Elena meletakkan gelas yang sedari tadi ia pegang. Kini Alva tepat di belakang Elena mendekatkan wajahnya ke arah telinga Elena sehingga ia dapat menghirup wangi sabun yang Elena pakai.
"Apa ini kebiasaan lo." Suara itu membuat Elena terlonjak kaget dan langsung berbalik, ponsel yang hampir terjatuh ia pegang erat dengan kedua tangannya.
"A..A..Alva!" Wajah terkejutnya begitu lucu dan menggemaskan dimata Alva, sungguh ia menahan senyumnya agar tak tersungging. Mata Elena membulat dan tubuhnya sedikit bergetar.
Alva melangkah semakin mendekat dan memperangkapnya. Kedua tangan Alva tumpukan pada pinggiran meja bar, mengurung Elena di dalamnya. Elena langsung menutupi bagian dadanya yang sedikit terlihat padahal Alva sudah menyadarinya sejak tadi. Elena semakin beringsut ke belakang walaupun tak ada ruang lagi di sana.
"Mau menggoda hm?"
"Mm m..maaf Va aku gak tau kamu bakal datang," lirih yang terdengar jelas bahwa ia sedang ketakutan. Elena kini menunduk.
"Gak takut ada orang yang akan masuk terus lihat penampilan lo kayak gini?" Elena tak menjawab ia terus menunduk. Sungguh Elena merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia sampai lupa Alva yang punya apartemen ini, dan mungkin akan masuk sembarangan seperti saat ini.
"Gimana kalo ada yang nerkam lo?" Elena memalingkan wajahnya ke arah lain seraya membasahi bibirnya. Sungguh ia sangat takut saat ini.
Alva melirik bibir Elena yang basah. Shit! Itu bibir menggoda banget sih. Alva melirik rambut Elena yang dicepol asal, menjadikan beberapa helai rambutnya menjuntai, bahkan ada yang menempel di lehernya karena basah dan itu membuat Alva harus semakin menguatkan imannya.
"Maaf Va aku mau ke atas dulu." Elena mendorong dada Alva.
"Jangan harap lain kali gue lepasin lo gitu aja," ucapan itu membuat Elena menambah keterkejutannya. Alva kembali berdiri tegak dengan kedua tangan yang ia lipatkan di depan dada. Elena langsung berlari menaiki tangga menuju lantai atas untuk segera mengenakan pakaiannya. Alva terkekeh melihatnya.
Alva berjalan menuju kulkas. Isinya tak terlalu banyak. Ia mengecek video cctv terlebih dahulu. Rupanya Elena belum masak dan belum memakan sesuatu. Alva mengambil beberapa bahan masakan lalu memasaknya dengan sangat lihai. Ia memang pandai memasak, karena dulu Alva pernah tinggal sendiri di luar negeri untuk kuliah dan selain itu ia juga sempat tinggal di apartemen ini selama setahun sebelum panggilan kembali membuatnya pulang dan tinggal di rumah orang tuanya.
Di lain tempat, Elena terus merutuki dirinya sendiri. Kenapa bisa-bisanya lupa sih. Teledor banget sih, gerutu Elena dalam hati. Sungguh ia kesal pada dirinya sendiri. Untung Alva tak berbuat macam-macam padanya, bagaimana jika hal buruk terjadi.
"Argh!"
Apakah Alva masih dibawah? Elena kembali menuruni tangga. Indra penciumannya menikmati aroma yang sangat menggiurkan dan ini berasal dari arah dapur. Langkah Elena terhenti ketika melihat Alva yang sedang berkutat dengan peralatan perang dapur.
Dia masak?
Alva meletakkan beberapa piring yang berisi masakan itu di atas meja bar.
"Ayo makan," ajaknya pada Elena yang berdiri terpaku seraya menatap semua masakan yang tersedia disana.
"Gak mau makan?" Suara itu membuyarkan keterpesonaan Elena pada masakan yang menggiurkan itu. Elena langsung duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Alva duduk bersebrangan dengan Elena.
"Kamu bisa masak?" Elena menatap Alva. Alva menggeleng, "Gue jago masak," ucap Alva. Huh sombong banget, gumam Elena. Elena Pun ikut menyendokkan nasi dan beberapa lauk pauk ke dalam piring nya. Ia mulai mencicipi masakan Alva dan matanya membulat. Sungguh ini sangat lezat, batinnya.
Mata Elena berbinar, kesombongan ucapan Alva tadi membuktikan semuanya. Alva benar-benar jago memasak.
"Enak," ucap Elena.
"Pasti." Alva menimpalinya sebelum memasukkan suapan berikutnya. Elena tersenyum dan melanjutkan makannya.
"Lo gak suka makan daging?"
"Suka.”
"Di Kulkas gak ada."
"Aku gak bisa masaknya," ucap Elena jujur. Alva mengangguk lalu kembali melanjutkan makannya.
Setelah itu, Elena mulai mencuci semua perlengkapan masak dan makan. Alva masih duduk disana memperhatikan Elena yang sedang berdiri di depan wastafel. Dia gak pake celemek? batin Alva.
Elena yang sedang menyabuni semua perabotan kotor itu menoleh karena ada tepukan lembut pada pundaknya.
"Ya?" Melihat Elena yang hanya menoleh, Alva membalikan tubuh Elena dan memakaikan celemek tersebut. Elena terpaku ketika Alva mendekat seperti memeluknya, Elena tahu Alva sedang menalikan tali celemek yang baru saja laki-laki itu pakaikan padanya.
"Aku gak biasa pakai ini," ucap Elena dengan tubuh yang masih membeku. Alva yang sudah selesai, kembali berdiri tegak.
"Baju lo bisa kotor dan basah."
"Ma...makasih," Elena kembali membalikkan tubuhnya dan melanjutkan pekerjaannya. Alva tersenyum melihat kegugupan Elena yang sangat kentara. Alva kembali duduk dan membuka flap ponselnya.
***
Alva melihat Elena yang telah selesai membereskan pekerjaannya. Alva bangkit dan berjalan menuju sofa. Menyalakan televisi seraya duduk menyilangkan kaki. Elena yang melihat itu pun ikut bergabung, tak lama setelah itu ponsel Elena bergetar menandakan ada panggilan masuk. Ia Pun naik ke lantai atas untuk mengangkat telepon.
"Halo sayang, kamu udah pulang?"
"Udah ma."
"Gimana kerjaan kamu?"
"Lancar ma. Mama uda makan? Mama lagi apa?"
Telepon dari siapa sih, ko sampe naik ke atas. Alva yang penasaran pun ikut bangkit dan menyusul Elena ke lantai atas. Lo kenapa sih Va, kepo banget, batin Alva.
"Iya ma, aku masih tinggal disini, pemiliknya baik. Aku dibolehin tinggal. Katanya sayang kalo gak berpenghuni. Oh ya ma, apa sekarang mama lagi sibuk?"
"Gak terlalu sayang, ada beberapa yang masih mama kerjakan. Oke selamat tidur sayang, istirahat yang cukup, jaga kesehatannya"
"Iya, mama juga. I love you."
"Love you too sayang." Panggilan terputus.
Oh dari mamanya, gumam Alva. Rasa lega begitu saja berdesir pada perasaannya. Lah gue kenapa?
Elena bangkit dari sisi ranjang dan berbalik, ia sedikit terperanjat karena Alva ada di sana. Alva membuka kaos yang ia kenakan. Elena yang melihat itu, langsung berbalik.
"Kamu..kamu mau apa?"
"Mandi," ucap Alva. Alva langsung pergi ke kamar mandi yang ada di lantai bawah.
Aduh apa yang tadi aku liat, perut alva yang ada kotak-kotaknya, ya tuhan.
Elena menoleh dengan hati-hati. Perasaannya lega karena Alva tak ada disana. Ia melirik pakaian Alva yang begitu saja tergeletak diatas ranjang. Ia tak berani menyentuhnya, takut disangka lancang.
Elena Pun memilih kembali ke ruang tengah, mencari siaran televisi yang menurutnya menarik. Perut yang sudah terisi menjadikannya mengantuk, dan sudah beberapa kali ia menguap.
***
Alva keluar dengan menggunakan bathrobe yang berada di salah satu lemari yang ada di kamar mandi. Ia berjalan menuju dapur menuangkan segelas air dan meminumnya. Alva berjalan menuju tangga, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Elena yang tertidur menahan kepalanya dengan tangan kanan yang di tumpukan di pinggiran sofa.
Alva memundurkan langkahnya dan berjalan ke arah sofa, duduk di sana memperhatikan Elena yang tertidur. Tanpa Alva sadari ia menyunggingkan senyumnya. Tumpuan tangan Elena melemah, beberapa kali kepalanya hampir terjatuh dan kali ini hampir saja Elena benar-benar terjatuh tapi Alva dengan sigap menjadikan dadanya bantalan kepala Elena.
"Huh untung aja," ucapnya pelan. Alva menunduk memandangi Elena yang tertidur di dadanya. Alva menyingkirkan beberapa helai rambut Elena yang menutupi wajahnya. Ia Pun mengelus lembut rambut Elena, memberikannya kenyamanan agar semakin pulas.
Alva mengangkat tubuh Elena, menggendongnya ala bridal style, membawanya menuju lantai atas. Alva menghentikan langkahnya di anak tangga ketiga, ketika Elena melingkarkan tangannya di leher Alva, ia kira Elena akan terbangun tapi tak ada pergerakan setelah itu. Alva menyunggingkan senyumnya. Ia kembali menaiki tangga menuju lantai dua. Membaringkan Elena di atas ranjang king size miliknya. Menyelimutinya sampai sebatas dada. Setelah itu Alva memilih untuk memakai pakaiannya terlebih dahulu, pakaian yang tadi pagi ia beli secara o****e. Ia kembali setelah mengenakan celana pendek dan kaos oblongnya. Ketika Alva hendak menaiki ranjang, ia menoleh kearah Elena. Kalo gue tidur disini, emang gapapa? Alva berpikir terlebih dahulu. Elena mengerang dan memiringkan posisinya menghadap Alva. Alva duduk seraya menyandarkan tubuhnya pada headboard. Memandangi wajah Elena yang terlihat sangat damai. Tangan Alva refleks mengelus rambut hitam pekat yang masih diikat itu. Alva mendekat, ia menarik pelan ikatan rambut Elena. Ia pikir akan tidak nyaman jika rambut itu terikat selama tidur, jadi Alva melakukannya.
***
Elena membuka matanya seraya menggeliat, ia melirik ke arah jam dinding kayu. Pukul 4.30 pagi. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan.
"Loh ko aku ada disini. Bukannya semalem aku ketiduran di sofa ya." Elena bangkit seraya menyentuh rambutnya, rupanya ikatan rambut itu sudah terlepas. Ia pun mencari keberadaan ikat rambut berwarna hitam miliknya. Matanya menangkap benda kecil itu tapi kenapa ia menemukannya.
“Aku rasa mengikatnya sejak semalam,” batin Elena.
Elena mulai bangkit dari tempat tidur dan langsung merapikannya. Setelah itu, ia berjalan keluar kamar menuju lantai bawah.
Mata Elena terpaku pada sosok Alva, yang tertidur di atas sofa, dengan selimut yang menutupi sebagian badannya. Apa dia yang pindahin aku ya? Ah mana mungkin, mungkin aja aku emang tidur di ranjang dari semalam.
Dirinya berniat pergi ke kamar mandi. Tapi langkahnya begitu saja membawanya ke arah sofa. Ia berjongkok memperhatikan Alva yang tertidur pulas di sana. Mata Elena menelusuri setiap lekuk wajah Alva, mengabsennya dan keterpanaan begitu saja ia rasakan. Alva benar-benar tampan, tak dapat Elena pungkiri akan hal itu. Elena pun melirik ke arah telinga kiri Alva. Ada sebuah anting yang menggantung si sana. Hanya di bagian telinga sebelah kiri dan Elena melihat itu sejak ia bertemu dengan Alva. Apa dia selalu pakai itu, bahkan ketika mandi? batin Elena.
Alva bergerak memiringkan posisi tidurnya, Elena cukup kaget sampai ia memundurkan tubuhnya hampir saja terjatuh. Tapi bersyukur karena Alva tidak sampai bangun. Bukannya segera beranjak dari sana, Elena malah kembali memperhatikan Alva di sana.
Elena kembali mengerjapkan matanya, menyadarkan dirinya agar tak berlebihan memandangi Alva yang tertidur pulas. Ia bangkit, dan hendak berbalik. Tapi tiba-tiba tangannya ditarik dan ia terkesiap kaget. Tarikan itu membuat Elena duduk di pinggir sofa dengan mata yang masih saja terbelalak dan jantung berdegup cepat. Kekhawatiran menghampiri Elena. Ia khawatir Alva mengetahui dirinya yang dengan lancang memandangi wajah Alva ketika tertidur. Elena melirik tangan Alva yang menariknya, matanya kembali membulat karena mendapati benda kecil yang ia cari sejak tadi. Ikat rambutnya yang berwarna hitam melingkar di pergelangan tangan kiri Alva.
Kenapa bisa ada di situ, batin Elena.
“Udah puas liatnya?” suara serak Alva terdengar, dan memberitahu Elena bahwa dirinya memang tertangkap basah telah memandangi Alva sejak tadi. Sungguh Elena merasa malu.
Mata itu mulai terbuka, Alva melirik Elena yang terlihat lucu dengan wajah keterkejutannya. Elena memalingkan wajah ketika melihat Alva yang melirik ke arahnya.
“Maaf,” ucap Elena, ia ingin bangkit tapi Alva masih mencekal lengannya.
“Good morning,” sapa Alva yang mengalihkan pembicaraan ke arah lain.
“Mmm mo..morning,” jawab Elena dengan terbata.
Alva bangkit dari tidurnya dan lagi-lagi Elena terbelalak karena mereka duduk berdekatan. Tangan Alva terangkat, ia mengucek matanya dengan sebelah tangan lain yang tak memegang lengan Elena.
“Mm maaf Va, tangan aku,” ucap Elena seraya melirik tangannya yang masih dipegang Alva.
“Kenapa tangannya? Sakit?” tanya Alva, yang menumpukan wajahnya seraya ikut memperhatikan tangan Elena yang ia masih genggam sejak tadi. Alva pura-pura tak mengerti dengan maksud Elena, entahlah rasanya ingin mengerjai wanita ini padahal masih pagi. Mungkin raut wajah lucunya yang menjadikan Alva ingin mengerjainya.
“Lepas Va.” Elena menarik pelan tangannya.
“Jangan dulu lah, masih betah gue.” Pandangan Alva berpindah, kini ia mengangkat wajahnya memusatkan pandangannya ke arah wajah Elena yang bersemu merah. Elena mengerjapkan matanya dengan wajah berpaling ke arah lain. Ia terlihat salah tingkah dan Alva suka melihatnya.
“Aku mau ke kamar mandi.” Elena menarik paksa tangannya, ia pun mulai bangkit dan meninggalkan Alva yang kembali tidur terlentang.
“Jangan lama-lama gue pengen pup,” seru Alva yang terdengar jelas dipendengaran Elena. Di balik pintu kamar mandi Elena menyandarkan tubuhnya di sana. Ia menghembuskan nafasnya perlahan seraya menenangkan detak jantungnya. Alva kenapa sih, dia mengigau ya, gerutunya.
***
"Gue anter lo," ucap Alva, keduanya keluar dari apartemen bersamaan.
"Gak usah Va, aku bisa naik taksi," ucap Elena seraya tersenyum. Elena membiarkan Alva berjalan lebih dulu. Ia memandangi tubuh kekar Alva, hari ini Alva mengenakan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana jeans yang pas ia kenakan dan terlihat keren di mata Elena. Bukan hanya dirinya, mungkin orang lain juga berpendapat hal yang sama dengannya ketika melihat penampilan Alva.
Alva menarik tangan Elena agar segera masuk ke dalam lift menuju basement. Elena melihat tangannya yang masih Alva genggam, Alva yang sedang sibuk dengan ponselnya pun lupa dengan hal itu. Ia begitu saja tak melepaskan tangan Elena.
"Va..maaf," Elena melepaskan tangannya dan itu membuat Alva menoleh sebentar.
"Oops sorry," ucap Alva bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.
Alva keluar lebih dulu dengan Elena yang mengikutinya dari belakang. Tak tahu harus bagaimana Elena mengikuti Alva begitu saja. Geraknya begitu saja menyetujui ajakan Alva mengantarnya bekerja.
Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan antara mereka. Elena hanya memandangi apa yang ada di luar jendela dan sesekali mendengar Alva yang berbicara lewat telepon dengan seseorang di seberang sana.
Percakapan perihal pekerjaan yang Elena dengar karena Alva yang sesekali menyebutkan jadwal dan nama brand yang sedang bekerja sama dengannya. Mobil Alva kini sudah sampai di depan butik Meisie. Elena segera membuka seatbelt yang sedari tadi ia kenakan, ia pun menoleh kearah samping dimana Alva berada.
“Va makasih atas tumpangannya,” ucap Elena. Alva yang sibuk dengan ponselnya menyempatkan menoleh kearah Elena.
“Hm, sorry gue gak bisa anter lo sampai dalem.” Elena mengerjap mendengar ucapan Alva. Lagian aku gak ada pikiran sampai kesitu, batin Elena.
“Aku turun,” ucap Elena yang mulai membuka pintu mobil. Alva kembali mengangguk dan tersenyum. Baru saja keluar dari mobil Alva, seseorang yang tiba-tiba berdiri di depannya dan cukup mengagetkannya. Seorang wanita dengan tatapan tajam tertuju padanya. Tanpa mengucapkan apapun, wanita itu membuka pintu mobil Alva menjadikan Elena terdorong ke samping.
"Alva!" panggil wanita itu pada seseorang di dalam sana.
***
Audy Queena seorang yang memiliki profesi yang sama seperti Alva. Wanita itu duduk di samping Alva seraya bergelayut manja di lengannya. Alva merasa risih dengan kedatangan Audy, ia menghempaskan tangan itu berkali-kali tapi Audy terus kembali melingkarkannya."Audy! Gue risih tau gak." Alva sungguh geram, ia pun memilih untuk segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran butik.“Lo turun di halte depan,” ucap Alva yang segera melajukan mobilnya. Dengusan kesal terdengar dari arah sampingnya. Alva tak memperdulikan itu, ia fokus pada jalanan yang ada di depan sana.“Siapa dia?” tanya Audy seraya menoleh ke arah samping, Alva tak kunjung menjawab membuat Audy kesal dibuatnya.“Aku kecewa semalam kamu gak datang.” Kini Audy mengganti topik pembicaraannya. Tapi masih saja Alva terdiam tak menimpali. Sungguh dirinya kesal, ia meremas pakaiannya menahan kekesalan yang ia rasakan.“Turun,” perintah Alva.
Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya."Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak."Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena."Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.Aman? Apa maksudnyaElena memanyunkan bibirnya."Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya."Tapi Va-""Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.Alva t
Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.Ting tong!Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya.Ceklek!Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva.Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya."Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang coc
"Aku bisa makan sambil melakukan pekerjaanku Alva." Alva menggeleng, ia kembali mengajak Elena untuk duduk di sofa dan mendudukkannya."Gak El, makan ya makan dulu aja, jangan nyambi.""Ish," Elena menggerutu, tapi ia tetap menurut dan hal itu membuat Alva senang."Gitu dong," Alva mengusap sisi wajah Elena. Elena terbelalak lagi-lagi Alva memberi perlakuan manis padanya. Bersamaan dengan itu, Rosie datang dan melihat aksi Alva."Alva," keduanya menoleh. Elena tampak kaget sedangkan Alva merasa santai saja."Ya ma?""Kamu, lagi apa? Disini?"Elena langsung bangkit dari duduknya ia tak enak karena sebelumnya duduk berdekatan dengan Alva, ralat Alva yang mendekatinya."Mm ma..maaf Nyonya kami..""Sudah saya bilang, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Tante hm."Mata Elena mengerjap, membuat Alva gemas melihatnya. Bukannya membantu Elena untuk menjelaskan keberadaannya di tempat ini. Alva malah menyandarka
Suara berisik itu membangunkan Alva yang masih sangat mengantuk, ia mulai membuka matanya seraya menguap. Bangun dari tempat yang cukup membuatnya sakit badan, karena walaupun empuk tetap saja sofa tidak senyaman tempat tidur. Alva merenggangkan ototnya, ia menoleh ke arah dapur dimana seseorang berada. Ia mengulum senyumnya seraya berjalan menghampiri Elena yang sedang sibuk dengan perlengkapan tempur."Pagi Al," sapa Elena ketika melihat Alva datang dengan wajah khas bangun tidurnya."Hm pagi." Alva menghampiri Elena yang sedang menyiapkan sarapan."Mm aku cuman masak nasi goreng, g..gapapa?" Elena tak berani menatap Alva yang melirik bergantian dirinya dan nasi goreng yang sudah tersedia di atas meja."Thanks." Alva mengusap puncak kepala Elena seraya tersenyum. Senyum yang membuat Elena menahan nafasnya sejenak. Senyuman Alva cukup membuatnya terpesona. Alva sudah duduk manis dan meminum air putih yang tersedia di dalam gelas tinggi itu.Alva m
"Hhh..." Elena berjalan gontai memasuki lift, satu jam lalu ia baru kembali setelah acara pulang kampungnya beberapa hari kebelakang. Cukup melelahkan membuat Elena ingin segera sampai dan merebahkan tubuhnya, kulit yang terasa lengket rasanya ingin segera berdiri di bawah shower dengan air dingin yang menghujaninya. Membayangkannya saja sudah membuat Elena nyaman. Tapi apa daya keinginannya harus tertunda terlebih dahulu karena keberadaan Alva di sana yang berdiri seraya melipatkan kedua tangan menyambut kedatangan Elena. Tatapannya terasa mengintimidasi, sedikit membuat Elena heran."Hai Va, apa kabar?" Tak kaku memang, tapi mata mengintimidasi Alva membuat Elena semakin lama menjadi takut."Mm aku bersih-bersih dulu." Baru tiga langkah kakinya berjalan, suara Alva membuatnya kembali berhenti."Kenapa gak bilang d
"Kamu tau, Anya pernah memanggilku bibi, padahal aku neneknya." Mei terkekeh, sedangkan Elena membulatkan matanya. Anak kecil saja menganggapnya seperti itu, tidak heran memang Mei masih terlihat muda, mungkin jika Elena tak mengenalinya, ia akan menganggap umur Mei hanya 3 tahun lebih tua darinya."Walaupun begitu aku tidak lupa umur ko, tenang saja. Gini-gini aku sudah punya cucu satu," Mei kembali tersenyum lebar membuat matanya yang sipit semakin menyipit.Elena memang sangat membenarkan itu, Mei memang terlihat 10 tahun lebih muda dari umurnya yang sekarang, ia memang sangat pandai merawat diri dan lihatlah kulitnya masih terlihat kencang dan segar. Tak heran jika cucunya sendiri memanggil bibi, bukan oma atau nenek seperti seharusnya. Mungkin untuk ukuran oma, Mei belum cocok menyandang gelar itu.Drrrttt!Ponsel Mei bergetar, menandakan ada panggilan masuk."H
Elena bergerak kesana kemari, bersyukur tak ada siapapun di toilet kecuali dirinya. Beberapa kali ia bercermin lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Tangan kanannya terangkat dan menyentuh tempat dimana kecupan itu mendarat.“Alva kenapa sih!” gerutunya yang merasa kesal karena Alva yang beberapa saat lalu tiba-tiba mengecupnya. Aku pikir posenya tidak perlu seperti itu, apa dia sengaja, gerutu Elena uang dipusatkan pada laki-laki menyebalkan yang berani membuat perasaannya kalut.Pintu toilet tiba-tiba terbuka dan membuat Elena terkejat.“Elena aku pikir kamu dimana, ternyata masih disini,” tutur Mei yang mulai masuk ke dalam toilet dan mendekat ke arah wastafel dimana Elena berada. “Ada apa? Perutmu sakit?” tanya Mei yang memperhatikan keadaan Elena yang terlihat gelisah.“Oh, enggak tan,” jawab Elena yang mencoba menyembunyikan kekesalannya. Mei mengusap bahu Elena seraya tersenyum.&ldqu
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha