Share

02

Alya melangkah keluar dari kantor ayahnya dengan langkah gontai. Langit Jakarta mulai meredup, sinar matahari yang tersisa tergantung di antara gedung-gedung tinggi, menciptakan bayangan yang terasa semakin panjang. Namun, bayangan di hatinya lebih kelam daripada langit yang mulai beranjak malam.

Sejak ia menyetujui tawaran Alexander, setiap keputusan yang ia buat terasa seperti ditimpa oleh berat yang tak kasat mata. Setiap kali Alya mencoba untuk memahami situasinya, semakin sulit rasanya untuk menerima kenyataan. Pernikahan—dengan pria yang hampir tidak ia kenal. Dan semua itu hanya untuk menyelamatkan perusahaan keluarga.

"Alya," panggil ayahnya dengan suara serak, mengganggu lamunannya. Alya berhenti, membalikkan tubuhnya dan menemukan ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya memancarkan kecemasan yang begitu dalam. "Apa kamu benar-benar yakin dengan ini? Papa tahu ini bukan keputusan mudah..."

Alya mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa rapuh. "Pa, aku melakukannya demi kita. Aku tidak bisa melihat semua yang sudah Papa bangun hancur begitu saja."

Ayahnya menghela napas berat, menunduk dalam penyesalan. "Papa merasa bersalah… Sebagai ayahmu, seharusnya Papa melindungimu, bukan malah membuatmu berkorban."

Alya menahan napas sejenak, hatinya berdenyut menyakitkan oleh rasa bersalah yang tidak kunjung hilang. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah memintanya untuk melakukan ini. Tapi keadaan sudah begitu terjepit.

"Papa, ini bukan salahmu," kata Alya dengan suara yang lirih, mencoba meyakinkan dirinya lebih daripada meyakinkan ayahnya. "Aku akan baik-baik saja."

Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Alya melangkah pergi. Ia tahu, jika tetap berada di sana lebih lama, ia mungkin akan kehilangan keberaniannya. Perusahaan keluarganya sedang di ambang kehancuran, dan ia adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

---

[Beberapa Hari Kemudian]

Hari pernikahan tiba lebih cepat dari yang Alya bayangkan. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun anggun yang dipilihkan Alexander. Di dalam hatinya, semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Sebuah pernikahan tanpa cinta, hanya sebuah kontrak yang kaku. Tapi ia tahu, ia tidak punya pilihan.

"Aku masih tidak percaya kau benar-benar akan menikah dengan pria itu," suara Nadya terdengar dari belakang, memecah kesunyian. Nadya dengan hati-hati menyematkan veil di rambut Alya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. "Kau yakin ingin melakukannya? Aku tahu keadaan keluargamu sulit, tapi menikah hanya karena kesepakatan? Ini bukan Alya yang kukenal."

Alya menatap sahabatnya melalui cermin, mencoba tersenyum, tetapi gagal. "Aku tidak punya pilihan lain, Nadya. Ini satu-satunya cara untuk membantu keluarga."

Nadya menghela napas berat. "Aku hanya berharap kau tidak akan terluka, Alya. Alexander bukan pria sembarangan. Dia terkenal karena sifatnya yang dingin dan manipulatif di dunia bisnis."

Alya hanya bisa mengangguk, merasakan ketakutan yang ia sembunyikan perlahan muncul ke permukaan. Alexander bukanlah pria biasa—dia adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tanpa peduli caranya.

---

[Di Gedung Pernikahan]

Suasana gedung pernikahan terasa formal dan kaku. Tamu-tamu yang hadir hanyalah rekan bisnis, keluarga dekat, dan beberapa undangan penting. Tidak ada kemeriahan, tidak ada kebahagiaan seperti dalam pernikahan impian yang sering Alya bayangkan. Semuanya terasa mekanis dan tidak berjiwa.

Alya berdiri di altar, merasakan jantungnya berdebar saat Alexander melangkah masuk. Pria itu terlihat sempurna dalam setelan hitam yang rapi, melangkah dengan tenang seolah-olah tidak ada beban. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, tanpa sedikit pun menunjukkan keraguan.

"Siap?" bisik Alexander ketika sampai di samping Alya.

Alya menelan ludah, menatap pria di sampingnya sejenak sebelum mengangguk pelan. "Aku siap."

Pernikahan itu berlangsung cepat, tanpa adanya janji cinta yang manis atau sentuhan emosional yang mendalam. Hanya serangkaian kata yang diucapkan untuk memenuhi persyaratan hukum. Saat janji itu diucapkan, Alya merasa seolah-olah ia sedang masuk ke dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Ketika upacara selesai, Alexander menggenggam tangannya, membawa Alya menuju kerumunan tamu yang menunggu mereka.

"Waktunya kita menjalankan kontrak ini," bisik Alexander dengan suara yang dingin. "Ingat, Alya, ini hanya bisnis. Tidak ada yang lebih."

Alya hanya bisa terdiam, merasakan kenyataan pahit dari pernikahan kontrak ini menamparnya dengan keras.

---

[Di Malam Pertama]

Setelah acara selesai, Alexander membawa Alya ke apartemen mewahnya—tempat yang kini akan menjadi rumah mereka selama dua tahun ke depan. Ketika mereka tiba, Alexander segera membuka pintu, membiarkan Alya masuk ke dalam ruang yang luas dan modern. Dekorasi ruangan ini mencerminkan kepribadian Alexander—elegan, namun dingin dan tidak personal.

"Ini kamarmu," kata Alexander, menunjuk pintu di sebelah kanan. "Aku akan tinggal di kamar sebelah. Kita tidak perlu berbagi ruang, kecuali jika diperlukan untuk menjaga citra di depan orang lain."

Alya merasa sedikit lega mendengarnya, meskipun ia tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang penuh tantangan.

"Apakah ada hal lain yang perlu dibicarakan?" tanya Alexander, suaranya tanpa emosi.

Alya menggeleng pelan. "Tidak. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri."

Alexander mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya sendiri tanpa berkata-kata lagi.

Saat pintu tertutup, Alya akhirnya bisa menghela napas panjang. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding yang dingin. Bagaimanapun, ini hanyalah awal dari dua tahun yang terasa seperti sebuah hukuman yang tak berujung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status