“Hidupmu akan hancur, Alya.” Suara berat ayah Alya memecah keheningan di kantor mewah itu. Ayahnya duduk di seberang meja, wajahnya tampak lelah dan penuh keputusasaan. Alya memandangnya dengan tatapan penuh cemas, tidak menyangka mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut ayahnya.
"Apa maksud Papa?" tanya Alya dengan suara gemetar. Perasaannya kalut, tetapi ia mencoba tetap tegar. "Perusahaan kita... Mahendra Corp... berada di ambang kebangkrutan," ucap ayahnya dengan berat hati. "Papa sudah mencoba segalanya, tapi tidak ada jalan keluar." Alya menahan napas. Semua kerja keras dan mimpi-mimpi ayahnya kini runtuh di depan matanya. Namun, ia tahu bahwa kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Dia menghela napas panjang dan berusaha mengendalikan ketakutannya. "Jangan khawatir, Pa," katanya pelan. "Kita pasti bisa mencari jalan keluar." Meski hatinya dipenuhi kecemasan, ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan ayahnya. Di saat ketegangan menguasai ruangan, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, mengganggu percakapan mereka. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok tinggi yang masuk dengan langkah percaya diri. Alexander Maximilian Arsenio. Alexander adalah CEO muda dari Arsenio Corp, perusahaan multinasional yang mendominasi industri keuangan dan properti. Alya tidak mengenalnya secara pribadi, namun nama pria itu sudah sering ia dengar di kalangan bisnis. Alexander memindai ruangan sejenak sebelum duduk di hadapan ayah Alya tanpa diundang. Pria itu memakai jas hitam yang terlihat rapi dan berwibawa. Ekspresinya datar, namun tatapan matanya tajam, penuh kendali. "Pak Mahendra," kata Alexander dengan suara rendah namun tegas. "Saya sudah mendengar tentang situasi perusahaan Anda." Ayah Alya mengangguk pelan, wajahnya semakin tegang. "Ya, benar. Saya sedang berusaha mencari solusi terbaik..." "Saya punya solusi," potong Alexander tanpa ragu. Pandangannya beralih pada Alya, menilai setiap gerakannya. Alya merasa jantungnya berdegup kencang di bawah tatapan itu, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Dan solusi itu akan menyelamatkan perusahaan Anda dari kebangkrutan." Alya mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?" tanyanya, berusaha memahami maksud pria itu. Alexander menarik napas sejenak sebelum mengucapkan kalimat yang akan mengubah hidup Alya selamanya. "Saya akan melunasi seluruh utang perusahaan keluarga Anda. Sebagai gantinya, Anda menikah dengan saya. Pernikahan kontrak selama dua tahun." Alya terdiam. Kata-kata Alexander seperti petir yang menyambar di siang bolong. Menikah? Dengan pria yang hampir tidak dikenalnya? Dan hanya sebagai bagian dari kesepakatan bisnis? "Apa?" Alya akhirnya berhasil bersuara, meskipun suaranya bergetar. "Anda serius? Anda ingin menikahi saya... sebagai bagian dari perjanjian?" Alexander menatap Alya tanpa berkedip, seolah tawarannya adalah hal paling wajar di dunia. "Ya. Ini bukan pernikahan yang sebenarnya. Hanya sebuah kontrak bisnis. Setelah dua tahun, kita akan bercerai, dan semua ini akan berakhir." Alya terhenyak. Ia menatap Alexander dengan kebingungan dan kemarahan yang perlahan membakar dadanya. "Anda pikir pernikahan hanya sekadar kesepakatan bisnis?" tanyanya dengan suara lebih keras. Alexander tidak bergeming, tetap tenang seperti biasanya. "Dalam dunia saya, segalanya adalah bisnis, Nona Mahendra." Alya mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Menikah dengan pria ini? Seorang pria yang jelas-jelas tidak percaya pada cinta atau hubungan sejati? Tapi di sisi lain, keluarga mereka terancam kehilangan segalanya. Jika ia menolak, ayahnya akan jatuh lebih dalam ke dalam kehancuran, dan tidak ada jaminan mereka bisa bangkit kembali. Ayahnya menatapnya dengan mata penuh harap, meskipun ada perasaan bersalah yang jelas di sana. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, tetapi Alya tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah meminta ini darinya. Namun, keadaan telah memaksa mereka berada di posisi ini. "Apa yang akan saya dapatkan dari semua ini?" tanya Alya, mencoba untuk tetap tegar di tengah situasi yang menekan. Alexander mengangkat satu alis. "Selain menyelamatkan perusahaan keluarga Anda? Saya akan memastikan bahwa hidup Anda selama dua tahun ke depan berjalan lancar. Setelah itu, Anda bebas, dan kita berpisah tanpa ikatan." Alya menarik napas panjang. Di dalam kepalanya, berbagai kemungkinan berputar. Ini bukan keputusan mudah, dan bukan keputusan yang bisa diambil hanya dalam satu pertemuan. Tapi di hadapannya, ada pilihan yang tak bisa diabaikan. Dua tahun dari hidupnya, untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Tanpa sadar, ia menatap pria di hadapannya. Tatapan Alexander tidak berubah—dingin, tak tergoyahkan. Dia tahu bahwa pria ini tidak akan mundur dari kesepakatannya. "Baiklah," kata Alya akhirnya, dengan suara yang terdengar lebih mantap daripada yang sebenarnya ia rasakan. "Saya setuju." Alexander tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tak menyentuh matanya. "Bagus. Kontrak akan segera disiapkan."Alya melangkah keluar dari kantor ayahnya dengan langkah gontai. Langit Jakarta mulai meredup, sinar matahari yang tersisa tergantung di antara gedung-gedung tinggi, menciptakan bayangan yang terasa semakin panjang. Namun, bayangan di hatinya lebih kelam daripada langit yang mulai beranjak malam. Sejak ia menyetujui tawaran Alexander, setiap keputusan yang ia buat terasa seperti ditimpa oleh berat yang tak kasat mata. Setiap kali Alya mencoba untuk memahami situasinya, semakin sulit rasanya untuk menerima kenyataan. Pernikahan—dengan pria yang hampir tidak ia kenal. Dan semua itu hanya untuk menyelamatkan perusahaan keluarga. "Alya," panggil ayahnya dengan suara serak, mengganggu lamunannya. Alya berhenti, membalikkan tubuhnya dan menemukan ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya memancarkan kecemasan yang begitu dalam. "Apa kamu benar-benar yakin dengan ini? Papa tahu ini bukan keputusan mudah..." Alya mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa rapuh. "Pa, aku melakukannya de
Setelah pernikahan mereka tercatat secara resmi, Alya dan Alexander memasuki kehidupan baru yang terasa asing namun penuh tantangan. Alya masih beradaptasi dengan kehidupan di apartemen Alexander yang megah, namun ia merasa di tempat asing yang penuh aturan. Di saat yang sama, Alexander mencoba menyeimbangkan jarak di antara mereka dengan cara yang membuat Alya sulit membaca pikirannya. --- [Pagi di Apartemen Alexander] Alya terbangun pagi itu dengan suasana yang berbeda. Matahari yang masuk melalui tirai jendela memandikannya dengan cahaya lembut, namun rasa asing masih melingkupinya. Ia merasakan kekosongan meski berada di ruangan yang penuh dengan kemewahan. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Alya berjalan menuju dapur, menemukan Alexander sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, tatapan mata yang serius tertuju pada layar laptopnya. Alya membuka lemari dengan hati-hati, sedikit bingung mencari bahan makanan yang biasa ia siapkan di rumah. Alexander yang memp
Hari demi hari, Alya mulai terbiasa dengan kehidupan di apartemen Alexander. Walau jarak di antara mereka masih terasa, Alya berusaha menyesuaikan diri dan mencari celah untuk memahami sosok suaminya itu. Ia mencoba melakukan hal-hal kecil seperti menyeduh kopi setiap pagi atau menyiapkan makan malam sederhana ketika Alexander pulang larut. Meski begitu, sikap Alexander tetap terjaga, penuh kendali dan tanpa ekspresi.Alya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, berhati-hati agar tidak melanggar batas tak kasat mata yang ditetapkan Alexander. Namun, ia mulai menyadari bahwa Alexander memperhatikan setiap perhatiannya, walaupun dalam diam.Suatu malam, ketika hujan turun deras, Alya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, termenung memandangi jendela yang diselimuti rintik hujan. Tiba-tiba, Alexander muncul di ruang tamu dengan segelas air di tangannya. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alexander yang memulai pembicaraan.“Ada sesuat
Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran.Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri m
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi