Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.
Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran. Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri meja kerja Alya yang berada di sudut ruang kerjanya. Mereka bekerja di ruangan yang sama, namun jarang berbicara kecuali ada hal penting yang perlu dibahas. Namun, kali ini berbeda. Alexander mulai menanyakan hal-hal ringan, dari apakah Alya sudah makan siang, hingga apakah ia membutuhkan bantuan dalam pekerjaannya. Interaksi kecil ini membuat Alya semakin bingung, namun ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Alexander. Ketika malam tiba, mereka duduk berhadapan di ruang tamu. Alexander tiba-tiba mengeluarkan sebotol wine dan mengajaknya untuk bersantai. “Hanya malam ini,” katanya sambil tersenyum, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya. Mereka berbincang tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan, masa kecil, hingga impian mereka masing-masing. Untuk pertama kalinya, Alya merasa ia benar-benar mengenal Alexander sebagai seseorang yang lebih dari sekadar suaminya dalam pernikahan kontrak ini. “Aku tidak menyangka kamu akan menjadi teman bicara yang asyik, Alya,” ujar Alexander sambil menatap gelas wine di tangannya. Alya tersenyum kecil, merasa sedikit canggung namun senang mendengar pujian itu. “Terima kasih,” jawabnya pelan, menundukkan kepala sejenak. “Aku juga tidak menyangka kita bisa mengobrol seperti ini. Biasanya kamu selalu terlihat sibuk dan fokus.” Alexander tertawa kecil, suaranya terdengar lebih santai dari biasanya. “Mungkin aku perlu belajar untuk rileks. Terkadang, kesibukan membuatku melupakan hal-hal sederhana.” Perlahan-lahan, suasana di antara mereka semakin hangat. Alya mulai merasakan kedekatan yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Namun, di tengah percakapan itu, Alexander tiba-tiba terdiam, seolah-olah sedang bergulat dengan sesuatu dalam pikirannya. “Alya,” panggilnya dengan nada serius. Alya mengangkat kepalanya, menatap Alexander dengan mata yang penuh tanya. “Ya?” “Aku ingin kamu tahu bahwa...aku menghargai keberadaanmu di sini. Meskipun awalnya kita menikah atas dasar kesepakatan, kehadiranmu benar-benar membuat hidupku berbeda.” Alya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Alexander yang tiba-tiba itu. Ia merasakan kehangatan menjalari hatinya, namun di saat yang sama, ada keraguan yang menyelimutinya. “Aku juga merasa begitu, Alexander,” jawab Alya pelan, suaranya hampir berbisik. “Aku...terima kasih karena sudah menerimaku di sini, meskipun mungkin sulit bagi kita berdua.” Malam itu berlalu dengan kebisuan yang tenang. Mereka tak lagi banyak berbicara, namun keheningan di antara mereka terasa nyaman. Ketika Alya beranjak tidur, ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Alexander mulai berubah. Ia tidak lagi melihatnya hanya sebagai pasangan dalam pernikahan kontrak, namun sebagai seseorang yang mungkin memiliki tempat di hatinya. --- Keesokan harinya, Alya merasa suasana di apartemen sedikit berbeda. Alexander terlihat lebih perhatian dari biasanya. Ia menanyakan hal-hal sederhana, seperti apakah Alya butuh bantuan dengan pekerjaannya, atau apakah ia sudah makan. Meskipun hal ini membuat Alya bingung, ia tidak bisa menahan perasaan bahagia yang perlahan-lahan tumbuh di hatinya. Namun, di balik perubahan ini, Alya juga merasa ada tembok yang masih sulit ia tembus. Alexander tetap menjaga jarak, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Setiap kali Alya mencoba mendekat, Alexander selalu kembali menjadi pria dingin yang sulit ditebak. Malam itu, Alya merasa ingin memahami Alexander lebih dalam. Setelah makan malam, ia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara di ruang tamu. Alexander awalnya terkejut dengan ajakan Alya, namun ia tidak menolak. “Ada yang ingin kubicarakan, Alexander,” ujar Alya sambil menatapnya dengan serius. Alexander mengangkat alisnya, menunjukkan ketertarikan. “Apa itu?” “Aku ingin tahu... kenapa kamu selalu menjaga jarak? Meskipun kita sudah menikah, kadang-kadang aku merasa seperti orang asing di sampingmu,” kata Alya dengan suara pelan namun tegas. Alexander terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Bukan karena aku ingin menjaga jarak, Alya. Aku hanya... sulit untuk terbuka. Ada banyak hal yang aku simpan sendiri, dan terkadang aku merasa lebih nyaman dengan begitu.” Alya mengangguk pelan, mencoba memahami apa yang dirasakan Alexander. “Tapi bukankah pernikahan ini seharusnya menjadi kesempatan bagi kita untuk saling mengenal? Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu, Alexander. Mungkin... aku ingin kita bisa lebih dari sekadar pasangan kontrak.” Alexander terdiam, menatap Alya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku mengerti, Alya. Tapi terkadang, ada hal-hal dalam hidupku yang sulit untuk dibagikan. Mungkin suatu hari nanti, aku akan siap untuk terbuka padamu.” Alya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada rasa kecewa. “Baiklah. Aku akan menunggumu, Alexander.” Malam itu, Alya menyadari bahwa meskipun Alexander mulai menunjukkan sisi lembutnya, ada luka atau rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat. Alya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan mungkin membutuhkan waktu untuk membuka hati Alexander sepenuhnya. Namun, ia bertekad untuk bertahan dan membuktikan bahwa pernikahan ini bisa lebih dari sekadar kontrak. --- Beberapa hari kemudian, Alya mendapat undangan dari teman lamanya yang akan menikah. Ia awalnya ragu untuk pergi, mengingat hubungannya dengan Alexander masih terasa canggung. Namun, ketika ia memberanikan diri untuk memberitahu Alexander, pria itu justru menyambutnya dengan baik. “Kita bisa pergi bersama. Aku ingin melihat seperti apa kehidupan sosialmu sebelum kita bertemu,” ujar Alexander dengan senyum kecil di wajahnya. Alya terkejut, namun ia merasa senang mendengar tawaran itu. Ini adalah kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama di luar apartemen, sesuatu yang jarang mereka lakukan. Pada hari pernikahan teman Alya, mereka tiba di acara tersebut dengan tampilan yang elegan. Semua orang memperhatikan pasangan itu, dan Alya merasakan kehangatan di hatinya setiap kali Alexander menggenggam tangannya dengan lembut. Teman-teman Alya terpesona dengan kehadiran Alexander, dan beberapa bahkan memuji hubungan mereka. Namun, saat malam semakin larut, Alya menyadari ada tatapan yang berbeda di mata Alexander. Ketika mereka kembali ke apartemen, Alexander tiba-tiba menjadi pendiam, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya. “Ada apa, Alexander?” tanyanya khawatir. Alexander menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, “Melihat teman-temanmu... Aku menyadari betapa berbeda hidup kita. Mereka terlihat bahagia, tanpa beban, sementara aku...aku hanya bisa menawarkan hubungan yang rumit ini padamu.” Alya menggenggam tangan Alexander dengan lembut. “Alexander, aku memilih berada di sini bersamamu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku siap menjalani semua ini, selama kamu ada di sisiku.” Alexander menatapnya dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Alya. Aku tidak tahu apakah aku layak mendapatkanmu, tapi... aku akan berusaha.” Malam itu, mereka duduk berdua di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dan harapan-harapan mereka. Perlahan, tembok yang selama ini membatasi mereka mulai retak, dan untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa pernikahan ini bisa menjadi lebih dari sekadar kesepakatan.Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan ganjil yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya. Dia merasakan keheningan di rumah yang terlalu sunyi, hampir menyelimuti dirinya dalam kabut yang membuat segala sesuatunya terasa samar. Alexander belum pulang sejak semalam, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Alya mencoba mengabaikan kekhawatiran yang merayap di hatinya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu.Di ruang makan, Alya menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Alexander di meja. Dengan jantung berdebar, dia mengambil surat itu, berharap menemukan penjelasan. Namun, isi surat itu hanya beberapa kata singkat yang membuat perasaannya semakin tidak menentu."Ada urusan penting di luar kota. Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."Alya menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Sesuatu dalam nada pesan itu terasa berbeda, dingin dan jauh, seolah-olah Alexander berusaha menjaga jarak. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namu
Alya mulai menjalankan keputusannya. Setelah pertemuannya dengan Ethan, dia semakin yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami apa yang terjadi adalah dengan menyelidiki sendiri apa yang sedang disembunyikan oleh Alexander. Rasa penasaran dan kekhawatiran mulai membentuk tekad yang sulit digoyahkan. Di dalam dirinya, ada suara yang mengatakan bahwa kebenaran akan membawa rasa sakit, tetapi di sisi lain, dia merasa siap menerima apa pun yang akan terjadi.Keesokan harinya, saat Alexander pergi dengan alasan "urusan bisnis mendesak," Alya memanfaatkan kesempatan itu. Dia menyelinap ke ruang kerja Alexander, tempat yang biasanya tak pernah ia masuki tanpa izin. Ruangan itu gelap dan tertutup rapat, seolah-olah menyimpan rahasia yang tak ingin dilihat oleh siapa pun. Dengan hati-hati, Alya menghidupkan lampu dan mulai memeriksa meja kerja yang tampak rapi, namun kaku.Di atas meja, ada berkas-berkas yang disusun rapi dan sebuah laptop yang terkunci dengan password. Alya menatap layar la
Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui jendela kamar mereka, namun tidak membawa kehangatan seperti biasanya. Alya terbangun dari tidur yang tidak lelap, dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh percakapan mereka semalam. Di sampingnya, Alexander masih terlelap. Wajahnya tampak tenang, seperti pria yang tidak menyimpan beban rahasia apa pun. Alya menatapnya, mencoba menemukan sisa-sisa cinta yang dulu begitu jelas terlihat. Namun kini, ada rasa asing yang mulai mengisi hatinya.Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan Alya tidak pernah benar-benar pulih. Bayang-bayang Fiona terus menghantui, membuatnya merasa tak lagi menjadi bagian dari hidup Alexander sepenuhnya. Alya memutuskan untuk menyibukkan dirinya, berharap bahwa waktu dan jarak bisa membantu menghapus luka yang ia rasakan.Namun, Alexander tidak tinggal diam. Dia merasakan perubahan pada Alya. Senyum yang dulu selalu hangat kini terasa hambar, dan tatapan yang biasanya penuh cinta kini dipenuhi keraguan. Seakan mere