Jika ini yang terjadi, maka tak ada bedanya dengan tidak melakukan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apakah usaha yang telah kulakukan sia-sia? Terlebih lagi, aku telah terlanjur melangkah ke jalan yang penuh kegelapan. Aku akan banyak menghabiskan waktu dengan para perempuan baru, tidur dengan mereka, melakukan hal yang nikmat, tapi penuh kekosongan.
Sebentar, ada yang aneh denganku. Mengapa air mataku tak dapat dikeluarkan bahkan setelah mengetahui kabar bahwa ibuku telah tak lagi bernyawa? Hati hitamku terlampau jahat, menutupi segala rasa yang awalnya biasa-biasa saja.
Ada sebuah kelegaan yang terasa. Senangkah aku dengan kematian ibuku?
Setidaknya, aku telah berjuang sekuat tenaga, bahkan hingga mengabaikan setiap rasa lapar yang hadir.
“Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Adrian,” ucap Elaine yang tengah menikmati rokok dan kopi di sebelahku. “Apa kamu sangat terpukul?”
Tanpa berat hati, aku menatap wanita tersebut dan menggeleng pelan. “Gue sama sekali nggak merasa sedih atau ingin menangis. Sepertinya akal sehat gue udah nggak lagi sehat.”
Sambil membuang puntung rokok di asbak, Elaine tertawa bergelak. “Itu bagus. Kesedihan tidak ada gunanya. Semakin kamu memikirkannya, semakin kamu akan tenggelam ke dalamnya. Jadi, menurut saya, kamu justru manusia paling normal yang pernah saya temui.”
Dahiku mengernyit. Entah mengapa, meskipun tidak merasakan kesedihan sedikit pun atas kehilangan ibuku selama-lamanya, tetapi perkataan Elaine membuatku naik pitam. “Apa maksud lo?! Apa lo udah nggak punya hati?! Sakit jiwa! Elo bukan manusia, Elaine!”
“Sudahlah. Tidak perlu membahasnya terlalu jauh. Sekarang, kamu ikuti saya ke ruangan syuting.”
Dia benar-benar wanita tak berperasaan. Bahkan setelah mengetahui aku sedang ditimpa musibah, dia tetap memaksaku untuk syuting hari itu juga. Meski begitu, aku tidak dapat menolak. Entahlah, apakah aku akan bisa merasakan kenikmatan dalam kondisi meratapi seperti ini.
Sebuah ruangan yang dindingnya didominasi warna putih, lengkap dengan sofa, meja, dan satu ruangan lagi berisi ranjang cukup besar. Pencahayaan remang-remang, dilengkapi oleh lilin-lilin kecil yang diletakkan di lantai dengan masing-masing jarak satu meter.
Tim kameramen dan sutradara sepertinya telah standby sambil mengatur beberapa proyeksi layar dan alat-alat yang akan digunakan dalam syuting. Tidak lupa bahwa Siska telah siap sambil duduk di ranjang dengan pakaian yang sangat ketat. Tentu, itu membuat dua gundukan berharganya terlihat sangat besar.
Ya, aku sudah tahu itu karena pernah melihatnya dan masih ingin merasakan bagaimana sensasi jika aku benar-benar menggerayanginya.
“Adrian.”
Siska melambaikan tangan, memintaku menghampiri dirinya.
Dengan jantung yang semakin berdebar kencang, aku bergerak mendekatinya.
“Apa lo udah siap?” tanyanya dengan senyuman lebar. Itu terkesan seperti dirinya sangat antusias. Apakah sebenarnya dia menantikan hal ini?
Kuanggukkan kepala pelan dan menjawab sekenanya. “Iya, mungkin.”
“Kenapa mungkin?”
Aku tak langsung menjawab, tetapi Siska langsung meraih tanganku dan menariknya hingga aku terduduk di ranjang bersamanya.
“Lo udah harus siap. Walaupun kita nggak akan berdialog seperti pembuatan film pada umumnya, tapi lo harus siap mental dan fisik, Adrian.”
Tanganku Siska remat dan diselipkan di lengan sehingga tonjolan yang cukup besar itu dapat kurasakan jelas walau dengan sentuhan yang tidak besar. Sepertinya dia berusaha membuatku kepanasan sebelum syuting benar-benar dimulai. Aku tahu sekarang, dia memang perempuan licik yang mengaku virgin, tetapi sebenarnya, entahlah.
Dia terlihat sangat menikmati pekerjaan ini dan sama sekali belum pernah kulihat wajahnya menautkan sendu seperti yang aku lakukan.
“Adrian! Apa kamu sudah minum pil yang saya berikan?” Elaine menghampiri kami.
Aku sangat benci mengakuinya karena berpikir tidak membutuhkan pil-pil tersebut. Itu jelas akan menghilangkan kenikmatan yang seharusnya aku dapatkan dari pergolakan hasrat dengan Siska. Namun, sepertinya Elaine merupakan orang yang sangat teliti bahkan dengan hal sekecil apa pun.
“Ya, gue udah minum sebelum datang ke sini.”
“Baguslah kalau begitu. Kita akan mulai beberapa menit lagi. Kalian boleh pemanasan,” kata Elaine sambil mengedipkan sebelah mata padaku.
Orang-orang di tempat itu benar-benar aneh dan tak waras. Mereka sangat menantikan aku benar-benar melakukan pekerjaan ini.
“Kita akan disaksikan banyak mata, Adrian. Lo nggak akan bisa menikmatinya. Gue pun gitu,” ungkap Siska kemudian.
“Terserahlah. Hidup gue sebentar lagi akan hancur. Lagi pula, gue udah memutuskan untuk nggak tanggung-tanggung menghancurkannya. Lebih baik hancur dan terlihat menjijikkan sama sekali di mata orang lain.”
“Tapi, selain itu, akan banyak juga orang yang akan berterima kasih pada kita.”
“Ya, gue tahu.”
“Jadi, ayo, kita nikmati sebisa mungkin.” Kali ini, senyuman yang timbul di wajah Siska jauh lebih lebar dari sebelumnya.
Sedetik kemudian, dia menyentuh rahangku, mengelusnya perlahan.
Seperti yang dia katakan. Menikmati semuanya sebisa mungkin akan lebih baik. Meski penyesalan akan selalu ada.
My First Boyfriend menceritakan tentang kehidupan asmara yang dijalani oleh perempuan virgin. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil. Hingga pada suatu hari, dia bertekad untuk memberikan mahkota berharganya untuk sang kekasih.
Maka, terjadilah apa yang telah ditetapkan pada hidup kami masing-masing. Hal yang terbilang sangat tabu, tetapi sangat manusiawi. Hal yang tergolong sangat terlarang, tetapi sangat dibutuhkan oleh setiap manusia demi kelangsungan sebuah kehidupan di dunia ini.
Aku berperan sebagai seorang pria yang telah memiliki pengalaman dalam menghancurkan keintiman seorang gadis. Dengan latar belakang sebagai lelaki yang sangat populer dan selalu diincar banyak perempuan, aku memilih Siska untuk dihancurkan kenikmatannya.
Semua terjadi begitu saja. Pil yang telah aku minum sepertinya bekerja dengan baik. Tiada hasrat pribadi yang diprioritaskan. Hanya saja, semua ini sangat kosong dan gelap. Aku seperti melakukannya dengan boneka, tiada merasa apa pun, tetapi jelas-jelas mesin persenjataan ini merespons dengan wajar.
Ini jauh lebih baik daripada melakukannya sendiri sambil menjongkok di kamar mandi.
Yang terjadi beberapa jam kemudian, tubuh kami telah tidak dihalangi oleh sehelai pun benang. Kulit putih mulus dan dua tonjolan itu tidak lagi membuatku merasa sepanas biasanya.
Hanya saja, ini terkesan sangat aneh. Bibir kami bersentuhan dan melakukan pergolakan dengan waktu yang cukup lama, tetapi aku tidak merasakan apa pun.
Napas Siska memburu hebat dan dia telah kehilangan kendali atas diri sendiri. Dia mungkin telah dapat mengabaikan semua orang yang menyaksikan kami di ruangan tersebut.
“Cut!”
Bukankah terasa sangat tidak nikmat? Kenikmatan yang dibayangkan semua orang menjadi seorang aktor film dewasa sama sekali tidak nyata adanya. Kenikmatan tidak dibatasi oleh apa pun, tetapi yang terjadi di sini, kata “cut” merupakan hal yang begitu aku benci.
“Adrian! Posisimu salah! Kalau kamu seperti itu, kamu akan membuat Siska terasa nyeri. Ulangi! Kalau kamu lupa dengan posisinya, kamu boleh melihat naskahnya lagi.”
Aku ingin berkata “persetan dengan posisi”. Kenikmatan hanya sebuah angan-angan.
Keringat telah berlomba keluar dari pori kulit Siska. Dia mendekatiku, menempelkan dua tonjolan besarnya di dada bidangku, kemudian berbisik tajam, “Ayo, kita lanjutkan. Setelah ini mungkin kita akan melakukannya di belakang layar.”
-II-
Sesi syuting pertama telah berakhir dan bagiku cukup melelahkan. Untungnya, adegan dalam naskah film itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Walau begitu, ketidaknikmatan ini harus aku tanggung dan menjadi risiko paling besar. Padahal, Siska telah menawarkan agar kami melakukannya setelah sesi syuting."Hai, Adrian! Gue suka cara main lo!" ucap Siska setelah selesai membersihkan keringat yang bercucur di wajah dan leher. "Gimana sama perjanjian kita? Apakah kita akan ..."
"Ini kunci mobil dan ini kunci rumah baru untukmu."Aku cukup tercengang ketika Elaine menyodorkan dua kunci untukku. Sambil mengangkat sebelah alis, aku bertanya, "Kunci? Buat apa?""Itu fasilitas dari agensi. Kamu mendapatkannya jauh lebih cepat dari yang lain. Kamu tahu kenapa?"Elaine menyesap rokok putihnya sambil menyelonjorkan kaki di atas meja. "Itu karena kamu sudah sangat berprestasi. Penjualan film pertama yang diluncurkan eksklusif di website resmi telah mencapai 500 ribu pembeli. Grafik yang sangat bagus dan luar biasa sepanjang sejarah agensi ini berdiri."Mulutku menganga mendengar penjelasan Elaine. Mungkin bagiku sendiri saja, itu sudah cukup luar biasa. Aku tidak pernah menyangka bahwa film perdana yang aku perankan bersama Siska akan begitu laris bagi mereka pencinta film-film dewasa."S-sebanyak itu? Lo bercanda?!"Elaine justru menertawakan keterkejutanku."Bercanda? Saya tidak pernah bercanda. Itu a
Entah mengapa, ketika aku meremas bemper belakang Elaine, ada riak yang menandakan kemarahan di wajahnya. Elusan-elusan lembut yang dihasilkan tangan wanita itu berganti menjadi cengkeraman di kausku.“Ups! Lo marah?” tanyaku merasa tak enak pada Elaine.Dia tak menjawab, tetapi kemudian mengembuskan napas pasrah.Tidak ada komunikasi antara kami dalam beberapa menit. Elaine hanya menatapku dengan lamat dengan dada yang kembang kempis, menandakan napasnya mulai tak teratur.“Kamu pikir sudah berapa banyak saya tidur dengan laki-laki?”Tentu, pertanyaan itu tidak dapat kujawab sebab kurang mengetahui tentang sang wanita. Aku ingat dia pernah berkata memiliki hasrat seksual yang menyimpang. Melakukan hal yang panas denganku tidak akan menjadi hal yang membuatnya demikian merasakan nafsu.“Gue … nggak tahu.” Aku menggeleng pelan.“Saya sudah tidur dengan ratusan laki-laki. Dari mereka semu
Akhirnya, aku bisa merasakan sentuhan kulit yang kuinginkan, bisa merasakan kenikmatan yang menyelimuti seluruh tubuhku. Hasrat yang keluar bahkan melebihi kehebatan saat melakukannya bersama Siska. Inikah keahlian seorang pro?“Bagaimana, Adrian? Apa kamu sudah merasa ingin menyerah?”Elaine seolah-olah mengejek diriku, berharap aku menyerah dengan kemampuan yang dia miliki. Aku memang seorang pemula, tetapi aku sudah banyak belajar hanya melalui mata. Semua yang kulihat telah kuingat dan simpan di dalam kepala.“Jangan meremehkan gue!”Malam itu terasa begitu panjang, kenikmatan seolah-olah telah akrab denganku. Namun, aku merasa kosong kesekian kalinya. Ada ketakutan dan perasaan jijik yang hadir di benakku.“Kenapa kamu berhenti, Adrian?”Kuhapus peluh yang bercucur di wajah. Elaine tentu saja terlihat menikmati semuanya. Dia sangat bersemangat. Sesuai yang ia katakan, dia punya tipe tersendiri untuk s
Rosemary Ananda berdiri di depan pintu rumah baruku dengan pakaiannya yang serba minim. Rok mini, baju berwarna merah muda tanpa lengan yang cukup ketat sehingga dengan mudah diriku bisa melihat tonjolan miliknya.Seperti biasa, dia selalu menggoda di mataku dengan lipstik merah muda di bibir tipisnya. Rosemary Ananda, sesungguhnya aku ingin dia merasakan kenikmatan bersamaku.“Lo?”“Hai, Adrian. Kita bertemu lagi.” Dia bergerak masuk tanpa kupersilakan, kemudian mengedarkan mata ke sekeliling ruangan utama. “Rumah yang bagus. Kamu beruntung sekali. Syuting perdana sudah mendapatkan rumah ini.”“Ya, gue juga nggak menyangka.”Ananda berbalik badan dengan memahat senyuman yang lebar. “Kamu harus bersyukur.”“Tentu. Gue akan bersyukur atas pencapaian ini.”Gadis manis berlesung pipit itu mendekatiku dan merapikan kerah kemejaku yang agak berantakan.“Ak
“Nah, Ananda. Apa lo punya pacar?” tanyaku setelah sesi kenikmatan itu berakhir dengan puncak jerit yang tiada batas.Sambil bermain-main dengan hidungku yang lancip, Ananda menjawab, “Aku nggak punya pacar. Kenapa kamu tanya seperti itu?”“Gue selalu membayangkan apa jadinya kalau gue punya satu dan dia tahu profesi yang gue jalani.”Senyuman yang menenangkan seperti biasanya, selalu dapat mengubah pace degup jantung yang berontak dengan segala kegelisahan.“Aku yakin, pasti ada yang bisa menerima kamu apa adanya. Satu banding satu juta cewek di dunia ini, dialah yang memiliki hati mulia dan selalu terbuka dengan segala kenyataan.”Ini agak aneh sebenarnya. Kami membicarakan tentang gadis yang memiliki hati mulia, yang tidak memandang status apa pun seseorang yang ia cinta, ibarat membicarakan Rosemary Ananda itu sendiri.Bahwa bagiku, Rosemary Ananda memang sosok mulia yang sangat langka di d
Selain syuting film yang bisa membuatku bergelimang harta dan popularitas, ternyata aku banyak mendapatkan tawaran untuk menjadi model majalah. Tentu saja, majalah yang diterbitkan berlabel dewasa yang memperlihatkan otot-otot dan betapa proporsionalnya tubuhku.Tidak ada-apa. Kali ini, aku dengan senang hati memperlihatkan diriku di mata siapa pun. Selagi mereka menikmati penampilanku dan membuat mereka senang, aku tidak lagi peduli dengan idealisme bodoh dan harkat atau martabat.Rasa lelah yang kudapat dari sekelumit urusan pekerjaan membuatku ingin bersantai untuk sejenak saja. Hasrat itu memang nikmat, tetapi sangat melelahkan.Aku menikmati dunia luar setelah sekian pekan hanya berdiam diri di rumah dan agensi. Namun, tampaknya aku telah menjadi sorotan semua orang. Spotlight seolah-olah mengikuti ke mana aku melangkah.Tak sedikit orang-orang secara acak memberikan tatapan jijik.“Ah, sorry!” ucapku ketika tak sengaja menabrak se
Sevanya mendorong tubuhku hingga terempas di dinding. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang berusaha gadis itu lakukan. Tatapannya begitu licik dan menyeramkan. Bahkan kini, dia mencengkeram kerah kemeja yang kukenakan.“A-apa yang coba lo lakuin?!” tanyaku terheran-heran.Dia tidak menjawab apa pun, kecuali tetap menggerakkan tangan. Diraihnya segera kancing kemejaku, lalu ia buka secara paksa hingga beberapa terlepas dari benangnya.Kali pertama aku menemukan seorang gadis yang begitu liar. Napasnya yang menderu menyiratkan bahwa hasrat itu tak lagi terbendung. Jantungku berontak dibuatnya. Seolah-olah kini aku adalah korban dari pemaksaan dan percobaan persetubuhan.“Woy! Yang benar aja!”“Diam lo, Adrian Satria Sanjaya!” tegasnya rahang yang mengeras.Pakaianku dipelorotkan. Tenaga Sevanya begitu besar dan terus memaksa diriku membukanya. Aku demikian pasrah. Bukan karena aku juga menginginkan kenikm
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki