“Hidupmu akan hancur, Alya.” Suara berat ayah Alya memecah keheningan di kantor mewah itu. Ayahnya duduk di seberang meja, wajahnya tampak lelah dan penuh keputusasaan. Alya memandangnya dengan tatapan penuh cemas, tidak menyangka mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut ayahnya. "Apa maksud Papa?" tanya Alya dengan suara gemetar. Perasaannya kalut, tetapi ia mencoba tetap tegar. "Perusahaan kita... Mahendra Corp... berada di ambang kebangkrutan," ucap ayahnya dengan berat hati. "Papa sudah mencoba segalanya, tapi tidak ada jalan keluar." Alya menahan napas. Semua kerja keras dan mimpi-mimpi ayahnya kini runtuh di depan matanya. Namun, ia tahu bahwa kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Dia menghela napas panjang dan berusaha mengendalikan ketakutannya. "Jangan khawatir, Pa," katanya pelan. "Kita pasti bisa mencari jalan keluar." Meski hatinya dipenuhi kecemasan, ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan ayahnya. Di saat ketegangan menguasai ruangan, ti
Alya melangkah keluar dari kantor ayahnya dengan langkah gontai. Langit Jakarta mulai meredup, sinar matahari yang tersisa tergantung di antara gedung-gedung tinggi, menciptakan bayangan yang terasa semakin panjang. Namun, bayangan di hatinya lebih kelam daripada langit yang mulai beranjak malam. Sejak ia menyetujui tawaran Alexander, setiap keputusan yang ia buat terasa seperti ditimpa oleh berat yang tak kasat mata. Setiap kali Alya mencoba untuk memahami situasinya, semakin sulit rasanya untuk menerima kenyataan. Pernikahan—dengan pria yang hampir tidak ia kenal. Dan semua itu hanya untuk menyelamatkan perusahaan keluarga. "Alya," panggil ayahnya dengan suara serak, mengganggu lamunannya. Alya berhenti, membalikkan tubuhnya dan menemukan ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya memancarkan kecemasan yang begitu dalam. "Apa kamu benar-benar yakin dengan ini? Papa tahu ini bukan keputusan mudah..." Alya mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa rapuh. "Pa, aku melakukannya de
Setelah pernikahan mereka tercatat secara resmi, Alya dan Alexander memasuki kehidupan baru yang terasa asing namun penuh tantangan. Alya masih beradaptasi dengan kehidupan di apartemen Alexander yang megah, namun ia merasa di tempat asing yang penuh aturan. Di saat yang sama, Alexander mencoba menyeimbangkan jarak di antara mereka dengan cara yang membuat Alya sulit membaca pikirannya. --- [Pagi di Apartemen Alexander] Alya terbangun pagi itu dengan suasana yang berbeda. Matahari yang masuk melalui tirai jendela memandikannya dengan cahaya lembut, namun rasa asing masih melingkupinya. Ia merasakan kekosongan meski berada di ruangan yang penuh dengan kemewahan. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Alya berjalan menuju dapur, menemukan Alexander sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, tatapan mata yang serius tertuju pada layar laptopnya. Alya membuka lemari dengan hati-hati, sedikit bingung mencari bahan makanan yang biasa ia siapkan di rumah. Alexander yang memp
Hari demi hari, Alya mulai terbiasa dengan kehidupan di apartemen Alexander. Walau jarak di antara mereka masih terasa, Alya berusaha menyesuaikan diri dan mencari celah untuk memahami sosok suaminya itu. Ia mencoba melakukan hal-hal kecil seperti menyeduh kopi setiap pagi atau menyiapkan makan malam sederhana ketika Alexander pulang larut. Meski begitu, sikap Alexander tetap terjaga, penuh kendali dan tanpa ekspresi.Alya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, berhati-hati agar tidak melanggar batas tak kasat mata yang ditetapkan Alexander. Namun, ia mulai menyadari bahwa Alexander memperhatikan setiap perhatiannya, walaupun dalam diam.Suatu malam, ketika hujan turun deras, Alya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, termenung memandangi jendela yang diselimuti rintik hujan. Tiba-tiba, Alexander muncul di ruang tamu dengan segelas air di tangannya. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alexander yang memulai pembicaraan.“Ada sesuat
Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan pernikahan, Alya mulai memahami ritme sehari-hari di apartemen Alexander. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sementara Alexander biasanya masih berkutat dengan dokumen-dokumennya atau menerima panggilan telepon yang terdengar serius. Meskipun mereka masih terkesan formal, setiap interaksi membawa sedikit kehangatan, seperti perlahan-lahan es yang mencair.Suatu pagi, saat Alya sedang mengatur piring di meja, ia mendapati Alexander memandanginya dengan tatapan yang berbeda, lebih lembut. Ia mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tiba-tiba terasa tak beraturan, namun tak bisa menahan senyum kecil. Alexander, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Alexander sudah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Alya dengan rasa penasaran.Hari itu, Alya merasa Alexander sedikit berbeda. Di sela-sela pekerjaan, Alexander lebih sering menghampiri m
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, ketika Alexander dan Alya mulai membuka diri satu sama lain. Setiap hari, perlahan, hubungan mereka semakin erat. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus mengusiknya, sebuah pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali menyetujui pernikahan ini: alasan di balik keputusan Alexander untuk memilih pernikahan kontrak. Meski hati mereka semakin dekat, Alexander tetap menyembunyikan sesuatu, seolah-olah ada tembok terakhir yang belum sepenuhnya ia hancurkan.Pada suatu malam, setelah seharian menjalani rutinitas mereka, Alya memutuskan untuk menghadapi pertanyaan itu secara langsung. Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton sebuah film lama yang secara tak terduga memancing banyak tawa di antara mereka. Namun, di tengah gelak tawa itu, Alya tiba-tiba merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Alexander,” ujar Alya, suaranya terdengar
Alya merapikan gaunnya di depan cermin besar yang berdiri di kamar mereka. Gaun berwarna biru laut itu melekat indah di tubuhnya, memberikan aura elegan dan mempesona. Malam ini, ia akan menemani Alexander dalam acara keluarga besar, momen yang telah ia persiapkan sebaik mungkin. Namun, di balik semua penampilan sempurna itu, hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura mencintai seseorang yang diam-diam telah menguasai hatinya, meski hanya sebagai bagian dari sandiwara?Pintu kamar terbuka, dan Alexander masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat luar biasa gagah. Ia berhenti sesaat, menatap Alya dengan mata yang sulit diartikan. "Kamu... terlihat cantik," katanya, seolah-olah kata-kata itu keluar tanpa disadarinya.Alya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... berbeda." Hati mereka berdua berdebar, meskipun mereka berusaha keras menyembunyikannya.Setibanya di acara, suasana langsung terasa megah dan form
Setelah pesta keluarga besar berakhir, Alya dan Alexander akhirnya kembali ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan pulang, suasana terasa berbeda dari biasanya—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, menggantung di antara mereka. Tatapan Ethan yang penuh selidik dan komentar Tante Fiona masih membayangi pikiran Alya. Sandirawa yang harus dijalani dalam pernikahan kontrak ini rupanya lebih rumit daripada yang ia kira.Di dalam apartemen, Alya melepas gaunnya dengan lelah dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya tak bisa tenang.Alexander tampaknya merasakan kegelisahan itu. “Alya, kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekati dan duduk di sofa.Alya terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus berbicara atau membiarkan hal ini berlalu. Namun, ia sadar bahwa perasaan ini tak bisa terus ia simpan. “Alexander, ada hal yang ingin kutanyakan. Ethan… dia seperti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah dia melihat se