Aku tidak pernah menginginkan hal seperti ini, tapi arus sungai kehidupan yang keruh dan menghitam telah membawaku ke sebuah neraka kekosongan. Jika membaca cerita ini, aku yakin kalian akan merasa jijik padaku.
Semua terjadi begitu saja tanpa pernah direncanakan. Hidupku hancur, terbengkalai, dan aku menjadi seorang pengangguran yang menjijikkan.
Biaya hidup yang semakin tinggi di kota membuatku harus berjuang mati-matian mencari receh demi bertahan hidup. Biaya perawatan ibuku di rumah sakit demikian menjadi masalah yang hampir membuat kepalaku meledak tak tertahankan.
Mengeluh memang percuma dilakukan, tetapi wajar aku mengutuk hidup ini karena terlalu memberikan masalah yang tidak pernah bisa aku tanggung sendirian.
Senyum dan tawa semua orang di gemerlapnya lampu-lampu bangunan menjulang tinggi kota metropolitan ini menambah kebencian di hatiku yang menghitam. Aku mengutuk mereka semua.
Gembira, bertepuk tangan, kenyang, terpuaskan, dan berbunga-bunga. Semua hal yang dialami orang lain menjadi masalah bagiku. Andaikan Dewa itu benar-benar ada, mungkin aku tidak akan terjerat masalah seperti ini. Andaikan semua orang tahu dan merasakan apa yang kualami, semua tidak akan serumit ini.
Kesekian kalinya, aku mengumpat seperti orang yang telah kehilangan akal sehat. Lagi-lagi, aku berteriak pekak di jembatan sambil menatap lautan di bawahnya. Lagi dan lagi aku berpikir untuk menghabisi hidupku sendiri.
Namun, jika mati, bagaimana dengan ibuku? Hidupku memang tak lagi penting. Berpikir mati bukan berarti aku harus lari dari tanggung jawab. Setiap pertanyaan yang ada di kepala tak lagi dapat ditampung. Jika aku tetap memaksa hidup seperti ini, semua akan berakhir dengan kematian.
Sampai suatu ketika, seseorang berkata padaku. "Bukankah tidak ada gunanya setiap malam ke jembatan ini dan berpikir untuk mati? Setiap waktu itu adalah uang yang berharga."
Aku sedikit tertawa mendengar kata-kata itu. Setiap waktu adalah uang yang berharga? Jika itu benar, lalu mengapa aku tidak juga mendapatkan uang untuk mengatasi semua masalahku?
Jika saja benar, aku tidak akan terlihat begitu depresi memikirkan biaya hidup dan rumah sakit.
Aku tidak menjawab, membiarkan wanita yang entah seperti apa wajahnya, aku tidak pernah ingin tahu tentang apa pun. Pandanganku masih tertunduk menatap gelombang laut yang mulai meninggi.
"Saya selalu melihatmu di jembatan ini setiap malam. Dengan wajah yang sama dan dengan teriakan yang sama. Saya yakin itu adalah keluhanmu terhadap hidup ini. Ikutlah dengan saya. Kamu bisa hidup enak dan semua masalahmu akan teratasi."
Yang benar saja. Apakah dia semacam Dewa Penolong? Masihkah ada manusia seperti itu di dunia ini?
Sekarang, aku terpaksa harus melihat wajahnya. Dia, seorang wanita paruh baya mengenakan topi bucket berwarna hitam sambil menyesap rokok putih yang terselip di antara jari telunjuk dan tengah.
Wajahnya sangat datar tanpa ekspresi. Satu hal yang aku yakini pada seseorang sepertinya, dia mungkin tidak berbohong menawarkan kehidupan yang sangat enak, seperti yang ada di dalam pikiranku saat ini.
Wanita itu tidak terlihat tua, maupun tak terlalu muda. Tahi lalat tipis kecil di atas bibir membuatnya tampak lebih manis. Gaun hitamnya dengan rok selutut memberikan kesan bahwa dirinya tahu bagaimana mengatur diri sendiri agar terlihat lebih baik di mata semua orang.
"Jangan menatap saya seperti itu. Jadi, apakah kamu mau ikut dengan saya atau tidak? Kesempatan ini tidak datang dua kali."
"Gue nggak ngerti apa yang lo bicarakan. Kenapa gue harus ikut sama lo dan kenapa juga lo menawarkan sesuatu yang nggak jelas ke gue."
Dia tertawa kecil, lalu membuang puntung rokok ke aspal, menginjaknya dengan lamat. "Karena saya tahu kamu sangat butuh uang. Ibumu masuk rumah sakit, kan? Dan mungkin kamu pun belum makan seharian ini."
Aku mulai heran padanya. Mengapa dia tahu semua masalah yang sedang aku hadapi, bahkan sampai mengetahui perutku belum juga diberi makan apa pun.
"Siapa lo sebenarnya?"
Tidak menjawab apa pun, justru dia memberikan sebuah kartu nama berwarna hitam yang huruf-hurufnya tampak menyala di kegelapan.
Terbuai rasa penasaran, aku turun dari besi pembatas jembatan. Sepertinya, malam ini aku pun harus mengurungkan niat untuk melompat ke lautan. Padahal, aku telah benar-benar akan melakukannya.
Aku masih menatap ke arah wanita itu.
"Kenapa? Ambillah dan kamu akan tahu saya siapa."
Di kartu nama yang telah kuambil dari tangan si wanita, tertulis sebuah nama, mungkin semacam nama perusahaan atau entahlah dan nomor telepon serta alamat website.
"CatHub?"
"Saya akan menunggu jawaban darimu. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Kamu harus ingat, waktu adalah uang dan nyawa ibumu tidak menunggu waktu untuk dicabut Dewa Kematian."
Wanita yang tidak kuketahui namanya itu berjalan hingga menghilang dari pandangan.
Hidup ini sungguh lucu, memberikan harapan saat harapan itu sendiri benar-benar akan hilang ditelan putus asa. Dan sekarang, aku harus mencari tahu tentang CatHub dan bisnis apa yang mereka jalankan.
Semua terjadi tanpa pernah direncanakan. Terjadi secara tiba-tiba dan aku benar-benar terperangkap dalam sebuah dilema. Ketika telah mengetahui tentang CatHub dan siapa wanita itu sebenarnya, kini jauh lebih sulit menentukan apakah aku akan masuk ke gelapnya dunia itu.
CatHub, sebuah perusahaan dan agensi yang memproduksi film-film dewasa. Itu artinya, apakah aku akan dipekerjakan sebagai orang yang memainkan peran di dalam produksi film-film mereka?
Jika pada kenyataannya seperti itu, bukankah aku harus membuang kehormatanku? Bukankah aku juga harus sanggup menahan setiap pandangan jijik orang lain terhadapku?
"Bagaimana? Kamu sudah mencari tahunya sendiri, bukan? Sekarang, saya ingin mendengar jawaban langsung darimu. Jawaban itu akan direkam. Setelah itu, kamu akan diberikan sebuah kontrak."
Seperti biasa, aku belum dapat memastikan jawaban yang akan kuberikan pada wanita itu. Mataku lamat menatap lautan yang kini gelombangnya tidak setinggi kemarin malam.
Jawabanku akan menentukan masa depanku. Busuknya kehidupan ini telah membuatku berkali-kali jatuh dan merasa kelaparan. Aku tidak lagi bisa berkompromi dengan Dewa yang menjaga dunia ini. Aku telah merasa ditelantarkan.
"Kamu akan bekerja sebagai aktor kami. Tentu saja, kamu sudah mengetahui gambaran tentang pekerjaanmu, bukan? Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga banyak untuk pekerjaan ini. Ini tergolong pekerjaan yang enak dan kamu hanya perlu melakukannya."
Bagaimanapun aku frustrasi terhadap hidup ini, kata-kata si wanita telah berhasil menyulut kemarahan di dalam diriku.
"Lo bilang pekerjaan yang enak?! Jangan bercanda sama gue! Itu pekerjaan yang akan membuat nama gue tercoreng ..."
"Bukankah kamu sudah tidak punya kebanggaan lagi? Untuk apa memikirkan nama baik di mata orang lain? Yah, terserah kamu saja. Saya sudah menawarkan pekerjaan yang tergolong sangat gampang dan punya gaji besar untuk membantu mengatasi masalah-masalahmu.
Kamu akan bisa membeli rumah baru dan mobil sebanyak apa pun yang kamu inginkan."
Dia berbalik badan, seolah-olah menyerah membujukku menerima tawaran itu.
"Saya anggap kamu menolak. Kesempatan tidak datang ..."
Aku segera turun dari pembatas jembatan. "Oke! Gue akan terima tawaran lo!"
Senyum yang mengembang di wajahnya menandakan kepuasan. Sepertinya dia hanya mempermainkanku. Dia sebenarnya telah mengetahui aku akan menerima tawaran itu karena keadaanku yang tidak bisa ditanggulangi oleh usaha sendiri.
"Kalau begitu, kamu akan mulai bekerja di CatHub besok malam. Seorang artis, gadis baru sudah siap menunggumu di ranjang. Tenang saja, dia masih virgin."
"Bajingan!"
Dia tertawa kecil. Melihat laki-laki rendahan sepertiku seolah-olah menjadi hiburan baginya.
"Kalau begitu, ikutlah dengan saya."
Akhirnya, cerita ini dimulai. Cerita yang akan membuat kalian memandangku dengan tatapan jijik. Selamat menikmati dan selamat datang di kehidupan baruku yang diselimuti kegelapan.
-II-
Wanita paruh baya yang baru-baru ini kuketahui namanya adalah Elaine menatap lamat sejak beberapa menit kedatanganku di kantornya. Mulai dari ujung kaki hingga kepala dan matanya berhenti, tepat di wajahku yang terbilang cukup tampan. Entah bagi orang lain.Tak segan-segan, dia meraih ujung kaus hitam yang kukenakan.
Suasana yang terjadi di sekitar ruangan benar-benar mencekam. Aku sama sekali tidak berani mengarahkan tatapan pada gadis bernama Siska yang tengah duduk di sampingku. Sebab, segala macam pikiran menjijikkan telah singgah di kepala. Aku tidak bisa berhenti membayangkan kemolekan tubuh gadis itu, yang kata Elaine masih virgin.Aku tidak berusaha menjadi orang munafik, ibarat seekor kucing yang ditawari ikan segar. Mungkin kami merasakan hal yang sama sebagai seorang model baru yang tidak cukup berpengalaman.
"Baiklah. Kalau begitu, saya akan membiarkan kalian selama satu jam berada di ruangan ini. Mulailah berkomunikasi dan saling mengenal."Aku benar-benar tidak pandai berkomunikasi dengan seorang perempuan yang baru saja kutemui. Namun, sepertinya ini harus dilakukan sesuai arahan Elaine. Seperti yang kalian ketahui, ini merupakan pekerjaan baruku. Apa pun risikonya, aku harus mendapatkan uang untuk sekadar menyambung hidup.
Dengan hanya menggunakan dalaman berwarna merah, Elaine menumpu tubuh dengan kedua tangan di masing-masing sisi kepalaku, dia berada di atas. Rambut lurus panjangnya yang wangi menyentuh sebagian wajahku. Mata wanita itu lamat, tentu dengan senyuman tipis yang mengiringi.Aku rasa, itu bukan senyuman yang dapat dikategorikan positif. Dia seolah-olah sedang mengintimidasi dengan perlakuannya saat ini. Apalagi, aku bisa melihat dua gundukan yang tidak jauh lebih besar dari milik Siska. Namun, itu sangat menggoda. Ya, sepertinya
Rosemary Ananda, perempuan manis dengan bibir tipis yang sangat menggoda. Ditambah lagi rambut bergelombangnya memberikan kesan keanggunan yang tiada tara. Aku selalu bisa terpesona oleh wajah tirusnya yang kadang merona saat berada di frame. Apa pun yang berhubungan dengannya, bahkan iklan sekalipun yang bisa menipu di media internet selalu saja membuatku langsung mengunjunginya.Namun, kini dia nyata berada di hadapanku. Sudah kuduga dari awal, berada di gedung agensi ini akan selalu membuatku menelan saliva dan menahan hasrat yang telah membludak.Sedari tadi, karena telah berhasil tersihir wajah manis gadis itu, aku bergeming. Sedangkan Ananda perlahan-lahan bangkit.“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis manis mengenakan pita berwarna merah muda itu yang seketika membuatku sadar dari imaji.Sudah tak diragukan lagi. Bahkan meski dia hanya berada di layar ponsel, Ananda selalu sukses menjadikanku manusia imajinatif dengan seribu pikiran kotor n
Jika ini yang terjadi, maka tak ada bedanya dengan tidak melakukan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apakah usaha yang telah kulakukan sia-sia? Terlebih lagi, aku telah terlanjur melangkah ke jalan yang penuh kegelapan. Aku akan banyak menghabiskan waktu dengan para perempuan baru, tidur dengan mereka, melakukan hal yang nikmat, tapi penuh kekosongan.Sebentar, ada yang aneh denganku. Mengapa air mataku tak dapat dikeluarkan bahkan setelah mengetahui kabar bahwa ibuku telah tak lagi bernyawa? Hati hitamku terlampau jahat, menutupi segala rasa yang awalnya biasa-biasa saja.Ada sebuah kelegaan yang terasa. Senangkah aku dengan kematian ibuku?Setidaknya, aku telah berjuang sekuat tenaga, bahkan hingga mengabaikan setiap rasa lapar yang hadir.“Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Adrian,” ucap Elaine yang tengah menikmati rokok dan kopi di sebelahku. “Apa kamu sangat terpukul?”Tanpa berat hati, aku menatap wanita ters
Sesi syuting pertama telah berakhir dan bagiku cukup melelahkan. Untungnya, adegan dalam naskah film itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Walau begitu, ketidaknikmatan ini harus aku tanggung dan menjadi risiko paling besar. Padahal, Siska telah menawarkan agar kami melakukannya setelah sesi syuting."Hai, Adrian! Gue suka cara main lo!" ucap Siska setelah selesai membersihkan keringat yang bercucur di wajah dan leher. "Gimana sama perjanjian kita? Apakah kita akan ..."
"Ini kunci mobil dan ini kunci rumah baru untukmu."Aku cukup tercengang ketika Elaine menyodorkan dua kunci untukku. Sambil mengangkat sebelah alis, aku bertanya, "Kunci? Buat apa?""Itu fasilitas dari agensi. Kamu mendapatkannya jauh lebih cepat dari yang lain. Kamu tahu kenapa?"Elaine menyesap rokok putihnya sambil menyelonjorkan kaki di atas meja. "Itu karena kamu sudah sangat berprestasi. Penjualan film pertama yang diluncurkan eksklusif di website resmi telah mencapai 500 ribu pembeli. Grafik yang sangat bagus dan luar biasa sepanjang sejarah agensi ini berdiri."Mulutku menganga mendengar penjelasan Elaine. Mungkin bagiku sendiri saja, itu sudah cukup luar biasa. Aku tidak pernah menyangka bahwa film perdana yang aku perankan bersama Siska akan begitu laris bagi mereka pencinta film-film dewasa."S-sebanyak itu? Lo bercanda?!"Elaine justru menertawakan keterkejutanku."Bercanda? Saya tidak pernah bercanda. Itu a
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki