Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.
Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya. “Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar tenang namun serius. Alexander menoleh ke arahnya, mengangkat alis dengan senyuman kecil. “Apa itu?” Alya menatapnya, mencoba mencari kekuatan untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. “Aku hanya ingin tahu... kenapa kamu memutuskan untuk menikahiku, dan kenapa harus dengan pernikahan kontrak?” Alexander terdiam, senyuman di wajahnya perlahan memudar. Untuk beberapa saat, ia menatap kosong ke layar televisi, seolah-olah sedang berusaha menyusun kata-kata. Alya bisa melihat ketegangan di wajahnya, namun ia tetap menunggu dengan sabar, memberinya ruang untuk berbicara. “Alya,” akhirnya Alexander mulai bicara, suaranya terdengar berat. “Ada alasan yang mungkin sulit untuk dipahami. Tapi jika kamu benar-benar ingin tahu, aku akan memberitahumu.” Alya mengangguk pelan, menyiapkan dirinya untuk mendengar jawaban yang mungkin tak pernah ia duga. Alexander menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Sejak kecil, keluargaku adalah keluarga yang penuh aturan dan harapan. Ayahku, terutama, selalu menekankan pentingnya mempertahankan reputasi keluarga dan perusahaan. Semua keputusan yang kuambil, setiap langkah dalam hidupku, selalu berada dalam kendali mereka.” Alya mendengarkan dengan seksama, merasakan beban yang Alexander bawa di balik sikap dinginnya. “Aku dibesarkan untuk menjadi seseorang yang sempurna di mata dunia, seseorang yang selalu patuh pada aturan yang mereka tetapkan. Ketika aku mencapai usia dewasa dan mulai mengelola bisnis keluarga, mereka mulai menuntut lebih. Mereka ingin aku segera menikah, dan, tentu saja, dengan seseorang yang bisa meningkatkan posisi keluarga kami di masyarakat. Mereka mengatur semuanya, bahkan memilih calon yang menurut mereka 'sempurna'.” Alexander berhenti sejenak, tatapannya menjadi sayu. “Aku tidak pernah mengenal cinta sejati, Alya. Semua hubungan yang kujalani terasa seperti transaksi, dan itu membuatku kehilangan banyak hal dalam hidup. Jadi ketika keluargaku mulai mendesak agar aku segera menikah, aku merasa terjebak. Aku tahu bahwa jika aku menikah dengan pilihan mereka, aku akan kehilangan kebebasan yang selama ini kuinginkan.” Alya bisa merasakan betapa beratnya pengalaman yang Alexander ceritakan. Ia mulai memahami bahwa di balik sosok dingin dan kaku Alexander, tersembunyi seorang pria yang selama ini terikat oleh ekspektasi keluarganya. “Jadi, aku memutuskan untuk mencari solusi lain,” lanjut Alexander. “Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjadi istriku hanya untuk sementara, untuk menunjukkan pada keluargaku bahwa aku bisa mengambil keputusan sendiri. Aku ingin pernikahan yang memberikan kendali penuh padaku, dan aku ingin menikahi seseorang yang bisa kupercayai namun tidak akan mengikatku selamanya.” Alexander menatap Alya dengan mata yang penuh dengan kejujuran dan kerentanan yang selama ini ia sembunyikan. “Itulah alasannya aku memilihmu, Alya. Aku merasa kamu adalah orang yang bisa kupahami, seseorang yang tidak akan memaksakan ekspektasi yang selama ini menghantui hidupku.” Alya terdiam, mencoba mencerna penjelasan Alexander. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya mengetahui alasan di balik pernikahan ini. Namun, di sisi lain, ia merasakan kekecewaan yang sulit dijelaskan, mengetahui bahwa ia hanyalah bagian dari rencana Alexander untuk melawan keluarganya. “Aku bisa mengerti, Alexander,” kata Alya pelan. “Tapi apa yang terjadi jika keluargamu mengetahui kebenaran ini? Bukankah itu bisa menimbulkan masalah bagi kita berdua?” Alexander tersenyum kecil, meski ada kegetiran dalam senyumannya. “Aku sudah mempersiapkan segalanya, Alya. Selama kita tetap mengikuti perjanjian ini, mereka tidak akan pernah tahu. Setelah beberapa waktu, ketika keluargaku berhenti menekan, kita bisa menjalani hidup masing-masing, seperti yang kita sepakati.” Alya mengangguk, namun dalam hatinya ada rasa sakit yang perlahan-lahan merayap. Meskipun ia tahu bahwa ini adalah pernikahan kontrak, ia tidak bisa menahan perasaannya yang semakin dalam terhadap Alexander. Ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada pria ini, namun ia juga tahu bahwa perasaan itu tak akan pernah terbalas. “Kamu tidak perlu merasa bersalah atas pernikahan ini, Alya,” lanjut Alexander, seolah-olah ia bisa membaca pikiran Alya. “Aku sangat bersyukur karena kamu setuju untuk menikah denganku. Kamu telah memberiku ruang untuk bebas, meski hanya sementara.” Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh dengan emosi, Alya pergi tidur dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa lega karena akhirnya mengetahui kebenaran di balik pernikahan ini, namun ia juga merasakan kekosongan yang mendalam. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Alexander tidak lebih dari sekadar kontrak, dan meskipun ia telah membuka hatinya, ia harus menerima kenyataan bahwa perasaannya mungkin tidak akan pernah terbalas. --- Keesokan harinya, suasana di antara mereka kembali seperti biasa, seolah-olah percakapan malam sebelumnya tidak pernah terjadi. Namun, Alya mulai melihat Alexander dari sudut pandang yang berbeda. Ia melihat pria itu sebagai seseorang yang terjebak dalam jeratan ekspektasi keluarganya, seseorang yang selama ini berjuang untuk menemukan kebebasan di balik kekakuan dan aturan yang mengikatnya. Dalam beberapa kesempatan, Alya mencoba memberikan dukungan kepada Alexander tanpa terkesan memaksakan diri. Ia memperhatikan cara Alexander bekerja, membantunya di setiap kesempatan, dan bahkan mencoba memberikan saran-saran kecil yang bisa meringankan beban pekerjaannya. Alya mulai memahami Alexander sebagai pribadi yang kompleks, dan ia merasa terhubung lebih dalam dengannya, meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka bersifat sementara. Namun, meskipun Alya berusaha untuk menerima keadaan ini, ia tak bisa sepenuhnya menekan perasaannya. Malam demi malam, ia merasakan cinta yang semakin dalam terhadap Alexander. Setiap kali Alexander menunjukkan perhatian kecil, seperti bertanya apakah ia sudah makan atau apakah ia butuh bantuan, hatinya berdebar tak karuan. Ia tahu bahwa ia tidak seharusnya memiliki harapan, namun perasaan itu semakin sulit ia abaikan. Hingga suatu hari, Alexander menerima panggilan telepon dari keluarganya. Suara di seberang sana terdengar mendesak, dan Alexander terlihat tegang selama percakapan itu. Setelah menutup telepon, ia berbalik menghadap Alya dengan ekspresi serius. “Alya, aku butuh bantuanmu,” katanya, suaranya terdengar mendesak. Alya terkejut, namun ia segera mengangguk. “Tentu, apa yang bisa kubantu?” “Aku membutuhkanmu untuk ikut denganku ke sebuah acara keluarga. Mereka ingin memastikan bahwa kita... benar-benar menikah,” kata Alexander, tatapannya penuh tekanan. “Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kamu berpura-pura seolah-olah kita adalah pasangan yang saling mencintai. Mereka akan mengamati setiap gerak-gerik kita, jadi...” Alya tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar keras. “Jangan khawatir, Alexander. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu.” Di dalam hatinya, Alya tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan Alexander, meskipun hanya dalam sandiwara yang mereka mainkan. Namun, ia bertekad untuk menjalani peran itu sebaik mungkin, meski menyadari bahwa perasaan yang ia miliki mungkin tak akan pernah terbalas. Dan di saat itulah, tembok terakhir di antara mereka mulai benar-benar retak, menyisakan kerentanan yang tak pernah mereka duga akan hadir dalam hidup mereka.Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se
Setelah malam yang melelahkan di acara keluarga, Alya terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Cahaya pagi yang menerobos tirai jendela terasa asing, seolah-olah ia terbangun di dunia yang berbeda. Ia memandang sekeliling kamar dan melihat Alexander masih tertidur di sofa dekat jendela, wajahnya terhalang sinar matahari yang mulai merayap masuk. Pemandangan itu membuatnya terdiam sesaat. Dalam keheningan pagi, pria itu terlihat begitu tenang, kontras dengan ketegangan yang biasanya selalu menyelimuti interaksi mereka.Alya merapikan diri dengan perlahan agar tidak membangunkan Alexander, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir bahwa menyibukkan diri akan membantu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya, terutama tatapan tajam Tante Fiona dan komentar Ethan yang menyiratkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Setidaknya, ia ingin mencoba memberikan awal yang baik untuk pagi mereka.Ketika ia sedang mengaduk kopi
Malam itu, setelah perbincangan singkat mereka, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alexander. Tidak seperti biasanya, dia menjadi lebih perhatian, lebih lembut dalam setiap gerakannya. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, Alya menyadari bahwa perlahan-lahan, batas antara yang nyata dan yang sandiwara kian samar.Esok paginya, Alya bangun lebih awal dan melihat Alexander sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. Dia tengah berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan tatapan yang sulit diartikan. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas sorot matanya yang tajam, namun terlihat ada kelembutan di sana yang selama ini tertutup rapat.“Kamu bangun lebih awal hari ini,” ucap Alya, mencoba mencairkan suasana.Alexander menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus menghadiri rapat penting pagi ini,” jawabnya sambil mengambil jasnya. Dia berjalan mendekat, lalu berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam. “Jaga dirimu, Alya.”Alya menganggu
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan ganjil yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya. Dia merasakan keheningan di rumah yang terlalu sunyi, hampir menyelimuti dirinya dalam kabut yang membuat segala sesuatunya terasa samar. Alexander belum pulang sejak semalam, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Alya mencoba mengabaikan kekhawatiran yang merayap di hatinya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu.Di ruang makan, Alya menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Alexander di meja. Dengan jantung berdebar, dia mengambil surat itu, berharap menemukan penjelasan. Namun, isi surat itu hanya beberapa kata singkat yang membuat perasaannya semakin tidak menentu."Ada urusan penting di luar kota. Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."Alya menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Sesuatu dalam nada pesan itu terasa berbeda, dingin dan jauh, seolah-olah Alexander berusaha menjaga jarak. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namu
Malam itu, keputusan yang Alya buat di balkon menjadi pemantik dari semua langkah yang akan dia ambil. Pagi berikutnya, ia memulai harinya dengan tekad baru. Dia menatap bayangan dirinya di cermin, berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang akan ia temukan, ia siap menghadapinya. Rahasia Alexander sudah terlalu lama membebani hatinya, dan Alya tahu bahwa keheningan ini harus berakhir. Sejak pagi, Alya mencoba menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, namun pikirannya terus melayang kepada Alexander. Apakah keputusannya untuk mencari kebenaran akan mengubah segalanya? Apakah dia siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan melukai hatinya lebih dalam lagi? Saat makan siang, Alya memutuskan untuk kembali bertemu dengan Ethan. Di kafe yang sama seperti sebelumnya, Ethan sudah menunggunya. Ketika melihat Alya, Ethan memberikan senyum kecil, namun Alya tahu ada kegelisahan di balik tatapan sahabat Alexander itu. “Ethan, aku butuh bantuanmu,” kata Alya tanpa basa-basi. “Aku tidak bis
Hari itu terasa berat bagi Alya. Setiap kata yang diucapkan Adrian, ayah Alexander, masih bergaung di telinganya. Bagaimana mungkin seorang anak harus memikul beban yang seharusnya tidak ditanggungnya? Meskipun ada rasa lega karena mendapatkan sedikit pencerahan, Alya juga merasakan beban baru—perasaan ingin membantu Alexander, tetapi juga ketidakpastian tentang bagaimana cara melakukannya. Setelah pertemuannya dengan Adrian, Alya berkeliling rumah keluarga Alexander. Di dalam ruang kerja yang penuh dengan dokumen, foto, dan barang-barang berharga, ia menemukan sebuah album tua. Penasaran, Alya membuka album tersebut dan mulai melihat-lihat foto-foto lama. Setiap halaman membawa Alya ke dalam kenangan yang lebih dalam tentang masa kecil Alexander—senyumnya, tawa bahagianya, dan harapan-harapan yang pernah ada sebelum semua tekanan itu datang menghimpitnya. Namun, satu foto menarik perhatiannya. Di situ, Alexander berdiri di samping seorang gadis kecil dengan senyum cerah. Alya tidak
Pagi itu, setelah kembali dari perjalanan yang penuh makna ke rumah keluarga Alexander, Alya merasa lebih tenang. Ia tidak mendapatkan semua jawaban yang ia inginkan, tetapi ia mulai memahami sisi lain dari kehidupan suaminya yang selama ini tersembunyi. Ada sesuatu yang berat dalam masa lalu Alexander, sesuatu yang ia pendam demi melindungi orang-orang yang ia sayangi. Di apartemen, suasana masih sunyi ketika Alya tiba. Ia menatap ke arah ruang tamu yang kosong, lalu menghela napas panjang. Alexander masih belum kembali, tetapi sekarang ia merasa tidak terlalu gelisah. Dia tahu bahwa waktunya akan tiba untuk mereka berdua berbicara dengan jujur tentang semua ini. Ketika Alya melangkah ke kamar, suara dering ponselnya memecah keheningan. Nama Ethan tertera di layar. Alya segera mengangkatnya, penasaran. "Ya, Ethan?" tanyanya. “Bagaimana pertemuanmu dengan Adrian?” tanya Ethan di seberang sana, suaranya terdengar waspada. Alya tersenyum kecil. “Aku belajar banyak. Ayah Alexander me
Alya melangkah mendekati Radit, sorot matanya tajam namun penuh harapan. "Kalau kau benar-benar ingin membantu, buktikan sekarang," katanya tegas.Radit mengangguk pelan, menelan ludah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan serangkaian pesan dari seseorang bernama Ares, salah satu nama yang juga tercatat dalam buku Samuel. "Ini orang yang selalu menghubungiku. Dia mengatur semuanya. Aku hanya perantara, Alya," katanya lirih.Alexander, yang masih menahan nyeri di bahunya, menyahut dengan suara serak, "Kalau begitu, kita gunakan dia untuk memancing Ares keluar. Tapi ingat, Radit... satu kesalahan kecil saja, dan aku tidak akan ragu menghentikanmu."Alya menyentuh lengan Alexander, mencoba meredam ketegangan. "Kita tidak punya pilihan lain, Alex. Kalau Radit mau bekerja sama, kita harus memberinya kesempatan."Radit memalingkan wajah, jelas merasa tertekan. "Aku tahu cara menghubungi Ares. Tapi kalau ini gagal, bukan cuma aku yang tamat, kalian
Pagi itu terasa lebih kelam dari biasanya. Langit mendung, dan udara dingin menusuk kulit. Alya duduk di sudut kamar hotel kecil tempat mereka menginap, menatap buku catatan Samuel yang kini terbuka di pangkuannya. Alexander berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan di bawah dengan gelisah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sejak pelarian semalam."Alex," suara Alya memecah keheningan. "Ada sesuatu yang aneh di sini."Alexander menoleh, meninggalkan jendela untuk duduk di sampingnya. Alya menunjuk salah satu halaman buku yang penuh dengan tulisan tangan rapi, namun di tengahnya ada sebuah nama yang tampak mencolok."Ini nama salah satu teman dekatku," katanya, suaranya bergetar. "Kenapa nama Radit ada di sini?"Alexander membaca halaman itu dengan saksama. Di samping nama Radit, ada catatan singkat yang berbunyi: 'Pembocor informasi. Penghubung utama.'"Radit? Apa kau yakin?" tanya Alexander dengan nada tajam."Aku tid
Mobil melaju cepat meninggalkan rumah tua itu, membelah jalan gelap di tengah malam. Alya duduk di kursi penumpang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Di luar, bayangan pepohonan melintas cepat, seakan ikut mengejar mereka. Di dalam pikirannya, nama Samuel Hartwell terus bergema, menyisakan rasa penasaran sekaligus kegelisahan."Kemana kita sekarang?" tanya Alya akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.Alexander tetap fokus pada jalan, rahangnya mengeras seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. "Ada satu tempat lagi yang harus kita periksa. Samuel pernah bekerja di sebuah galeri seni di kota ini. Jika kita beruntung, mungkin ada jejak yang ditinggalkannya di sana."Alya mengernyit. "Galeri seni? Itu terdengar... tidak biasa untuk seseorang yang kau bilang bagian dari organisasi besar."Alexander tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Samuel bukan hanya anggota biasa. Dia pernah menjadi kepala divisi intelije
Suara derit pintu tua itu menggema di rumah kosong. Udara dingin terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kayu lapuk yang melekat di setiap sudut ruangan. Alya berjalan pelan di belakang Alexander, tatapannya bergantian antara pria itu dan dinding-dinding rumah yang tampak seperti menyimpan ribuan cerita tak terucap."Apa yang kita cari di sini, Alex?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.Alexander tidak menjawab. Ia melangkah dengan pasti menuju lorong panjang di tengah rumah, di mana ujungnya terlihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu. Alya memperhatikan bagaimana tangan Alexander sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu itu."Apa ada sesuatu di sana?" desaknya, kini dengan nada sedikit panik.Alexander menoleh, tatapannya tajam namun sekaligus terlihat lelah. "Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu. Tapi kau harus berjanji, Alya. Apapun yang kau lihat atau dengar, jangan pernah menceritakannya pada siapa pun."Aly
Setelah malam penuh ketegangan di garasi, Alexander dan Alya kini berada di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Matahari sudah mulai terbit, tetapi rasa lelah dan kekhawatiran yang menyelimuti mereka masih begitu kental. Alya duduk di tepi ranjang, tatapannya terarah ke jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi membawa aroma rumput basah, tapi tidak ada ketenangan yang menyertainya."Berapa lama kita akan terus seperti ini?" Alya akhirnya membuka suara.Alexander, yang sedang membersihkan luka di tangannya dengan kain basah, menatapnya sekilas. "Sampai semuanya selesai.""Kau tahu itu bukan jawaban," Alya mendesah. "Kita berdua tahu bahwa orang-orang itu tidak akan berhenti hanya karena kita bersembunyi."Alexander menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di hadapan Alya. "Aku mencoba melindungimu, Alya. Tapi jika kau merasa ini terlalu berat, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin pergi."Kata-kata Alexander membuat Alya tertegu
Lorong sempit itu terasa semakin menyesakkan ketika langkah kaki berat mendekat. Alexander berdiri di depan Alya, tubuhnya tegang, siap menghadapi apa pun. Dari kegelapan, seorang pria bertubuh besar muncul, wajahnya terlihat keras dan dingin.“Alexander.” Suara pria itu rendah, mengancam. “Kita sudah lama menunggumu. Kau tak bisa lari lagi.”Alexander tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia meluncurkan pukulan yang berhasil membuat pria itu tersentak. Namun, pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Ia balas menyerang dengan kekuatan besar, memaksa Alexander mundur beberapa langkah.“Alya, pergi sekarang!” teriak Alexander sambil berusaha menahan serangan pria itu.Alya tidak bergerak. Matanya tertuju pada dua sosok lain yang muncul di ujung lorong. Mereka membawa senjata, membuat situasi semakin genting.“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” jawab Alya keras, namun Alexander memotongnya.“Lari, Alya! Aku menyusul!”Alya berlari, meskipun hatinya terasa berat. Langkahnya te
Perjalanan menuju Asia Tenggara bukanlah hal mudah. Dua hari setelah pertemuan dengan Vincent, Alya dan Alexander kini berada di sebuah kota kecil dekat perbatasan. Udara lembap dan aroma khas pasar tradisional menyambut kedatangan mereka. Warga sekitar tampak tak acuh terhadap dua orang asing yang berjalan cepat di antara gang-gang sempit. Namun bagi Alya, setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk."Kita ke mana sekarang?" bisik Alya sambil menyesuaikan topi yang sengaja ia kenakan untuk menyembunyikan wajah."Jalur bawah tanah itu tidak jauh dari sini. Vincent bilang lokasinya ada di gudang tua dekat pelabuhan," jawab Alexander, suara rendah namun tegas. Ia terus melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti.Mereka tiba di sebuah kawasan pelabuhan tua. Gudang-gudang berkarat berdiri kokoh di samping kapal-kapal kecil yang bersandar tanpa aktivitas. Beberapa pria lokal duduk di bawah pohon, melirik sekilas tapi tak terlalu peduli. Alexander berhenti di depan sebuah
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha