Ke mana perginya semua orang? "Shan, aku beneran cinta mati sama kamu. Aku janji, kalau kamu mau balik sama aku, aku akan berubah." "Omong kosong!" Shana mulai berdiri. Dito tidak mau mengalah. Pria itu ikut berdiri dan terus memohon pada Shana. Namun wajah memelas itu justru membuat Shana ketakutan. Dia tidak lagi bodoh seperti dulu. Dito adalah manusia manipulatif dan Shana tidak akan tertipu lagi. "Shan—" Dito kali ini berhasil meraih tangan Shana. Saat Shana akan berteriak, pria itu membungkam mulut Shana dengan tangannya. "Jangan teriak, Shan. Kamu tau apa yang akan terjadi kalau orang-orang tau kita cuma berdua di ruangan ini." "Sialan! Lepasin gue!" Shana berusaha memberontak. "Aku cuma mau kamu maafin aku. Kita mulai semuanya dari awal, ya?" "Orang gila!" Belum sempat Shana mendorong Dito, pria itu lebih dulu terdorong menjauh. Sepertinya doa Shana di dengar oleh Tuhan. Secara tiba-tiba Roro berada di hadapannya dan berusaha untuk melindunginya. "Janga
Hari Minggu yang tenang tak lagi bisa dibayang. Di pagi buta Ndaru sudah berada di atas awan. Menyusul kakaknya yang berada di Kalimantan. Rasa terpaksa tentu ia rasakan. Namun ada hal penting yang harus ia sampaikan. Dalam hati terdalam, Ndaru lebih suka jika Guna yang datang. Namun ia teringat pada Arya, di mana kakak keduanya itu meninggal karena ingin menemuinya. Ndaru tak mau hal yang sama terulang. Dia sudah kehilangan banyak orang dan itu semua karena dirinya. Dia tak ingin lagi. Di dalam pesawat pribadinya, Ndaru memilih untuk memejamkan mata. Rasa sesal karena tak mengajak Juna mulai terbayang-bayang. Namun ia sedang tergesa. Guna sudah menunggunya untuk hadir dalam acaranya. "Pak, pihak lelang amal semalam menghubungi. Untuk batu permata yang Bapak beli mau dikirim ke mana?" tanya Gilang. Ah, Ndaru lupa akan hal itu. Seketika dia meringis mengingat aksi tak terduganya. Hanya karena beberapa kalimat yang Shana ucapkan, mampu membuatnya terprovokasi dan membeli ba
Guna tampak terkejut. "Dia tau?" Hela napas kasar lolos dari mulut Ndaru. "Dia punya informan. Kita harus hati-hati." "Informan? Sialan, siapa dia?" Ndaru menggeleng. "Nanti aku cari tau." "Apa lagi yang kamu dapat dari acara semalam?" "Batu berlian," jawab Ndaru bodoh. "Bukan itu!" dengkus Guna kesal. "Kalau yang itu semua orang juga tau. Kata Maya kamu jadi trendic topic lagi." Guna menggelengkan kepalanya. "Hobi banget kamu jadi omongan banyak orang, tapi nggak masalah, karena itu juga aku minta kamu ke sini. Lihat ibu-ibu di luar sana, pada gemes sama kamu yang akhirnya daftarin anak mereka ke akademi kita." Guna tertawa terbahak. Berbanding dengan Ndaru, pria itu hanya bisa pasrah. Toh, dia juga sudah terbiasa. Dengan tampangnya yang lebih tampan dari saudara-saudaranya, Ndaru sering diperalat untuk mengeluarkan karisma kuatnya. "Satu lagi." Ndaru terlihat ragu untuk mengatakannya. "Shana, dia akrab dengan keluarga Nurdin." Kening Guna berkerut. "Kok bisa?" N
Keheningan menguasai suasana. Meninggalkan kecanggungan yang begitu terasa. Bibir bungkam menjadi pilihan utama. Tak tahu harus berkata apa untuk mengeluarkan isi kepala. Dalam hati, Shana tak berhenti untuk mengutuk diri sendiri. Meluapkan kebodohannya yang terulang kembali. Bedanya kali ini dia dibuat mati berdiri. Saat mendengar ucapan dari sang suami. "Karena kaca mobil saya gelap." Benar-benar bodoh! Ciuman kedua kembali terulang. Lagi-lagi Shana yang lebih dulu menyerang. Dengan alasan untuk menghindar dari Dito seorang. Begitu tragedi ciuman itu usai, Shana tak lagi kembali ke lokasi syuting. Begitu tahu jika gadis itu tengah menghindari Dito, Ndaru langsung meminta sang supir untuk pergi segera. Menyadari jika mereka tak hanya berdua membuat Shana kembali mengumpat. Ada Gilang dan juga Nanang yang duduk di kursi depan. Membuat wajahnya seketika berubah sangat merah karena menahan malu. Apa mereka berdua melihat aksi gilanya tadi? Dari sudut mata, Shana bisa
Sial! Bibir Shana seketika bungkam. Wajahnya kembali memanas karena pada akhirnya Ndaru akan membahas hal memalukan yang ia lakukan. Shana mohon, jangan di depan orang lain! "Apa argumen kamu sekarang?" Ndaru menantang. "Yang it—u yang ta—tadi saya nggak sengaja. Pak Ndaru tau sendiri kalau Dito kejar saya." Shana mulai menurunkan nada suaranya. Karena malu tentu saja. "Saya jadi penasaran. Kalau bukan saya yang di sana, siapa yang bakal kamu cium?" "Pak?!" Shana melirik Gilang dan Nanang gelisah. "Kita bahas di rumah," lanjutnya kembali menatap jendela. "Bagus. Kita langsung pulang. Jadi nggak perlu kamu ketemu Nendra-Nendra itu." Shana memilih untuk diam. Dia membuka kembali ponselnya untuk mengabari Nendra jika ia tidak bisa bertemu. Lagi-lagi Shana hanya bisa menurut. Ndaru kembali membuatnya mati kutu dengan serangannya yang selalu bisa membalikkan keadaan. Seharusnya Shana yang kesal, bukan? Kenapa justru pria itu yang memegang kendali? Sisa perjalana
Hari ini menjadi hari yang cukup berat untuk Shana. Mulai dari Dito, Ndaru, sampai Nendra. Ketiga pria itu berhasil membuat perasaannya bergejolak. Mulai dari kesal, gelisah, panik, dan masih banyak lainnya. Shana tidak bisa mengungkapkan satu-persatu perasaannya saat ini. Apa lagi saat melihat keberadaan Nendra di depan rumahnya. Tanpa aba-aba dan peringatan pria itu tiba-tiba berada di depan rumah Ndaru. Berdiri tegak dengan senyum manisnya yang khas. Namun ekspresi itu berbanding terbalik dengan Ndaru dan Shana. Jika tidak ingat dengan peringatan Ndaru, mungkin Shana akan menyambut kedatangan Nendra dengan senang hati. Wajah datar Ndaru sudah memperingatinya. Shana tidak akan melakukan aksi gila ada di kepalanya saat ini. Ndaru sedang marah. Dia tahu itu. "Mas Nendra di sini?" tanya Shana mendekat. Tarikan pada kerah kemeja membuat langkah Shana terhenti. Seketika dia kembali tertarik ke belakang sampai punggungnya menabrak dada Ndaru. Tidak menyakitkan, tetapi cukup me
Shana harus memanfaatkan waktunya dengan baik. Sebagai seorang ibu, dia tetap mengutamakan kewajibannya untuk menjaga Juna. Seperti saat ini. Meski hanya Ibu Sambung, tetapi Shana dengan tulus menyayangi Juna. Anak itu terlalu menggemaskan untuk diabaikan. Memang Shana tidak menyukai keluarga Atmadjiwo, tetapi tidak dengan anak itu. Juna terlalu polos untuk mengetahui betapa kejamnya dunia. "Mama! Aku dapat bintang lima dari Miss Alin," teriak Juna sambil berlari ke arahnya. Jam pulang sekolah telah usai. Seperti biasa, Shana yang akan menemani Juna selama bersekolah. "Wah, Mas Juna pinter banget." Shana bertepuk tangan senang. Memberi apresiasi yang memang pantas ditujukan untuk Juna. "Tadi bikin gambar sapi," ucap Juna dengan gerakan tangannya. "Mana? Mama mau lihat." Shana berjongkok untuk menyamakan tigginya dengan Juna. Dengan gerakan yang menggemaskan, anak itu membuka tasnya dan mengeluarkan buku gambarnya. Di usia dua tahun ini, Shana melihat jika Juna cuku
Shana kembali di hadapkan dengan kepanikan. Pesan Ndaru yang berisi titah untuk segera pulang bukanlah akhir dari serangan. Roro, wanita yang setia mengawalnya membelokkan mobilnya memasuki area gedung utama kantor Atmadjiwo Group. Seketika rasa gelisah kembali menyapa. "Kita ke sini, Ro?" tanya Shana hati-hati. "Iya, Bu. Pak Ndaru ingin bertemu." Mobil pun berhenti di depan lobi. Shana melirik Juna yang asyik bermain mobil-mobilan. Sepertinya anak itu belum sadar di mana dirinya saat ini. "Kita pulang aja, Ro. Nanti di rumah aja saya ketemunya sama Bapak." Roro menggeleng dan turun dari mobil. Dia membuka pintu mobil belakang, meminta Shana untuk turun. Roro mungkin bekerja untuk mengawal Shana, tapi jangan lupa jika ia bekerja di bawah perintah Handaru Atmadjiwo. Apa lagi setelah tragedi Dito yang kembali mengganggu Shana, Ndaru tidak akan membiarkan Shana pergi sendiri. Harus ada Roro di sisinya. "Ma, kita di mana?" Shana menoleh dan tersenyum manis. "Kita di kantor
"Kenapa Mbak pukul Shana?"Putri menahan napasnya. Dia menekan bibirnya membentuk garis tipis. Warna bibirnya yang merah menyala karena pewarna bibir seolah menunjukkan kekuasannya saat ini. Namun sayang, yang terjadi malah sebaliknya. Ndaru yang tampak mengintimidasi saat ini."Apa maksud kamu?""Saya tau Mbak pukul Shana." Tidak perlu basa-basi. Ndaru langsung pada inti pembicaraan.Putri tersenyum tipis. "Jadi dia ngadu ke kamu?""Jangankan ngadu, tatap mata saya aja dia nggak mau," jawab Ndaru, "Jadi kenapa, Mbak?""Bukan urursan kamu.""Shana istri saya.""Wah... wah...," Putri menatap Ndaru tidak percaya. "Apa kamu baru aja mengakui kalau dia istri kamu?""Jawab pertanyaan saya, Mbak." Tekan Ndaru lagi. "Jangan mengalihkan pembicaraan."Senyum Putri menghilang. Dia menatap Ndaru lekat, mencoba melawan tatapan pria itu. Meski Ndaru tidak menatapnya tajam, tetapi tatapan tenangnya justru menakutkan. Tidak peduli jika dia adalah kakak ipar Ndaru, pria itu tetap setia dengan sikap d
Seperti yang sudah Shana duga. Malamnya tidak berjalan dengan lancar. Tidur karena lelah benar hanya menyapa. Selebihnya mimpi buruk datang seperti perkiraannya. Mimpi buruk yang sangat sulit untuk dilupakan. Kejadian kelam yang terus terbayang-bayang. Sayangnya Shana hanya bisa menyembunyikan. Baginya, tidak ada seorang pun yang bisa memahami keadaan. Shana tidak berlebihan. Melihat bagaimana ibunya pergi untuk selama-lamanya di depan matanya sendiri adalah hal yang paling menakutkan. Jika Shana berkata jika keluarganya hancur, maka itu bukanlah sebuah khiasan. Keluarganya benar-benar berantakan. Dan topeng kuat yang selama ini ia gunakan pun luntur secara perlahan. Setelah mimpi buruk semalam, Shana tak bisa lagi memejamkan mata. Demi mengalihkan pikiran, dia memilih untuk menulis tentu saja. Kali ini bukan untuk seri fantasi kebanggaannya, melainkan curahan kesedihan hatinya. Shana tidak memiliki teman untuk berbicara. Hanya tulisan yang bisa ia tuangkan untuk menenangkan h
"Kamu nangis?" Usaha Shana sepertinya sia-sia. Ndaru jelas menyadari apa yang terjadi. Apa lagi suaranya bergetar tanpa bisa ia tahan. Tak ada lagi gunanya untuk menghindar. Seharusnya Shana tahu jika ia tak akan bisa menyembunyikan apa pun dari pria seperti Ndaru. Shana menarik napas dalam dan mulai mengangkat kepalanya. Menunjukkan wajah sembabnya pada Ndaru. Namun dia juga memberikan senyum tipisnya. "Apa yang terjadi?" tanya Ndaru lagi setelah berhasil melihat wajah Shana. "Saya—" Shana kembali menarik napasnya untuk menahan tangis. "Saya cuma capek. Boleh saya istirahat sekarang, Pak?" Ndaru melepas lengan Shana. Namun bukan berarti dia benar-benar melepas gadis itu. Karena yang selanjutnya Ndaru lakukan cukup mengejutkan. Tangan besarnya terangkat menyingkirkan rambut Shana, memperlihatkan pipinya yang memerah karena tamparan dari Putri. Dengan cepat Shana menghempaskan tangan Ndaru dari wajahnya dan melangkah mundur. Berniat memberi jarak yang tentu sia-sia, kar
Bahagia adalah perasaan yang diinginkan oleh semua orang. Sebisa mungkin manusia akan menghindar dari masalah agar merasakan perasaan indah itu. Namun ternyata tidak semua orang menginginkannya. Ada satu wanita yang terjebak pada dendam masa lalunya. Shana Arkadewi terjebak pada kenyataan yang pahit. Tidak cukup dengan masa lalunya, sekarang Shana justru ikut merusak masa depannya. Yaitu dengan masuk ke dalam keluarga Atmadjiwo. Keluarga yang dulunya sangat ia hindari. Tidak ada pilihan lain. Apa yang sudah terjadi membuatnya mau tidak mau harus bergabung dengan keluarga Atmadjiwo, yaitu dengan menikahi Handaru Atmadjiwo. Putra bungsu yang diidam-idamkan oleh banyak wanita normal di luar sana. Tidak peduli dengan status dudanya, wajah yang terpahat sempurna serta kekayaan yang seolah tiada habisnya tentu menjadi poin utama. Peduli setan dengan anak yang hadir di dunia, Handaru Atmadjiwo tetap menjadi incaran satu Indonesia. Malam itu, setelah Putri pergi dengan amarah, Shan
Di jam sebelas malam, Shana masih berada di kafenya. Secara mendadak dia malas untuk pulang ke rumah karena beberapa alasan. Alasan yang paling masuk akal tentu ia ingin menghindari Ndaru. Bukan hal yang mudah untuk Shana meminta izin untuk pulang terlambat. Lagi-lagi Ndaru mengirim Roro untuk mengawasinya. Hal baiknya, Roro tetap menjaga jarak. Wanita itu memilih untuk memantaunya dari jauh tanpa mengganggu aktivitas Shana. Menolak pun rasanya percuma. Shana sudah tidak punya tenaga untuk berdebat. Intinya, dia sudah malas. Untuk hari ini dia akan membiarkan Ndaru melakukan apa pun yang ia mau. "Mbak Shana pulang aja, biar ini saya yang urus," ujar Ayu saat Shana ingin mengelap beberapa meja. "Nggak apa-apa, Yu. Kamu kerjain yang lain aja biar pulangnya makin cepet." Ayu pun menurut, tidak mungkin dia membantah ucapan atasan. Meski heran, dia tetap bergerak menjauh. Memilih untuk melakukan hal lain sebelum ia menutup kafe malam ini. "Mbak Shana aneh banget malam ini,"
Siang ini, Shana masih bertahan di kantor Ndaru. Pria itu menahannya dengan alasan ingin makan siang bersama anaknya. Padahal dalam hati Shana tahu jika Ndaru hanya ingin mencegahnya kembali bertemu dengan Nendra. Mengenai Nendra, Shana masih tidak mengerti kenapa Ndaru tampak begitu membencinya. Yang Shana tahu, Nendra adalah pria yang baik. Jika memang karena persaingan bisnis, Shana mungkin akan maklum. Namun selama ini ia tidak pernah mendengar ada satu berita yang muncul mengenai Atmadjiwo Group dan Hassando Group yang terlibat konflik. Aneh bukan? "Tadi Shella ke sini?" Shana memecah keheningan. Dia mengaduk makanannya tanpa minat. "Hm," jawab Ndaru sambil mengelap bibirnya dengan tisu. "Ada apa? Saya pikir dia udah nggak berani muncul lagi." Ndaru melirik Juna sebentar dan kembali menatap Shana. "Biar bagaimana pun dia tetap adik ipar saya." Shana tersenyum sinis. Dia merutuki kepolosan Ndaru selama ini. Apa pria itu memang tidak tahu atau berpura-pura tidak
"Tante Shella itu penyihir," ucapnya dengan bergidik. "Mama takut. Mas Juna nggak takut?" "Takut, Ma." Juna menunduk. "Bagus, lain kali kalau ketemu Tante Shella bacain doa aja." Shana tersenyum puas. *** Pintu lift terbuka, sampai di mana lantai ruangan Ndaru berada. Sambutan ramah langsung Shana terima. Ada Gilang serta Fajar yang kompak berdiri untuk menyapa. Shana baru sadar jika tidak ada karyawan perempuan di sekitar Ndaru. "Selamat siang, Bu." "Siang, Mas." Shana tampak ragu untuk bertanya, tetapi dia tetap bertanya pada Gilang. "Pak Ndaru di dalam?" Gilang mengangguk dan menggiring Shana untuk masuk. Awalnya Shana ingin menolak, tetapi sudah terlambat baginya untuk mengelak. Akhirnya Shana memilih untuk mengetuk pintu ruangan Ndaru sekali dan membukanya. Hanya kepala yang Shana perlihatkan. Dia memberikan senyum konyol begitu tatapan matanya bertemu dengan Ndaru. Jangan harap ada senyum balasan, pria itu malah menatapnya datar. Melihat itu, Shana menari
Shana kembali di hadapkan dengan kepanikan. Pesan Ndaru yang berisi titah untuk segera pulang bukanlah akhir dari serangan. Roro, wanita yang setia mengawalnya membelokkan mobilnya memasuki area gedung utama kantor Atmadjiwo Group. Seketika rasa gelisah kembali menyapa. "Kita ke sini, Ro?" tanya Shana hati-hati. "Iya, Bu. Pak Ndaru ingin bertemu." Mobil pun berhenti di depan lobi. Shana melirik Juna yang asyik bermain mobil-mobilan. Sepertinya anak itu belum sadar di mana dirinya saat ini. "Kita pulang aja, Ro. Nanti di rumah aja saya ketemunya sama Bapak." Roro menggeleng dan turun dari mobil. Dia membuka pintu mobil belakang, meminta Shana untuk turun. Roro mungkin bekerja untuk mengawal Shana, tapi jangan lupa jika ia bekerja di bawah perintah Handaru Atmadjiwo. Apa lagi setelah tragedi Dito yang kembali mengganggu Shana, Ndaru tidak akan membiarkan Shana pergi sendiri. Harus ada Roro di sisinya. "Ma, kita di mana?" Shana menoleh dan tersenyum manis. "Kita di kantor
Shana harus memanfaatkan waktunya dengan baik. Sebagai seorang ibu, dia tetap mengutamakan kewajibannya untuk menjaga Juna. Seperti saat ini. Meski hanya Ibu Sambung, tetapi Shana dengan tulus menyayangi Juna. Anak itu terlalu menggemaskan untuk diabaikan. Memang Shana tidak menyukai keluarga Atmadjiwo, tetapi tidak dengan anak itu. Juna terlalu polos untuk mengetahui betapa kejamnya dunia. "Mama! Aku dapat bintang lima dari Miss Alin," teriak Juna sambil berlari ke arahnya. Jam pulang sekolah telah usai. Seperti biasa, Shana yang akan menemani Juna selama bersekolah. "Wah, Mas Juna pinter banget." Shana bertepuk tangan senang. Memberi apresiasi yang memang pantas ditujukan untuk Juna. "Tadi bikin gambar sapi," ucap Juna dengan gerakan tangannya. "Mana? Mama mau lihat." Shana berjongkok untuk menyamakan tigginya dengan Juna. Dengan gerakan yang menggemaskan, anak itu membuka tasnya dan mengeluarkan buku gambarnya. Di usia dua tahun ini, Shana melihat jika Juna cuku