Rainer Alden terbangun di tengah kegelapan yang pekat. Bukan kegelapan seperti malam hari atau ketidakjelasan, melainkan kegelapan yang menyesakkan, seperti terperangkap dalam kekosongan abadi. Namun, sesuatu terasa berbeda. Kegelapan ini bukan akhir. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang mengalir—energi, kehidupan.
"Apa...?" gumamnya, kebingungan. Suaranya terdengar asing, tidak seperti suara yang dia kenali. Lebih muda, lebih... jernih.
Sejenak, dia teringat kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya—sebuah mobil yang kehilangan kendali, menabrak pohon di malam yang hujan deras. Dalam sekejap, hidupnya berakhir. Namun, kini, dia merasa seperti terlahir kembali.
Rainer membuka matanya perlahan. Dunia yang terbentang di hadapannya begitu asing. Langit yang cerah menyambutnya, penuh dengan nuansa warna yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Angin membawa aroma yang berbeda, lebih segar, lebih alami. Bukannya berada di ruang rumah sakit atau kamar rumahnya, ia kini terbaring di atas rerumputan yang lembut, dengan cahaya matahari yang menghangatkan kulitnya.
"Di mana ini?" pikirnya, berusaha mengingat apa yang terjadi.
Saat ia bangkit, sebuah suara lembut terdengar. "Hati-hati," sebuah tangan membantu Rainer untuk berdiri. Dia menatap ke arah suara itu. Seorang gadis muda dengan rambut panjang berwarna cokelat keemasan, berpakaian sederhana namun elegan, tersenyum padanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Rainer, suaranya terdengar agak serak, seperti baru pertama kali berbicara setelah lama terdiam.
"Syukurlah, kau terbangun," kata gadis itu, menatapnya dengan cemas. "Kau tiba-tiba pingsan begitu saja di tengah hutan. Kami pikir kau akan mati."
Rainer memandangnya dengan bingung. "Kami?" Ia melihat sekeliling, dan mendapati bahwa ia sedang berada di sebuah desa kecil yang tampaknya terpisah dari peradaban besar. Rumah-rumah kayu berdiri sederhana, dan penduduknya tampak sibuk dengan pekerjaan sehari-hari.
"Apa ini tempatnya?" Rainer bertanya lagi.
"Ini adalah Desa Vallen," jawab gadis itu dengan lembut. "Tapi sepertinya... kau bukan berasal dari sini, kan? Tak ada yang pernah melihatmu sebelumnya."
Rainer mengangguk, perasaan bingung semakin mendalam. Dunia ini, tempat ini, tak pernah ia kenal. Kenapa dia bisa ada di sini? Ia bahkan tak ingat bagaimana bisa sampai ke tempat ini. Saat ia hendak bertanya lebih lanjut, sebuah suara kasar terdengar dari belakang.
"Apa yang terjadi di sini?" seorang pria paruh baya muncul, berjalan cepat ke arah mereka. Pria itu mengenakan pakaian pelindung yang tampaknya dipakai oleh seorang petani atau pekerja kasar, tubuhnya kekar dengan bekas luka-luka pertarungan di wajah dan tubuhnya.
Gadis itu cepat-cepat menjelaskan, "Aku menemukannya terbaring di tengah jalan, ayah. Dia sepertinya pingsan."
Pria itu mengamati Rainer dengan tatapan tajam. "Hmph, aneh sekali. Tidak ada yang datang ke desa ini tanpa alasan," katanya dengan suara berat. "Kau dari mana, anak muda? Pasti bukan penduduk sini."
Rainer mencoba berdiri tegak, merasakan ketegangan dalam tubuhnya. "Aku... aku tidak tahu. Aku rasa aku baru saja... lahir kembali, atau semacamnya."
Gadis itu terkejut. "Lahir kembali?"
"Hei, jangan bercanda dengan kami," kata ayah gadis itu dengan suara lebih keras. "Kami tidak punya waktu untuk permainan bodoh. Jika kau tidak bisa menjelaskan darimana asalmu, lebih baik kau pergi."
Rainer menghela napas. “Aku... Aku jenius dari dunia yang berbeda. Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku bukan orang biasa.”
Tatapan pria itu semakin tajam. "Seorang jenius?" katanya dengan sinis. "Tentu saja. Seorang jenius yang terjatuh dari langit, ya?"
Rainer tahu bahwa kata-katanya tidak akan diterima dengan mudah. Untuk sementara, dia harus bermain aman. "Baiklah, saya akan mencari cara untuk membuktikannya. Tapi saya perlu bantuan."
Gadis itu tampaknya merasa kasihan padanya. "Ayah, mungkin kita bisa membantunya. Dia jelas tidak seperti orang yang bisa dipercaya begitu saja." Tatapannya lembut, berbeda dari sikap keras ayahnya.
Setelah beberapa detik yang penuh ketegangan, ayah gadis itu akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi ingat, anak muda, jika kau mencurigakan atau malah membawa bahaya, kami tidak segan-segan untuk mengusirmu."
Rainer mengangguk, merasa sedikit lega. Dalam keadaan yang tak pasti ini, setidaknya ia menemukan tempat untuk berlindung.
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, dan Rainer mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya di desa Vallen. Meskipun penampilannya yang tampak tidak cocok dengan para penduduk desa, ia mulai merasakan bahwa dia mungkin lebih terhubung dengan dunia ini daripada yang ia kira. Keahlian dalam strategi, logika, dan pengetahuan dari dunia lamanya mulai terasa berguna, meski banyak orang di desa yang belum sepenuhnya mengerti apa yang ia katakan.
Namun, dunia ini lebih rumit dari yang ia bayangkan. Sistem kelas yang ketat dan ketidakadilan yang terjadi di kerajaan tempat ia berada membuat Rainer merasa terasingkan. Ia sadar bahwa kecerdasannya bisa menjadi kunci untuk mengubah dunia ini, tapi itu tidak akan mudah.
Suatu hari, saat Rainer sedang berdiri di luar rumah, menatap desa yang tampaknya damai namun penuh ketegangan, gadis yang membantunya, Elyse, datang menghampiri. "Rainer," katanya dengan cemas. "Ada kabar buruk. Kerajaan sedang mencari orang-orang yang dianggap berbahaya. Mereka menyebutnya... pengkhianat."
Rainer menoleh padanya dengan ekspresi serius. "Apa maksudmu?"
Elyse menggigit bibirnya. "Maksudku, mereka mencari orang-orang yang mungkin bisa menggulingkan sistem yang ada. Orang-orang yang bisa mengubah status quo. Aku takut mereka akan datang ke desa ini."
Di saat itu, Rainer merasakan ketegangan di udara. Sesuatu yang besar sedang terjadi—sesuatu yang tak bisa ia hindari.
Kehidupan barunya yang tenang kini semakin terancam. Sebuah dunia baru yang penuh dengan keajaiban juga dipenuhi dengan ketidakadilan dan perang yang tersembunyi. Rainer tahu, dengan kecerdasannya, dia bisa memanfaatkan situasi ini. Tapi apakah dia cukup kuat untuk bertahan? Dan bagaimana jika kekuatan yang mengincar dirinya lebih besar dari yang bisa ia bayangkan?
Rainer menatap langit biru yang mulai gelap. "Jika aku harus bertarung untuk hidupku, maka aku akan melakukannya. Tidak hanya untuk bertahan, tapi untuk mengubah dunia ini."
Setelah Elyse memberikan kabar buruk tentang pencarian pengkhianat oleh kerajaan, Rainer terdiam sejenak. Wajahnya yang biasanya penuh dengan rasa ingin tahu kini terlihat serius. Pengkhianatan. Itu adalah kata yang sudah sering ia dengar, tapi kali ini, itu bukan hanya kata-kata kosong dalam politik. Ini adalah kenyataan yang akan memengaruhi hidupnya.Elyse tampak gelisah, matanya yang lembut penuh dengan kecemasan. "Kau pasti tahu apa artinya itu, bukan? Jika mereka menganggap seseorang berbahaya, mereka tidak akan ragu untuk menindak tanpa ampun."Rainer mengangguk perlahan. Dalam hidup sebelumnya, ia telah menyaksikan bagaimana kekuasaan bisa menghancurkan siapa saja yang dianggap ancaman. Namun, situasi kali ini berbeda. Ia kini bukan lagi seorang jenius yang memegang kekuasaan, tetapi seseorang yang terlahir kembali dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan sistem kasta yang membatasi."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rainer, suara tenang meskipun pikirannya sedang be
Rainer duduk kembali di batu besar itu, memandang ke langit yang perlahan mulai gelap. Angin malam menerpa wajahnya, membawa wangi tanah dan pohon yang lembab setelah hujan ringan. Dunia baru ini terasa asing, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa seolah ia baru saja memulai perjalanan besar. Sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian, dan meskipun ia seorang jenius, kali ini, itu tidak menjamin segalanya akan mudah."Jika hanya aku memiliki kekuatan untuk mengubahnya," gumam Rainer, lebih pada dirinya sendiri. "Tapi apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan kekuatan itu?"Hatinya bergejolak dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya. Rainer menyadari bahwa, meskipun dirinya telah diberikan kehidupan kedua, ia masih berada di tengah dunia yang penuh dengan keajaiban yang tidak ia pahami sepenuhnya. Sihir, takdir, politik—semua itu hanyalah bagian dari teka-teki besar yang belum ia pecahkan.Ketika ia mulai menutup matanya dan mencoba merasakan atmosfer dunia baru ini
Hari itu semakin larut, dan dunia di sekitar Rainer mulai terbungkus dalam bayang-bayang malam. Rasa dingin mulai merayap ke dalam tulang, tetapi itu bukan hal yang paling mengganggunya. Apa yang ia rasakan lebih dari sekadar cuaca—ia merasakan beratnya takdir yang menantinya di dunia baru ini. Dunia yang penuh dengan sihir dan takdir yang tak bisa ia prediksi.Langkahnya ringan, tetapi pikirannya terus berputar. Ia melangkah melalui hutan lebat, melewati pepohonan yang tinggi dan rerumputan yang lembap. Di tengah hutan ini, Rainer merasa seolah dunia ini tidak pernah mengenalnya—semua yang ia ketahui dari kehidupan sebelumnya, semua yang ia pelajari, tampak tidak berguna di dunia yang penuh dengan misteri ini. Bahkan kecerdasannya, meskipun luar biasa, terasa seolah tidak cukup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Langkah itu cepat dan ragu, bukan langkah seseorang yang biasa berjalan melalui hutan di malam hari. Rainer berhenti sejenak, mencoba mendengar lebih je
Matahari baru saja terbit, dan udara pagi yang sejuk menerpa wajah Rainer dan Elyse saat mereka melanjutkan perjalanan menuju kota terdekat. Selama berhari-hari mereka berjalan di hutan, menghindari jalur utama, dan bersembunyi dari mata-mata kerajaan yang mungkin sedang mencari mereka. Setiap langkah yang mereka ambil lebih berat dari sebelumnya, bukan hanya karena medan yang sulit, tetapi juga karena perasaan bahwa setiap keputusan mereka bisa mengubah jalan hidup mereka.“Ada sesuatu yang aneh tentang dunia ini,” kata Elyse, suaranya penuh dengan kebingungan, matanya memandang ke arah pegunungan yang jauh di cakrawala. “Aku merasa kita seperti berada di dunia yang berbeda. Tidak hanya sihir, tapi segala sesuatunya terasa tidak pada tempatnya.”Rainer menoleh ke Elyse, wajahnya tetap tenang meskipun ada keraguan yang mendalam di dalam dirinya. Dunia ini memang asing, jauh dari apa yang ia kenal. Dan meskipun ia sudah mengetahui bahwa dunia ini penuh dengan sihir dan keajaiban, ia mu
Langit senja mulai meredupkan warnanya, dan kedai kopi yang mereka masuki semakin sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk di sudut-sudut ruangan, berbicara dengan suara pelan. Namun, bagi Rainer dan Elyse, dunia mereka seakan terhenti sejenak ketika pria bertubuh besar itu berbicara.Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Darvin, memiliki pandangan tajam yang membuat Rainer merasa waspada. Bahkan di tengah keraguan dan kebingungannya, Rainer tidak bisa menahan rasa penasaran. Siapa pria ini? Dan apa yang dia inginkan dengan menawarkan bantuan di dunia yang begitu rumit ini?“Jadi, bagaimana?” Darvin melanjutkan, melihat ke arah mereka dengan senyum licik. “Apakah kalian berdua ingin mengetahui bagaimana cara mengakses kekuatan yang lebih besar, atau apakah kalian akan tetap berjalan di jalur yang penuh rintangan ini, tanpa arah dan tujuan?”Rainer menatapnya dengan dingin. “Kekuatan besar… apa yang sebenarnya kamu tawarkan, Darvin?”Darvin menyandarkan tubuhnya ke belakang, m
Hari-hari pertama di akademi sihir bukanlah apa yang dibayangkan Rainer. Meskipun dunia ini penuh dengan keajaiban dan kemungkinan tak terbatas, kenyataan yang ia hadapi lebih keras dari yang ia kira. Bangunan besar akademi yang menjulang tinggi di depannya tak mengurangi beban yang terasa di pundaknya. Di dalamnya, tak hanya sihir yang dipelajari, tetapi juga intrik politik yang lebih rumit daripada yang pernah ia bayangkan.Saat mereka tiba di gerbang akademi, Elyse berjalan di sampingnya, dengan wajah yang tegang. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah tempat di mana mereka akan dibentuk—bukan hanya sebagai penyihir, tetapi juga sebagai individu yang mampu bertahan di dunia yang keras ini. Rainer melangkah dengan tegas, meskipun di dalam hatinya ada kecemasan yang tak terucapkan."Rainer," Elyse memanggilnya dengan suara pelan. "Apa yang akan kita lakukan di sini? Bagaimana kita bisa membuat langkah besar di tengah semua orang yang lebih kuat dan berkuasa?"Rainer menatapnya dengan ma
Setelah beberapa minggu di akademi sihir, Rainer dan Elyse mulai merasa sedikit lebih nyaman dengan rutinitas yang mereka jalani. Namun, kenyamanan itu hanya bersifat sementara. Dunia akademi bukanlah tempat yang memberi ruang untuk bersantai. Setiap langkah mereka dipenuhi dengan tantangan baru, dan sering kali, mereka harus menghadapi ujian yang menguji ketahanan fisik dan mental mereka.Hari itu, mereka menjalani ujian pertama mereka di akademi, sebuah ujian yang sangat bergengsi dan menentukan apakah mereka akan dianggap layak untuk melanjutkan pelajaran di tingkat yang lebih tinggi. Ujian tersebut bukan hanya soal sihir, tetapi juga tentang seberapa baik mereka memahami politik, strategi, dan permainan kekuasaan yang sedang berlangsung di antara para siswa.Rainer duduk di meja ujian bersama Elyse, merasa ketegangan semakin meningkat. Meskipun ujian ini hanya untuk menguji kemampuan dasar mereka dalam mengendalikan sihir, dia tahu bahwa itu adalah langkah pertama untuk membuktika
Seiring berjalannya waktu di Akademi Magia, dunia yang sebelumnya penuh dengan misteri bagi Rainer kini mulai terasa lebih familiar. Namun, familiaritas itu datang bersama dengan tantangan yang semakin besar. Ia menyadari bahwa meskipun keberhasilannya di ujian pertama membuka pintu kesempatan, itu hanyalah sebagian kecil dari perjalanan panjang yang harus ia tempuh.Setiap hari, Rainer semakin menyadari betapa ketatnya sistem yang ada di akademi. Di balik semua pelajaran sihir yang sulit dan rumit, ada politik, intrik, dan persaingan yang lebih licik dari yang ia bayangkan. Para siswa dari keluarga bangsawan tampaknya selalu memiliki keunggulan. Mereka memiliki akses lebih mudah ke sumber daya, informasi, bahkan hubungan yang mendalam dengan pengajar dan para pemimpin akademi.Rainer merasa kesulitan untuk bersaing dengan mereka dalam hal itu. Meskipun ia tidak diragukan lagi unggul dalam hal kecerdasan dan strategi, ia juga tahu bahwa untuk bertahan di dunia ini, ia harus membangun
Malam masih gelap saat beberapa bayangan bergerak cepat di gang-gang ibu kota Vildoria. Lima sosok berpakaian gelap, masing-masing dengan simbol kecil berbentuk mata di pergelangan tangan mereka, menyelinap melalui lorong-lorong sempit menuju sebuah gudang tua yang tersembunyi di antara bangunan usang.Di dalam, beberapa pria dan wanita bertopeng sudah berkumpul di sekitar meja panjang, peta dan dokumen tersebar di atasnya. Mereka adalah anggota Tangan Hitam—organisasi rahasia yang beroperasi di balik layar, mengendalikan informasi dan kekuatan dengan cara yang hanya mereka yang berkepentingan bisa pahami.Seorang pria bertopeng duduk di tengah, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme yang lambat. "Rainer mulai bergerak," katanya dengan suara tenang namun tajam.Salah satu anggota lain mengangguk. "Ya, dan dia sudah mengetahui keberadaan kita. Tidak lama lagi dia akan mencari cara untuk menghancurkan kita dari dalam."Pria bertopeng itu menghela napas. "Maka kita harus bergerak lebih
Malam berhembus dingin saat Rainer berdiri di atas menara pengawas, menatap ke arah selatan. Dalam kegelapan, titik-titik api kecil terlihat di kejauhan—kemah pasukan yang mulai berkumpul di wilayah perbatasan. Jika laporan itu benar, seseorang dari keturunan keluarga kerajaan lama sedang membangun kekuatan di sana.Elyse melangkah mendekat, mantel tebal melilit tubuhnya. "Kau tampak gelisah."Rainer tersenyum tipis. "Gelisah bukan kata yang tepat. Lebih ke... mengantisipasi."Elyse bersandar di pagar batu. "Jika benar ada keturunan kerajaan lama yang tersisa, itu bisa menjadi masalah besar. Rakyat yang masih setia pada monarki pasti akan berkumpul di bawah panji mereka.""Dan itulah yang membuat ini menarik," Rainer menjawab. "Orang-orang selalu mencari simbol. Jika seseorang bisa meyakinkan mereka bahwa kerajaan lama bisa bangkit kembali, maka kita akan menghadapi perang yang lebih besar dari sebelumnya."Marcus datang membawa sebotol anggur, wajahnya tetap santai meskipun situasi s
Langit di atas wilayah barat masih dipenuhi asap, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir. Kastil milik Count Reinhardt kini berdiri dalam kehancuran, simbol kejatuhan para bangsawan yang menolak tunduk pada perubahan.Di dalam ruang pertemuan yang dulu penuh dengan kemewahan, kini hanya ada aroma debu dan darah. Rainer berdiri di tengah ruangan, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah barat telah mereka taklukkan, tetapi peperangan belum selesai.Elyse masuk ke ruangan, wajahnya tenang namun penuh ketegasan. “Beberapa pasukan kita masih sibuk mengamankan desa-desa sekitar. Sebagian besar rakyat di sini tidak berani melawan, tetapi ada kelompok kecil yang masih setia pada Reinhardt.”Rainer mengangguk. “Itu sudah kuduga. Reinhardt mungkin sudah tiada, tapi jejaknya masih ada dalam pikiran orang-orang yang dulu hidup di bawah perlindungannya.”Marcus, yang duduk di sudut ruangan dengan cangkir anggur di tangannya, mendengus. “Orang-orang bodoh. Mereka tidak sadar
Rainer berdiri di puncak menara istana, menatap ke kejauhan. Kota yang dulunya diperintah dengan tangan besi oleh Duke Alistair kini dalam transisi menuju era baru. Cahaya fajar mulai menyinari bangunan-bangunan yang masih dipenuhi bekas pertempuran. Jalanan yang tadinya berlumuran darah perlahan dibersihkan, meski bau asap dan kematian masih terasa.Di bawahnya, rakyat berkumpul di alun-alun utama, menunggu pengumuman berikutnya.Elyse melangkah mendekat. “Mereka menunggu pidatomu.”Rainer mengangguk, tetapi matanya tetap tertuju ke kejauhan. “Perjuangan ini belum berakhir. Kota ini masih bisa jatuh ke dalam kekacauan jika kita tidak segera bertindak.”Elyse menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu. Tapi untuk saat ini, kita telah memberi mereka harapan.”Rainer akhirnya mengalihkan pandangannya ke Elyse. Dalam beberapa bulan terakhir, gadis itu telah menjadi orang yang paling ia percaya. Dengan kecerdasan dan tekadnya, Elyse selalu menjadi suara rasional yang menyeimbangkan pemi
Suara ledakan menggema di seluruh kota. Api berkobar di beberapa sudut distrik, dan jeritan pertempuran bercampur dengan dentingan senjata yang saling beradu. Kekacauan telah mencapai puncaknya—tanda bahwa rencana Rainer berjalan sesuai yang diharapkan.Di dalam istana Duke Alistair, sang penguasa berdiri dengan pedang terhunus. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi amarah dan kegelisahan. Di hadapannya, Rainer berdiri tenang, sementara Elyse dan Marcus bersiaga di sisinya.“Aku sudah memperhitungkan segalanya, Alistair,” kata Rainer dengan nada datar. “Hari ini, kekuasaanmu berakhir.”Alistair menyipitkan mata. “Kau pikir hanya dengan beberapa pemberontak rendahan bisa menjatuhkanku?”Senyum tipis tersungging di bibir Rainer. Ia tidak menjawab, tetapi menatap keluar jendela, melihat pasukan perlawanan yang semakin mendekati istana.“Kota ini bukan milikmu lagi,” lanjut Rainer. “Setengah pasukanmu sudah pergi ke timur. Para bangsa
Malam terus berlanjut, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang beristirahat dengan tenang. Rainer menatap peta di depannya, memperhitungkan langkah-langkah berikutnya. Dengan informasi yang mereka peroleh, ia tahu bahwa inilah saatnya untuk bergerak.Kelompok perlawanan di distrik pelabuhan akan menjadi kunci. Jika mereka bisa meyakinkan mereka untuk bekerja sama, kota ini akan memiliki kekuatan yang cukup untuk mengguncang rezim Duke Alistair.Elyse menatap Rainer dengan penuh perhatian. "Kapan kita akan menemui mereka?""Besok malam," jawab Rainer. "Kita harus berhati-hati. Jika mereka terlalu takut atau ada mata-mata di dalamnya, kita bisa dalam bahaya."Marcus, yang duduk di sudut ruangan, menyeringai. "Itu sebabnya aku akan pergi lebih dulu untuk memastikan tempatnya aman. Aku bisa bergerak tanpa terdeteksi."Rainer mengangguk. "Lakukan. Dan jika ada yang mencurigakan, mundur. Kita tidak bisa mengambil risiko kehilanganmu."Marcus berdiri. "Serahkan padaku."Keesokan malamnya,
Malam turun di ibu kota wilayah barat, menyelimuti kota dengan cahaya remang-remang dari lentera yang menggantung di sepanjang jalan berbatu. Suasana kota terlihat lebih sepi dibandingkan siang hari. Warga lebih memilih menghindari keluar rumah kecuali ada keperluan mendesak.Di sebuah rumah sederhana yang berfungsi sebagai tempat persembunyian sementara, Rainer dan kelompoknya berkumpul. Viktor, pedagang yang membantu mereka masuk ke kota, menatap mereka dengan penuh kewaspadaan."Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Viktor, melipat tangannya di dada.Rainer menatap peta kota yang terbuka di atas meja kayu di tengah ruangan. "Kami perlu mengetahui kekuatan pasukan Duke Alistair sebelum mengambil langkah lebih lanjut. Aku ingin kita membagi tugas untuk mengumpulkan informasi."Elyse mengangguk. "Aku bisa menyelinap ke distrik pekerja dan berbicara dengan warga. Mereka mungkin memiliki keluhan tentang pemerintahan Alistair yang bisa kita manfaatkan."Marcus menambahkan, "Aku akan me
Pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Rainer kini semakin kuat dengan bergabungnya kelompok pembunuh bayaran, Bayangan Hitam. Dengan tambahan kekuatan ini, perjalanan menuju ibu kota wilayah barat menjadi lebih terorganisir dan penuh perhitungan.Di dalam hutan yang lebat, mereka berjalan dalam formasi rapi. Darius dan pasukannya bergerak di garis depan dan belakang, memastikan tidak ada penyusup yang mengikuti mereka. Sementara itu, Rainer, Elyse, dan Marcus berjalan di tengah pasukan, mendiskusikan langkah selanjutnya."Kita sudah mendekati perbatasan wilayah barat," kata Marcus sambil menunjuk peta yang digelar di atas sebuah batu besar. "Dari laporan yang kudapat, benteng luar kota memiliki penjagaan yang ketat, dan kita tidak bisa melewatinya tanpa terdeteksi."Rainer mengangguk. "Itu berarti kita harus menemukan cara untuk masuk tanpa menimbulkan kecurigaan. Jika kita menyerang langsung, kita hanya akan membuang tenaga."Elyse berpikir sejenak sebe
Pasukan pemberontak melanjutkan perjalanan mereka melewati hutan lebat. Setelah mengalahkan para pembunuh bayaran, mereka tidak bisa berhenti terlalu lama. Rainer tahu bahwa semakin lama mereka tinggal di satu tempat, semakin besar kemungkinan pasukan Duke Alistair menemukan mereka.Elyse berjalan di sampingnya, matanya tajam mengawasi sekitar. "Seberapa jauh lagi kita dari ibu kota wilayah barat?" tanyanya.Rainer melirik peta yang telah ia hafalkan dalam pikirannya. "Jika kita terus bergerak tanpa henti, kita bisa sampai dalam dua hari. Tapi kita harus berhati-hati. Semakin dekat kita ke wilayah utama mereka, semakin besar kemungkinan kita terdeteksi."Marcus, yang berjalan di belakang mereka, menghela napas berat. "Prajurit kita kelelahan, Rainer. Mereka sudah bertarung habis-habisan di Benteng Blackthorn, lalu berjalan berjam-jam tanpa istirahat."