Beranda / Pernikahan / Duka Pernikahan / 3. Tanpa Kepastian

Share

3. Tanpa Kepastian

Tanpa ada izin dari Yoga, keluarga besar rencana juga sangat lelah dengan keputusan tanpa ada kepastian. Mereka sudah menanyakan tentang pernikahan itu pada Renjana. Tapi Yoga selalu bereaksi sama, yaitu tanpa adanya ajakan untuk menikah.

Malam ini adalah rencana yang sudah diatur sedemikian rupa oleh orangtuanya. Dilamar oleh pria asing, dengan tujuan untuk menikah.

Renjana membayangkan jika calon suaminya gendut, perutnya buncit, berkumis tebal, matanya menyoroti tajam dan menyeramkan. Ini bukan soal menghina fisik calon suaminya. Tapi karena tubuhnya yang kecil, mungil dan bisa dipelintir oleh calon suaminya nanti jika mereka bertengkar. Itu yang paling ditakutkan sebenarnya.

Wajahnya pucat ketika baru saja selesai berdandan sesuai perintah mamanya. Tadi pagi, tidak ada angin tidak ada hujan mamanya mengatakan kalau malam ini akan ada tamu. Yaitu keluarga dari pria asing bersama dengan keluarga besarnya untuk melamar. Sekali lagi, dia akan dilamar oleh pria itu.

Sejenak ia memejamkan matanya.

Ting

Notifikasi ponselnya tiba-tiba menyadarkan dia dari lamunannya. ”Aku sudah pikirkan tentang pernikahan itu, Renjana. Aku tetap minta kamu nunggu.”

Renjana tidak akan termakan omongan lagi. Dia sudah lelah, lelah dengan penolakan Yoga yang kesekian kalinya Renjana harus melunturkan harga diri untuk menikah. Tapi sayangnya ditolak dan terus ditolak oleh Yoga.

Dia meletakkan ponselnya lalu menghela napas beberapa kali lalu menghembuskannya mencoba menenangkan kegelisahan yang ada pada dirinya. Andai saja bukan karena sakit kecewa, dia juga tidak akan setuju dengan perjodohan ini.

Pelan kakinya melangkah menuju ruang tamu melihat mamanya sedang menyiapkan jamuan untuk tamu dari pihak keluarga pria itu.

“Tante.”

Seketika Renjana membalikkan badannya ketika ditepuk dari belakang oleh Cindy. “Kenapa?”

“Cieee yang akhirnya nikah juga.” Senyumannya terpaksa sekali sekarang.

Barangkali setelah ini Renjana butuh satu butir pereda sakit kepala untuk menghilangkan rasa sakitnya karena memikirkan perjodohannya. “Jangan pikirkan Om Yoga!”

“Nggak ada yang mikirin dia. Kamu saja yang mikir aneh soal dia.”

Terdengar suara mobil yang cukup ramai di luar. Renjana merasa sangat sesak dengan kondisi sekarang.

“Renjana, sini! Sambut bareng-bareng!” Mamanya sudah berdiri di ambang pintu menunggu kedatangan calon besan orangtuanya dan juga keluarga besar dari pihak si pria.

Gugup.

Rasanya Renjana ingin pingsan setelah ini karena tidak sanggup lagi menerima kenyataan tentang calon suaminya.

Sedikit pun dia tidak berani mengangkat kepalanya menatap para tamu yang hadir. Mereka juga ke ruang tamu dan mulai berbincang basa-basi. Sama sekali ia belum siap untuk melihat siapa calon suaminya dan tadi tidak sempat bersalaman dengannya.

“Hanif, kamu kenalan dulu dong sama calon istri kamu!” usul dari seseorang. Sedangkan Renjana hatinya seperti nuklir yang siap meledak sekarang.

Suasana hatinya kacau sekali karena ucapan seseorang yang diyakini tadi bahwa itu ibunya dari pria tersebut yang bernama Hanif. Ya Renjana baru mendengarnya.

“Renjana, kenalan dulu!” kali ini giliran Yusron—ayahnya Renjana yang begitu gigih mengatakan hal itu pada anaknya agar Renjana mau mengangkat kepalanya.

Renjana memejamkan matanya lalu membukanya pelan usai menarik napas barusan menghilangkan rasa gugupnya. “Maklum malu-malu.” Mamanya menengahi pembicaraan saat Renjana masih enggan menatap pria itu.

Dengan ketabahan hatinya ia memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya. “Padahal cantik banget calon mantu kita.” Suara tawa dari perempuan yang diyakini Renjana itu calon mertuanya.

Tatapannya tertuju pada pria berkumis dengan tubuh yang besar di tempat berlawanan dengannya. “Aiiih, kok natap aku? Salah tatap. Calon suami kamu yang itu. Kalau aku kakaknya.” lirik Renjana pada pria yang baru saja ikut bergabung dengan mereka setelah pria itu menunjuk orang yang berbeda.

Demi apa Tuhan? Ini Renjana sedang bermimpi atau apa? Pria dengan mata indah, tampan, putih dan kulitnya sangat bersih tersenyum ke arahnya sambil mengulurkan tangan yang baru saja pindah tempat duduk.

“Hanif.”

Ia segera membalas uluran tangan pria itu. “Renjana.”

“Hanif, tangannya! Mentang-mentang mau nikah nggak mau lepas tangan calonnya.” Ledek kakaknya Hanif yang tadi sempat dianggap bahwa itu adalah calon suaminya.

Pria itu duduk di sofa yang dekat dengan Renjana. “Jadi Mama kapan acaranya berlangsung?” Hanif menyambar dengan pertanyaan soal pernikahan mereka.

“Secepatnya, Nak. Mungkin dua minggu dari sekarang.”

Meninggalkan cinta yang selama sembilan tahun sudah dia temani sampai sekarang ini. Namun semua akan berakhir dengan tragis karena dia harus meninggalkan Yoga untuk bersama dengan orang baru yang datang melamarnya langsung.

Kakaknya pernah mengatakan bahwa orang yang ditemani dari awal akan kalah oleh orang yang melamar. Dan ini adalah bukti yang sebenarnya mengenai Renjana yang menerima lamaran orang lain. Tidak buruk dan juga belum mengenal satu sama lain.

“Renjana, ini anak tante. Dia sibuk kerja sampai nggak ada waktu buat nyari pasangan. Waktu tante ngobrol sama mama kamu, akhirnya kami sepakat jodohin kalian berdua. Hanif sibuk kerja, dia berusia tiga puluh tahun. Kamu tenang aja, dia nggak aneh-aneh kok permintaannya. Dia orangnya sederhana, dia nggak keras kepala. Dia sudah punya rumah sendiri, kalian nggak tinggal sama kami. Dia udah lama tinggal sendiri di rumahnya, itu pun dia jarang pulang. Karena lebih sering di kantornya. Gila kerja, jadi tante inisiatif jodohin dia. Biar dia tahu yang namanya kangen istri.”

Senyumnya sederhana. “Ah iya tante.”

“Besok jalan bareng deh. Biar kalian kenal satu sama lain.” Saran dari Tante Ami. Dia pernah mendengar nama itu dari mamanya langsung.

Dan mengenai kencan yang disarankan oleh Tante Ami. Mungkin Renjana belum siap untuk kencan dengan Hanif.

“Renjana mau pastinya.” giliran Sukma yang menyambar tanpa pernah bertanya dulu kepada Renjana.

Atas dasar apa mamanya langsung berkata demikian tentang dia yang bersedia berkencan dengan Hanif.

“Ya sudah besok aku jemput jam sembilan. Kita pergi untuk bikin undangan langsung.”

Gila

Gila

Dan benar-benar gila.

Renjana ingin berteriak ketika calon suaminya mengatakan mereka akan membuat kartu undangan pernikahan besok ini. “Besok?” tanya Renjana memastikan.

“Iya besok, sekalian cari gaun. Nggak mau nunda lama-lama kalau sudah sepakat begini.”

Dua sifat yang berbeda akan menyatu. Renjana tidak pernah mengenal Hanif sebelumnya. Baru kali ini dia bertemu dengan pria itu dan akan menjadi suaminya, hidup bersama selamanya dengan pria itu.

Renjana menoleh ketika ada hantaran lamaran itu baru saja masuk bersama beberapa orang. “Nyonya hantarannya.”

“Iya taruh saja di sini.” Tante Ami meminta orang-orang itu menaruh hantaran di atas meja ruang tamu.

Begini ya rasanya dilamar?

Renjana menghela napas dan melihat banyak sekali hantaran yang diserahkan untuknya malam ini.

“Aku titip cincinnya juga di kamu. Karena acaranya akan digelar di sini. Mungkin pernikahannya tiga hari lagi. Kalau untuk resepsinya yang dua minggu lagi, apa kamu setuju, Renjana?”

Tuhan.

Renjana    ingin    menangis.    Tiga    hari    lagi?   Yang    artinya    itu adalah anniversary dia dan Yoga.

“Ah iya. Aku ngikut kalian saja.”

Tapi tunggu? Perihal cincin, kenapa bisa cincin langsung dipesan?

“Cincinnya juga cocok untuk kamu. Karena Mama kamu pernah ngasih ukuran cincin kamu. Jadi kami nyari yang cocok dan cantik buat kamu.”

Dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Dia akan benar- benar menikah dengan orang asing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status