonekanya kali ini.
DORR!― Adalah suara yang selanjutnya terdengar dari balik kamar tersebut. Jackson keluar setelah sempat mengatakan kalimat; "Urus Dia! Berikan kompensasi untuk keluarga Nona Lau. Aku yakin Dia sudah tenang di Surga."
Namun langkahnya harus terhenti ketika Max membuka suara― "Kau payah, Jack! Kau berusaha menjaga gadismu tetap baik-baik saja dan melampiaskan semua kemarahanmu pada gadis lain! Demi Tuhan! Kau sangat payah!"
"Bukan urusanmu! Lakukan saja perintahku!"
Lalu Jackson pergi, meninggalkan Max dibelakang sana yang menatap iba padanya.
Ia tahu bahwa Jackson mulai jatuh cinta pada gadis Allarice itu. Terbukti dengan Jackson tidak mau menyakitinya meski pria itu tahu bahwa istri mungilnya mencoba untuk mengkhianati Jackson dengan pergi secara diam-diam dengan teman satu sekolahnya.
******
Sementara di Mansion Hoffman, Elenora menunggu kedatangan Jackson dengan perasaan cemas.
Pukul tujuh malam dan Jackson belum juga pulang.
"Kau menungguku?"
"Herr, Anda sudah pulang?"
Jackson tampak baik-baik saja. Ia tersenyum ketika melihat Elenora menyambut kedatangannya.
"Saya sudah memasak makan malam untuk Anda."
"Benarkah?"
Gadis itu mengangguk, "Mari Herr."
Jemari lentik itu begitu cekatan menyiapkan sepiring nasi untuk Jackson.
"Suapi Aku."
"But Herr-"
"Kau tidak mau menyuapi suamimu, huh?"
Hening.
Elenora ragu ketika Ia memegang sendok ditangannya. Bahkan tubuhnya bergetar ketika suapan pertama itu Ia berikan― "Ini enak."
"Danke Herr."
"Aku memiliki hadiah untukmu."
"Hadiah?"
Jackson mengangguk dan menyudahi acara makan malamnya lalu mengajak Elenora pergi ke ruang bawah tanah― "Hadiahmu ada disana." Elenora mengikuti arah telunjuk sang suami dan betapa terkejutnya Ia ketika melihat seseorang yang terkapar didalam sana dengan empat anjing herder yang mengelilinginya.
"A-apa yang Anda l-lakukan, Herr!"
Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan. Seketika bibir semerah cherry itu menjadi pucat pasi ketika melihat keadaan teman sekolahnya― Bill, sudah tidak sadarkan diri disana dengan banyak luka ditubuhnya.
'Brengsek! Kau membuat Elenora ketakutan, sialan!'
Sevanya.
Tidak terkejut ketika sang Alter Ego muncul disaat Elenora merasa tak nyaman akan situasinya saat ini― "Kau!"
'Tidak perlu terkejut, brengsek! Beraninya Kau membuat Elenora hampir pingsan, sialan!'
******
Touch vote and like, please!
'Tidak perlu terkejut, brengsek! Beraninya Kau membuat Elenora hampir pingsan, sialan!'******Tiba-tiba, Sevanya mengambil pistol yang berada dibalik ikat pinggang milik Jackson dan menodongkan benda berbahaya itu tepat diwajahnya.Kilatan obsidian birunya terlihat penuh amarah.Dan Jackson tahu jika itu bukan tatapan Elenora, gadisnya."Berikan itu padaku!"'Tidak! Kau- Beraninya membuat Elenora ketakutan!'"Ini bukan urusanmu! Sevanya, berikan!"Gadis itu menarik pelatuk pistolnya dan― DORR! Peluru melesat keluar. Semua pengawal tergopoh melindungi Tuan Mereka."APA YANG KAU LAKUKAN?"Dalam sekali sentak, pistol itu terlepas. Perebutan senjata antara Sevanya dan Jackson terjadi. Keduanya berguling diatas tanah ruangan tersebut hingga Jackson berhasil menindih tubuh gadis itu dan mencengkeram kedua tangannya ke atas― 'Lepaskan Aku, brengsek!'"Borgo
*Tulisan bercetak tebal adalah flashback******Dua hari Elenora berada di rumah sakit. Ia merasa bosan sebab diluar sana enam orang pengawal ditugaskan oleh suaminya untuk menjaganya selama disini."Dokter, kapan Saya bisa pulang?"Dokter dengan name tag; Shawn Wang― Hanya tersenyum sembari memeriksa selang intravena yang terpasang dipunggung tangan gadis itu, "Dokter-""Maafkan Saya, Frau. Saya hanya melakukan tugas sesuai perintah Herr Hoffman, permisi."Lagi. Selalu saja suaminya bersikap otoriter padanya. Padahal saja, Elenora sudah lebih baik dan Ia ingin cepat pulang.Bau obat-obatan membuat kepalanya terasa pening.'Haruskah Aku menghubungi, Herr Hoffman? Tapi dimana ponselku?'Elenora melihat ke arah sekeliling. Tak menemukan benda persegi tersebut sejauh matanya memandang."Mencari sesuatu, Sayang?""Herr, Saya-""Seseorang memberi
"Awasi Alexis. Laporkan semua kegiatannya padaku dan jangan sampai siapapun tahu masalah ini." "Baik, Herr. Sesuai perintah Anda. Permisi." Seth menatap sekeliling, memastikan jika tidak ada orang lain yang melihatnya. Saat Ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Jackson yang menghubunginya. "Ya, Herr-" "Datang ke kantor sekarang!" Lalu panggilan tersebut ditutup secara sepihak oleh Jackson. Kekehan ringan terdengar. Seth sudah terlalu hafal dengan sifat Bosnya tersebut. Jadi Ia segera bergegas menuju kantor. ****** Tatapan sendu milik Elenora memunculkan Sevanya; Sang Alter Ego― Sudah beberapa hari ini Dia tidak muncul. 'Pentingnya tidak menilai seseorang dari penampilan saja.' "Kau kembali?" 'Kenapa? Kau berusaha menyingkirkanku karena Aku hampir membuat suamimu terluka?' Elenora terdiam. Bukan. Gadis itu tidak bermaksud membuat san
Entah keberanian itu muncul begitu saja hingga Elenora mengatakan kalimat itu.Ucapan Elenora mengundang decihan dari Alexis yang kini menghampirinya― "Kau terlalu percaya diri, bocah! Hubungan Kalian hanya tertulis diatas kertas! Jackson tidak mencintaimu!""Terserah Kau!"Hanya itu.Demi Tuhan! Elenora sedang tidak berselera untuk beradu mulut dengan wanita ular ini.Ia lelah dan membutuhkan ruang untuk sendiri.Dengan langkah setengah gontai, Ia berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Alexis dibelakang sana dengan sumpah serapah yang tidak jelas.******"Apa yang Dia lakukan sekarang?"Pandangan Jackson masih terfokus pada kertas putih diatas meja namun telinganya masih menunggu Seth memberinya laporan tentang istri mungilnya."Pardon, Herr. Sebenarnya Frau Hoffman ingin pergi ke toko buku namun Saya melarangnya.""Kenapa?"Amber Jackson menatap tajam pada Seth yang masih berdiri dihadapannya. Kepa
Main Cast : - Elenora Rebecca Alarice, 17 - Jackson Hoffman, 27 Support Cast : - Alexis Jade Voscotte, 26 - Sean James Buyyer, 27 - Maximus Gray, 26 - Kimmie Jordano, 27 [Other cast akan muncul seiring berjalannya cerita ini] ****** (Scollife-Violence-Hurt-Mature-Marriedlife)
*Krionika(n); pembekuan dalam suhu rendah untuk mayat ****** "APA? Kau sudah gila ya? Kami tidak mau membantumu, J!" Mereka berada di ruang kerja Jackson, melanjutkan diskusi yang sempat tertunda. "Gadis itu membutuhkanku dan Aku menginginkannya. Tidak ada yang salah dengan itu." Bukan hanya itu saja alasan Jackson menjadikan Elenora sebagai miliknya. "Kau ingin menikahi gadis dibawah umur dan menjadi seorang pedofil? Gunakan akal sehatmu, J!" Kali ini Alexis paling keras menentang keputusan Jackson. Ia tidak ingin melihat gadis sepolos Elenora menjadi objek pelampiasan Jackson atas masa lalunya yang kelam. Alexis tahu bahwa Jackson tidak pernah menggunakan hatinya dalam bercinta tapi Ia memiliki firasat buruk jika pria itu tetap memaksa akan menikahi Elenora.
"Kau baik-baik saja?" Elenora tertegun saat melihat tubuh jangkung Suaminya menghilang dibalik pintu kamar. Gadis itu merasa iba dan takut secara bersamaan. Perasaan ini membuatnya tak nyaman dan serba salah. Ia tidak tahu rasanya jatuh cinta itu seperti apa dan bagaimana? Hanya saja, melihat Jackson pergi tanpa mengucapkan apapun, membuat sudut lain didalam hatinya terasa kosong. "Elenora ..." Sean berusaha merebut atensi gadis itu ketika tak menemukan jawaban darinya semenjak lima detik yang lalu, "Saya baik-baik saja." lirihnya. "Kau tidak usah khawatir. Kami akan selalu melindungimu. Kami berjanji." Max berusaha meyakinkannya. Dan Alexis menambahi, "Ya. Kami selalu berada di sini untukmu. Sekarang istirahatlah, Kau pasti butuh waktu untuk terbiasa dengan suasana di sini." Seharusnya kalimat
Jackson benar-benar menepati janjinya. Ia mengizinkan Elenora pergi ke sekolah namun gadis itu tidak pergi sendiri. Selusin pengawal bersama Elenora. Enam diantaranya ikut masuk ke dalam dan sisanya, Mereka berjaga diluar sekolah. "Lihat gadis itu! Kau dengar berita pernikahannya?" "Ya. Sebenarnya apa yang membuat Presdir Hoffman tertarik dengan gadis bodoh seperti Elenora?" "Dia tidak cantik dan tidak seksi, tapi Herr Hoffman memilihnya sebagai istri, cih!" Bukannya tersinggung, Elenora justru mengabaikan Mereka, berjalan santai melewati gerombolan gadis penggosip yang sedang membicarakan dirinya dan Jackson. Ia sudah terbiasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Mereka. Seperti makanan sehari-hari. Elenora hanya seorang siswi penerima beasiswa di sekolah ini. Dulu, Ia tidak pernah bermimpi bisa bersekolah di sini apalagi sekarang statusnya telah berubah menjadi istri Presiden D
Entah keberanian itu muncul begitu saja hingga Elenora mengatakan kalimat itu.Ucapan Elenora mengundang decihan dari Alexis yang kini menghampirinya― "Kau terlalu percaya diri, bocah! Hubungan Kalian hanya tertulis diatas kertas! Jackson tidak mencintaimu!""Terserah Kau!"Hanya itu.Demi Tuhan! Elenora sedang tidak berselera untuk beradu mulut dengan wanita ular ini.Ia lelah dan membutuhkan ruang untuk sendiri.Dengan langkah setengah gontai, Ia berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Alexis dibelakang sana dengan sumpah serapah yang tidak jelas.******"Apa yang Dia lakukan sekarang?"Pandangan Jackson masih terfokus pada kertas putih diatas meja namun telinganya masih menunggu Seth memberinya laporan tentang istri mungilnya."Pardon, Herr. Sebenarnya Frau Hoffman ingin pergi ke toko buku namun Saya melarangnya.""Kenapa?"Amber Jackson menatap tajam pada Seth yang masih berdiri dihadapannya. Kepa
"Awasi Alexis. Laporkan semua kegiatannya padaku dan jangan sampai siapapun tahu masalah ini." "Baik, Herr. Sesuai perintah Anda. Permisi." Seth menatap sekeliling, memastikan jika tidak ada orang lain yang melihatnya. Saat Ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Jackson yang menghubunginya. "Ya, Herr-" "Datang ke kantor sekarang!" Lalu panggilan tersebut ditutup secara sepihak oleh Jackson. Kekehan ringan terdengar. Seth sudah terlalu hafal dengan sifat Bosnya tersebut. Jadi Ia segera bergegas menuju kantor. ****** Tatapan sendu milik Elenora memunculkan Sevanya; Sang Alter Ego― Sudah beberapa hari ini Dia tidak muncul. 'Pentingnya tidak menilai seseorang dari penampilan saja.' "Kau kembali?" 'Kenapa? Kau berusaha menyingkirkanku karena Aku hampir membuat suamimu terluka?' Elenora terdiam. Bukan. Gadis itu tidak bermaksud membuat san
*Tulisan bercetak tebal adalah flashback******Dua hari Elenora berada di rumah sakit. Ia merasa bosan sebab diluar sana enam orang pengawal ditugaskan oleh suaminya untuk menjaganya selama disini."Dokter, kapan Saya bisa pulang?"Dokter dengan name tag; Shawn Wang― Hanya tersenyum sembari memeriksa selang intravena yang terpasang dipunggung tangan gadis itu, "Dokter-""Maafkan Saya, Frau. Saya hanya melakukan tugas sesuai perintah Herr Hoffman, permisi."Lagi. Selalu saja suaminya bersikap otoriter padanya. Padahal saja, Elenora sudah lebih baik dan Ia ingin cepat pulang.Bau obat-obatan membuat kepalanya terasa pening.'Haruskah Aku menghubungi, Herr Hoffman? Tapi dimana ponselku?'Elenora melihat ke arah sekeliling. Tak menemukan benda persegi tersebut sejauh matanya memandang."Mencari sesuatu, Sayang?""Herr, Saya-""Seseorang memberi
'Tidak perlu terkejut, brengsek! Beraninya Kau membuat Elenora hampir pingsan, sialan!'******Tiba-tiba, Sevanya mengambil pistol yang berada dibalik ikat pinggang milik Jackson dan menodongkan benda berbahaya itu tepat diwajahnya.Kilatan obsidian birunya terlihat penuh amarah.Dan Jackson tahu jika itu bukan tatapan Elenora, gadisnya."Berikan itu padaku!"'Tidak! Kau- Beraninya membuat Elenora ketakutan!'"Ini bukan urusanmu! Sevanya, berikan!"Gadis itu menarik pelatuk pistolnya dan― DORR! Peluru melesat keluar. Semua pengawal tergopoh melindungi Tuan Mereka."APA YANG KAU LAKUKAN?"Dalam sekali sentak, pistol itu terlepas. Perebutan senjata antara Sevanya dan Jackson terjadi. Keduanya berguling diatas tanah ruangan tersebut hingga Jackson berhasil menindih tubuh gadis itu dan mencengkeram kedua tangannya ke atas― 'Lepaskan Aku, brengsek!'"Borgo
Pulang sekolah, Bill terus berusaha mengajak Elenora untuk pergi. Entah apa yang ada didalam pikiran pemuda itu.Beruntung Elenora mampu membuat kedua pengawal yang selalu mengikutinya mau menurut, menunggunya di gerbang depan selagi Ia bicara dengan Bill."Tolong jangan seperti ini, Bill.""Sejak menikah Kau semakin menghindariku. Kau banyak berubah, El!" Pemuda itu mencibir.Sebenarnya tak benar-benar melakukannya, hanya saja Bill tahu bahwa gadis itu akan merasa tak enak hati jika terus menolak ajakannya ini.Ia tidak berpikir lebih jauh jika gadis yang diajak pergi bukanlah milik sembarang orang."Mau ya, please?""Tidak bisa, Bill. Herr Hoffman menjemputku. Sudah ya."Elenora berusaha menolak selembut mungkin, namun Bill tidak mau mendengar. Ia justru menghalangi jalan Elenora dengan kedua tangannya merentang― "Kali ini saja. Aku janji setelah itu tidak akan pernah mengganggumu lagi, El." Wajahnya memohon dan itu mem
Sendiri itu sepi dan berdua itu menyenangkan.Mungkin kebersamaan Mereka sebagai pasangan suami dan istri menumbuhkan perasaan baru bagi Elenora. Yang semakin lama tidak mungkin bisa Ia tepis keberadaannya.Elenora hanya seorang gadis polos yang bahkan memikirkan cinta pun― Tidak pernah.Baginya, bekerja dan bisa mencukupi semua kebutuhannya, itu sudah lebih dari cukup.Obsidian birunya menatap lurus ke depan dengan semilir angin barat yang berhembus, menerpa kulit.Dinginnya udara malam tidak membuatnya bergegas masuk. Pandangannya justru menyipit ketika melihat siluet seseorang berdiri disana.Jackson.Sedang apa pria itu disana?Ah, Elenora lupa!Disanalah makam gadis yang begitu dicintai oleh suaminya berada. Seharusnya Ia tahu diri dan tidak mengharapkan lebih.'Kau pasti cemburu melihat suamimu lebih memperhatikan batu nisan itu daripada Kau.'Bukan hal mengejutkan jika Sevanya muncul
Gadis itu berjalan dengan langkah gontai. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapnya penuh kebencian. Terutama para murid perempuan. Namun kali ini Mereka tidak bisa melakukan sesuatu pada Elenora. Mereka ingat jika ancaman Presiden Direktur Hoffman tidak pernah main-main, apalagi enam pengawal yang selalu mengikuti gadis itu, membuat nyali Mereka seketika menciut. "Elenora." Merasa namanya dipanggil, gadis itu menghentikan langkahnya kemudian berbalik untuk menoleh ke belakang. Seorang pemuda sedang berlari ke arahnya sembari tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi, "Untukmu." Sebotol susu strawberry. Ragu. Elenora melirik para pengawal itu karena Ia takut jika Mereka melaporkan hal ini pada suaminya. Dinding pun bisa berbicara. Pada akhirnya tidak ada pilihan lain, gadis itu menggeleng pel
Intervensi(n); ikut campur ****** Cinta itu seperti pasir; Semakin digenggam maka Dia akan semakin menjauh. Pahami dan mengerti keadaan Dia maka hatinya akan menjadi milikmu. Tidak perlu terburu-buru, nikmati segala proses yang ada. "Aku ingin perjanjian itu diubah!" Mereka datang atas permintaan Jackson. Pria itu memprotes tentang isi perjanjian yang telah dibuat oleh Max, sekretarisnya. "Tidak, Aku tidak bisa mengubahnya." "Kalian harus mengubahnya! Itu merugikanku." Bagaimana pun juga, Jackson seorang pria dewasa yang ingin kebutuhan biologisnya terpenuhi. Married without sex? Yang benar saja! "Dia masih delapan belas tahun jika Kau lupa, J! Gadis itu terpaksa menyetujui tawaranmu karena Dia membut
Jackson benar-benar menepati janjinya. Ia mengizinkan Elenora pergi ke sekolah namun gadis itu tidak pergi sendiri. Selusin pengawal bersama Elenora. Enam diantaranya ikut masuk ke dalam dan sisanya, Mereka berjaga diluar sekolah. "Lihat gadis itu! Kau dengar berita pernikahannya?" "Ya. Sebenarnya apa yang membuat Presdir Hoffman tertarik dengan gadis bodoh seperti Elenora?" "Dia tidak cantik dan tidak seksi, tapi Herr Hoffman memilihnya sebagai istri, cih!" Bukannya tersinggung, Elenora justru mengabaikan Mereka, berjalan santai melewati gerombolan gadis penggosip yang sedang membicarakan dirinya dan Jackson. Ia sudah terbiasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Mereka. Seperti makanan sehari-hari. Elenora hanya seorang siswi penerima beasiswa di sekolah ini. Dulu, Ia tidak pernah bermimpi bisa bersekolah di sini apalagi sekarang statusnya telah berubah menjadi istri Presiden D