Sebenarnya sulit sekali bagi Renjana untuk meninggalkan rumah orangtuanya. Rumah tempat dia dibesarkan dengan Teguh dulu. Sekarang sudah dia tinggalkan karena harus ikut suaminya pulang. Hanif mematikan mesin mobil lalu mengajaknya keluar dari mobil saat mereka sudah sampai.
Dia keluar dari mobil lalu baru melihat rumah dengan desain minimalis dua lantai. Lengkap dengan garasinya yang ada di samping kiri.
Ada satu mobil lagi yang di sana. Ada sepeda dan juga motor yang terparkir di sana.
Barang-barangnya dibawa masuk oleh Hanif.
Meninggalkan rumah orangtua untuk bisa ikut dengan suaminya tentu bukan hal yang mudah bukan? Renjana sudah pasti tahu pasti hal itu. Dia tidak tahu lagi bagaimana nanti ke depannya bersama dengan Hanif. Tapi ia mulai menaruh kepercayaan pada suaminya bahwa semua akan baik-baik saja seperti yang dijanjikan oleh Hanif untuknya.
Mereka berdua masuk dan Renjana mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru yang bisa dijangkau oleh matanya. “Di sini ada lima kamar tidur. Masing-masing kamar ada kamar mandi, dan di dekat dapur itu adalah kamar mandi tamu. Mbok Yun juga tinggal di sini sama kita. Mungkin beliau lagi belanja. Jadi rumah agak sepi.”
“Mbok Yun itu siapa?”
“Asisten di sini. Beliau bakalan bantuin kamu urus apa pun pekerjaan rumah.” Jelas suaminya.
Lalu dia diajak ke tempat lain oleh Hanif. Pria itu membuka salah satu ruangan yang di mana ruangan tersebut terlihat seperti kamarnya Hanif. “Ini kamar aku, sekarang bakalan jadi kamar kita. Ya gimana pun juga kita bakalan tidur berdua. Aku memang sepakat kalau kita pacaran dulu, kan. Tapi tetap aja kita bakalan tidur sekamar. Cepat atau lambat aku yakin kita bisa lebih dekat lagi.”
Renjana mengangguk lalu Hanif menaruh barangnya tepat di depan lemari. “Aku nggak bakalan bongkar barang kamu. Biar kamu keluarin sendiri.” Suaminya sangat menjaga privasinya. Mana mungkin juga Renjana membiarkan Hanif yang mengeluarkan bajunya lalu ditata ke dalam lemari. Di sana ada pakaian dalam dan juga celana dalam, Renjana masih belum siap jika suaminya melihat barang itu.
Renjana masih belum tahu apa pekerjaan Hanif sebenarnya. Dia juga belum bertanya pada suaminya mengenai pekerjaan dari pria itu.
“Di samping kamar ini ada tempat kerja aku. Jadi kalau aku lembur bisa kerja di samping ini. Aku harap kamu ngerti kalau semisal aku lembur dan nggak bisa nemenin kamu.”
Ya Renjana mungkin akan pelan-pelan mengerti dengan kesibukan suaminya. Orangtuanya Hanif yang dia tahu dari kalangan orang cukup berada, dalam arti dari segi finansial. Dia juga baru tahu kemarin dari orangtuanya. Maka dari itu mamanya selalu berpesan bahwa Renjana harus tetap menjaga sikap.
“Kita jalani aja dulu, Renjana. Aku bisa tahu kamu nggak nyaman sama ini semua, kan?”
“Aku nggak pernah berpikiran seperti itu.”
Dengan singkat Renjana langsung menjawab demikian karena tidak ingin menyinggung suaminya. Dia sudah bertekad bahwa akan berjuang bersama dengan Hanif sekarang.
“Jangan berpikiran bahwa pernikahan kita ditanggung sama orangtua aku. Semuanya aku yang bayar, aku kerja selama ini. Makanya aku kan nggak ada waktu nyari jodoh. Aku baru deket, malah tiba-tiba ditinggal sama yang lain. Itu udah sering banget soalnya.”
Renjana mengangguk pelan. Dia masih melihat di kamar suaminya ini sangat rapi. Tidak ada terlalu banyak barang. Hanya ada tempat tidur, lemari, sofa tunggal yang ada di depan televisi dan juga ada meja yang sepertinya tempat kerja Hanif juga di sebelah ranjang.
“Aku boleh tanya sesuatu?”
Hanif tersenyum lalu membuka gorden kamarnya hingga membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. “Kamu kerja di mana?”
Pria itu berbalik lagi tersenyum dan mengajak Renjana duduk di pinggiran tempat tidur. “Aku arsitek.”
Sangat pelan kepala Renjana mengangguk walaupun sebenarnya dia terkejut sekali mendengar jawaban mengenai pekerjaan suaminya. “Aneh nggak? Soalnya semua saudaraku PNS dan aku sendirian yang nggak. Dari kakek, nenek dan semuanya rata-rata jadi pegawai. Aku? Malah di jalur berbeda sama mereka. Nanti kita kenalan sama keluarga aku, aku punya banyak saudara cowok, nanti kamu bakalan lihat waktu kita resepsi. Mereka nggak bisa datang waktu lamaran dan pernikahan kita. Karena mereka mau cuti waktu kita resepsi aja.”
Renjana akan melihat keluarga besar Hanif nantinya dan akan kenalan dengan mereka semua. “Kamu tenang aja, ya. Semua baik kok. Sebenarnya alasan aku lama nikah bukan karena nggak mau nyari, Renjana. Tapi karena aku punya adik, kan. Aku lulus kuliah, terus ngikut orang. Aku kerja, mulai dari situ aku bantu ekonomi keluarga. Terus ini juga rumah aku cicil lho. Tiap ada duit lebih aku setor berapa kali gitu, makanya cepat lunas.”
Pemikiran Hanif jelas sekali jauh berbeda dari kebanyakan orang yang dia kenal. “Aku tahu kamu kerja selama ini di kakak kamu. Tapi mulai hari ini, kamu berhenti kerja. Biar urusan cari nafkah itu adalah tugas aku.”
“Hanif, kalau soal itu bisa kita bicarakan nggak? Aku tetap pengen kerja.”
Hanif menggeleng pelan, “Aku nggak bisa biarin kamu kerja. Nggak ada satupun wanita di dalam keluarga aku yang kerja. Kamu tetap di rumah!”
Padahal besar harapan Renjana untuk bisa kerja lagi.
Hanif beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil sesuatu dari dalam lemari. Pria itu kemudian membawanya pada Renjana. “Ini buku tabungan kita. Buat masa depan, kamu yang bawa. Setiap bulan aku usahakan kasih ke kamu. Nafkah kamu dan tabungan kita aku bedain. Dan aku dengar kamu punya tabungan, aku harap kamu jangan pernah sentuh uang itu untuk keperluan kita. Karena itu adalah tanggungjawab aku.”
Begini ya rasanya jadi istri? Ketika gaji suami dia pegang dan juga diminta membawa buku tabungan mereka.
“Di situ ada uang baru enam puluh juta. Itu sisa dari biaya pesta dan juga acara kita kemarin. Kamu pegang aja! Aku punya dua mobil, satunya bisa kamu pakai untuk ke rumah orangtua kamu. Tapi setiap kali kamu keluar, meski aku sibuk nanti. Usahakan kamu izin baik-baik. Kalau aku bilang nggak, usahakan turuti. Sekarang aku suami kamu. Kita berumah tangga itu untuk saling kerjasama.”
Renjana tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang karena suaminya punya pemikiran yang sangat luar biasa
“Aku sudah pernah bilang juga sama kamu, aku nggak bakalan maksa kamu untuk urus pekerjaan rumah. Kamu di rumah cukup urus aku aja. Nggak usah pedulikan apa kata orang, kamu nggak bisa masak juga aku nggak bakalan masalah.”
Paham dengan pembicaraan suaminya ini yang mengarah pada mencari istri adalah tentang mencari pendamping hidup. Bukan untuk disuruh- suruh untuk pekerjaan rumah.
“Aku sering pulang larut, karena klien kadang ngasih deadline nggak kira-kira. Jadi aku harap kamu juga maklum itu, ya!”
“Terus mengenai pesta pernikahan kita, apa perlu kita patungan? Aku kan punya tabungan. Biar kamu nggak berat banget ngeluarin duitnya.”
Hanif tersenyum dan terlihat tenang. “Yang lamar kamu siapa?”
“Kamu.”
“Dan kenapa juga kamu harus keluar duit buat pernikahan kita. Aku kan sudah punya tabungan juga waktu kita belum nikah. Kalau duit aku kurang, pasti orangtua aku sudah lebih dulu gerak cepat buat nambahin. Papa aku juga gajinya lumayan, Mama juga. Papa tahun ini pensiun, jadi aku nggak bisa tunda pernikahan lebih lama lagi.”
“Jujur aku nggak ada pengalaman apa-apa, aku harap kamu bimbing aku.”
Hanif mengangguk pelan. “Aku juga berharap kamu bisa dibimbing, Renjana. Aku memang belum sayang sama kamu, aku nggak mau tutupi ini. Tapi ingat aja sekarang kalau kita sudah menikah. Nanti juga bakalan terbiasa, aku nggak suka kopi. Aku nggak suka rokok, aku nggak suka cewek yang nggak bisa bangun subuh.”
Telak, itu adalah PR Renjana paling utama yaitu mengenai bangun subuh. Kadang dia kalau sedang datang bulan bisa bangun jam sepuluh pagi.
“Tapi pengecualian kalau kamu lagi datang bulan.” Sambung Hanif. “Sembilan tahun kamu sama Yoga aku maklumi. Aku berharap kamu
bisa lupain perasaan kamu itu. Kita udah bersama, nggak mudah lupain orang. Tapi aku harap kamu bisa pikirkan baik-baik. Jangan pernah respon dia kalau dia hubungi kamu lagi. Aku nggak mau perasaan kamu tiba-tiba berubah nanti ketika kita sudah jalani rumah tangga. Seperti janji kita, bahwa kita menikah satu kali dalam seumur hidup.”
“Bantu aku jadi istri yang kamu mau, ya!”
“Jadi Renjana! Bukan jadi orang yang aku inginkan. Karena kamu akan selalu terluka kalau banyak nuntut.”
Tampan, mapan, punya pekerjaan bagus. Pemikiran juga sangat jarang ada seperti ini. Kurang apalagi Hanif?
Sembilan tahunnya sia-sia, Tuhan mengirimkan dia jodoh yang tidak pernah dia duga sebelumnya. “Terima kasih sudah menerima lamaran aku tanpa ada penolakan sama sekali. Meskipun awalnya kamu terpaksa, aku harap kamu bakalan bisa bertahan sama aku.”
“Maaf kalau kita balan punya perjalanan panjang dalam percintaan nanti. Semoga kita sama-sama betah, ya!”
“Ya, Renjana, istriku.”
Renjana menunduk malu karena dipanggil seperti itu oleh Hanif.
Seperti sebuah penjara bagi Renjana, menemani sang mama ke acara pernikahan anak dari temannya yang menggelar pesta cukup besar. “Renjana kapan nyusul, nih? Teman-temannya sudah menikah semua, dia sendiri yang belum. Lihat tuh Anita aja mau punya dua anak.” Teman mamanya menyindir tentang dirinya yang belum menikah di usia dua puluh tujuh tahun. Benar usia itu akan menjadi bencana baginya tiga tahun lagi.“Kalau itu sih terserah Renjana. Kalau kami sebagai orangtua hanya menginginkan yang terbaik.” Mamanya membela di depan orang-orang yang sekarang ini sangat banyak. Teman mamanya memang dari kalangan ibu-ibu yang selalu bertanya hal seperti ini ternyata.Andai sedari awal dia tahu kalau dia akan ditanya seperti ini. Sudah pasti Renjana tidak akan pernah datang, tapi paksaan kakaknya yang mengatakan bahwa dia harus bisa menemukan minimal satu saja seorang laki-laki di sini untuk berkenalan dengannya.Di ruang keluarga sewaktu Renjana sedang menggendong keponakannya yang baru berusia s
Di Sebuah coffee shop duduk menyendiri di dekat jendela kaca yang memaparkan langsung orang-orang yang lewat di luar tempat tongkrongan anak muda ini. Renjana sudah berjanji untuk bertemu dengan Yoga— kekasihnya.Setiap hari Sabtu-Minggu adalah hari di mana mereka akan bertemu untuk menghabiskan waktu. Tidak lama setelah dia membaca 30 halaman dari novel romantis yang sangat dia sukai—yaitu buku tentang pernikahan. Membayangkan kalau dia dan Yoga menikah dan kisahnya seromantis novel yang paling sering dibaca. Meskipun dengan konflik berat. Tapi Yoga harus tetap mengalah seperti para tokoh suami yang ada di novel itu.Pria itu duduk dengan menyerahkan bunga mawar dan coklat. “Selamat hari valentine, Sayang.” Perasaan Renjana begitu bahagia ketika diberi bunga dan coklat. Yoga orang yang romantis, pria ini sangat dicintainya juga—dan sudah dipacarinya selama sembilan tahun.Sembilan tahun adalah di mana bisa kredit rumah. Sembilan tahun cukup waktu untuk kredit dua unit mobil. Sembilan
Tanpa ada izin dari Yoga, keluarga besar rencana juga sangat lelah dengan keputusan tanpa ada kepastian. Mereka sudah menanyakan tentang pernikahan itu pada Renjana. Tapi Yoga selalu bereaksi sama, yaitu tanpa adanya ajakan untuk menikah.Malam ini adalah rencana yang sudah diatur sedemikian rupa oleh orangtuanya. Dilamar oleh pria asing, dengan tujuan untuk menikah.Renjana membayangkan jika calon suaminya gendut, perutnya buncit, berkumis tebal, matanya menyoroti tajam dan menyeramkan. Ini bukan soal menghina fisik calon suaminya. Tapi karena tubuhnya yang kecil, mungil dan bisa dipelintir oleh calon suaminya nanti jika mereka bertengkar. Itu yang paling ditakutkan sebenarnya.Wajahnya pucat ketika baru saja selesai berdandan sesuai perintah mamanya. Tadi pagi, tidak ada angin tidak ada hujan mamanya mengatakan kalau malam ini akan ada tamu. Yaitu keluarga dari pria asing bersama dengan keluarga besarnya untuk melamar. Sekali lagi, dia akan dilamar oleh pria itu.Sejenak ia memejamk
Renjana menunggu ketika jam makan siang di sebuah coffee shop dekat dengan kantor tempat bekerjanya Yoga. Dia sudah berjanji bersama dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat hari ini. Tapi mengingat pria itu ada kesibukan, jadi janjinya ditunda menjadi sore hari. Renjana tidak masalah dengan hal tersebut. Apalagi dua hari dari sekarang dia akan dipersunting oleh pria itu.Sangat cepat dan juga prosesnya memang seperti kilat. Menjalani hubungan selama sembilan tahun tentu tidak mudah dijalani oleh Renjana. Hafal dengan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Yoga. Tapi dengan Hanif? Dia akan memulai segalanya dari awal lagi. Ia melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah satu siang dan sudah waktunya jam makan siang dan Yoga belum juga keluar dari kantor.Semua berkas-berkas juga dikirimkan tadi pagi ke orangtuanya Hanif.Dia menoleh beberapa kali ke arah pintu masuk di coffee shop itu. Belum ada tanda-tanda bahwa Yoga datang.Jika Yoga mengajaknya, maka dia akan lang
“Renjana, Hanif datang tuh jemput kamu.”Ia baru saja selesai berdandan karena sudah berjanji dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat. Yang katanya ingin mencetak undangan pernikahan. Sangat cepat dan statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi istri seorang Hanif. Pria asing yang tiba-tiba saja melamarnya dan akan menjadi suaminya nanti.Keputusan untuk memilih Hanif bukan karena dia terpaksa sekarang. Tapi karena Yoga sudah memutuskan hubungan yang mereka berdua jalin selama sembilan tahun lamanya.Tidak mudah untuk menaruh kepercayaan dan juga menjaga hati selama itu juga. Yang akhirnya berakhir dengan tragis. Diputuskan sepihak tidak pernah menyenangkan. Ibarat pisau yang mengiris sebuah daging yang di mana daging tidak bisa melakukan perlawanan pada pisau yang mengirisnya, seperti itu yang dirasakan oleh Renjana waktu Yoga melepaskan cintanya. Memang agak keterlaluan putus dengan cara yang seperti itu.Dengan dandanan yang seadanya, dia keluar dari kamar. Menuju ruang tamu kemud
“Ma, nikah itu bukannya akan dilakukan kalau sudah daftar di KUA, ya?”Renjana sangat ingat pertanyaan itu pada mamanya. Namun semua sudah lewat begitu sajaAkad yang baru saja selesai diucapkan oleh Hanif dan terdengar para saksi berkata sah. Memang sederhana dan tidak memakan banyak waktu. Tapi banyak sekali yang terkejut mengenai pernikahan Renjana yang serba mendadak.orang-orang di sekitar rumahnya juga seolah tidak percaya dan malah berpikiran bahwa Renjana kecelakaan, yang dalam arti ‘hamil di luar nikah’ sayangnya tidak sama sekali. Renjana menikah karena memang diminta oleh orangtuanya.Saat ia bersalaman dengan suaminya, ada rasa yang bercampur aduk di dalam dirinya. Renjana yang sangat bahagia dan juga sangat sedih ketika dia berharap bahwa pernikahan ini bersama dengan Yoga. Ah lupakan, pria itu tidak punya komitmen sama sekali. Renjana berusaha untuk melupakan sosok pria itu di dalam hidupnya.Doa yang sangat lancar sekali diucapkan oleh Hanif. Yaitu doa setelah akad. Apa