Audy Queena seorang yang memiliki profesi yang sama seperti Alva. Wanita itu duduk di samping Alva seraya bergelayut manja di lengannya. Alva merasa risih dengan kedatangan Audy, ia menghempaskan tangan itu berkali-kali tapi Audy terus kembali melingkarkannya.
"Audy! Gue risih tau gak." Alva sungguh geram, ia pun memilih untuk segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran butik.
“Lo turun di halte depan,” ucap Alva yang segera melajukan mobilnya. Dengusan kesal terdengar dari arah sampingnya. Alva tak memperdulikan itu, ia fokus pada jalanan yang ada di depan sana.
“Siapa dia?” tanya Audy seraya menoleh ke arah samping, Alva tak kunjung menjawab membuat Audy kesal dibuatnya.
“Aku kecewa semalam kamu gak datang.” Kini Audy mengganti topik pembicaraannya. Tapi masih saja Alva terdiam tak menimpali. Sungguh dirinya kesal, ia meremas pakaiannya menahan kekesalan yang ia rasakan.
“Turun,” perintah Alva. Audy mengedarkan pandangannya, benar saja mobil ini berhenti tepat di depan sebuah halte. Alva tak main-main dengan ucapannya. Audy tak menurut, ia tetap diam di tempatnya.
Terdengar Alva yang berdengus kesal. Tak lama keluar dari mobil dan berjalan memutari mobil untuk membuka lebar pintu bagian Audy kembali menyuruh wanita itu untuk segera keluar dari sana.
“Gue gak punya waktu banyak, lo bisa keluar sekarang?” suara dingin itu terdengar memuat Audy terpaksa turun. Alva menutup pintu mobilnya, ia berdiri menghadap Audy dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana.
“Lo liat cewek tadi?” tanya Alva. Audy mengangkat wajahnya membalas tatapan Alva tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Dia cewek gue,” ucap Alva kemudian. Mata Audy terbelalak, tak menyangka dengan apa yang Alva ucapkan sampai ia tak bisa berucap apa-apa. Tanpa pamit, Alva kembali memasuki mobilnya dan meninggalkan Audy di sana.
Emosi sungguh tak dapat Audy tahan, apa yang baru saja Alva katakan sungguh menyakiti hatinya. Wajah wanita tadi kembali ia ingat, seorang wanita asing yang baru ia temui begitu saja Alva akui sebagai kekasihnya. Ada apa ini, Audy merasa dipermainkan.
***
Elena keluar dari butik sekitar jam 5 sore, ia menghentikan taksi yang lewat dan segera menaikinya. Ia menyandarkan tubuhnya rileks ke sandaran kursi dan memejamkan matanya sejenak. Elena teringat mamanya tiba-tiba. Ma aku kangen, batinnya. Elena langsung mengeluarkan ponsel dari tas dan mencari nomor kontak orang yang selalu ia rindukan.
Ckittt! Tapi tiba-tiba taksi berhenti mendadak dan menjadikan ponsel Elena hampir saja terjatuh.
"Ada apa pak?" tanya Elena pada sang sopir taksi.
"Maaf mbak, ada mobil yang tiba-tiba berhenti didepan," jawab Pak sopir.
Elena hendak melihat tapi kaca mobilnya terlebih dulu diketuk seseorang. Matanya membulat melihat Alva di luar sana. Alva langsung membuka pintu taksi.
"Keluar," suruhnya.
"Alva, aku-"
Alva memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada sang sopir taksi. "Pak ini."
"Alva gak usah, aku bisa bayar sendiri."
"Kembaliannya mas."
"Gak usah, ambil aja pak."
"Makasih mas."
"Ayo cepet keluar?"
"Maaf mas siapanya mbak ini ya?"
"Saya.. suaminya." Alva segera menarik tangan Elena dan membuat Elena keluar dari taksi. Alva membuka pintu mobilnya dan menyuruh Elena masuk. Elena segera masuk karena beberapa mobil di belakang sudah mengantri menunggu mobil di depannya segera melaju.
"Maksud kamu apa sih Va?" Elena yang tak mengerti maksud Alva geram dan segera bertanya. Alva tak menjawab, ia terus melajukan mobilnya. Elena yang kesal hanya diam dan melihat keluar jendela. Beberapa menit jalanan ditelusuri, dan kini Alva memasukkan mobilnya ke sebuah basement mal.
"Ayo turun," pinta Alva.
"Mau ngapain kita kesini." Elena mengedarkan pandangannya.
"Nonton bola," Elena mengerutkan keningnya seraya mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Ya belanjalah."
"Ya terus, buat apa aku ikut. Kamu yang mau belanja."
"Kita belanja bahan masakan, kulkas di apartemen sudah hampir kosong, kemarin semua gua masak. Lo gak sadar?"
"Apa?" Apa iya, kenapa Elena tak menyadarinya. Padahal ia sendiri yang belanja dan ikut makan juga.
"Cepet turun, jangan bikin gue nunggu, gue gak suka." Walaupun sedikit kesal Elena tetap keluar dari mobil dan mengikuti Alva dari belakang. Elena mengambil troli, Alva mengambil alih dan mendorongnya.
"Eh."
"Udah cepet, pilih aja mau beli apa." Elena Pun melihat-lihat, sebenarnya ia belum hafal beberapa nama sayuran dan bumbu yang harus digunakan, walaupun dulu dia sering bertanya tapi belum tentu Elena mengingatnya.
"Ko lama banget sih, gue udah laper nih," gerutu Alva.
"Ya udah makan aja sana," timpal Elena yang masih melihat-lihat sayuran yang da di depannya.
"Gue pengen makan di apartemen," balas Alva.
Ck! Ribet banget sih ni orang, batin Elena.
Lama banget elah, gumam Alva. Di satu jenis sayuran saja Elena bisa menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit.
"Tunggu di sini, biar gue yang cari.” Elena mengerjapkan matanya ketika melihat Alva berjalan mendekat ke beberapa sayuran, ia terlihat begitu mahir membuat Elena terperangah melihatnya.
Alva memilih beberapa bahan masakan beserta bumbu-bumbunya. Tak lupa ia juga membeli beberapa daging.
"Kamu beli daging?"
"Lo gak suka?"
"Suka, tapi masaknya gimana?"
Alva tak menjawab, ia kembali mendorong troli dan memasukkan beberapa bahan lagi yang Elena tak tahu itu apa. Setelah satu jam berputar, akhirnya mereka menghampiri kasir.
Sumpah demi apa ini troli penuh banget, gumam Elena.
"Alva, kenapa banyak banget sih belanjanya. Aku gak mungkin makan semua ini.” Elena mengeluh melihat belanjaan mereka begitu banyak.
"Lo pikir, lo aja yang mau makan? ya gue juga lah," timpal Alva.
Hah! Apa maksudnya, apa dia mau tiap hari makan di apartemen, iya aku tau itu tempat tinggal dia, tapi kan ah sudahlah. Alva harus memperjelas semua ini nanti.
Diperjalanan menuju apartemen, Elena tak bersuara. Ia terus memikirkan apa maksud Alva belanja sebegini banyaknya.
Sampai di basement apartemen. Elena keluar dari mobil sambil membawa dua kantong kresek kecil sedangkan Alva membawa dua kantong besar lainnya. Elena segera menekan pin apartemen dan membuka lebar pintu itu. Belanjaan itu mereka tahun di area dapur tepatnya di atas meja bar.
"Va, maksudnya kamu mau makan di sini tiap hari?"
Alva mengeluarkan beberapa bahan masakan dan mencucinya, tak lupa juga ia mengeluarkan bumbu-bumbu yang diperlukan "Kalo iya, kenapa?"
"Tapikan Va rumah kamu jauh, masa setiap jam makan datang kesini."
"Gue pindah aja ke sini, gampangkan." mata Elena membulat, maksudnya kita tinggal satu apartemen gitu. Elena ingin mengomel tapi ia urungkan. Elena tahu, di sini dialah yang menumpang.
"Yaudah, aku usahakan secepatnya aku pindah Va, makasih ya sebelumnya udah kasih aku tempat tinggal." Alva yang sedang memotong sayuran pun langsung berbalik. Ia meletakkan pisau dan berjalan mendekati Elena.
***
Alva berjalan mendekat ke arah Elena, Elena pun mundur dan sialnya langkahnya terhenti karena kabinet yang berada di belakangnya."Tinggal di sini, gue gak bisa urus apartemen sendirian," ucap Alva dengan mata memperangkat mata Elena yang sedang terbelalak."Tapi Va, kita gak bisa tinggal satu apartemen," lirih Elena."Gue gak tinggal, mungkin sesekali datang ke sini untuk memastikan apartemen gue aman." Alva menimpali.Aman? Apa maksudnyaElena memanyunkan bibirnya."Lo boleh pake kamar utama, ruang sebelahnya bakal gue ubah jadi kamar biar gampang buat gue tidur kalo datang kesini," papar Alva. Ruang lain? Elena sendiri tak mengetahui ruangan itu. Ia merasa enggan membukanya walaupun ia sangat penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya."Tapi Va-""Apa? Lo mau kita tidur seranjang, gue sih gak masalah." Alva mengedikkan bahunya sedangkan Elena terperanjat dengan ucapan Alva yang menurutnya sensitif.Alva t
Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.Ting tong!Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya.Ceklek!Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva.Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya."Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang coc
"Aku bisa makan sambil melakukan pekerjaanku Alva." Alva menggeleng, ia kembali mengajak Elena untuk duduk di sofa dan mendudukkannya."Gak El, makan ya makan dulu aja, jangan nyambi.""Ish," Elena menggerutu, tapi ia tetap menurut dan hal itu membuat Alva senang."Gitu dong," Alva mengusap sisi wajah Elena. Elena terbelalak lagi-lagi Alva memberi perlakuan manis padanya. Bersamaan dengan itu, Rosie datang dan melihat aksi Alva."Alva," keduanya menoleh. Elena tampak kaget sedangkan Alva merasa santai saja."Ya ma?""Kamu, lagi apa? Disini?"Elena langsung bangkit dari duduknya ia tak enak karena sebelumnya duduk berdekatan dengan Alva, ralat Alva yang mendekatinya."Mm ma..maaf Nyonya kami..""Sudah saya bilang, jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Tante hm."Mata Elena mengerjap, membuat Alva gemas melihatnya. Bukannya membantu Elena untuk menjelaskan keberadaannya di tempat ini. Alva malah menyandarka
Suara berisik itu membangunkan Alva yang masih sangat mengantuk, ia mulai membuka matanya seraya menguap. Bangun dari tempat yang cukup membuatnya sakit badan, karena walaupun empuk tetap saja sofa tidak senyaman tempat tidur. Alva merenggangkan ototnya, ia menoleh ke arah dapur dimana seseorang berada. Ia mengulum senyumnya seraya berjalan menghampiri Elena yang sedang sibuk dengan perlengkapan tempur."Pagi Al," sapa Elena ketika melihat Alva datang dengan wajah khas bangun tidurnya."Hm pagi." Alva menghampiri Elena yang sedang menyiapkan sarapan."Mm aku cuman masak nasi goreng, g..gapapa?" Elena tak berani menatap Alva yang melirik bergantian dirinya dan nasi goreng yang sudah tersedia di atas meja."Thanks." Alva mengusap puncak kepala Elena seraya tersenyum. Senyum yang membuat Elena menahan nafasnya sejenak. Senyuman Alva cukup membuatnya terpesona. Alva sudah duduk manis dan meminum air putih yang tersedia di dalam gelas tinggi itu.Alva m
"Hhh..." Elena berjalan gontai memasuki lift, satu jam lalu ia baru kembali setelah acara pulang kampungnya beberapa hari kebelakang. Cukup melelahkan membuat Elena ingin segera sampai dan merebahkan tubuhnya, kulit yang terasa lengket rasanya ingin segera berdiri di bawah shower dengan air dingin yang menghujaninya. Membayangkannya saja sudah membuat Elena nyaman. Tapi apa daya keinginannya harus tertunda terlebih dahulu karena keberadaan Alva di sana yang berdiri seraya melipatkan kedua tangan menyambut kedatangan Elena. Tatapannya terasa mengintimidasi, sedikit membuat Elena heran."Hai Va, apa kabar?" Tak kaku memang, tapi mata mengintimidasi Alva membuat Elena semakin lama menjadi takut."Mm aku bersih-bersih dulu." Baru tiga langkah kakinya berjalan, suara Alva membuatnya kembali berhenti."Kenapa gak bilang d
"Kamu tau, Anya pernah memanggilku bibi, padahal aku neneknya." Mei terkekeh, sedangkan Elena membulatkan matanya. Anak kecil saja menganggapnya seperti itu, tidak heran memang Mei masih terlihat muda, mungkin jika Elena tak mengenalinya, ia akan menganggap umur Mei hanya 3 tahun lebih tua darinya."Walaupun begitu aku tidak lupa umur ko, tenang saja. Gini-gini aku sudah punya cucu satu," Mei kembali tersenyum lebar membuat matanya yang sipit semakin menyipit.Elena memang sangat membenarkan itu, Mei memang terlihat 10 tahun lebih muda dari umurnya yang sekarang, ia memang sangat pandai merawat diri dan lihatlah kulitnya masih terlihat kencang dan segar. Tak heran jika cucunya sendiri memanggil bibi, bukan oma atau nenek seperti seharusnya. Mungkin untuk ukuran oma, Mei belum cocok menyandang gelar itu.Drrrttt!Ponsel Mei bergetar, menandakan ada panggilan masuk."H
Elena bergerak kesana kemari, bersyukur tak ada siapapun di toilet kecuali dirinya. Beberapa kali ia bercermin lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Tangan kanannya terangkat dan menyentuh tempat dimana kecupan itu mendarat.“Alva kenapa sih!” gerutunya yang merasa kesal karena Alva yang beberapa saat lalu tiba-tiba mengecupnya. Aku pikir posenya tidak perlu seperti itu, apa dia sengaja, gerutu Elena uang dipusatkan pada laki-laki menyebalkan yang berani membuat perasaannya kalut.Pintu toilet tiba-tiba terbuka dan membuat Elena terkejat.“Elena aku pikir kamu dimana, ternyata masih disini,” tutur Mei yang mulai masuk ke dalam toilet dan mendekat ke arah wastafel dimana Elena berada. “Ada apa? Perutmu sakit?” tanya Mei yang memperhatikan keadaan Elena yang terlihat gelisah.“Oh, enggak tan,” jawab Elena yang mencoba menyembunyikan kekesalannya. Mei mengusap bahu Elena seraya tersenyum.&ldqu
Alva terus melangkah dan menuruni tangga menuju lantai satu. Kedatangannya mengundang perhatian tapi ia tak memperdulikan tatapan mereka yang tertuju padanya. Penampilan Alva yang santai membuat semua heran, termasuk Roy yang merasa malu karena Alva yang tiba-tiba muncul dengan penampilan seperti itu.Alva yang tak memperdulikan sekitarnya terus melangkah menuju pintu keluar, termasuk ia melewati Roy yang menatap tajam ke arahnya. Desas-desus terdengar, Roy semakin malu dibuatnya.“Eh Va, lo mau kemana? Dan penampilan lo?” Reno yang berada di sana mendekat pada Alva dan berusaha menghalangi jalan Alva.“Kunci mobil lo mana?” Alva mengangkat telapak tangannya untuk meminta benda yang baru saja ia sebutkan.“Hah?” Reaksi Reno terhadap apa yang Alva minta. “ Buat apa?”“Gue minta kunci mobil lo,” ucap Alva yang kini menatap tajam mata Reno. Reno bingung dibuatnya, tangannya pun mulai merogoh
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha