Share

03

Setelah pernikahan mereka tercatat secara resmi, Alya dan Alexander memasuki kehidupan baru yang terasa asing namun penuh tantangan. Alya masih beradaptasi dengan kehidupan di apartemen Alexander yang megah, namun ia merasa di tempat asing yang penuh aturan. Di saat yang sama, Alexander mencoba menyeimbangkan jarak di antara mereka dengan cara yang membuat Alya sulit membaca pikirannya.

---

[Pagi di Apartemen Alexander]

Alya terbangun pagi itu dengan suasana yang berbeda. Matahari yang masuk melalui tirai jendela memandikannya dengan cahaya lembut, namun rasa asing masih melingkupinya. Ia merasakan kekosongan meski berada di ruangan yang penuh dengan kemewahan. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Alya berjalan menuju dapur, menemukan Alexander sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, tatapan mata yang serius tertuju pada layar laptopnya.

Alya membuka lemari dengan hati-hati, sedikit bingung mencari bahan makanan yang biasa ia siapkan di rumah. Alexander yang memperhatikannya dari sudut mata, akhirnya berdiri dan mendekat.

“Apa yang kau cari?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya, meski tetap terdengar formal.

Alya tersenyum canggung, “Aku hanya ingin membuat sarapan... tapi sepertinya semua bahan di sini berbeda dari yang biasa kupakai.”

Alexander menghela napas dan tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju lemari lain. Ia membuka pintu lemari tersebut, memperlihatkan bahan-bahan sederhana yang Alya kenali—telur, roti, dan beberapa bahan makanan biasa. “Aku biasanya tidak sarapan, tapi aku sudah menyiapkan ini untukmu,” ujar Alexander singkat sambil menutup kembali pintu lemari.

Alya terkejut dan terdiam sesaat, tak menyangka Alexander memikirkan kenyamanannya meski dengan cara yang terkesan kaku. Ini adalah kali pertama Alexander melakukan sesuatu untuknya dengan niat tulus, dan Alya ingin mengucapkan terima kasih, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Alexander sudah kembali ke tempatnya di meja, mata fokus pada layar laptop tanpa satu kata tambahan.

Ia mulai menyiapkan sarapan, merasa lebih tenang dengan kehadiran bahan-bahan yang familiar. Sesekali, Alya melirik Alexander, penasaran dengan sosok pria yang dingin ini. Interaksi singkat itu menyisakan kehangatan samar di hati Alya, meski ia masih merasakan ketegangan yang tersimpan di antara mereka. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, adakah kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat, ataukah pernikahan ini akan selalu terasa dingin seperti es?

Saat Alya menyelesaikan sarapannya, Alexander memejamkan laptopnya dan berdiri, bersiap-siap untuk pergi. "Aku ada rapat pagi ini, jadi mungkin aku akan pulang larut malam," ujarnya sambil merapikan dasinya di depan cermin.

Alya mengangguk pelan, “Baiklah... Hati-hati di jalan.”

Alexander hanya memberikan anggukan kecil sebelum pergi meninggalkan apartemen. Hanya setelah kepergiannya, Alya menyadari betapa sepinya tempat itu. Ia terjebak dalam situasi yang membuatnya merasa bagai tamu di rumahnya sendiri, meski ia kini adalah istri Alexander.

---

[Malam Hari di Ruang Tamu]

Malam itu, Alexander pulang sedikit lebih awal dari biasanya. Alya yang duduk di sofa ruang tamu, terkejut melihat pria itu memasuki ruangan dengan ekspresi lelah dan membawa setumpuk berkas kerja di tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, Alexander duduk di sofa di hadapannya, tampak terjebak dalam pikirannya.

Alya merasa ada ketegangan yang tertahan di udara, dan ingin menyapa atau memberikan perhatian, tetapi ia tak tahu harus berkata apa. Hanya suara kipas angin dan detak jam yang terdengar di tengah keheningan mereka.

Setelah beberapa saat, Alya akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Alexander...” Ia menarik napas, mencoba menenangkan dirinya, “Mengapa kau memilih pernikahan kontrak ini?”

Pertanyaannya menggantung di udara, dan sejenak, Alya berpikir mungkin ia telah melampaui batas dengan bertanya hal ini. Namun, akhirnya Alexander menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Karena aku membutuhkan seseorang yang bisa aku percayai untuk mendampingiku dalam bisnis dan kehidupan sosial,” jawabnya perlahan, suaranya dingin dan terkontrol. “Sebagai seorang publik figur, setiap langkahku diawasi. Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjalankan peran ini tanpa ada keterlibatan emosi yang berlebihan.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya, namun ia berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan rasa sakit. Jawaban Alexander seolah mengingatkannya bahwa ini hanyalah sebuah kontrak, sebuah perjanjian tanpa ikatan emosi.

Namun, rasa penasaran masih menggelitik pikirannya. “Tapi kenapa aku?” tanyanya lagi, kali ini suaranya nyaris berbisik. “Di luar sana banyak orang yang bisa memenuhi syarat itu...”

Alexander terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Karena kau memiliki integritas dan visi yang kuat. Kau adalah orang yang dapat diandalkan dan tidak tergiur dengan keuntungan semata. Kau tidak akan mengkhianati kepercayaan.”

Alya terkejut mendengar jawabannya, meski ia tetap menyembunyikannya di balik senyum tipis. Malam itu, meski alasan yang diberikannya terasa dingin, Alya mulai melihat sisi lain dari Alexander, sisi yang mungkin menyimpan kelembutan yang jarang ia tunjukkan pada dunia luar.

Dalam keheningan yang menyelimuti mereka, Alya merenungkan kata-kata Alexander, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada kemungkinan bagi mereka untuk mengubah dinamika ini—mungkin dengan perlahan meluluhkan dinding pembatas yang telah dibangun Alexander di antara mereka. Namun, ia tahu ini tidak akan mudah, dan jalan di depan mereka masih panjang dan berliku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status