Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.
Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran. Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri meja kerja Alya yang berada di sudut ruang kerjanya. Mereka bekerja di ruangan yang sama, namun jarang berbicara kecuali ada hal penting yang perlu dibahas. Namun, kali ini berbeda. Alexander mulai menanyakan hal-hal ringan, dari apakah Alya sudah makan siang, hingga apakah ia membutuhkan bantuan dalam pekerjaannya. Interaksi kecil ini membuat Alya semakin bingung, namun ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Alexander. Ketika malam tiba, mereka duduk berhadapan di ruang tamu. Alexander tiba-tiba mengeluarkan sebotol wine dan mengajaknya untuk bersantai. “Hanya malam ini,” katanya sambil tersenyum, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya. Mereka berbincang tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan, masa kecil, hingga impian mereka masing-masing. Untuk pertama kalinya, Alya merasa ia benar-benar mengenal Alexander sebagai seseorang yang lebih dari sekadar suaminya dalam pernikahan kontrak ini. “Aku tidak menyangka kamu akan menjadi teman bicara yang asyik, Alya,” ujar Alexander sambil menatap gelas wine di tangannya. Alya tersenyum kecil, merasa sedikit canggung namun senang mendengar pujian itu. “Terima kasih,” jawabnya pelan, menundukkan kepala sejenak. “Aku juga tidak menyangka kita bisa mengobrol seperti ini. Biasanya kamu selalu terlihat sibuk dan fokus.” Alexander tertawa kecil, suaranya terdengar lebih santai dari biasanya. “Mungkin aku perlu belajar untuk rileks. Terkadang, kesibukan membuatku melupakan hal-hal sederhana.” Perlahan-lahan, suasana di antara mereka semakin hangat. Alya mulai merasakan kedekatan yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Namun, di tengah percakapan itu, Alexander tiba-tiba terdiam, seolah-olah sedang bergulat dengan sesuatu dalam pikirannya. “Alya,” panggilnya dengan nada serius. Alya mengangkat kepalanya, menatap Alexander dengan mata yang penuh tanya. “Ya?” “Aku ingin kamu tahu bahwa...aku menghargai keberadaanmu di sini. Meskipun awalnya kita menikah atas dasar kesepakatan, kehadiranmu benar-benar membuat hidupku berbeda.” Alya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Alexander yang tiba-tiba itu. Ia merasakan kehangatan menjalari hatinya, namun di saat yang sama, ada keraguan yang menyelimutinya. “Aku juga merasa begitu, Alexander,” jawab Alya pelan, suaranya hampir berbisik. “Aku...terima kasih karena sudah menerimaku di sini, meskipun mungkin sulit bagi kita berdua.” Malam itu berlalu dengan kebisuan yang tenang. Mereka tak lagi banyak berbicara, namun keheningan di antara mereka terasa nyaman. Ketika Alya beranjak tidur, ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Alexander mulai berubah. Ia tidak lagi melihatnya hanya sebagai pasangan dalam pernikahan kontrak, namun sebagai seseorang yang mungkin memiliki tempat di hatinya. --- Keesokan harinya, Alya merasa suasana di apartemen sedikit berbeda. Alexander terlihat lebih perhatian dari biasanya. Ia menanyakan hal-hal sederhana, seperti apakah Alya butuh bantuan dengan pekerjaannya, atau apakah ia sudah makan. Meskipun hal ini membuat Alya bingung, ia tidak bisa menahan perasaan bahagia yang perlahan-lahan tumbuh di hatinya. Namun, di balik perubahan ini, Alya juga merasa ada tembok yang masih sulit ia tembus. Alexander tetap menjaga jarak, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Setiap kali Alya mencoba mendekat, Alexander selalu kembali menjadi pria dingin yang sulit ditebak. Malam itu, Alya merasa ingin memahami Alexander lebih dalam. Setelah makan malam, ia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara di ruang tamu. Alexander awalnya terkejut dengan ajakan Alya, namun ia tidak menolak. “Ada yang ingin kubicarakan, Alexander,” ujar Alya sambil menatapnya dengan serius. Alexander mengangkat alisnya, menunjukkan ketertarikan. “Apa itu?” “Aku ingin tahu... kenapa kamu selalu menjaga jarak? Meskipun kita sudah menikah, kadang-kadang aku merasa seperti orang asing di sampingmu,” kata Alya dengan suara pelan namun tegas. Alexander terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Bukan karena aku ingin menjaga jarak, Alya. Aku hanya... sulit untuk terbuka. Ada banyak hal yang aku simpan sendiri, dan terkadang aku merasa lebih nyaman dengan begitu.” Alya mengangguk pelan, mencoba memahami apa yang dirasakan Alexander. “Tapi bukankah pernikahan ini seharusnya menjadi kesempatan bagi kita untuk saling mengenal? Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu, Alexander. Mungkin... aku ingin kita bisa lebih dari sekadar pasangan kontrak.” Alexander terdiam, menatap Alya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku mengerti, Alya. Tapi terkadang, ada hal-hal dalam hidupku yang sulit untuk dibagikan. Mungkin suatu hari nanti, aku akan siap untuk terbuka padamu.” Alya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada rasa kecewa. “Baiklah. Aku akan menunggumu, Alexander.” Malam itu, Alya menyadari bahwa meskipun Alexander mulai menunjukkan sisi lembutnya, ada luka atau rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat. Alya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan mungkin membutuhkan waktu untuk membuka hati Alexander sepenuhnya. Namun, ia bertekad untuk bertahan dan membuktikan bahwa pernikahan ini bisa lebih dari sekadar kontrak. --- Beberapa hari kemudian, Alya mendapat undangan dari teman lamanya yang akan menikah. Ia awalnya ragu untuk pergi, mengingat hubungannya dengan Alexander masih terasa canggung. Namun, ketika ia memberanikan diri untuk memberitahu Alexander, pria itu justru menyambutnya dengan baik. “Kita bisa pergi bersama. Aku ingin melihat seperti apa kehidupan sosialmu sebelum kita bertemu,” ujar Alexander dengan senyum kecil di wajahnya. Alya terkejut, namun ia merasa senang mendengar tawaran itu. Ini adalah kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama di luar apartemen, sesuatu yang jarang mereka lakukan. Pada hari pernikahan teman Alya, mereka tiba di acara tersebut dengan tampilan yang elegan. Semua orang memperhatikan pasangan itu, dan Alya merasakan kehangatan di hatinya setiap kali Alexander menggenggam tangannya dengan lembut. Teman-teman Alya terpesona dengan kehadiran Alexander, dan beberapa bahkan memuji hubungan mereka. Namun, saat malam semakin larut, Alya menyadari ada tatapan yang berbeda di mata Alexander. Ketika mereka kembali ke apartemen, Alexander tiba-tiba menjadi pendiam, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya. “Ada apa, Alexander?” tanyanya khawatir. Alexander menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, “Melihat teman-temanmu... Aku menyadari betapa berbeda hidup kita. Mereka terlihat bahagia, tanpa beban, sementara aku...aku hanya bisa menawarkan hubungan yang rumit ini padamu.” Alya menggenggam tangan Alexander dengan lembut. “Alexander, aku memilih berada di sini bersamamu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku siap menjalani semua ini, selama kamu ada di sisiku.” Alexander menatapnya dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Alya. Aku tidak tahu apakah aku layak mendapatkanmu, tapi... aku akan berusaha.” Malam itu, mereka duduk berdua di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dan harapan-harapan mereka. Perlahan, tembok yang selama ini membatasi mereka mulai retak, dan untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa pernikahan ini bisa menjadi lebih dari sekadar kesepakatan.Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan ganjil yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya. Dia merasakan keheningan di rumah yang terlalu sunyi, hampir menyelimuti dirinya dalam kabut yang membuat segala sesuatunya terasa samar. Alexander belum pulang sejak semalam, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Alya mencoba mengabaikan kekhawatiran yang merayap di hatinya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu.Di ruang makan, Alya menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Alexander di meja. Dengan jantung berdebar, dia mengambil surat itu, berharap menemukan penjelasan. Namun, isi surat itu hanya beberapa kata singkat yang membuat perasaannya semakin tidak menentu."Ada urusan penting di luar kota. Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."Alya menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Sesuatu dalam nada pesan itu terasa berbeda, dingin dan jauh, seolah-olah Alexander berusaha menjaga jarak. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namu
Malam itu, keputusan yang Alya buat di balkon menjadi pemantik dari semua langkah yang akan dia ambil. Pagi berikutnya, ia memulai harinya dengan tekad baru. Dia menatap bayangan dirinya di cermin, berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang akan ia temukan, ia siap menghadapinya. Rahasia Alexander sudah terlalu lama membebani hatinya, dan Alya tahu bahwa keheningan ini harus berakhir. Sejak pagi, Alya mencoba menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, namun pikirannya terus melayang kepada Alexander. Apakah keputusannya untuk mencari kebenaran akan mengubah segalanya? Apakah dia siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan melukai hatinya lebih dalam lagi? Saat makan siang, Alya memutuskan untuk kembali bertemu dengan Ethan. Di kafe yang sama seperti sebelumnya, Ethan sudah menunggunya. Ketika melihat Alya, Ethan memberikan senyum kecil, namun Alya tahu ada kegelisahan di balik tatapan sahabat Alexander itu. “Ethan, aku butuh bantuanmu,” kata Alya tanpa basa-basi. “Aku tidak bis
Hari itu terasa berat bagi Alya. Setiap kata yang diucapkan Adrian, ayah Alexander, masih bergaung di telinganya. Bagaimana mungkin seorang anak harus memikul beban yang seharusnya tidak ditanggungnya? Meskipun ada rasa lega karena mendapatkan sedikit pencerahan, Alya juga merasakan beban baru—perasaan ingin membantu Alexander, tetapi juga ketidakpastian tentang bagaimana cara melakukannya. Setelah pertemuannya dengan Adrian, Alya berkeliling rumah keluarga Alexander. Di dalam ruang kerja yang penuh dengan dokumen, foto, dan barang-barang berharga, ia menemukan sebuah album tua. Penasaran, Alya membuka album tersebut dan mulai melihat-lihat foto-foto lama. Setiap halaman membawa Alya ke dalam kenangan yang lebih dalam tentang masa kecil Alexander—senyumnya, tawa bahagianya, dan harapan-harapan yang pernah ada sebelum semua tekanan itu datang menghimpitnya. Namun, satu foto menarik perhatiannya. Di situ, Alexander berdiri di samping seorang gadis kecil dengan senyum cerah. Alya tidak
Alya melangkah mendekati Radit, sorot matanya tajam namun penuh harapan. "Kalau kau benar-benar ingin membantu, buktikan sekarang," katanya tegas.Radit mengangguk pelan, menelan ludah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan serangkaian pesan dari seseorang bernama Ares, salah satu nama yang juga tercatat dalam buku Samuel. "Ini orang yang selalu menghubungiku. Dia mengatur semuanya. Aku hanya perantara, Alya," katanya lirih.Alexander, yang masih menahan nyeri di bahunya, menyahut dengan suara serak, "Kalau begitu, kita gunakan dia untuk memancing Ares keluar. Tapi ingat, Radit... satu kesalahan kecil saja, dan aku tidak akan ragu menghentikanmu."Alya menyentuh lengan Alexander, mencoba meredam ketegangan. "Kita tidak punya pilihan lain, Alex. Kalau Radit mau bekerja sama, kita harus memberinya kesempatan."Radit memalingkan wajah, jelas merasa tertekan. "Aku tahu cara menghubungi Ares. Tapi kalau ini gagal, bukan cuma aku yang tamat, kalian
Pagi itu terasa lebih kelam dari biasanya. Langit mendung, dan udara dingin menusuk kulit. Alya duduk di sudut kamar hotel kecil tempat mereka menginap, menatap buku catatan Samuel yang kini terbuka di pangkuannya. Alexander berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan di bawah dengan gelisah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sejak pelarian semalam."Alex," suara Alya memecah keheningan. "Ada sesuatu yang aneh di sini."Alexander menoleh, meninggalkan jendela untuk duduk di sampingnya. Alya menunjuk salah satu halaman buku yang penuh dengan tulisan tangan rapi, namun di tengahnya ada sebuah nama yang tampak mencolok."Ini nama salah satu teman dekatku," katanya, suaranya bergetar. "Kenapa nama Radit ada di sini?"Alexander membaca halaman itu dengan saksama. Di samping nama Radit, ada catatan singkat yang berbunyi: 'Pembocor informasi. Penghubung utama.'"Radit? Apa kau yakin?" tanya Alexander dengan nada tajam."Aku tid
Mobil melaju cepat meninggalkan rumah tua itu, membelah jalan gelap di tengah malam. Alya duduk di kursi penumpang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Di luar, bayangan pepohonan melintas cepat, seakan ikut mengejar mereka. Di dalam pikirannya, nama Samuel Hartwell terus bergema, menyisakan rasa penasaran sekaligus kegelisahan."Kemana kita sekarang?" tanya Alya akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.Alexander tetap fokus pada jalan, rahangnya mengeras seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. "Ada satu tempat lagi yang harus kita periksa. Samuel pernah bekerja di sebuah galeri seni di kota ini. Jika kita beruntung, mungkin ada jejak yang ditinggalkannya di sana."Alya mengernyit. "Galeri seni? Itu terdengar... tidak biasa untuk seseorang yang kau bilang bagian dari organisasi besar."Alexander tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Samuel bukan hanya anggota biasa. Dia pernah menjadi kepala divisi intelije
Suara derit pintu tua itu menggema di rumah kosong. Udara dingin terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kayu lapuk yang melekat di setiap sudut ruangan. Alya berjalan pelan di belakang Alexander, tatapannya bergantian antara pria itu dan dinding-dinding rumah yang tampak seperti menyimpan ribuan cerita tak terucap."Apa yang kita cari di sini, Alex?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.Alexander tidak menjawab. Ia melangkah dengan pasti menuju lorong panjang di tengah rumah, di mana ujungnya terlihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu. Alya memperhatikan bagaimana tangan Alexander sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu itu."Apa ada sesuatu di sana?" desaknya, kini dengan nada sedikit panik.Alexander menoleh, tatapannya tajam namun sekaligus terlihat lelah. "Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu. Tapi kau harus berjanji, Alya. Apapun yang kau lihat atau dengar, jangan pernah menceritakannya pada siapa pun."Aly
Setelah malam penuh ketegangan di garasi, Alexander dan Alya kini berada di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Matahari sudah mulai terbit, tetapi rasa lelah dan kekhawatiran yang menyelimuti mereka masih begitu kental. Alya duduk di tepi ranjang, tatapannya terarah ke jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi membawa aroma rumput basah, tapi tidak ada ketenangan yang menyertainya."Berapa lama kita akan terus seperti ini?" Alya akhirnya membuka suara.Alexander, yang sedang membersihkan luka di tangannya dengan kain basah, menatapnya sekilas. "Sampai semuanya selesai.""Kau tahu itu bukan jawaban," Alya mendesah. "Kita berdua tahu bahwa orang-orang itu tidak akan berhenti hanya karena kita bersembunyi."Alexander menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di hadapan Alya. "Aku mencoba melindungimu, Alya. Tapi jika kau merasa ini terlalu berat, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin pergi."Kata-kata Alexander membuat Alya tertegu
Lorong sempit itu terasa semakin menyesakkan ketika langkah kaki berat mendekat. Alexander berdiri di depan Alya, tubuhnya tegang, siap menghadapi apa pun. Dari kegelapan, seorang pria bertubuh besar muncul, wajahnya terlihat keras dan dingin.“Alexander.” Suara pria itu rendah, mengancam. “Kita sudah lama menunggumu. Kau tak bisa lari lagi.”Alexander tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia meluncurkan pukulan yang berhasil membuat pria itu tersentak. Namun, pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Ia balas menyerang dengan kekuatan besar, memaksa Alexander mundur beberapa langkah.“Alya, pergi sekarang!” teriak Alexander sambil berusaha menahan serangan pria itu.Alya tidak bergerak. Matanya tertuju pada dua sosok lain yang muncul di ujung lorong. Mereka membawa senjata, membuat situasi semakin genting.“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” jawab Alya keras, namun Alexander memotongnya.“Lari, Alya! Aku menyusul!”Alya berlari, meskipun hatinya terasa berat. Langkahnya te
Perjalanan menuju Asia Tenggara bukanlah hal mudah. Dua hari setelah pertemuan dengan Vincent, Alya dan Alexander kini berada di sebuah kota kecil dekat perbatasan. Udara lembap dan aroma khas pasar tradisional menyambut kedatangan mereka. Warga sekitar tampak tak acuh terhadap dua orang asing yang berjalan cepat di antara gang-gang sempit. Namun bagi Alya, setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk."Kita ke mana sekarang?" bisik Alya sambil menyesuaikan topi yang sengaja ia kenakan untuk menyembunyikan wajah."Jalur bawah tanah itu tidak jauh dari sini. Vincent bilang lokasinya ada di gudang tua dekat pelabuhan," jawab Alexander, suara rendah namun tegas. Ia terus melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti.Mereka tiba di sebuah kawasan pelabuhan tua. Gudang-gudang berkarat berdiri kokoh di samping kapal-kapal kecil yang bersandar tanpa aktivitas. Beberapa pria lokal duduk di bawah pohon, melirik sekilas tapi tak terlalu peduli. Alexander berhenti di depan sebuah
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha