Layar ponsel menjadi pusat perhatiannya saat ini, setelah lelah pandangannya beralih keluar jendela kereta menampilkan pemukiman warga yang terlewati. Tak fokus dan tak pasti karena jalannya yang cepat membuat apa yang dilihat tak begitu jelas. Mata Elena beralih pada seseorang yang ada di depannya. Pasangan suami istri dengan seorang anak laki-laki yang berada di gendongan sang ayah. Menenangkan si anak yang menangis akibat rewel ingin tidur tapi merasa tak nyaman karena berada di perjalanan.
Perjalanan menuju sebuah kota besar memang memakan waktu beberapa jam, tak sampai setengah hari hanya 4 sampai 5 jam. Tujuan Elena datang adalah untuk memenuhi tawaran yang datang kepadanya. Tawaran pekerjaan dari sebuah butik ternama. Awalnya Elena tak percaya. Apakah ini hanya sebuah bunga tidur? tapi ketika ia cubit lengannya sakit sangat terasa. Jadi aku tidak bermimpi bukan? Saat itu sebuah pesan di akun i*******m keduanya muncul.
Meisieboutique_
Selamat pagi, saya sangat tertarik dengan desain-desain yang anda tampilkan mempunyai keunikan tersendiri. Maukah menjadi desainer di butik Meisie. Saya sangat
membutuhkan orang seperti anda.
Setelah membaca pesan itu, rasa senang langsung menerpa. Bahkan Elena meloncat kegirangan dan membuat Naura yaitu Mama Elena mengerutkan kening heran. Setelah mempertimbangkan dan mengecek semuanya. Ia menerima penawaran tersebut. Pihak butik, memberikannya alamat dan nomor telepon.
Menjadi seorang desainer adalah salah satu impian Elena. Menciptakan sebuah karya dan dikenal banyak orang. Ah sangat menyenangkan. Elena berharap ini bukanlah hanya sebuah ekspektasi.
"Permisi, saya ingin bertemu dengan Nyonya Mei. Apakah Nyonya Mei ada?" sapa Elena pada seorang pelayan butik.
"Maaf dengan siapa?"
"Elena Honora."
"Baik Nona. Silahkan duduk. Permisi saya akan panggilkan beliau," ucap gadis yang terlihat lebih muda darinya itu berlalu setelah Elena mengangguk dan memberikan senyum manisnya.
Elena mengedarkan pandangannya, butik ini sangat mewah, modern, dan juga memiliki sofa yang sangat nyaman, benarkah dirinya akan bergabung di sini. Menjadi salah satu karyawan? Ah senang sekali. Rasa syukur terus dipanjatkan Elena pada sang maha kuasa.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita paruh baya dengan paras yang sangat cantik dan memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.
"Selamat datang Nona Elena," sapa seseorang yang berjalan menghampirinya.
Elena bangkit dari duduknya lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Apa kabar Nyonya Mei, panggil saya Elena saja."
Mei menerima uluran tangan Elena dengan hangat. "Hai Elena, jangan bicara formal dengan saya, santai saja," ucap Mei seraya terkekeh. Elena mengangguk karena ia pun tak begitu nyaman ketika berbicara formal.
"Saya suka sekali desain-desain yang kamu posting di i*******m, ada yang sudah pakai semua desain kamu itu?"
"Ada, sebagian nyonya."
"Baguslah, apa semua desain kamu posting di i*******m?"
"Tidak semua, ada beberapa yang saya hanya simpan di buku saya. Ini nyonya," Elena menyodorkan sebuah buku berisi gambar-gambar desainnya. Mei melihat-lihat semua gambar desain Elena yang belum pernah dilihat orang lain sebelumnya.
Elenapun menandatangani kontrak kerjasama antara dirinya dan butik Meisie. Masa percobaan selama satu tahun. Jika cocok, kerjasama bisa berlanjut sesuai kesepakatan. Mei memberitahu Elena ruangan kerjanya dan ruangan kerja Elena, dan memperkenalkan staf lain padanya.
"Oh ya, kamu sudah punya tempat tinggal?"
"Belum Nyonya, kemarin malam saya menginap di hotel belum sempat mencari tempat tinggal. Rencana hari ini saya akan mencarinya," tutur Elena yang sedang melihat-lihat koleksi butik Meisie bersama Mei.
"Kalau mau, ada satu apartemen milik keponakan saya. Dia tak memakainya dan pernah menawarkannya pada anak saya secara cuma-cuma. Tapi dikarenakan anak saya sudah memiliki tempat tinggal dan keluarga dan juga memiliki apartemen pribadi. Untuk itu dia tidak menggunakannya. Kalau mau kamu boleh tinggal di sana. Nanti saya bilang sama dia."
"Aduh nyonya tidak perlu, saya bisa mencari kosan sekitar sini." Mei menggeleng dan tersenyum.
"Tidak perlu sungkan Elena, adanya kamu sangat berpengaruh besar bagi butik saya. Apartemennya pun tak terlalu jauh ko, dia pasti tidak keberatan. Lagian dia tidak tinggal disana."
"Saya tidak tahu harus bagaimana, Nyonya Mei sangat baik. Terima kasih banyak nyonya."
"Iya sayang, kamu boleh bekerja mulai besok." Elena mengangguk, ia belum meninggalkan butik karena masih membicarakan soal apartemen yang Mei tawarkan.
Setelah mengobrol lewat ponsel bersama seseorang, Mei memberikan Elena alamat dan kata sandi apartemen tersebut. Elena terus mengucapkan terima kasih. Ia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang baik di kota besar yang membingungkan ini.
***
Elena tiba di kawasan apartemen mewah, ia terperangah. Salahkah ini? Elena akan tinggal di kawasan mewah seperti ini. Apa dirinya cocok? Sudah beberapa kali ia tanyakan pada sopir taksi tentang kebenaran tempat sesuai alamat yang Mei berikan padanya dan kalimat 'iya benar' menjadi jawaban dari pertanyaan Elena.
Kekaguman terus bertambah ketika Elena memasuki apartemen, matanya menyapu bersih setiap sudut apartemen. Elena menarik kopernya dengan mata yang masih memancarkan kekaguman dengan mulut menganga. Apakah dirinya berlebihan dalam menanggapi hal ini. Biarlah, karena memang ia sangat menyukai tempat tinggal milik sepupu Nyonya Mei. Siapa nama pemilik yang sebenarnya, ia harus mengucapkan terima kasih atau bahkan ia harus memberikan hadiah?
Sore ini Elena habiskan dengan membereskan semua barang yang ia bawa, dan beristirahat. Besok adalah hari pertama ia bekerja, Elena tak boleh sampai telat.
***
Makan malam ini sungguh sangat membosankan. Dua keluarga yang melakukan acara makan bersama, dengan tujuan yang sudah Alva ketahui. Alva Melviano anak pertama dari pasangan Roy seorang pengusaha, dan Rosie seorang desainer ternama Indonesia.
Suasana hati Alva semakin buruk karena seorang gadis yang berada di depannya saat ini. Audy Queena seorang model internasional yang dijodohkan oleh sang mama padanya. Alva bangkit dari duduknya, membuat alasan hanya karena ingin segera pergi dari tempat itu.
"Maaf saya izin ke toilet," ucapnya lalu berjalan meninggalkan mereka yang asik dengan pembicaraan masing-masing.
Setelah keluar dari area ruang makan, Alva segera melangkah pergi keluar rumah, mengendarai mobilnya. Ia ingin mencari tempat yang lebih menyenangkan ketimbang harus terus ikut paksaan dari Rossi untuk mengikuti makan malam dengan adanya tujuan terselubung.
***
Elena telah menyerahkan beberapa rancangannya pada Mei, setelah disetujui, pembuatan pakaian akan segera diproses. Kini Elena duduk santai seraya memainkan jarinya di atas layar ponsel miliknya. Selain merancang, ia pun mengerjakan hal lainnya. Seperti mencocokan setiap bagian ketika adanya pemotretan, melayani para pengunjung menjelaskan setiap koleksi yang ada disana. Jadi pekerjaannya bukan hanya sekedar merancang semata dan itu membuat Ellena tidak bosan.
Seperti hari ketiga Elena bekerja, ada pemotretan di butik Rosie yang ada di samping butik Meisie. Mei juga ikut melihat kesana dan mengajak Elena. Butik Meisie lebih fokus pada busana casual, sedangkan Butik Rosie yang pemiliknya merupakan kakak kandung dari Nyonya Mei merupakan butik gaun pengantin dan busana pesta.
Seorang fotografer sedang bekerja sama dengan pihak butik untuk mengikuti sebuah ajang fashion photography dimana hal itu bisa menguntungkan keduanya. Ajang tersebut tak hanya melihat hasil karya bidang fotografinya saja tetapi juga busana yang dikenakan dan yang akan dipamerkan.
Andres seorang fashion photographer sedang sibuk menelpon seseorang. Ia terlihat panik. Rupanya model perempuan yang sudah membuat janji dengannya belum juga datang.
"Andres, apa kamu sudah menghubunginya lagi?" Mei menghampiri Andres yang sibuk berbicara dengan asistennya.
"Sudah, baru saja ada kabar bahwa dia mengalami kecelakaan pagi ini. Beberapa model yang sering aku ajak untuk proyek lagi pada sibuk. Sedangkan aku hanya punya waktu hari ini saja, besok aku harus pergi ke china. Ini memang ajang besar tapi aku sangat sibuk dan hanya mempunyai waktu hari ini saja untuk pemotretan," ucap sang Fotografer bernama Andres itu seraya memijat kepalanya mungkin sudah pusing harus bagaimana.
"Terus Alva, apakah dia sudah datang?"
"Tuan muda baru saja tiba, dia sedang mengganti pakaiannya. Ah dia terlihat senang di tengah kepusingan," tutur Andres seraya terkekeh begitu juga dengan Mei. Elena yang sedari tadi mendengarkan mengernyit heran. Kenapa Andres dan Mei malah tertawa ketika membicarakan tuan muda. Siapa itu tuan muda?
"Dia belum juga berubah, setiap diminta untuk menjadi model pasangan ia memang sangat malas apalagi setelah pemotretan model wanita pasti selalu agresif terhadapnya," ucap Mei. Oh karena itu, kini Elena paham.
"Hai Nona, rasanya aku baru melihatmu?" Kini Andres mengalihkan perhatiannya pada Elena yang sedari tadi berada di samping Mei.
"Oh ini, desainer baru butikku. Perkenalkan namanya Elena Honora." Elena mengulurkan tangannya seraya tersenyum.
"Elena."
"Andres," kata Andres yang juga memperkenalkan diri.
Setelah bersalaman Andres memperhatikan Elena dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu senyumnya terbit. Elena yang melihat itu beringsut tak nyaman.
"Nona, apa kamu ingin membantuku?" tanya Andres.
"Jika saya bisa, saya akan membantu anda tuan," ucap Elena seraya tersenyum.
"Jadilah modelku.” Mata Elena membulat, lalu berusaha menetralkan ekspresi wajahnya.
"Haha anda bercanda tuan." Memang bagaimana bisa dirinya menjadi model. Elena sangat menyadari tubuhnya tak pantas untuk menjadi model, ia memiliki tinggi yang tidak memenuhi syarat seorang model. Tubuhnya memang tidak gemuk dan juga tidak kurus, tapi sepertinya juga tidak cocok.
"Bentuk tubuhnya bagus dan menurutku sangat cocok jika menjadi model. Apa dia punya akun i*******m?" bisik Andres pada Mei. Mei ikut memperhatikan tubuh Elena, benar juga kenapa dia baru menyadarinya.
Mei membuka akun i*******m dan melihat akun milik Elena dan memberikannya pada Andres. Andres puas setelah melihat foto-foto milik Elena.
"Ya dia sangat cocok. Bantu aku membujuknya," bisik Andres pada Mei.
"Tenanglah serahkan saja padaku."
Mei menghampiri Elena yang sedari tadi memandangi dirinya dan Andres dengan keheranan. Ia Pun membujuk Elena agar menyetujui permintaan Andres. Semua alasan yang Elena lontarkan untuk menolak ditimpali oleh Mei, sampai Elena tak bisa membalikan ucapan Mei lagi. Rupanya Mei sangat ahli dalam bujuk membujuk.
"Tapi kalo hasilnya tidak memuaskan bagaimana?"
"Tidak. Tidak akan," ucap Mei yang meyakinkan Elena lalu menarik tangan Elena menuju ruang ganti pakaian, menyiapkan Elena untuk mengikuti pemotretan.
***
Tangan Alva terus bermain di atas tab, dengan lincah ia menggerakan jarinya tak membiarkan setiap piringan dalam sebuah game itu lolos dari jangkauannya. Earphone yang sedari tadi bertengger di indra pendengarnya membuat Alva semakin intens dan lebih tangkap mengikuti alunan musik yang terdengar. Musik yang sudah sangat ia hafal ritme bahkan lirik yang sudah ada diluar kepala memudahkan Alva untuk berakhir menjadi pemenang.
"Alva ayo kita mulai." suara Andres menggema di ruangan tersebut. Alva tak mengindahkan panggilan itu karena yang ia dengar hanyalah irama lagu yang berasal dari benda kecil yang menguasai pendengarnya.
Andre yang sudah hafal betul apa yang sedang dikerjakan seorang Alva setiap waktu istirahat atau waktu kosong ketika sedang bekerja langsung menghampiri dan menarik melepaskan salah satu benda kecil itu dari telinga Alva.
“Aish,” gerutu Alva yang merasa terganggu. Tindakan Andres berhasil membuat Alva menoleh.
“Maaf tuan muda, saatnya kita mulai bekerja,” ucap Andres dengan nada suara penuh hormat. Sikap yang cukup Alva tak suka karena menurutnya itu cukup berlebihan.
"Loh bukannya dia gak datang?" Alva mulai mematikan tab masih dengan posisi duduk santainya.
"Sudah ada yang menggantikannya," ucap Andres.
Alva menghembuskan nafasnya kasar, menjadi seorang model adalah profesinya saat ini. Berawal dari pertemuan tak sengaja ketika dirinya masih duduk di bangku kuliah. Seorang fotografer profesional ini begitu saja menemuinya ketika Alva menghadiri acara yang sedang diadakan oleh butik sang ibu. Penawaran itu Andres lakukan tepat di depan Rosie dan tak dapat dipungkiri raut wajah senang itu terpancar dari wajah ibunya ketika mendengar anaknya ditawari sebagai model salah satu majalah bergengsi membuat Alva enggan untuk menolak. Sejak saat itu, profesinyalah yang menyelematkan ia dari perspektif sang ibu terhadapnya.
Sebuah perspektif yang cukup mengganggunya. Adanya perbandingan antara Alva dengan adiknya yang bernama Felicia. Ketidaksetaraan rasa dan sikap yang dilakukan Rosie terhadap kedua anaknya dan adanya kekangan yang mengharuskan seorang Alva menjadi seseorang yang Rosie inginkan.
Alva mulai bangkit dari duduknya memasuki ruang pemotretan. Kedatangannya mengundang perhatian semua orang yang ada di sana. Alva mengenakan tuksedo berwarna hitam, salah satu koleksi Rosie boutique.
Alva berjalan menghampiri Andres, matanya menoleh ke arah seseorang yang sedang duduk menggunakan Ball Gown. Mei juga berada disana.
"Hai Al, kamu sudah siap?" Andres yang mengetahui kedatangannya langsung menepuk pelan bahu Ava. Alva mengangguk mengiyakan.
"Perkenalkan ini Elena Honora, untung saja Mei punya desainer cantik ini jadi kita bisa meneruskan pekerjaan kita hari ini."
Desainer? Perasaan baru melihatnya.
***
Alva mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. "Alva,” katanya. Elena menerima uluran tangan itu lalu tersenyum."Elena," ucap Elena ikut memperkenalkan diri.Dia tersenyum?Mata Alva terpaku melihat sosok yang berada di depannya tersenyum. Bahkan tangannya belum juga melepaskan tangan mungil itu.Mata Elena mengerjap beberapa kali, apakah ini si tuan muda yang tadi dibicarakan. Ia akan menjadi partnernya kali ini, benarkah? Rasanya Elena ingin pingsan saja. Ia cukup terpesona pada sosok di depannya, apalagi gaya rambut yang menurutnya cukup menarik perhatian. Rambut itu diikat sebagian ke belakang membentuk kuncir yang tak terlalu besar, dengan beberapa helai rambut bagian depan yang dibiarkan tergerai tapi dengan lengkungan yang sangat sempurna. Penataan rambut yang sangat bagus, ah Elena menyukai itu. Masih saja seperti ini, tak jarang alasan Elena tertarik pada seseorang itu berawal dari gaya rambutnya."Hei Alva Melviano!" su
Sore hari akan segera berakhir dan Alva masih menggulirkan mouse. Teringat akan permintaan mamanya tadi, membuat suasana hatinya terasa tak baik. Sungguh malas ia rasakan untuk menemani mamanya ke pesta keluarga Audy.Pesta apa sih. Kenapa mereka sering mengadakan pesta, batin Alva.Alva memandangi langit-langit ruangan seraya mencari cara agar bisa pergi untuk menghindari acara makan malam membosankan itu. Tak lama sesuatu terbersit di pikirannya, rasanya sudah lama ia tak mengecek keadaan apartemen yang saat ini ditempati oleh karyawan butik Mei. Walau apartemen itu ia biarkan ditinggali oleh orang lain, tapi bukan berarti ia begitu saja membiarkan apartemen itu tanpa pengontrolannya.Alva membiarkan apartemenemenemenemen itu di isi oleh orang lain karena tak lagi ia tempati. Sayang juga jika tak berpenghuni. Untuk itu ia tawarkan pada Hendrik putra pertama Mei, tapi Hendrik menolaknya karena saat ini ia telah memiliki rumah dan apartemennya se
Elena meletakkan gelas yang sedari tadi ia pegang. Kini Alva tepat di belakang Elena mendekatkan wajahnya ke arah telinga Elena sehingga ia dapat menghirup wangi sabun yang Elena pakai."Apa ini kebiasaan lo." Suara itu membuat Elena terlonjak kaget dan langsung berbalik, ponsel yang hampir terjatuh ia pegang erat dengan kedua tangannya."A..A..Alva!" Wajah terkejutnya begitu lucu dan menggemaskan dimata Alva, sungguh ia menahan senyumnya agar tak tersungging. Mata Elena membulat dan tubuhnya sedikit bergetar.Alva melangkah semakin mendekat dan memperangkapnya. Kedua tangan Alva tumpukan pada pinggiran meja bar, mengurung Elena di dalamnya. Elena langsung menutupi bagian dadanya yang sedikit terlihat padahal Alva sudah menyadarinya sejak tadi. Elena semakin beringsut ke belakang walaupun tak ada ruang lagi di sana."Mau menggoda hm?""Mm m..maaf Va aku gak tau kamu bakal datang," lirih yang terdengar jelas bahwa ia sedang ketakutan. Elena kini men
Audy Queena seorang yang memiliki profesi yang sama seperti Alva. Wanita itu duduk di samping Alva seraya bergelayut manja di lengannya. Alva merasa risih dengan kedatangan Audy, ia menghempaskan tangan itu berkali-kali tapi Audy terus kembali melingkarkannya."Audy! Gue risih tau gak." Alva sungguh geram, ia pun memilih untuk segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran butik.“Lo turun di halte depan,” ucap Alva yang segera melajukan mobilnya. Dengusan kesal terdengar dari arah sampingnya. Alva tak memperdulikan itu, ia fokus pada jalanan yang ada di depan sana.“Siapa dia?” tanya Audy seraya menoleh ke arah samping, Alva tak kunjung menjawab membuat Audy kesal dibuatnya.“Aku kecewa semalam kamu gak datang.” Kini Audy mengganti topik pembicaraannya. Tapi masih saja Alva terdiam tak menimpali. Sungguh dirinya kesal, ia meremas pakaiannya menahan kekesalan yang ia rasakan.“Turun,” perintah Alva.
Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya."Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak."Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena."Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.Aman? Apa maksudnyaElena memanyunkan bibirnya."Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya."Tapi Va-""Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.Alva t
Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.Ting tong!Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya.Ceklek!Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva.Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya."Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang coc
"Aku bisa makan sambil melakukan pekerjaanku Alva." Alva menggeleng, ia kembali mengajak Elena untuk duduk di sofa dan mendudukkannya."Gak El, makan ya makan dulu aja, jangan nyambi.""Ish," Elena menggerutu, tapi ia tetap menurut dan hal itu membuat Alva senang."Gitu dong," Alva mengusap sisi wajah Elena. Elena terbelalak lagi-lagi Alva memberi perlakuan manis padanya. Bersamaan dengan itu, Rosie datang dan melihat aksi Alva."Alva," keduanya menoleh. Elena tampak kaget sedangkan Alva merasa santai saja."Ya ma?""Kamu, lagi apa? Disini?"Elena langsung bangkit dari duduknya ia tak enak karena sebelumnya duduk berdekatan dengan Alva, ralat Alva yang mendekatinya."Mm ma..maaf Nyonya kami..""Sudah saya bilang, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Tante hm."Mata Elena mengerjap, membuat Alva gemas melihatnya. Bukannya membantu Elena untuk menjelaskan keberadaannya di tempat ini. Alva malah menyandarka
Suara berisik itu membangunkan Alva yang masih sangat mengantuk, ia mulai membuka matanya seraya menguap. Bangun dari tempat yang cukup membuatnya sakit badan, karena walaupun empuk tetap saja sofa tidak senyaman tempat tidur. Alva merenggangkan ototnya, ia menoleh ke arah dapur dimana seseorang berada. Ia mengulum senyumnya seraya berjalan menghampiri Elena yang sedang sibuk dengan perlengkapan tempur."Pagi Al," sapa Elena ketika melihat Alva datang dengan wajah khas bangun tidurnya."Hm pagi." Alva menghampiri Elena yang sedang menyiapkan sarapan."Mm aku cuman masak nasi goreng, g..gapapa?" Elena tak berani menatap Alva yang melirik bergantian dirinya dan nasi goreng yang sudah tersedia di atas meja."Thanks." Alva mengusap puncak kepala Elena seraya tersenyum. Senyum yang membuat Elena menahan nafasnya sejenak. Senyuman Alva cukup membuatnya terpesona. Alva sudah duduk manis dan meminum air putih yang tersedia di dalam gelas tinggi itu.Alva m
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha