Setelah pernikahan mereka tercatat secara resmi, Alya dan Alexander memasuki kehidupan baru yang terasa asing namun penuh tantangan. Alya masih beradaptasi dengan kehidupan di apartemen Alexander yang megah, namun ia merasa di tempat asing yang penuh aturan. Di saat yang sama, Alexander mencoba menyeimbangkan jarak di antara mereka dengan cara yang membuat Alya sulit membaca pikirannya.
--- [Pagi di Apartemen Alexander] Alya terbangun pagi itu dengan suasana yang berbeda. Matahari yang masuk melalui tirai jendela memandikannya dengan cahaya lembut, namun rasa asing masih melingkupinya. Ia merasakan kekosongan meski berada di ruangan yang penuh dengan kemewahan. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Alya berjalan menuju dapur, menemukan Alexander sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, tatapan mata yang serius tertuju pada layar laptopnya. Alya membuka lemari dengan hati-hati, sedikit bingung mencari bahan makanan yang biasa ia siapkan di rumah. Alexander yang memperhatikannya dari sudut mata, akhirnya berdiri dan mendekat. “Apa yang kau cari?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya, meski tetap terdengar formal. Alya tersenyum canggung, “Aku hanya ingin membuat sarapan... tapi sepertinya semua bahan di sini berbeda dari yang biasa kupakai.” Alexander menghela napas dan tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju lemari lain. Ia membuka pintu lemari tersebut, memperlihatkan bahan-bahan sederhana yang Alya kenali—telur, roti, dan beberapa bahan makanan biasa. “Aku biasanya tidak sarapan, tapi aku sudah menyiapkan ini untukmu,” ujar Alexander singkat sambil menutup kembali pintu lemari. Alya terkejut dan terdiam sesaat, tak menyangka Alexander memikirkan kenyamanannya meski dengan cara yang terkesan kaku. Ini adalah kali pertama Alexander melakukan sesuatu untuknya dengan niat tulus, dan Alya ingin mengucapkan terima kasih, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Alexander sudah kembali ke tempatnya di meja, mata fokus pada layar laptop tanpa satu kata tambahan. Ia mulai menyiapkan sarapan, merasa lebih tenang dengan kehadiran bahan-bahan yang familiar. Sesekali, Alya melirik Alexander, penasaran dengan sosok pria yang dingin ini. Interaksi singkat itu menyisakan kehangatan samar di hati Alya, meski ia masih merasakan ketegangan yang tersimpan di antara mereka. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, adakah kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat, ataukah pernikahan ini akan selalu terasa dingin seperti es? Saat Alya menyelesaikan sarapannya, Alexander memejamkan laptopnya dan berdiri, bersiap-siap untuk pergi. "Aku ada rapat pagi ini, jadi mungkin aku akan pulang larut malam," ujarnya sambil merapikan dasinya di depan cermin. Alya mengangguk pelan, “Baiklah... Hati-hati di jalan.” Alexander hanya memberikan anggukan kecil sebelum pergi meninggalkan apartemen. Hanya setelah kepergiannya, Alya menyadari betapa sepinya tempat itu. Ia terjebak dalam situasi yang membuatnya merasa bagai tamu di rumahnya sendiri, meski ia kini adalah istri Alexander. --- [Malam Hari di Ruang Tamu] Malam itu, Alexander pulang sedikit lebih awal dari biasanya. Alya yang duduk di sofa ruang tamu, terkejut melihat pria itu memasuki ruangan dengan ekspresi lelah dan membawa setumpuk berkas kerja di tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, Alexander duduk di sofa di hadapannya, tampak terjebak dalam pikirannya. Alya merasa ada ketegangan yang tertahan di udara, dan ingin menyapa atau memberikan perhatian, tetapi ia tak tahu harus berkata apa. Hanya suara kipas angin dan detak jam yang terdengar di tengah keheningan mereka. Setelah beberapa saat, Alya akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Alexander...” Ia menarik napas, mencoba menenangkan dirinya, “Mengapa kau memilih pernikahan kontrak ini?” Pertanyaannya menggantung di udara, dan sejenak, Alya berpikir mungkin ia telah melampaui batas dengan bertanya hal ini. Namun, akhirnya Alexander menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Karena aku membutuhkan seseorang yang bisa aku percayai untuk mendampingiku dalam bisnis dan kehidupan sosial,” jawabnya perlahan, suaranya dingin dan terkontrol. “Sebagai seorang publik figur, setiap langkahku diawasi. Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjalankan peran ini tanpa ada keterlibatan emosi yang berlebihan.” Kata-kata itu menusuk hati Alya, namun ia berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan rasa sakit. Jawaban Alexander seolah mengingatkannya bahwa ini hanyalah sebuah kontrak, sebuah perjanjian tanpa ikatan emosi. Namun, rasa penasaran masih menggelitik pikirannya. “Tapi kenapa aku?” tanyanya lagi, kali ini suaranya nyaris berbisik. “Di luar sana banyak orang yang bisa memenuhi syarat itu...” Alexander terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Karena kau memiliki integritas dan visi yang kuat. Kau adalah orang yang dapat diandalkan dan tidak tergiur dengan keuntungan semata. Kau tidak akan mengkhianati kepercayaan.” Alya terkejut mendengar jawabannya, meski ia tetap menyembunyikannya di balik senyum tipis. Malam itu, meski alasan yang diberikannya terasa dingin, Alya mulai melihat sisi lain dari Alexander, sisi yang mungkin menyimpan kelembutan yang jarang ia tunjukkan pada dunia luar. Dalam keheningan yang menyelimuti mereka, Alya merenungkan kata-kata Alexander, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada kemungkinan bagi mereka untuk mengubah dinamika ini—mungkin dengan perlahan meluluhkan dinding pembatas yang telah dibangun Alexander di antara mereka. Namun, ia tahu ini tidak akan mudah, dan jalan di depan mereka masih panjang dan berliku.Hari demi hari, Alya mulai terbiasa dengan kehidupan di apartemen Alexander. Walau jarak di antara mereka masih terasa, Alya berusaha menyesuaikan diri dan mencari celah untuk memahami sosok suaminya itu. Ia mencoba melakukan hal-hal kecil seperti menyeduh kopi setiap pagi atau menyiapkan makan malam sederhana ketika Alexander pulang larut. Meski begitu, sikap Alexander tetap terjaga, penuh kendali dan tanpa ekspresi.Alya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, berhati-hati agar tidak melanggar batas tak kasat mata yang ditetapkan Alexander. Namun, ia mulai menyadari bahwa Alexander memperhatikan setiap perhatiannya, walaupun dalam diam.Suatu malam, ketika hujan turun deras, Alya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, termenung memandangi jendela yang diselimuti rintik hujan. Tiba-tiba, Alexander muncul di ruang tamu dengan segelas air di tangannya. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alexander yang memulai pembicaraan.“Ada sesuat
Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran.Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri m
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan ganjil yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya. Dia merasakan keheningan di rumah yang terlalu sunyi, hampir menyelimuti dirinya dalam kabut yang membuat segala sesuatunya terasa samar. Alexander belum pulang sejak semalam, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Alya mencoba mengabaikan kekhawatiran yang merayap di hatinya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu.Di ruang makan, Alya menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Alexander di meja. Dengan jantung berdebar, dia mengambil surat itu, berharap menemukan penjelasan. Namun, isi surat itu hanya beberapa kata singkat yang membuat perasaannya semakin tidak menentu."Ada urusan penting di luar kota. Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."Alya menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Sesuatu dalam nada pesan itu terasa berbeda, dingin dan jauh, seolah-olah Alexander berusaha menjaga jarak. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namu