Share

04

Hari demi hari, Alya mulai terbiasa dengan kehidupan di apartemen Alexander. Walau jarak di antara mereka masih terasa, Alya berusaha menyesuaikan diri dan mencari celah untuk memahami sosok suaminya itu. Ia mencoba melakukan hal-hal kecil seperti menyeduh kopi setiap pagi atau menyiapkan makan malam sederhana ketika Alexander pulang larut. Meski begitu, sikap Alexander tetap terjaga, penuh kendali dan tanpa ekspresi.

Alya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, berhati-hati agar tidak melanggar batas tak kasat mata yang ditetapkan Alexander. Namun, ia mulai menyadari bahwa Alexander memperhatikan setiap perhatiannya, walaupun dalam diam.

Suatu malam, ketika hujan turun deras, Alya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, termenung memandangi jendela yang diselimuti rintik hujan. Tiba-tiba, Alexander muncul di ruang tamu dengan segelas air di tangannya. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alexander yang memulai pembicaraan.

“Ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyanya dengan nada lebih hangat dari biasanya.

Alya terkejut, namun akhirnya mengangguk pelan. “Hanya... banyak hal yang berubah begitu cepat. Terkadang aku merasa seperti orang asing di hidupmu.”

Alexander menatapnya, lalu berkata, “Kehidupanku memang rumit. Dan, aku akui, kadang aku lupa bagaimana caranya berbagi dengan orang lain.”

Hening sejenak menyelimuti mereka, tapi percakapan singkat itu menyisakan sesuatu yang berbeda di hati Alya. Ia melihat kilasan kelembutan dalam diri Alexander, meskipun hanya sekilas.

---

Sejak malam itu, hubungan mereka perlahan mulai berubah. Alexander tidak lagi seformal sebelumnya dan lebih sering berbincang dengan Alya, meski tetap pada topik-topik ringan. Mereka berbagi cerita singkat tentang pekerjaan, keluarga, dan masa kecil mereka. Bagi Alya, momen-momen ini bagaikan secercah harapan bahwa hubungan mereka bisa menjadi lebih dari sekadar pernikahan kontrak.

Namun, ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang. Setiap kali ia merasa sudah mulai mendekat, Alexander kembali menutup diri. Dinding yang dibangun oleh Alexander untuk melindungi dirinya sendiri tampak terlalu tinggi untuk Alya lewati begitu saja.

Suatu malam, ketika Alya pulang dari acara pertemuan keluarga, ia menemukan apartemen dalam keadaan gelap gulita. Ketika ia menyalakan lampu, ia terkejut melihat meja makan telah diatur dengan elegan, lengkap dengan lilin dan bunga segar. Alexander, yang biasanya selalu sibuk dengan pekerjaannya, menunggu di sana dengan senyum yang jarang ia tunjukkan.

“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih,” katanya sederhana, “untuk semua kesabaranmu dalam menjalani pernikahan ini.”

Alya tersentuh. Meski kata-katanya sederhana, ia bisa merasakan ketulusan di baliknya. Mereka menikmati makan malam itu dalam keheningan yang damai, seolah-olah tidak ada batasan di antara mereka. Alya mulai merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada peluang untuk sesuatu yang lebih dalam hubungan mereka.

---

Pada suatu pagi, ketika Alya sedang menyiapkan sarapan, Alexander tiba-tiba masuk ke dapur dan mengambil alih kompor. "Biar aku yang masak kali ini," katanya, membuat Alya terkejut. Ia menatap Alexander yang tampak canggung dengan apron yang terlalu kecil untuk tubuhnya, namun begitu serius saat memotong bahan-bahan sederhana untuk omelet. Melihat wajah fokus Alexander, Alya tak bisa menahan senyumnya, merasakan kehangatan kecil di hatinya. Mereka saling bercanda tentang betapa jarangnya Alexander memasak, dan untuk pertama kalinya, tawa mereka memenuhi ruang dapur.

Di malam hari, ketika Alya kembali dari acara kantor, Alexander menawarkan diri untuk menjemputnya. Saat mereka dalam perjalanan pulang, Alexander membuka topik tentang masa kecilnya. "Aku ingat dulu, rumah kami selalu ramai dengan suara keluarga. Aku pikir mungkin aku terbiasa hidup sendiri karena sibuk dengan pekerjaanku," katanya sambil menatap jalan di depan mereka. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ia menyadari bahwa Alexander perlahan membuka diri dan berbagi sisi dirinya yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Pada malam yang berbeda, saat mereka menonton film bersama di ruang tamu, Alya menyadari Alexander perlahan meraih tangannya, genggamannya lembut namun penuh makna. Alya menatapnya, dan Alexander hanya tersenyum tipis, seolah-olah isyarat itu adalah ungkapan dari perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Sejak saat itu, mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, entah menonton, berdiskusi, atau hanya berbicara ringan di sofa.

Namun, sesekali muncul juga momen-momen kecil yang menunjukkan sisi protektif Alexander. Ketika Alya jatuh sakit, Alexander dengan sigap merawatnya, menyuapi makanan dan memastikan ia merasa nyaman. “Kamu harus menjaga kesehatanmu,” ujarnya dengan nada cemas yang terdengar sangat tulus. Alya terharu melihat sisi Alexander yang lembut, yang jarang muncul.

Perlahan, Alya menyadari bahwa, di balik semua sikap dingin dan kontrol diri Alexander, ada perasaan yang mungkin ia sendiri belum siap akui.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status