Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.
Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya. “Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar tenang namun serius. Alexander menoleh ke arahnya, mengangkat alis dengan senyuman kecil. “Apa itu?” Alya menatapnya, mencoba mencari kekuatan untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. “Aku hanya ingin tahu... kenapa kamu memutuskan untuk menikahiku, dan kenapa harus dengan pernikahan kontrak?” Alexander terdiam, senyuman di wajahnya perlahan memudar. Untuk beberapa saat, ia menatap kosong ke layar televisi, seolah-olah sedang berusaha menyusun kata-kata. Alya bisa melihat ketegangan di wajahnya, namun ia tetap menunggu dengan sabar, memberinya ruang untuk berbicara. “Alya,” akhirnya Alexander mulai bicara, suaranya terdengar berat. “Ada alasan yang mungkin sulit untuk dipahami. Tapi jika kamu benar-benar ingin tahu, aku akan memberitahumu.” Alya mengangguk pelan, menyiapkan dirinya untuk mendengar jawaban yang mungkin tak pernah ia duga. Alexander menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Sejak kecil, keluargaku adalah keluarga yang penuh aturan dan harapan. Ayahku, terutama, selalu menekankan pentingnya mempertahankan reputasi keluarga dan perusahaan. Semua keputusan yang kuambil, setiap langkah dalam hidupku, selalu berada dalam kendali mereka.” Alya mendengarkan dengan seksama, merasakan beban yang Alexander bawa di balik sikap dinginnya. “Aku dibesarkan untuk menjadi seseorang yang sempurna di mata dunia, seseorang yang selalu patuh pada aturan yang mereka tetapkan. Ketika aku mencapai usia dewasa dan mulai mengelola bisnis keluarga, mereka mulai menuntut lebih. Mereka ingin aku segera menikah, dan, tentu saja, dengan seseorang yang bisa meningkatkan posisi keluarga kami di masyarakat. Mereka mengatur semuanya, bahkan memilih calon yang menurut mereka 'sempurna'.” Alexander berhenti sejenak, tatapannya menjadi sayu. “Aku tidak pernah mengenal cinta sejati, Alya. Semua hubungan yang kujalani terasa seperti transaksi, dan itu membuatku kehilangan banyak hal dalam hidup. Jadi ketika keluargaku mulai mendesak agar aku segera menikah, aku merasa terjebak. Aku tahu bahwa jika aku menikah dengan pilihan mereka, aku akan kehilangan kebebasan yang selama ini kuinginkan.” Alya bisa merasakan betapa beratnya pengalaman yang Alexander ceritakan. Ia mulai memahami bahwa di balik sosok dingin dan kaku Alexander, tersembunyi seorang pria yang selama ini terikat oleh ekspektasi keluarganya. “Jadi, aku memutuskan untuk mencari solusi lain,” lanjut Alexander. “Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjadi istriku hanya untuk sementara, untuk menunjukkan pada keluargaku bahwa aku bisa mengambil keputusan sendiri. Aku ingin pernikahan yang memberikan kendali penuh padaku, dan aku ingin menikahi seseorang yang bisa kupercayai namun tidak akan mengikatku selamanya.” Alexander menatap Alya dengan mata yang penuh dengan kejujuran dan kerentanan yang selama ini ia sembunyikan. “Itulah alasannya aku memilihmu, Alya. Aku merasa kamu adalah orang yang bisa kupahami, seseorang yang tidak akan memaksakan ekspektasi yang selama ini menghantui hidupku.” Alya terdiam, mencoba mencerna penjelasan Alexander. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya mengetahui alasan di balik pernikahan ini. Namun, di sisi lain, ia merasakan kekecewaan yang sulit dijelaskan, mengetahui bahwa ia hanyalah bagian dari rencana Alexander untuk melawan keluarganya. “Aku bisa mengerti, Alexander,” kata Alya pelan. “Tapi apa yang terjadi jika keluargamu mengetahui kebenaran ini? Bukankah itu bisa menimbulkan masalah bagi kita berdua?” Alexander tersenyum kecil, meski ada kegetiran dalam senyumannya. “Aku sudah mempersiapkan segalanya, Alya. Selama kita tetap mengikuti perjanjian ini, mereka tidak akan pernah tahu. Setelah beberapa waktu, ketika keluargaku berhenti menekan, kita bisa menjalani hidup masing-masing, seperti yang kita sepakati.” Alya mengangguk, namun dalam hatinya ada rasa sakit yang perlahan-lahan merayap. Meskipun ia tahu bahwa ini adalah pernikahan kontrak, ia tidak bisa menahan perasaannya yang semakin dalam terhadap Alexander. Ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada pria ini, namun ia juga tahu bahwa perasaan itu tak akan pernah terbalas. “Kamu tidak perlu merasa bersalah atas pernikahan ini, Alya,” lanjut Alexander, seolah-olah ia bisa membaca pikiran Alya. “Aku sangat bersyukur karena kamu setuju untuk menikah denganku. Kamu telah memberiku ruang untuk bebas, meski hanya sementara.” Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh dengan emosi, Alya pergi tidur dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa lega karena akhirnya mengetahui kebenaran di balik pernikahan ini, namun ia juga merasakan kekosongan yang mendalam. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Alexander tidak lebih dari sekadar kontrak, dan meskipun ia telah membuka hatinya, ia harus menerima kenyataan bahwa perasaannya mungkin tidak akan pernah terbalas. --- Keesokan harinya, suasana di antara mereka kembali seperti biasa, seolah-olah percakapan malam sebelumnya tidak pernah terjadi. Namun, Alya mulai melihat Alexander dari sudut pandang yang berbeda. Ia melihat pria itu sebagai seseorang yang terjebak dalam jeratan ekspektasi keluarganya, seseorang yang selama ini berjuang untuk menemukan kebebasan di balik kekakuan dan aturan yang mengikatnya. Dalam beberapa kesempatan, Alya mencoba memberikan dukungan kepada Alexander tanpa terkesan memaksakan diri. Ia memperhatikan cara Alexander bekerja, membantunya di setiap kesempatan, dan bahkan mencoba memberikan saran-saran kecil yang bisa meringankan beban pekerjaannya. Alya mulai memahami Alexander sebagai pribadi yang kompleks, dan ia merasa terhubung lebih dalam dengannya, meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka bersifat sementara. Namun, meskipun Alya berusaha untuk menerima keadaan ini, ia tak bisa sepenuhnya menekan perasaannya. Malam demi malam, ia merasakan cinta yang semakin dalam terhadap Alexander. Setiap kali Alexander menunjukkan perhatian kecil, seperti bertanya apakah ia sudah makan atau apakah ia butuh bantuan, hatinya berdebar tak karuan. Ia tahu bahwa ia tidak seharusnya memiliki harapan, namun perasaan itu semakin sulit ia abaikan. Hingga suatu hari, Alexander menerima panggilan telepon dari keluarganya. Suara di seberang sana terdengar mendesak, dan Alexander terlihat tegang selama percakapan itu. Setelah menutup telepon, ia berbalik menghadap Alya dengan ekspresi serius. “Alya, aku butuh bantuanmu,” katanya, suaranya terdengar mendesak. Alya terkejut, namun ia segera mengangguk. “Tentu, apa yang bisa kubantu?” “Aku membutuhkanmu untuk ikut denganku ke sebuah acara keluarga. Mereka ingin memastikan bahwa kita... benar-benar menikah,” kata Alexander, tatapannya penuh tekanan. “Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kamu berpura-pura seolah-olah kita adalah pasangan yang saling mencintai. Mereka akan mengamati setiap gerak-gerik kita, jadi...” Alya tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar keras. “Jangan khawatir, Alexander. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu.” Di dalam hatinya, Alya tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan Alexander, meskipun hanya dalam sandiwara yang mereka mainkan. Namun, ia bertekad untuk menjalani peran itu sebaik mungkin, meski menyadari bahwa perasaan yang ia miliki mungkin tak akan pernah terbalas. Dan di saat itulah, tembok terakhir di antara mereka mulai benar-benar retak, menyisakan kerentanan yang tak pernah mereka duga akan hadir dalam hidup mereka.Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan ganjil yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya. Dia merasakan keheningan di rumah yang terlalu sunyi, hampir menyelimuti dirinya dalam kabut yang membuat segala sesuatunya terasa samar. Alexander belum pulang sejak semalam, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Alya mencoba mengabaikan kekhawatiran yang merayap di hatinya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu.Di ruang makan, Alya menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Alexander di meja. Dengan jantung berdebar, dia mengambil surat itu, berharap menemukan penjelasan. Namun, isi surat itu hanya beberapa kata singkat yang membuat perasaannya semakin tidak menentu."Ada urusan penting di luar kota. Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."Alya menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Sesuatu dalam nada pesan itu terasa berbeda, dingin dan jauh, seolah-olah Alexander berusaha menjaga jarak. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namu
Alya mulai menjalankan keputusannya. Setelah pertemuannya dengan Ethan, dia semakin yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami apa yang terjadi adalah dengan menyelidiki sendiri apa yang sedang disembunyikan oleh Alexander. Rasa penasaran dan kekhawatiran mulai membentuk tekad yang sulit digoyahkan. Di dalam dirinya, ada suara yang mengatakan bahwa kebenaran akan membawa rasa sakit, tetapi di sisi lain, dia merasa siap menerima apa pun yang akan terjadi.Keesokan harinya, saat Alexander pergi dengan alasan "urusan bisnis mendesak," Alya memanfaatkan kesempatan itu. Dia menyelinap ke ruang kerja Alexander, tempat yang biasanya tak pernah ia masuki tanpa izin. Ruangan itu gelap dan tertutup rapat, seolah-olah menyimpan rahasia yang tak ingin dilihat oleh siapa pun. Dengan hati-hati, Alya menghidupkan lampu dan mulai memeriksa meja kerja yang tampak rapi, namun kaku.Di atas meja, ada berkas-berkas yang disusun rapi dan sebuah laptop yang terkunci dengan password. Alya menatap layar la
Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui jendela kamar mereka, namun tidak membawa kehangatan seperti biasanya. Alya terbangun dari tidur yang tidak lelap, dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh percakapan mereka semalam. Di sampingnya, Alexander masih terlelap. Wajahnya tampak tenang, seperti pria yang tidak menyimpan beban rahasia apa pun. Alya menatapnya, mencoba menemukan sisa-sisa cinta yang dulu begitu jelas terlihat. Namun kini, ada rasa asing yang mulai mengisi hatinya.Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan Alya tidak pernah benar-benar pulih. Bayang-bayang Fiona terus menghantui, membuatnya merasa tak lagi menjadi bagian dari hidup Alexander sepenuhnya. Alya memutuskan untuk menyibukkan dirinya, berharap bahwa waktu dan jarak bisa membantu menghapus luka yang ia rasakan.Namun, Alexander tidak tinggal diam. Dia merasakan perubahan pada Alya. Senyum yang dulu selalu hangat kini terasa hambar, dan tatapan yang biasanya penuh cinta kini dipenuhi keraguan. Seakan mere
“Hidupmu akan hancur, Alya.” Suara berat ayah Alya memecah keheningan di kantor mewah itu. Ayahnya duduk di seberang meja, wajahnya tampak lelah dan penuh keputusasaan. Alya memandangnya dengan tatapan penuh cemas, tidak menyangka mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut ayahnya. "Apa maksud Papa?" tanya Alya dengan suara gemetar. Perasaannya kalut, tetapi ia mencoba tetap tegar. "Perusahaan kita... Mahendra Corp... berada di ambang kebangkrutan," ucap ayahnya dengan berat hati. "Papa sudah mencoba segalanya, tapi tidak ada jalan keluar." Alya menahan napas. Semua kerja keras dan mimpi-mimpi ayahnya kini runtuh di depan matanya. Namun, ia tahu bahwa kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Dia menghela napas panjang dan berusaha mengendalikan ketakutannya. "Jangan khawatir, Pa," katanya pelan. "Kita pasti bisa mencari jalan keluar." Meski hatinya dipenuhi kecemasan, ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan ayahnya. Di saat ketegangan menguasai ruangan, ti