Home / Pernikahan / Duka Pernikahan / 4. Penantian Bodoh

Share

4. Penantian Bodoh

Renjana menunggu ketika jam makan siang di sebuah coffee shop dekat dengan kantor tempat bekerjanya Yoga. Dia sudah berjanji bersama dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat hari ini. Tapi mengingat pria itu ada kesibukan, jadi janjinya ditunda menjadi sore hari. Renjana tidak masalah dengan hal tersebut. Apalagi dua hari dari sekarang dia akan dipersunting oleh pria itu.

Sangat cepat dan juga prosesnya memang seperti kilat. Menjalani hubungan selama sembilan tahun tentu tidak mudah dijalani oleh Renjana. Hafal dengan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Yoga. Tapi dengan Hanif? Dia akan memulai segalanya dari awal lagi. Ia melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah satu siang dan sudah waktunya jam makan siang dan Yoga belum juga keluar dari kantor.

Semua berkas-berkas juga dikirimkan tadi pagi ke orangtuanya Hanif.

Dia menoleh beberapa kali ke arah pintu masuk di coffee shop itu. Belum ada tanda-tanda bahwa Yoga datang.

Jika Yoga mengajaknya, maka dia akan langsung membatalkan pernikahannya dengan Hanif. Renjana berani melakukan itu demi perasaannya yang begitu kuat terhadap sosok pemuda yang sudah

ditemaninya dari nol tersebut. Tapi, jika Yoga tidak mengajaknya untuk menikah sekarang juga. Dia akan melepaskan cintanya dari seorang pemuda yang teramat dicintainya dan sudah menjaganya selama mereka pacaran juga. Tidak ada perbuatan aneh-aneh selama ni. Yoga juga bukan tipe pria yang brengsek dan nakal. Dia sangat menghargai sebuah komitmen, maka dari itu dia begitu mencintainya setulus hati. Sayangnya perasaan itu tak kunjung ada jawaban.

Renjana lelah, lelah dengan pertanyaan ‘Yoga kapan nikahi kamu?’ selalu saja seperti itu setiap kali berkumpul dengan keluarga. Andai saja Yoga tahu beban pikiran Renjana, sudah pasti pria itu akan menikah dengannya. Renjana juga punya tabungan hasil bekerjanya selama ini dia tabung.

“Jana, maaf aku telat. Tadi lagi kelarin pekerjaan aku.”

Sosok pria muncul dengan seragam dinasnya. Yang pertama kali diberitahu oleh Yoga dulu adalah dirinya. Ia yang menemani Yoga ketika sedang ikut tes dan menunggu pria itu. Dia yang menunggu kabar baik tentang lulusnya Yoga. Dan dia yang pertama kali mengantar Yoga ke kantor ketika hari pertama kerja. Dan sekarang semua sia-sia. Tidak ada yang dibanggakan oleh Renjana lagi tentang perjuangannya.

Yoga menarik kursi lalu duduk di depan Renjana. “Aku baru juga kok di sini.” Jawab Renjana dengan ekspresinya yang sangat berbeda dari biasanya. Renjana tersenyum melihat penampilan pria ini yang sangat rapi setiap kali bekerja.

“Jana, ada sesuatu?”

“Yoga, ayo kita nikah hari ini.”

Jujur saja kalau harga dirinya sudah berapa kali dia injak sendiri karena mengajak Yoga menikah. “Jana, Please kamu ngertiin aku.”

“Di mana aku harus ngertiin kamu? Yang mana, Yoga? Aku cuman pengen kita nikah. Nggak perlu ribet segala.”

“Kamu tahu ... ,”

“Apanya? Yoga jujur aku capek. Aku cuman ngasih kamu waktu sampai di sini. Aku nggak bisa lagi nungguin kamu. Delapan tahun, dulu kamu bilang satu tahun lagi. Kamu janji bulan sekian, tahun sekian. Lalu mana? Kamu selalu tunda. Mama juga berharap kamu datang ke rumah bawa kedua orangtua kamu. Dan aku harus menanggung malu berapa kali waktu kamu bilang nggak jadi? Apa yang mengganjal di hati kamu? Bilang sama aku, jujur sama aku, Yoga! Aku mohon kamu bisa bilang apa yang menjadi kendala kamu,” rasanya tidak bisa lagi menahan rasa sakit selama ini yang sudah dipendam oleh Renjana. Rasanya dia sudah lelah dengan perasaan digantung oleh Yoga. “Berapa kali aku ajak kamu. Kamu bilang apa? Kamu malah jawab aku kebelet nikah.”

Dalam hati yang diselimuti rasa sakit hati dan juga emosi yang bercampur menjadi satu. Ini adalah alasan mengapa dia sangat benci dengan dirinya sendiri yang rela digantung selama sembilan tahun oleh Yoga.

Pertama kali pria itu berjanji adalah tiga tahun lalu, lalu menunda lagi dan lagi. Bahkan ada saja alasan Yoga setiap kali ditahan. “Aku bukannya kebelet, tapi lihat orang sekitar aku. Bagi kamu ini nggak masalah, tapi aku? Aku yang nggak bisa tahan sama pertanyaan orang lain. Satu lagi, aku bukannya ... ,”

“Kamu maksa aku, Renjana.” Potong Yoga disela-sela pembicaraan mereka.

“Kamu maksa aku nikahi kamu? Sedangkan aku belum siap. Aku belum punya ini itu. Aku punya rencana yang besar untuk kamu. Nikah nggak bisa soal sah doang. Tapi aku harus undang kerabat aku, undang kerabat kamu dan untuk pesta itu butuh biaya yang besar. Gaji aku? Gaji aku nggak bisa kamu andalin kalau mau cepat-cepat.”

Menikah itu bukan soal pestanya yang ribet. Hanya saja banyak yang menjadikan pesta sebagai alasan mereka untuk terus menunda. Salah satunya adalah Yoga. “Aku nggak pernah berharap bahwa nikah sama kamu itu ribet. Dan sekarang aku tanya ke kamu. Apa kamu mau nikah sama aku? Hari ini aku tunggu jawabannya di sini.”

“Aku butuh waktu berpikir, Renjana.”

“Sampai kapan? Sampai kapan kamu harus mikir? Tahun depan? Sepuluh tahun lagi? Delapan tahun itu apa kita akan berjodoh? Aku nggak bisa pastiin kita berjodoh kalau kamu seperti ini. Andai kamu diposisi aku, apa yang akan kamu lakukan ditanya kapan nikah? Jawab aku hari ini.”

Selama mereka pacaran, yang paling sering cari gara-gara adalah Renjana. Karena kesibukan Yoga yang sangat padat. Tapi makin ke sini dia makin percaya bahwa Yoga memang tidak serius padanya. Yoga mengangkat kepalanya dan memegang tangan Renjana.

Sangat besar harapan Renjana agar Yoga mengajaknya menikah. Meski dia harus mengecewakan orangtuanya, tapi sayangnya rasa cintanya yang teramat besar pada pria ini akan dia perjuangkan juga.

“Maaf kalau aku selalu bikin kamu nunggu terus. Terima kasih juga untuk waktu kamu selama ini udah nemenin aku. Dan maaf ... jawaban aku tetap nggak bisa. Aku nggak suka dipaksa, kalau kamu nggak bisa nunggu ya itu terserah kamu. Kita lebih baik sudahi hubungan ini, Renjana. Aku sudah merasa nggak sejalan lagi sama kamu sejak kamu terus tekan aku untuk nikahi kamu, sedangkan pikiran aku tentang itu sangat panjang. Aku mikirin banyak hal. Dan sekarang, aku minta maaf kalau harus akhiri ini.”

Renjana tersenyum mendengar jawaban dari Yoga mengenai dia diputuskan secara sepihak. Selama ini Yoga yang selalu mengajak balikan saat Renjana yang memutuskan hubungan. Tapi hari ini Yoga yang memutuskan hubungan saat Renjana meminta kepastian.

“Dua hari dari sekarang, datang ke rumah aku. Itu adalah jawaban dari aku atas apa yang dipertanyakan orangtua aku selama ini. Aku tunggu kamu datang. Kamu bakalan lihat aku bersanding dengan yang lain.”

Tubuh Yoga menegang mendengar jawaban Renjana. “Kamu nikah?” “Iya, itu adalah alasan aku selama ini terus kasih tekanan ke kamu. Aku

bakalan kabur dari pernikahan ini kalau kamu ajak aku.”

Yoga masih diam di depannya Renjana. “Diam artinya kamu sanggup liat aku nikah sama yang lain. Aku nggak mau digantung, Yoga. Aku capek. Setiap kali reunian semuanya sudah gendong anak. Aku sendirian yang masih lajang, aku bukannya kejar soal pernikahan. Tapi aku nunggu jawaban tentang hubungan kita. Suami Nita dia juga pegawai kayak kamu, kamu lebih dulu jadi pegawai dibandingkan dia. Mereka nggak takut nikah, rezeki sudah ada yang atur. Dan kamu khawatirkan apa yang belum terjadi. Maksud aku tentang pengeluaran kita,”

“Nita juga kerja, Renjana. Dan aku tahu itu.”

“Apa kamu lihat aku nganggur? Apa kamu tahu jumlah tabungan aku selama kita jalani pacaran? Seratus tiga puluh juta apa kurang buat bantuin kamu? Bahkan semua gaji dan juga hasil aku jualan online baju, sepatu dan juga bantu Kak Teguh. Aku bisa beli mobil pakai uang aku sendiri, aku tabung untuk bantuin kamu. Dan sekarang jawaban kamu malah mutusin aku.”

Mereka masih berseteru tapi masih dengan kepala dingin untuk mencari solusi dari semua masalah ini.

“Sekarang mau kamu apa, Renjana?”

“Nggak ada. Aku udah nggak berharap kalau ternyata kamu cuman ngasih luka buat aku. Bayangkan berapa tahun aku kerja dan jualan aku tabung demi kamu. Sembilan tahun hubungan kita berjalan begitu saja, kamu akhiri karena aku minta kepastian.”

Selama mereka pacaran, tidak pernah ada kata selingkuh dan juga pengkhianatan. Tapi baru kali ini Renjana merasa sangat sakit mendengar jawaban Yoga yang memutuskan hubungannya secara sepihak. Ia berdiri lalu mengembalikan buku tabungan yang di mana di sana adalah gaji Yoga untuk tabungan rencana pernikahan. “Andai kamu bisa nunggu lagi, Jan. Aku janji kita bakalan nikah.”

“Aku capek sama janji kamu. Mama jodohin aku sama anak temennya.” Renjana baru berjalan beberapa langkah.

Selama Renjana berada di sana, ada sebuah lagu yang diputar di tempat itu.

'Aku ngerasa lagu itu nyindir aku' batin Renjana yang tertawa pada kebodohannya yang menunggu lama. Akhirnya Yoga yang memutuskan hubungan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status