Alya melangkah keluar dari kantor ayahnya dengan langkah gontai. Langit Jakarta mulai meredup, sinar matahari yang tersisa tergantung di antara gedung-gedung tinggi, menciptakan bayangan yang terasa semakin panjang. Namun, bayangan di hatinya lebih kelam daripada langit yang mulai beranjak malam.
Sejak ia menyetujui tawaran Alexander, setiap keputusan yang ia buat terasa seperti ditimpa oleh berat yang tak kasat mata. Setiap kali Alya mencoba untuk memahami situasinya, semakin sulit rasanya untuk menerima kenyataan. Pernikahan—dengan pria yang hampir tidak ia kenal. Dan semua itu hanya untuk menyelamatkan perusahaan keluarga. "Alya," panggil ayahnya dengan suara serak, mengganggu lamunannya. Alya berhenti, membalikkan tubuhnya dan menemukan ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya memancarkan kecemasan yang begitu dalam. "Apa kamu benar-benar yakin dengan ini? Papa tahu ini bukan keputusan mudah..." Alya mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa rapuh. "Pa, aku melakukannya demi kita. Aku tidak bisa melihat semua yang sudah Papa bangun hancur begitu saja." Ayahnya menghela napas berat, menunduk dalam penyesalan. "Papa merasa bersalah… Sebagai ayahmu, seharusnya Papa melindungimu, bukan malah membuatmu berkorban." Alya menahan napas sejenak, hatinya berdenyut menyakitkan oleh rasa bersalah yang tidak kunjung hilang. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah memintanya untuk melakukan ini. Tapi keadaan sudah begitu terjepit. "Papa, ini bukan salahmu," kata Alya dengan suara yang lirih, mencoba meyakinkan dirinya lebih daripada meyakinkan ayahnya. "Aku akan baik-baik saja." Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Alya melangkah pergi. Ia tahu, jika tetap berada di sana lebih lama, ia mungkin akan kehilangan keberaniannya. Perusahaan keluarganya sedang di ambang kehancuran, dan ia adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. --- [Beberapa Hari Kemudian] Hari pernikahan tiba lebih cepat dari yang Alya bayangkan. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun anggun yang dipilihkan Alexander. Di dalam hatinya, semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Sebuah pernikahan tanpa cinta, hanya sebuah kontrak yang kaku. Tapi ia tahu, ia tidak punya pilihan. "Aku masih tidak percaya kau benar-benar akan menikah dengan pria itu," suara Nadya terdengar dari belakang, memecah kesunyian. Nadya dengan hati-hati menyematkan veil di rambut Alya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. "Kau yakin ingin melakukannya? Aku tahu keadaan keluargamu sulit, tapi menikah hanya karena kesepakatan? Ini bukan Alya yang kukenal." Alya menatap sahabatnya melalui cermin, mencoba tersenyum, tetapi gagal. "Aku tidak punya pilihan lain, Nadya. Ini satu-satunya cara untuk membantu keluarga." Nadya menghela napas berat. "Aku hanya berharap kau tidak akan terluka, Alya. Alexander bukan pria sembarangan. Dia terkenal karena sifatnya yang dingin dan manipulatif di dunia bisnis." Alya hanya bisa mengangguk, merasakan ketakutan yang ia sembunyikan perlahan muncul ke permukaan. Alexander bukanlah pria biasa—dia adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tanpa peduli caranya. --- [Di Gedung Pernikahan] Suasana gedung pernikahan terasa formal dan kaku. Tamu-tamu yang hadir hanyalah rekan bisnis, keluarga dekat, dan beberapa undangan penting. Tidak ada kemeriahan, tidak ada kebahagiaan seperti dalam pernikahan impian yang sering Alya bayangkan. Semuanya terasa mekanis dan tidak berjiwa. Alya berdiri di altar, merasakan jantungnya berdebar saat Alexander melangkah masuk. Pria itu terlihat sempurna dalam setelan hitam yang rapi, melangkah dengan tenang seolah-olah tidak ada beban. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, tanpa sedikit pun menunjukkan keraguan. "Siap?" bisik Alexander ketika sampai di samping Alya. Alya menelan ludah, menatap pria di sampingnya sejenak sebelum mengangguk pelan. "Aku siap." Pernikahan itu berlangsung cepat, tanpa adanya janji cinta yang manis atau sentuhan emosional yang mendalam. Hanya serangkaian kata yang diucapkan untuk memenuhi persyaratan hukum. Saat janji itu diucapkan, Alya merasa seolah-olah ia sedang masuk ke dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ketika upacara selesai, Alexander menggenggam tangannya, membawa Alya menuju kerumunan tamu yang menunggu mereka. "Waktunya kita menjalankan kontrak ini," bisik Alexander dengan suara yang dingin. "Ingat, Alya, ini hanya bisnis. Tidak ada yang lebih." Alya hanya bisa terdiam, merasakan kenyataan pahit dari pernikahan kontrak ini menamparnya dengan keras. --- [Di Malam Pertama] Setelah acara selesai, Alexander membawa Alya ke apartemen mewahnya—tempat yang kini akan menjadi rumah mereka selama dua tahun ke depan. Ketika mereka tiba, Alexander segera membuka pintu, membiarkan Alya masuk ke dalam ruang yang luas dan modern. Dekorasi ruangan ini mencerminkan kepribadian Alexander—elegan, namun dingin dan tidak personal. "Ini kamarmu," kata Alexander, menunjuk pintu di sebelah kanan. "Aku akan tinggal di kamar sebelah. Kita tidak perlu berbagi ruang, kecuali jika diperlukan untuk menjaga citra di depan orang lain." Alya merasa sedikit lega mendengarnya, meskipun ia tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. "Apakah ada hal lain yang perlu dibicarakan?" tanya Alexander, suaranya tanpa emosi. Alya menggeleng pelan. "Tidak. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri." Alexander mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya sendiri tanpa berkata-kata lagi. Saat pintu tertutup, Alya akhirnya bisa menghela napas panjang. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding yang dingin. Bagaimanapun, ini hanyalah awal dari dua tahun yang terasa seperti sebuah hukuman yang tak berujung.Setelah pernikahan mereka tercatat secara resmi, Alya dan Alexander memasuki kehidupan baru yang terasa asing namun penuh tantangan. Alya masih beradaptasi dengan kehidupan di apartemen Alexander yang megah, namun ia merasa di tempat asing yang penuh aturan. Di saat yang sama, Alexander mencoba menyeimbangkan jarak di antara mereka dengan cara yang membuat Alya sulit membaca pikirannya. --- [Pagi di Apartemen Alexander] Alya terbangun pagi itu dengan suasana yang berbeda. Matahari yang masuk melalui tirai jendela memandikannya dengan cahaya lembut, namun rasa asing masih melingkupinya. Ia merasakan kekosongan meski berada di ruangan yang penuh dengan kemewahan. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Alya berjalan menuju dapur, menemukan Alexander sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, tatapan mata yang serius tertuju pada layar laptopnya. Alya membuka lemari dengan hati-hati, sedikit bingung mencari bahan makanan yang biasa ia siapkan di rumah. Alexander yang memp
Hari demi hari, Alya mulai terbiasa dengan kehidupan di apartemen Alexander. Walau jarak di antara mereka masih terasa, Alya berusaha menyesuaikan diri dan mencari celah untuk memahami sosok suaminya itu. Ia mencoba melakukan hal-hal kecil seperti menyeduh kopi setiap pagi atau menyiapkan makan malam sederhana ketika Alexander pulang larut. Meski begitu, sikap Alexander tetap terjaga, penuh kendali dan tanpa ekspresi.Alya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, berhati-hati agar tidak melanggar batas tak kasat mata yang ditetapkan Alexander. Namun, ia mulai menyadari bahwa Alexander memperhatikan setiap perhatiannya, walaupun dalam diam.Suatu malam, ketika hujan turun deras, Alya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, termenung memandangi jendela yang diselimuti rintik hujan. Tiba-tiba, Alexander muncul di ruang tamu dengan segelas air di tangannya. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alexander yang memulai pembicaraan.“Ada sesuat
Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran.Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri m
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Alya melangkah mendekati Radit, sorot matanya tajam namun penuh harapan. "Kalau kau benar-benar ingin membantu, buktikan sekarang," katanya tegas.Radit mengangguk pelan, menelan ludah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan serangkaian pesan dari seseorang bernama Ares, salah satu nama yang juga tercatat dalam buku Samuel. "Ini orang yang selalu menghubungiku. Dia mengatur semuanya. Aku hanya perantara, Alya," katanya lirih.Alexander, yang masih menahan nyeri di bahunya, menyahut dengan suara serak, "Kalau begitu, kita gunakan dia untuk memancing Ares keluar. Tapi ingat, Radit... satu kesalahan kecil saja, dan aku tidak akan ragu menghentikanmu."Alya menyentuh lengan Alexander, mencoba meredam ketegangan. "Kita tidak punya pilihan lain, Alex. Kalau Radit mau bekerja sama, kita harus memberinya kesempatan."Radit memalingkan wajah, jelas merasa tertekan. "Aku tahu cara menghubungi Ares. Tapi kalau ini gagal, bukan cuma aku yang tamat, kalian
Pagi itu terasa lebih kelam dari biasanya. Langit mendung, dan udara dingin menusuk kulit. Alya duduk di sudut kamar hotel kecil tempat mereka menginap, menatap buku catatan Samuel yang kini terbuka di pangkuannya. Alexander berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan di bawah dengan gelisah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sejak pelarian semalam."Alex," suara Alya memecah keheningan. "Ada sesuatu yang aneh di sini."Alexander menoleh, meninggalkan jendela untuk duduk di sampingnya. Alya menunjuk salah satu halaman buku yang penuh dengan tulisan tangan rapi, namun di tengahnya ada sebuah nama yang tampak mencolok."Ini nama salah satu teman dekatku," katanya, suaranya bergetar. "Kenapa nama Radit ada di sini?"Alexander membaca halaman itu dengan saksama. Di samping nama Radit, ada catatan singkat yang berbunyi: 'Pembocor informasi. Penghubung utama.'"Radit? Apa kau yakin?" tanya Alexander dengan nada tajam."Aku tid
Mobil melaju cepat meninggalkan rumah tua itu, membelah jalan gelap di tengah malam. Alya duduk di kursi penumpang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Di luar, bayangan pepohonan melintas cepat, seakan ikut mengejar mereka. Di dalam pikirannya, nama Samuel Hartwell terus bergema, menyisakan rasa penasaran sekaligus kegelisahan."Kemana kita sekarang?" tanya Alya akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.Alexander tetap fokus pada jalan, rahangnya mengeras seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. "Ada satu tempat lagi yang harus kita periksa. Samuel pernah bekerja di sebuah galeri seni di kota ini. Jika kita beruntung, mungkin ada jejak yang ditinggalkannya di sana."Alya mengernyit. "Galeri seni? Itu terdengar... tidak biasa untuk seseorang yang kau bilang bagian dari organisasi besar."Alexander tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Samuel bukan hanya anggota biasa. Dia pernah menjadi kepala divisi intelije
Suara derit pintu tua itu menggema di rumah kosong. Udara dingin terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kayu lapuk yang melekat di setiap sudut ruangan. Alya berjalan pelan di belakang Alexander, tatapannya bergantian antara pria itu dan dinding-dinding rumah yang tampak seperti menyimpan ribuan cerita tak terucap."Apa yang kita cari di sini, Alex?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.Alexander tidak menjawab. Ia melangkah dengan pasti menuju lorong panjang di tengah rumah, di mana ujungnya terlihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu. Alya memperhatikan bagaimana tangan Alexander sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu itu."Apa ada sesuatu di sana?" desaknya, kini dengan nada sedikit panik.Alexander menoleh, tatapannya tajam namun sekaligus terlihat lelah. "Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu. Tapi kau harus berjanji, Alya. Apapun yang kau lihat atau dengar, jangan pernah menceritakannya pada siapa pun."Aly
Setelah malam penuh ketegangan di garasi, Alexander dan Alya kini berada di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Matahari sudah mulai terbit, tetapi rasa lelah dan kekhawatiran yang menyelimuti mereka masih begitu kental. Alya duduk di tepi ranjang, tatapannya terarah ke jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi membawa aroma rumput basah, tapi tidak ada ketenangan yang menyertainya."Berapa lama kita akan terus seperti ini?" Alya akhirnya membuka suara.Alexander, yang sedang membersihkan luka di tangannya dengan kain basah, menatapnya sekilas. "Sampai semuanya selesai.""Kau tahu itu bukan jawaban," Alya mendesah. "Kita berdua tahu bahwa orang-orang itu tidak akan berhenti hanya karena kita bersembunyi."Alexander menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di hadapan Alya. "Aku mencoba melindungimu, Alya. Tapi jika kau merasa ini terlalu berat, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin pergi."Kata-kata Alexander membuat Alya tertegu
Lorong sempit itu terasa semakin menyesakkan ketika langkah kaki berat mendekat. Alexander berdiri di depan Alya, tubuhnya tegang, siap menghadapi apa pun. Dari kegelapan, seorang pria bertubuh besar muncul, wajahnya terlihat keras dan dingin.“Alexander.” Suara pria itu rendah, mengancam. “Kita sudah lama menunggumu. Kau tak bisa lari lagi.”Alexander tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia meluncurkan pukulan yang berhasil membuat pria itu tersentak. Namun, pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Ia balas menyerang dengan kekuatan besar, memaksa Alexander mundur beberapa langkah.“Alya, pergi sekarang!” teriak Alexander sambil berusaha menahan serangan pria itu.Alya tidak bergerak. Matanya tertuju pada dua sosok lain yang muncul di ujung lorong. Mereka membawa senjata, membuat situasi semakin genting.“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” jawab Alya keras, namun Alexander memotongnya.“Lari, Alya! Aku menyusul!”Alya berlari, meskipun hatinya terasa berat. Langkahnya te
Perjalanan menuju Asia Tenggara bukanlah hal mudah. Dua hari setelah pertemuan dengan Vincent, Alya dan Alexander kini berada di sebuah kota kecil dekat perbatasan. Udara lembap dan aroma khas pasar tradisional menyambut kedatangan mereka. Warga sekitar tampak tak acuh terhadap dua orang asing yang berjalan cepat di antara gang-gang sempit. Namun bagi Alya, setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk."Kita ke mana sekarang?" bisik Alya sambil menyesuaikan topi yang sengaja ia kenakan untuk menyembunyikan wajah."Jalur bawah tanah itu tidak jauh dari sini. Vincent bilang lokasinya ada di gudang tua dekat pelabuhan," jawab Alexander, suara rendah namun tegas. Ia terus melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti.Mereka tiba di sebuah kawasan pelabuhan tua. Gudang-gudang berkarat berdiri kokoh di samping kapal-kapal kecil yang bersandar tanpa aktivitas. Beberapa pria lokal duduk di bawah pohon, melirik sekilas tapi tak terlalu peduli. Alexander berhenti di depan sebuah
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha