"Baiklah. Kalau begitu, saya akan membiarkan kalian selama satu jam berada di ruangan ini. Mulailah berkomunikasi dan saling mengenal."
Aku benar-benar tidak pandai berkomunikasi dengan seorang perempuan yang baru saja kutemui. Namun, sepertinya ini harus dilakukan sesuai arahan Elaine. Seperti yang kalian ketahui, ini merupakan pekerjaan baruku. Apa pun risikonya, aku harus mendapatkan uang untuk sekadar menyambung hidup.
Setelah Elaine keluar meninggalkanku dan Siska yang masih dalam mode tanpa sehelai benang pun menempel di tubuh, kupersiapkan diri mengatakan sepatah atau dua patah kata.
"Jadi, apa kita akan melakukannya sekarang?" tanya Siska mendahului.
Aku masih saja merasa sungkan melihat dirinya. Yang benar saja! Kepalaku sudah akan meledak karena suhu panas yang semakin tinggi.
"Adrian, lihat gue, dong!" Dua tangan wanita berhidung lancip itu meraih kepalaku dan memutarnya 180 derajat ke kanan hingga lagi-lagi bagian menonjol itu terlihat dengan dua bola kecil sebagai penghiasnya yang agak kemerahan.
Saliva begitu sulit kutelan. Hasrat itu kembali membludak dan aku sangat ingin melakukannya, jika memungkinkan. Walaupun sangat yakin Siska tidak akan menolak sentuhan kecil maupun besar yang kulakukan pada tubuhnya, rasa malu itu tetap ada. Hanya saja, kali ini telah berkurang perlahan-lahan.
Jika aku telah dibutakan nafsu, maka berakhirlah sudah. Aku sepenuhnya akan tenggelam ke dunia gelap tersebut.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Siska dengan lugas menempelkan bibirnya ke bibirku. Sama sekali aku tidak memiliki persiapan apa pun. Namun, secara kontan hasrat di dalam diriku merespons dan menyerangnya balik. Ya, aku bermain-main dengan nafsu kami berdua. Kini, beradu di atas api yang suhunya telah semakin meningkat.
Tidak peduli apa pun. Bahkan tanganku tak lagi mengikuti kehendak hati yang menjerit meminta aktivitas menjijikkan itu dihentikan, bergerak sangat cepat dan meraih apa yang seharusnya diraih.
Hal yang sangat klise, tetapi ini menjadi impian sebagian lelaki, setidaknya bisa merasakan kehangatan dari seorang gadis baru tanpa berusaha lebih banyak mendapatkan perhatian. Inilah kehidupan paling ideal bagi seseorang yang sangat imajinatif sambil menjongkok di kamar mandi.
Mata Siska telah berubah sayu dan napasnya kini semakin menderu hebat. Ah, aku sangat yakin dia tidak akan membiarkanku menghentikan semua ini. Aku telah terjebak dan tidak dapat keluar dari sebuah kubus yang paradoks.
Salivanya yang sesekali menitik menjadi daya tarik yang demikian membuatku tidak ingin menyia-nyiakan waktu satu jam yang diberikan Elaine.
"Adrian. Ayo, kita lakukan. Ini juga pertama kalinya bagi gue," ucap Siska dengan napas agak tersendat. Ya, kutahu ia telah tak bisa menahan hasrat yang membludak.
Aku pun begitu hingga akhirnya mendorong tubuh gadis tersebut hingga menggelepar di sofa. Lengan sofa menjadi bantal yang mengganjal kepalanya dan saat ini dia tengah menatap mataku dengan lamat.
"Lo sangat, sangat menggairahkan gue, Adrian. Tubuh lo yang sangat proporsional itu. Biarkan gue memilikinya sejenak. Lo milik gue sejam kedepan."
"Jangan banyak bicara dan biarkan gue melakukan apa pun dengan tubuh lo!"
"Silahkan! Lakukan, Adrian. Gue rela dan lo harus memberikan gue kepuasan. Berikan elusan apa pun untuk gue."
Seperti yang gadis itu minta, aku telah dirasuki iblis bernafsu dan berubah menjadi begitu ganas. Lehernya yang jenjang kuraih hingga ... entahlah. Semua berlalu begitu cepat dan melelahkan.
Walau begitu, aku belum melakukan apa pun pada keintimannya. Elaine membuka pintu ruangan dan membuatku agak ragu melanjutkan.
"Hentikan, Adrian!" Wanita itu menarik tubuhku yang hampir saja pasrah dikendalikan hasrat. "Saya tidak meminta kalian melakukannya sekarang. Apa kalian tidak mendengar yang saya katakan? Kalian hanya perlu berkomunikasi dan melakukan aktivitas-aktivitas ringan. Bukan seperti ini."
Sifat bejatku telah berhasil menguasai hati yang menghitam. Benar kata Elaine, bahwa dia tak meminta kami melakukan hal di luar batas dan mengotori ruang kerjanya.
Segera kulepaskan Siska dari cengkeraman dan menjauh darinya. Segera kukenakan celana yang baru saja kulucuti.
"Adrian. Sepertinya kamu belum paham. Kalian itu akan memainkan sebuah film yang skenarionya sudah diatur. Kalian akan bermain sebagai pemula yang sama sekali tidak mengetahui apa pun soal dunia seperti ini.
Kami membutuhkan kealamian peran kalian. Tapi, kalau kalian melakukannya sekarang, itu akan merusak semuanya. Apakah sudah jelas sampai di sini?!" tegas Elaine dengan kerutan di dahi yang menandakan ada sebuah kekecewaan di dirinya.
Siska beranjak bangkit, mengenakan pakaiannya satu per satu. "Maaf, ini salah gue. Gue yang udah memancing Adrian buat ngelakuinnya."
"Ya, gue paham. Gue akan menahannya sampai hari itu tiba."
Elaine membungkuk, menyejajarkan kepalanya denganku. "Kalau kamu ingin, saya bisa membantumu melakukannya. Tidak dengan Siska karena itu akan merusak skenario yang sudah ada."
Untuk kesekian kalinya, aku mendapatkan elusan kecil dari tangan Elaine. Walau begitu, kini aku berusaha menahannya dan mengalihkan pandangan dari tatapan tajam sang wanita.
"Nggak, makasih. Gue udah nggak nafsu!"
"Okay! Kalau begitu, malam ini sudah cukup." Elaine bergantian menatap Siska. "Kamu pulanglah istirahat. Besok kita lanjutkan lagi. Saya akan menghubungimu jika semuanya sudah siap."
Siska mengangguk pelan, kemudian menatapku sejenak. "Sampai besok, ya, Adrian. Kita lanjutkan besok. Untuk sementara, kamu boleh melakukannya sendirian."
Ah, sepertinya dia sedang mengejekku. Sialan! Ya, aku memang sering melakukannya sendiri setelah kepergian Nindya dari hidupku. Perempuan sialan! Dia membuatku frustrasi. Menambah masalah saja.
"Jadi, gimana sekarang? Apa gue juga harus pulang?"
"Tidak. Kamu masih butuh bimbingan lebih banyak daripada Siska. Kamu baru di sini, sedangkan Siska, saya sudah berbicara banyak hal dengannya."
Elaine bergerak melangkah ke sebuah lorong di ruangan itu. Dari awal aku juga sudah penasaran, ke mana lorong itu akan membawa seseorang jika memasukinya?
Sambil memutar kenop pintu di ujung lorong, Elaine berkata, "Ayo, masuk. Kamu perlu diberikan edukasi yang mendalam."
"Memangnya itu butuh pendidikan? Yang benar aja! Gue nggak punya waktu untuk sekolah."
Mungkin kekecewaan masih menyelimuti diriku yang tidak bisa melakukannya dengan Siska, sehingga itulah suasana hatiku benar-benar tidak baik. Aku selalu bersikap dingin dan menjawab sekenanya jika diajak berbicara oleh Elaine.
"Dasar bodoh! Kamu pikir untuk apa film-film itu kami produksi kalau bukan untuk memberikan edukasi? Jangan terlalu menganggap negatif, tapi cobalah berpikir positif apa yang bisa kamu berikan pada orang lain.
Kamu tidak tahu, kan, kalau di luar sana banyak orang yang tidak puas dengan pasangannya sendiri?"
"Omong kosong!" umpatku sambil mengalihkan pandangan. Meskipun pada akhirnya aku tidak mungkin menolak perintah wanita tersebut. "Semua hanya demi duit. Siapa yang peduli dengan edukasi?"
Elaine seketika menarik kausku dan melangkah masuk ke ruangan yang lampunya remang-remang. Ada ranjang yang berukuran cukup besar dan dia mendorongku hingga terempas.
Tak pernah kusangka akan melihat kulit yang masih segar itu mengetahui Elaine tidak lagi muda. Dia tak ada bedanya dengan perempuan yang berusia 20 tahun ke atas, masih tetap memesona dan pastinya memicu gairah yang sebelumnya telah padam.
"Sebaiknya kamu bersiap-siap, Adrian! Karena saya akan memberikanmu pendidikan khusus!"
-II-
Dengan hanya menggunakan dalaman berwarna merah, Elaine menumpu tubuh dengan kedua tangan di masing-masing sisi kepalaku, dia berada di atas. Rambut lurus panjangnya yang wangi menyentuh sebagian wajahku. Mata wanita itu lamat, tentu dengan senyuman tipis yang mengiringi.Aku rasa, itu bukan senyuman yang dapat dikategorikan positif. Dia seolah-olah sedang mengintimidasi dengan perlakuannya saat ini. Apalagi, aku bisa melihat dua gundukan yang tidak jauh lebih besar dari milik Siska. Namun, itu sangat menggoda. Ya, sepertinya
Rosemary Ananda, perempuan manis dengan bibir tipis yang sangat menggoda. Ditambah lagi rambut bergelombangnya memberikan kesan keanggunan yang tiada tara. Aku selalu bisa terpesona oleh wajah tirusnya yang kadang merona saat berada di frame. Apa pun yang berhubungan dengannya, bahkan iklan sekalipun yang bisa menipu di media internet selalu saja membuatku langsung mengunjunginya.Namun, kini dia nyata berada di hadapanku. Sudah kuduga dari awal, berada di gedung agensi ini akan selalu membuatku menelan saliva dan menahan hasrat yang telah membludak.Sedari tadi, karena telah berhasil tersihir wajah manis gadis itu, aku bergeming. Sedangkan Ananda perlahan-lahan bangkit.“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis manis mengenakan pita berwarna merah muda itu yang seketika membuatku sadar dari imaji.Sudah tak diragukan lagi. Bahkan meski dia hanya berada di layar ponsel, Ananda selalu sukses menjadikanku manusia imajinatif dengan seribu pikiran kotor n
Jika ini yang terjadi, maka tak ada bedanya dengan tidak melakukan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apakah usaha yang telah kulakukan sia-sia? Terlebih lagi, aku telah terlanjur melangkah ke jalan yang penuh kegelapan. Aku akan banyak menghabiskan waktu dengan para perempuan baru, tidur dengan mereka, melakukan hal yang nikmat, tapi penuh kekosongan.Sebentar, ada yang aneh denganku. Mengapa air mataku tak dapat dikeluarkan bahkan setelah mengetahui kabar bahwa ibuku telah tak lagi bernyawa? Hati hitamku terlampau jahat, menutupi segala rasa yang awalnya biasa-biasa saja.Ada sebuah kelegaan yang terasa. Senangkah aku dengan kematian ibuku?Setidaknya, aku telah berjuang sekuat tenaga, bahkan hingga mengabaikan setiap rasa lapar yang hadir.“Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Adrian,” ucap Elaine yang tengah menikmati rokok dan kopi di sebelahku. “Apa kamu sangat terpukul?”Tanpa berat hati, aku menatap wanita ters
Sesi syuting pertama telah berakhir dan bagiku cukup melelahkan. Untungnya, adegan dalam naskah film itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Walau begitu, ketidaknikmatan ini harus aku tanggung dan menjadi risiko paling besar. Padahal, Siska telah menawarkan agar kami melakukannya setelah sesi syuting."Hai, Adrian! Gue suka cara main lo!" ucap Siska setelah selesai membersihkan keringat yang bercucur di wajah dan leher. "Gimana sama perjanjian kita? Apakah kita akan ..."
"Ini kunci mobil dan ini kunci rumah baru untukmu."Aku cukup tercengang ketika Elaine menyodorkan dua kunci untukku. Sambil mengangkat sebelah alis, aku bertanya, "Kunci? Buat apa?""Itu fasilitas dari agensi. Kamu mendapatkannya jauh lebih cepat dari yang lain. Kamu tahu kenapa?"Elaine menyesap rokok putihnya sambil menyelonjorkan kaki di atas meja. "Itu karena kamu sudah sangat berprestasi. Penjualan film pertama yang diluncurkan eksklusif di website resmi telah mencapai 500 ribu pembeli. Grafik yang sangat bagus dan luar biasa sepanjang sejarah agensi ini berdiri."Mulutku menganga mendengar penjelasan Elaine. Mungkin bagiku sendiri saja, itu sudah cukup luar biasa. Aku tidak pernah menyangka bahwa film perdana yang aku perankan bersama Siska akan begitu laris bagi mereka pencinta film-film dewasa."S-sebanyak itu? Lo bercanda?!"Elaine justru menertawakan keterkejutanku."Bercanda? Saya tidak pernah bercanda. Itu a
Entah mengapa, ketika aku meremas bemper belakang Elaine, ada riak yang menandakan kemarahan di wajahnya. Elusan-elusan lembut yang dihasilkan tangan wanita itu berganti menjadi cengkeraman di kausku.“Ups! Lo marah?” tanyaku merasa tak enak pada Elaine.Dia tak menjawab, tetapi kemudian mengembuskan napas pasrah.Tidak ada komunikasi antara kami dalam beberapa menit. Elaine hanya menatapku dengan lamat dengan dada yang kembang kempis, menandakan napasnya mulai tak teratur.“Kamu pikir sudah berapa banyak saya tidur dengan laki-laki?”Tentu, pertanyaan itu tidak dapat kujawab sebab kurang mengetahui tentang sang wanita. Aku ingat dia pernah berkata memiliki hasrat seksual yang menyimpang. Melakukan hal yang panas denganku tidak akan menjadi hal yang membuatnya demikian merasakan nafsu.“Gue … nggak tahu.” Aku menggeleng pelan.“Saya sudah tidur dengan ratusan laki-laki. Dari mereka semu
Akhirnya, aku bisa merasakan sentuhan kulit yang kuinginkan, bisa merasakan kenikmatan yang menyelimuti seluruh tubuhku. Hasrat yang keluar bahkan melebihi kehebatan saat melakukannya bersama Siska. Inikah keahlian seorang pro?“Bagaimana, Adrian? Apa kamu sudah merasa ingin menyerah?”Elaine seolah-olah mengejek diriku, berharap aku menyerah dengan kemampuan yang dia miliki. Aku memang seorang pemula, tetapi aku sudah banyak belajar hanya melalui mata. Semua yang kulihat telah kuingat dan simpan di dalam kepala.“Jangan meremehkan gue!”Malam itu terasa begitu panjang, kenikmatan seolah-olah telah akrab denganku. Namun, aku merasa kosong kesekian kalinya. Ada ketakutan dan perasaan jijik yang hadir di benakku.“Kenapa kamu berhenti, Adrian?”Kuhapus peluh yang bercucur di wajah. Elaine tentu saja terlihat menikmati semuanya. Dia sangat bersemangat. Sesuai yang ia katakan, dia punya tipe tersendiri untuk s
Rosemary Ananda berdiri di depan pintu rumah baruku dengan pakaiannya yang serba minim. Rok mini, baju berwarna merah muda tanpa lengan yang cukup ketat sehingga dengan mudah diriku bisa melihat tonjolan miliknya.Seperti biasa, dia selalu menggoda di mataku dengan lipstik merah muda di bibir tipisnya. Rosemary Ananda, sesungguhnya aku ingin dia merasakan kenikmatan bersamaku.“Lo?”“Hai, Adrian. Kita bertemu lagi.” Dia bergerak masuk tanpa kupersilakan, kemudian mengedarkan mata ke sekeliling ruangan utama. “Rumah yang bagus. Kamu beruntung sekali. Syuting perdana sudah mendapatkan rumah ini.”“Ya, gue juga nggak menyangka.”Ananda berbalik badan dengan memahat senyuman yang lebar. “Kamu harus bersyukur.”“Tentu. Gue akan bersyukur atas pencapaian ini.”Gadis manis berlesung pipit itu mendekatiku dan merapikan kerah kemejaku yang agak berantakan.“Ak
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki