“Renjana, Hanif datang tuh jemput kamu.”
Ia baru saja selesai berdandan karena sudah berjanji dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat. Yang katanya ingin mencetak undangan pernikahan. Sangat cepat dan statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi istri seorang Hanif. Pria asing yang tiba-tiba saja melamarnya dan akan menjadi suaminya nanti.
Keputusan untuk memilih Hanif bukan karena dia terpaksa sekarang. Tapi karena Yoga sudah memutuskan hubungan yang mereka berdua jalin selama sembilan tahun lamanya.
Tidak mudah untuk menaruh kepercayaan dan juga menjaga hati selama itu juga. Yang akhirnya berakhir dengan tragis. Diputuskan sepihak tidak pernah menyenangkan. Ibarat pisau yang mengiris sebuah daging yang di mana daging tidak bisa melakukan perlawanan pada pisau yang mengirisnya, seperti itu yang dirasakan oleh Renjana waktu Yoga melepaskan cintanya. Memang agak keterlaluan putus dengan cara yang seperti itu.
Dengan dandanan yang seadanya, dia keluar dari kamar. Menuju ruang tamu kemudian Renjana melihat ada calon suaminya yang ada di ruang tamu bersama dengan papanya.
Mereka ngobrol sebelum berangkat.
Beberapa saat kemudian Hanif dengan sopannya meminta izin kepada orangtuanya Renjana untuk berangkat agar tidak pulang kemalaman.
Saat mereka di perjalanan menuju ke percetakan undangan pernikahan.
Fokusnya pada jalan saat dia melihat ke luar jendela melihat orang sedang naik sepeda motor lalu si pria memasukkan tangan kekasihnya ke dalam saku sweaternya. Renjana ingat ketika Yoga dulu sering romantis seperti itu padanya.
“Aku ketemu kamu di Coffee Shop hari ini. Aku lihat kamu sama pacar kamu.”
Baru saja ia bernostalgia dengan masa lalu yang teramat runyam itu.
Sekarang pertanyaan Hanif langsung menyerangnya. “Kamu ke mana?” “Aku memang di sana sebelum kamu datang. Aku ada di belakang
kalian. Aku dengar semua pembicaraan kamu yang ingin membatalkan pernikahan kita kalau pacar kamu melamar kamu tadi siang.”
Bodoh. Sialan.
Renjana ingin mengumpat sekeras-kerasnya sekarang mendengar jawaban dari Hanif. “Kalau memang kamu ingin batalin, aku bisa ngomong ke orangtua kita biar kamu nggak terbebani. Aku bisa ngomong ke mereka semua dan jelasin apa yang sebenarnya. Maaf kalau aku tiba-tiba
hadir di kehidupan kamu yang akhirnya buat kamu jadi berantakan seperti ini.”
Andai dia membatalkan pernikahan yang ada di depan mata. Belum tentu ada orang yang akan mengajaknya menikah seperti Hanif. Apalagi pria ini cukup sopan dari awal mereka kenalan. Dan juga tutur katanya yang disukai oleh orangtuanya Renjana.
“Nggak, aku nggak bisa batalin.”
“Aku ngerti rasanya ninggalin orang yang paling disayang, Renjana. Aku kasih pilihan ke kamu, kita batalin? Atau kita teruskan dengan syarat nggak akan ada masa lalu di antara kita. Maksud aku, aku nggak maksa kamu lupain Yoga. Tapi aku nggak mau saat nikah nanti dan ditengah hubungan itu, kamu malah lari sama dia. Aku ingin menikah satu kali dalam seumur hidup.”
Komitmen Hanif sangat beda dengan Yoga. Pacarnya yang memang selalu memiliki pemikiran yang berbeda dengan Hanif—ralat bukan pacar lagi, melainkan mantan pacar.
“Kita lanjutin.”
“Satu hal yang aku nggak mau tunda, yaitu aku pengin punya anak.
Kalau kita punya anak, nggak ada alasan lagi kamu pergi dari aku.”
Renjana merasa bersalah dengan ucapannya tadi siang pada Hanif sekarang. Dia mengatakan pada Yoga bahwa dia mau membatalkan pernikahan asal Yoga mau melamarnya. Sayang sekali harapan itu adalah sebuah kapas kering yang dibawa terbang oleh angin, sampai dia merasa bahwa itu tidak akan ada gunanya lagi berharap pada Yoga.
Masa depan ada di depan mata, hanya dengan Hanif. Pria yang akan dikenalnya dari nol lagi.
“Aku memang nggak mau tunda anak. Tapi aku nunggu kamu siap, semisal kamu belum siap kita sekamar, oke kita bisa pacaran dulu. Kita bisa saling mengenal satu sama lain. Kita bisa tidur di kamar berbeda. Tapi seperti yang kamu tahu, aku bukan tipe pria yang permainkan pernikahan. Bisa lihat dari saudara aku yang lain. Mereka banyak anak, mereka juga sama seperti aku dulu, sibuk kerja dan jodohnya juga dicarikan, Mama. Dan aku percaya siapa yang dipilih Mama adalah yang terbaik buat aku.”
Harusnya Renjana juga memikirkan hal yang sama. Kalau itu yang terbaik baginya dan juga Hanif, harusnya dia percaya juga kalau dirinya memang sudah ditakdirkan bersama dengan Hanif. Harusnya dia juga percaya bahwa pilihan orangtuanya adalah yang terbaik. Sama seperti yang dipikirkan oleh Hanif.
Mengenai perjalanan percintaan mereka, itu bisa dipikirkan nanti Renjana masih punya waktu memikirkannya.
Keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil ketika diperjalanan menuju tempat percetakan.
Mereka berdua sudah ada di halaman parkir. “Sekali lagi aku tanya, sebelum undangan itu jadi dan disebar. Kamu yakin dengan pernikahan kita?”
Renjana menarik napasnya dalam-dalam lalu menatap Hanif kemudian menganggukkan kepalanya, jika ini batal. Tentu saja yang malu itu adalah orangtuanya juga. Bukan hanya orangtuanya Hanif saja. Dan sekarang Renjana akan menaruh harapan itu pada Hanif.
“Aku yakin kalau kamu memang yang terakhir.”
“Setelah kita keluar dari mobil ini, nggak ada lagi yang namanya pembatalan, Renjana. Apa pun yang terjadi ke depannya, kita yang bakalan lewati bersama. Meski itu adalah masalah kamu sendiri, aku yang bakalan mikirinnya juga.”
Renjana berusaha meyakinkan dirinya.
Kemudian Hanif mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “Tangan kamu mana?”
Renjana dengan polosnya mengulurkan tangannya kemudian Hanif memasang sebuah jam tangan yang berwarna hitam dan sangat cantik. Sebuah jam tangan dari Alexandre Christie yang sama dengan milik Hanif. “Aku sengaja beli ini tadi. Biar nanti ketika kita pergi ke mana-mana. Kamu nggak telat lagi kayak gini, aku sudah lama sekali nunggu kamu di ruang tamu. Sampai papa kamu rasanya mau interogasi aku soal rencana punya anak. Nikahin anaknya aja belum, masa mau ditanya soal anak.”
Renjana sedikit tersenyum ketika keluar dari mobil. Hanif membuka pintu untuknya dan meminta tangannya untuk digenggam. “Jangan nggak gandengan, nanti kita kayak orang yang lagi marahan.”
“Ya, Hanif. Terserah kamu mau gimana.”
Di dalam ruangan khusus, Renjana dibuat kagum oleh tempat ini. “Sekalian kamu cobain gaun di sini. Di sini bukan cuman tempat cetak
undangan.
“Kamu tahu ini dari mana?”
“Mama aku jangan kamu remehin lho, ya. Mama tuh kalau soal beginian paling cepet.” Hanif berkata dengan jujur karena ini adalah permintaan dari mamanya sendiri.
Dia diberikan kuasa oleh Hanif memilih desain tentang undangan pernikahan mereka ketika diberikan contoh yang sangat banyak. Renjana melihat warna yang sedikit lebih indah. Yaitu dengan warna hitam dengan tinta mengkilap seperti emas. “Kamu pilih yang ini?”
Renjana mengangguk, dia sangat setuju dengan warna yang tadi dipilihnya karena terlihat lebih mewah. “Kamu sudah mikirin siapa aja yang kamu undang?”
“Sudah kok.”
“Kami pesan lima ratus cetak.”
Renjana membelalak dengan nominal yang disebutkan oleh Hanif tadi. Siapa yang akan Renjana undang sebanyak itu? Lagipula teman-temannya kurang dari dua puluh orang. “Apa nggak dikurangi aja?”
“Nggak masalah. Nanti kita bagi, Renjana.”
Bukan soal tidak cukupnya. Hanya saja bagi Renjana, dia tidak akan mengundang banyak orang. Temannya hanya sedikit. “Mama kamu mau ngundang teman-temannya, dan juga kamu harus undang teman kamu.”
Seulas senyum simpul dari Renjana untuk calon suaminya.
Dia diajak untuk melihat gaun pengantin yang ada disebelah kemudian matanya terpaku pada gaun berwarna putih dengan desain yang sederhana tapi terlihat cukup mewah. “Kamu pilih!”
Renjana antara ingin menangis karena terharu akan menikah dan baru kali ini bisa melihat gaun pengantin yang akan dikenakan olehnya nanti.
“Jangan ribet-ribet. Ini gaun untuk pernikahan kita lusa, untuk pestanya beda.” Jujur saja kalau ini sangat cepat.
Renjana bahagia atau sedih sekarang. Dia tidak tahu lagi perasaannya sehancur apa sekarang. Tapi ini adalah orang yang melamarnya, orang yang akan hidup dengannya. Dua hari lagi, itu akan menjadi saksi seumur hidupnya mengabdikan hidupnya untuk Hanif.
Keduanya pulang sebelum malam terlalu larut. “Hanif.” “Iya, ada apa?”
“Aku cuman pengin tahu alasan kamu lamar aku.” “Untuk jadi istri aku.”
“Maksudku, kamu tahu aku punya pacar.”
“Mama aku sama Mama kamu kan sering ketemu di pesta pernikahan teman-temannya. Terus biasanya mama kamu diundang juga, di sana kan mama kamu sering di tanya. Ya udah karena sama-sama punya anak, jadi dijodohkan.”
“Nggak masuk akal.” Dengan juteknya Renjana menjawab karena belum percaya dengan jawaban itu.
Renjana melipat kedua tangannya di depan dada saat mereka masih di perjalanan. “Aku udah lama pengin lamar kamu, paham? Tapi mama waktu itu bilang kalau kamu udah punya pacar.”
“Sebentar, maksud kamu apaan?”
“Nungguin kamu putus itu lama banget tahu nggak. Jadi aku kan nyosor duluan suruh orangtua lamarin.”
“Kok kamu bohong banget.” Padahal mereka baru saja jalan bareng hari ini. Tapi Renjana merasa sudah dekat dengan Hanif. Bawaan pria ini cukup hangat dan tidak membosankan.
Sementara pria itu tertawa sambil menyetir. “Mama yang pilih, katanya aku nggak bakalan nikah kalau aku kerja terus. Jadi waktu Mama mutusin buat lamar, itu panjang banget prosesnya. Karena mama kamu kan harus nanya kamu dulu, waktu kamu jawab iya. Akhirnya mama siapin semuanya.”
“Tapi aku belum jawab iya.”
“Mama kamu yang sudah jawab duluan. Makanya Mama pesan cincin, sama perlengkapan untuk nikah itu. Mulai besok pasti sudah hias rumah kamu. Akad nikah kita di rumah kamu, kan. Jangan telat bangun. Harus bangun subuh, terus acaranya jam sembilan. Aku pengin waktu di sana udah siap semuanya.”
“Hanif, apa kamu sudah yakin sama pernikahan ini?”
“Sebelum aku datang melamar, aku sudah mantapkan niat. Kalau aku ragu nggak mungkin aku melangkah. Dan sekarang alasan aku mau cepat- cepat karena aku nggak mau kamu kabur. Aku tahu di hati kamu masih ada mantan kamu, kan?”
Renjana tidak suka disinggung soal Yoga. “Sok tau.” Sebal sekali wajahnya menjawab pertanyaan calon suaminya.
“Nanti kita sama-sama saling mengenal satu sama lain setelah menikah. Percayalah bahwa jodoh itu adalah cerminan kita. Kamu mau lihat aku, maka lihat dirimu. Disitu ada aku. Hanya itu kuncinya.”
“Ma, nikah itu bukannya akan dilakukan kalau sudah daftar di KUA, ya?”Renjana sangat ingat pertanyaan itu pada mamanya. Namun semua sudah lewat begitu sajaAkad yang baru saja selesai diucapkan oleh Hanif dan terdengar para saksi berkata sah. Memang sederhana dan tidak memakan banyak waktu. Tapi banyak sekali yang terkejut mengenai pernikahan Renjana yang serba mendadak.orang-orang di sekitar rumahnya juga seolah tidak percaya dan malah berpikiran bahwa Renjana kecelakaan, yang dalam arti ‘hamil di luar nikah’ sayangnya tidak sama sekali. Renjana menikah karena memang diminta oleh orangtuanya.Saat ia bersalaman dengan suaminya, ada rasa yang bercampur aduk di dalam dirinya. Renjana yang sangat bahagia dan juga sangat sedih ketika dia berharap bahwa pernikahan ini bersama dengan Yoga. Ah lupakan, pria itu tidak punya komitmen sama sekali. Renjana berusaha untuk melupakan sosok pria itu di dalam hidupnya.Doa yang sangat lancar sekali diucapkan oleh Hanif. Yaitu doa setelah akad. Apa
Sebenarnya sulit sekali bagi Renjana untuk meninggalkan rumah orangtuanya. Rumah tempat dia dibesarkan dengan Teguh dulu. Sekarang sudah dia tinggalkan karena harus ikut suaminya pulang. Hanif mematikan mesin mobil lalu mengajaknya keluar dari mobil saat mereka sudah sampai.Dia keluar dari mobil lalu baru melihat rumah dengan desain minimalis dua lantai. Lengkap dengan garasinya yang ada di samping kiri.Ada satu mobil lagi yang di sana. Ada sepeda dan juga motor yang terparkir di sana.Barang-barangnya dibawa masuk oleh Hanif.Meninggalkan rumah orangtua untuk bisa ikut dengan suaminya tentu bukan hal yang mudah bukan? Renjana sudah pasti tahu pasti hal itu. Dia tidak tahu lagi bagaimana nanti ke depannya bersama dengan Hanif. Tapi ia mulai menaruh kepercayaan pada suaminya bahwa semua akan baik-baik saja seperti yang dijanjikan oleh Hanif untuknya.Mereka berdua masuk dan Renjana mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru yang bisa dijangkau oleh matanya. “Di sini ada lima kamar
Seperti sebuah penjara bagi Renjana, menemani sang mama ke acara pernikahan anak dari temannya yang menggelar pesta cukup besar. “Renjana kapan nyusul, nih? Teman-temannya sudah menikah semua, dia sendiri yang belum. Lihat tuh Anita aja mau punya dua anak.” Teman mamanya menyindir tentang dirinya yang belum menikah di usia dua puluh tujuh tahun. Benar usia itu akan menjadi bencana baginya tiga tahun lagi.“Kalau itu sih terserah Renjana. Kalau kami sebagai orangtua hanya menginginkan yang terbaik.” Mamanya membela di depan orang-orang yang sekarang ini sangat banyak. Teman mamanya memang dari kalangan ibu-ibu yang selalu bertanya hal seperti ini ternyata.Andai sedari awal dia tahu kalau dia akan ditanya seperti ini. Sudah pasti Renjana tidak akan pernah datang, tapi paksaan kakaknya yang mengatakan bahwa dia harus bisa menemukan minimal satu saja seorang laki-laki di sini untuk berkenalan dengannya.Di ruang keluarga sewaktu Renjana sedang menggendong keponakannya yang baru berusia s
Di Sebuah coffee shop duduk menyendiri di dekat jendela kaca yang memaparkan langsung orang-orang yang lewat di luar tempat tongkrongan anak muda ini. Renjana sudah berjanji untuk bertemu dengan Yoga— kekasihnya.Setiap hari Sabtu-Minggu adalah hari di mana mereka akan bertemu untuk menghabiskan waktu. Tidak lama setelah dia membaca 30 halaman dari novel romantis yang sangat dia sukai—yaitu buku tentang pernikahan. Membayangkan kalau dia dan Yoga menikah dan kisahnya seromantis novel yang paling sering dibaca. Meskipun dengan konflik berat. Tapi Yoga harus tetap mengalah seperti para tokoh suami yang ada di novel itu.Pria itu duduk dengan menyerahkan bunga mawar dan coklat. “Selamat hari valentine, Sayang.” Perasaan Renjana begitu bahagia ketika diberi bunga dan coklat. Yoga orang yang romantis, pria ini sangat dicintainya juga—dan sudah dipacarinya selama sembilan tahun.Sembilan tahun adalah di mana bisa kredit rumah. Sembilan tahun cukup waktu untuk kredit dua unit mobil. Sembilan
Tanpa ada izin dari Yoga, keluarga besar rencana juga sangat lelah dengan keputusan tanpa ada kepastian. Mereka sudah menanyakan tentang pernikahan itu pada Renjana. Tapi Yoga selalu bereaksi sama, yaitu tanpa adanya ajakan untuk menikah.Malam ini adalah rencana yang sudah diatur sedemikian rupa oleh orangtuanya. Dilamar oleh pria asing, dengan tujuan untuk menikah.Renjana membayangkan jika calon suaminya gendut, perutnya buncit, berkumis tebal, matanya menyoroti tajam dan menyeramkan. Ini bukan soal menghina fisik calon suaminya. Tapi karena tubuhnya yang kecil, mungil dan bisa dipelintir oleh calon suaminya nanti jika mereka bertengkar. Itu yang paling ditakutkan sebenarnya.Wajahnya pucat ketika baru saja selesai berdandan sesuai perintah mamanya. Tadi pagi, tidak ada angin tidak ada hujan mamanya mengatakan kalau malam ini akan ada tamu. Yaitu keluarga dari pria asing bersama dengan keluarga besarnya untuk melamar. Sekali lagi, dia akan dilamar oleh pria itu.Sejenak ia memejamk
Renjana menunggu ketika jam makan siang di sebuah coffee shop dekat dengan kantor tempat bekerjanya Yoga. Dia sudah berjanji bersama dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat hari ini. Tapi mengingat pria itu ada kesibukan, jadi janjinya ditunda menjadi sore hari. Renjana tidak masalah dengan hal tersebut. Apalagi dua hari dari sekarang dia akan dipersunting oleh pria itu.Sangat cepat dan juga prosesnya memang seperti kilat. Menjalani hubungan selama sembilan tahun tentu tidak mudah dijalani oleh Renjana. Hafal dengan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Yoga. Tapi dengan Hanif? Dia akan memulai segalanya dari awal lagi. Ia melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah satu siang dan sudah waktunya jam makan siang dan Yoga belum juga keluar dari kantor.Semua berkas-berkas juga dikirimkan tadi pagi ke orangtuanya Hanif.Dia menoleh beberapa kali ke arah pintu masuk di coffee shop itu. Belum ada tanda-tanda bahwa Yoga datang.Jika Yoga mengajaknya, maka dia akan lang