Hari demi hari, Alya mulai terbiasa dengan kehidupan di apartemen Alexander. Walau jarak di antara mereka masih terasa, Alya berusaha menyesuaikan diri dan mencari celah untuk memahami sosok suaminya itu. Ia mencoba melakukan hal-hal kecil seperti menyeduh kopi setiap pagi atau menyiapkan makan malam sederhana ketika Alexander pulang larut. Meski begitu, sikap Alexander tetap terjaga, penuh kendali dan tanpa ekspresi.
Alya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, berhati-hati agar tidak melanggar batas tak kasat mata yang ditetapkan Alexander. Namun, ia mulai menyadari bahwa Alexander memperhatikan setiap perhatiannya, walaupun dalam diam. Suatu malam, ketika hujan turun deras, Alya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, termenung memandangi jendela yang diselimuti rintik hujan. Tiba-tiba, Alexander muncul di ruang tamu dengan segelas air di tangannya. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alexander yang memulai pembicaraan. “Ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyanya dengan nada lebih hangat dari biasanya. Alya terkejut, namun akhirnya mengangguk pelan. “Hanya... banyak hal yang berubah begitu cepat. Terkadang aku merasa seperti orang asing di hidupmu.” Alexander menatapnya, lalu berkata, “Kehidupanku memang rumit. Dan, aku akui, kadang aku lupa bagaimana caranya berbagi dengan orang lain.” Hening sejenak menyelimuti mereka, tapi percakapan singkat itu menyisakan sesuatu yang berbeda di hati Alya. Ia melihat kilasan kelembutan dalam diri Alexander, meskipun hanya sekilas. --- Sejak malam itu, hubungan mereka perlahan mulai berubah. Alexander tidak lagi seformal sebelumnya dan lebih sering berbincang dengan Alya, meski tetap pada topik-topik ringan. Mereka berbagi cerita singkat tentang pekerjaan, keluarga, dan masa kecil mereka. Bagi Alya, momen-momen ini bagaikan secercah harapan bahwa hubungan mereka bisa menjadi lebih dari sekadar pernikahan kontrak. Namun, ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang. Setiap kali ia merasa sudah mulai mendekat, Alexander kembali menutup diri. Dinding yang dibangun oleh Alexander untuk melindungi dirinya sendiri tampak terlalu tinggi untuk Alya lewati begitu saja. Suatu malam, ketika Alya pulang dari acara pertemuan keluarga, ia menemukan apartemen dalam keadaan gelap gulita. Ketika ia menyalakan lampu, ia terkejut melihat meja makan telah diatur dengan elegan, lengkap dengan lilin dan bunga segar. Alexander, yang biasanya selalu sibuk dengan pekerjaannya, menunggu di sana dengan senyum yang jarang ia tunjukkan. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih,” katanya sederhana, “untuk semua kesabaranmu dalam menjalani pernikahan ini.” Alya tersentuh. Meski kata-katanya sederhana, ia bisa merasakan ketulusan di baliknya. Mereka menikmati makan malam itu dalam keheningan yang damai, seolah-olah tidak ada batasan di antara mereka. Alya mulai merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada peluang untuk sesuatu yang lebih dalam hubungan mereka. --- Pada suatu pagi, ketika Alya sedang menyiapkan sarapan, Alexander tiba-tiba masuk ke dapur dan mengambil alih kompor. "Biar aku yang masak kali ini," katanya, membuat Alya terkejut. Ia menatap Alexander yang tampak canggung dengan apron yang terlalu kecil untuk tubuhnya, namun begitu serius saat memotong bahan-bahan sederhana untuk omelet. Melihat wajah fokus Alexander, Alya tak bisa menahan senyumnya, merasakan kehangatan kecil di hatinya. Mereka saling bercanda tentang betapa jarangnya Alexander memasak, dan untuk pertama kalinya, tawa mereka memenuhi ruang dapur. Di malam hari, ketika Alya kembali dari acara kantor, Alexander menawarkan diri untuk menjemputnya. Saat mereka dalam perjalanan pulang, Alexander membuka topik tentang masa kecilnya. "Aku ingat dulu, rumah kami selalu ramai dengan suara keluarga. Aku pikir mungkin aku terbiasa hidup sendiri karena sibuk dengan pekerjaanku," katanya sambil menatap jalan di depan mereka. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ia menyadari bahwa Alexander perlahan membuka diri dan berbagi sisi dirinya yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Pada malam yang berbeda, saat mereka menonton film bersama di ruang tamu, Alya menyadari Alexander perlahan meraih tangannya, genggamannya lembut namun penuh makna. Alya menatapnya, dan Alexander hanya tersenyum tipis, seolah-olah isyarat itu adalah ungkapan dari perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Sejak saat itu, mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, entah menonton, berdiskusi, atau hanya berbicara ringan di sofa. Namun, sesekali muncul juga momen-momen kecil yang menunjukkan sisi protektif Alexander. Ketika Alya jatuh sakit, Alexander dengan sigap merawatnya, menyuapi makanan dan memastikan ia merasa nyaman. “Kamu harus menjaga kesehatanmu,” ujarnya dengan nada cemas yang terdengar sangat tulus. Alya terharu melihat sisi Alexander yang lembut, yang jarang muncul. Perlahan, Alya menyadari bahwa, di balik semua sikap dingin dan kontrol diri Alexander, ada perasaan yang mungkin ia sendiri belum siap akui.Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran.Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri m
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan ganjil yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya. Dia merasakan keheningan di rumah yang terlalu sunyi, hampir menyelimuti dirinya dalam kabut yang membuat segala sesuatunya terasa samar. Alexander belum pulang sejak semalam, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Alya mencoba mengabaikan kekhawatiran yang merayap di hatinya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu.Di ruang makan, Alya menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Alexander di meja. Dengan jantung berdebar, dia mengambil surat itu, berharap menemukan penjelasan. Namun, isi surat itu hanya beberapa kata singkat yang membuat perasaannya semakin tidak menentu."Ada urusan penting di luar kota. Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."Alya menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Sesuatu dalam nada pesan itu terasa berbeda, dingin dan jauh, seolah-olah Alexander berusaha menjaga jarak. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namu
Alya mulai menjalankan keputusannya. Setelah pertemuannya dengan Ethan, dia semakin yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami apa yang terjadi adalah dengan menyelidiki sendiri apa yang sedang disembunyikan oleh Alexander. Rasa penasaran dan kekhawatiran mulai membentuk tekad yang sulit digoyahkan. Di dalam dirinya, ada suara yang mengatakan bahwa kebenaran akan membawa rasa sakit, tetapi di sisi lain, dia merasa siap menerima apa pun yang akan terjadi.Keesokan harinya, saat Alexander pergi dengan alasan "urusan bisnis mendesak," Alya memanfaatkan kesempatan itu. Dia menyelinap ke ruang kerja Alexander, tempat yang biasanya tak pernah ia masuki tanpa izin. Ruangan itu gelap dan tertutup rapat, seolah-olah menyimpan rahasia yang tak ingin dilihat oleh siapa pun. Dengan hati-hati, Alya menghidupkan lampu dan mulai memeriksa meja kerja yang tampak rapi, namun kaku.Di atas meja, ada berkas-berkas yang disusun rapi dan sebuah laptop yang terkunci dengan password. Alya menatap layar la