Ketika malam tiba, Alya duduk sendiri di ruang tamu, merenungkan semua yang ia dengar dari Adrian. Satu per satu potongan masa lalu Alexander mulai terungkap, namun masih banyak bagian yang tersisa, belum terlihat. Hari ini menguatkan tekadnya, namun juga meninggalkan jejak keletihan yang mendalam di hatinya.Saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, terdengar suara mobil di depan rumah. Alexander akhirnya pulang. Alya berusaha menyambutnya dengan senyuman, namun Alexander terlihat lelah dan sedikit terpukul. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia melewati Alya dan langsung menuju kamar, meninggalkan Alya berdiri dalam kebisuan.Alya tahu, ini bukan saatnya memaksanya untuk bercerita. Ia hanya mengikuti Alexander ke kamar dan memberinya waktu untuk menenangkan diri. Namun dalam hatinya, ia bertekad untuk tetap di sisinya, bahkan jika itu berarti harus menunggu dalam keheningan.Malam itu, Alya hanya terbaring dalam kegelapan, mendengar napas Alexander yang tenang namun terasa berat. Seti
Kehampaan yang dirasakan Alya semakin mengakar seiring berjalannya hari. Pagi tadi, Alexander menjauh darinya dengan dingin, seolah percakapan mereka tidak pernah terjadi. Setiap percakapan kecil yang Alya coba bangun dengannya selalu terhenti oleh sikap defensif Alexander. Alya merasa asing, bukan hanya dalam pernikahan kontraknya, tapi juga dalam rumah yang kini terasa semakin sunyi.Namun, tekadnya tidak goyah. Jika Alexander memilih untuk menutup diri, maka ia akan mencari cara lain untuk menemukan jawaban. Pemikiran itu membawa Alya kembali ke petunjuk samar yang Ethan berikan: rumah keluarga Alexander. Di sanalah, katanya, Alya mungkin akan menemukan sebagian dari kebenaran.Dengan ponselnya, Alya mulai menelusuri informasi terkait rumah besar di bukit itu, berusaha mengumpulkan petunjuk-petunjuk yang bisa membawanya lebih dekat pada masa lalu Alexander. Ia menemukan bahwa rumah itu tidak hanya memiliki sejarah panjang, tetapi juga reputasi yang cukup misterius di kalangan masya
Malam itu, Alya terjaga lebih lama dari biasanya. Pikirannya berputar-putar memikirkan Alexander dan beban masa lalunya. Ia menyadari bahwa meskipun Alexander berusaha tampil tegar, ada luka yang sangat dalam yang masih ia simpan. Alya semakin yakin, meski Alexander belum mengungkapkan semuanya, pria itu butuh seseorang yang bisa ia percaya sepenuhnya.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk mulai mengubah pendekatannya. Alih-alih memaksa Alexander untuk berbagi, ia memilih untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman baginya. Ia mulai dengan hal-hal sederhana, seperti menyiapkan sarapan, menyusun bunga segar di ruang tamu, dan merapikan ruangan-ruangan di rumah agar terasa lebih hangat. Ia ingin menjadikan rumah mereka tempat yang bisa membuat Alexander merasa damai dan diterima, tanpa tekanan.Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Alya berusaha untuk tetap ceria dan ringan saat berada di dekat Alexander, meski kadang ia bisa merasakan dinding tak terlihat yang pr
Hari demi hari berlalu dengan perlahan namun penuh makna bagi Alya dan Alexander. Mereka membangun sebuah rutinitas, kecil namun menenangkan. Setiap pagi, Alya bangun lebih awal untuk membuatkan kopi untuk Alexander, dan setiap malam mereka duduk bersama, menikmati kebersamaan tanpa harus berbicara banyak. Keheningan di antara mereka menjadi semacam bahasa tersendiri, dan di dalam keheningan itu, ada kehangatan yang sulit digambarkan dengan kata-kata.Namun, di balik ketenangan ini, ada rasa gelisah yang mengganggu Alya. Seiring waktu, perasaannya terhadap Alexander semakin kuat. Meskipun ia tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah kontrak, hatinya tak bisa menolak kenyataan bahwa ia mulai benar-benar jatuh cinta padanya. Setiap senyuman, setiap sentuhan kecil, dan setiap perhatian yang diberikan Alexander—meskipun sederhana—membuat Alya merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia duga sebelumnya.Suatu malam, saat mereka berdua sedang duduk di balkon, memandang langit b
Alya mencoba melanjutkan harinya seperti biasa, berpura-pura bahwa pesan dari Sarah hanyalah angin lalu. Namun, ada sesuatu dalam kata-kata itu yang tak bisa ia abaikan. Setiap kali ia melihat Alexander, perasaan was-was itu kembali muncul. Alya tahu bahwa Alexander pernah mengalami luka di masa lalu, tapi ia tak pernah menyangka bahwa mungkin ada hal lain yang lebih dalam, yang ia belum ketahui.Malam itu, saat mereka sedang makan malam bersama, Alexander memperhatikan perubahan sikap Alya. Ia menatap Alya dengan dahi berkerut. "Ada apa, Alya? Kau terlihat... berbeda," katanya dengan nada khawatir.Alya terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia tak ingin menambah beban pikiran Alexander, tapi pesan dari Sarah membuatnya merasa bahwa ia harus jujur. "Alex, aku mendapat pesan dari... seseorang yang mengenalmu," ujarnya hati-hati.Alexander mendadak tegang, punggungnya tegak dan ekspresi wajahnya berubah dingin. "Dari siapa?" tanyanya, suaranya lebih tajam dari biasanya."Sa
Beberapa hari setelah perbincangan mereka, Alya merasa hubungan dengan Alexander semakin kuat. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, membicarakan harapan, impian, dan rencana masa depan. Walaupun ada ketakutan tersembunyi, Alya tetap percaya bahwa mereka bisa mengatasi apa pun yang datang. Namun, di balik keyakinannya, Alya masih belum bisa mengabaikan surat misterius yang ia terima.Suatu hari, saat Alya sedang membereskan dokumen di kantor, ia menemukan sebuah catatan tua yang ditinggalkan di salah satu berkas yang ditugaskan Alexander kepadanya. Tulisan di catatan itu menarik perhatiannya. Di situ tertulis nama "Evelyn" dengan beberapa alamat dan nomor telepon yang tampaknya sudah usang.Hati Alya berdebar. Apakah ini catatan yang sengaja disimpan Alexander? Apa ada sesuatu yang ingin ia simpan dari masa lalunya? Setelah beberapa saat ragu, Alya memutuskan untuk menyimpan catatan itu. Ia tahu bahwa ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan di benaknya, tetapi ada sisi
Beberapa hari setelah percakapan yang intens itu, Alya dan Alexander mulai merasa hubungan mereka memasuki tahap yang lebih kuat dan dewasa. Namun, bayangan masa lalu yang baru saja terungkap belum sepenuhnya hilang. Alya menyadari bahwa Alexander masih membawa beban yang berat di dalam dirinya, meskipun ia telah berusaha sekuat mungkin untuk melangkah ke depan bersama Alya.Suatu malam, Alya kembali menerima pesan dari nomor tak dikenal, kali ini hanya berisi satu kalimat singkat: "Berhati-hatilah, Alya. Masa lalu Alexander bisa lebih gelap daripada yang kau kira."Kali ini, peringatan itu membuat Alya tidak hanya merasa was-was, tetapi juga marah. Ia merasa bahwa ada seseorang di luar sana yang berusaha mengganggu hubungannya dengan Alexander dan menimbulkan ketakutan dalam dirinya. Alya memutuskan untuk mengabaikan pesan itu, percaya pada Alexander dan semua yang telah ia ceritakan.Namun, rasa penasaran tetap ada. Mengapa masa lalu Alexander begitu dipenuhi teka-teki? Siapa yang b
Setelah percakapan yang berat itu, Alya dan Alexander memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda. Mereka sepakat untuk memberikan ruang satu sama lain untuk merenung, terutama setelah banyaknya ketegangan yang muncul karena masa lalu Alexander. Mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan waktu untuk berpikir dan menemukan kembali fondasi yang kuat dalam hubungan mereka.Beberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk pergi mengunjungi keluarganya di desa, jauh dari hiruk-pikuk kota. Ia merasa bahwa suasana yang tenang akan membantunya merenung dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Di sana, Alya berharap bisa menemukan ketenangan, sambil menyusun kembali perasaannya terhadap Alexander dan memahami seberapa kuat cintanya bisa bertahan dalam menghadapi tantangan ini.Di desa, Alya menghabiskan hari-hari dengan berjalan-jalan di alam terbuka, berbincang dengan keluarga, dan merenung. Namun, Alexander tetap ada di benaknya. Kenangan mereka bersama, ca
Alya melangkah mendekati Radit, sorot matanya tajam namun penuh harapan. "Kalau kau benar-benar ingin membantu, buktikan sekarang," katanya tegas.Radit mengangguk pelan, menelan ludah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan serangkaian pesan dari seseorang bernama Ares, salah satu nama yang juga tercatat dalam buku Samuel. "Ini orang yang selalu menghubungiku. Dia mengatur semuanya. Aku hanya perantara, Alya," katanya lirih.Alexander, yang masih menahan nyeri di bahunya, menyahut dengan suara serak, "Kalau begitu, kita gunakan dia untuk memancing Ares keluar. Tapi ingat, Radit... satu kesalahan kecil saja, dan aku tidak akan ragu menghentikanmu."Alya menyentuh lengan Alexander, mencoba meredam ketegangan. "Kita tidak punya pilihan lain, Alex. Kalau Radit mau bekerja sama, kita harus memberinya kesempatan."Radit memalingkan wajah, jelas merasa tertekan. "Aku tahu cara menghubungi Ares. Tapi kalau ini gagal, bukan cuma aku yang tamat, kalian
Pagi itu terasa lebih kelam dari biasanya. Langit mendung, dan udara dingin menusuk kulit. Alya duduk di sudut kamar hotel kecil tempat mereka menginap, menatap buku catatan Samuel yang kini terbuka di pangkuannya. Alexander berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan di bawah dengan gelisah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sejak pelarian semalam."Alex," suara Alya memecah keheningan. "Ada sesuatu yang aneh di sini."Alexander menoleh, meninggalkan jendela untuk duduk di sampingnya. Alya menunjuk salah satu halaman buku yang penuh dengan tulisan tangan rapi, namun di tengahnya ada sebuah nama yang tampak mencolok."Ini nama salah satu teman dekatku," katanya, suaranya bergetar. "Kenapa nama Radit ada di sini?"Alexander membaca halaman itu dengan saksama. Di samping nama Radit, ada catatan singkat yang berbunyi: 'Pembocor informasi. Penghubung utama.'"Radit? Apa kau yakin?" tanya Alexander dengan nada tajam."Aku tid
Mobil melaju cepat meninggalkan rumah tua itu, membelah jalan gelap di tengah malam. Alya duduk di kursi penumpang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Di luar, bayangan pepohonan melintas cepat, seakan ikut mengejar mereka. Di dalam pikirannya, nama Samuel Hartwell terus bergema, menyisakan rasa penasaran sekaligus kegelisahan."Kemana kita sekarang?" tanya Alya akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.Alexander tetap fokus pada jalan, rahangnya mengeras seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. "Ada satu tempat lagi yang harus kita periksa. Samuel pernah bekerja di sebuah galeri seni di kota ini. Jika kita beruntung, mungkin ada jejak yang ditinggalkannya di sana."Alya mengernyit. "Galeri seni? Itu terdengar... tidak biasa untuk seseorang yang kau bilang bagian dari organisasi besar."Alexander tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Samuel bukan hanya anggota biasa. Dia pernah menjadi kepala divisi intelije
Suara derit pintu tua itu menggema di rumah kosong. Udara dingin terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kayu lapuk yang melekat di setiap sudut ruangan. Alya berjalan pelan di belakang Alexander, tatapannya bergantian antara pria itu dan dinding-dinding rumah yang tampak seperti menyimpan ribuan cerita tak terucap."Apa yang kita cari di sini, Alex?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.Alexander tidak menjawab. Ia melangkah dengan pasti menuju lorong panjang di tengah rumah, di mana ujungnya terlihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu. Alya memperhatikan bagaimana tangan Alexander sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu itu."Apa ada sesuatu di sana?" desaknya, kini dengan nada sedikit panik.Alexander menoleh, tatapannya tajam namun sekaligus terlihat lelah. "Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu. Tapi kau harus berjanji, Alya. Apapun yang kau lihat atau dengar, jangan pernah menceritakannya pada siapa pun."Aly
Setelah malam penuh ketegangan di garasi, Alexander dan Alya kini berada di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Matahari sudah mulai terbit, tetapi rasa lelah dan kekhawatiran yang menyelimuti mereka masih begitu kental. Alya duduk di tepi ranjang, tatapannya terarah ke jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi membawa aroma rumput basah, tapi tidak ada ketenangan yang menyertainya."Berapa lama kita akan terus seperti ini?" Alya akhirnya membuka suara.Alexander, yang sedang membersihkan luka di tangannya dengan kain basah, menatapnya sekilas. "Sampai semuanya selesai.""Kau tahu itu bukan jawaban," Alya mendesah. "Kita berdua tahu bahwa orang-orang itu tidak akan berhenti hanya karena kita bersembunyi."Alexander menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di hadapan Alya. "Aku mencoba melindungimu, Alya. Tapi jika kau merasa ini terlalu berat, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin pergi."Kata-kata Alexander membuat Alya tertegu
Lorong sempit itu terasa semakin menyesakkan ketika langkah kaki berat mendekat. Alexander berdiri di depan Alya, tubuhnya tegang, siap menghadapi apa pun. Dari kegelapan, seorang pria bertubuh besar muncul, wajahnya terlihat keras dan dingin.“Alexander.” Suara pria itu rendah, mengancam. “Kita sudah lama menunggumu. Kau tak bisa lari lagi.”Alexander tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia meluncurkan pukulan yang berhasil membuat pria itu tersentak. Namun, pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Ia balas menyerang dengan kekuatan besar, memaksa Alexander mundur beberapa langkah.“Alya, pergi sekarang!” teriak Alexander sambil berusaha menahan serangan pria itu.Alya tidak bergerak. Matanya tertuju pada dua sosok lain yang muncul di ujung lorong. Mereka membawa senjata, membuat situasi semakin genting.“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” jawab Alya keras, namun Alexander memotongnya.“Lari, Alya! Aku menyusul!”Alya berlari, meskipun hatinya terasa berat. Langkahnya te
Perjalanan menuju Asia Tenggara bukanlah hal mudah. Dua hari setelah pertemuan dengan Vincent, Alya dan Alexander kini berada di sebuah kota kecil dekat perbatasan. Udara lembap dan aroma khas pasar tradisional menyambut kedatangan mereka. Warga sekitar tampak tak acuh terhadap dua orang asing yang berjalan cepat di antara gang-gang sempit. Namun bagi Alya, setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk."Kita ke mana sekarang?" bisik Alya sambil menyesuaikan topi yang sengaja ia kenakan untuk menyembunyikan wajah."Jalur bawah tanah itu tidak jauh dari sini. Vincent bilang lokasinya ada di gudang tua dekat pelabuhan," jawab Alexander, suara rendah namun tegas. Ia terus melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti.Mereka tiba di sebuah kawasan pelabuhan tua. Gudang-gudang berkarat berdiri kokoh di samping kapal-kapal kecil yang bersandar tanpa aktivitas. Beberapa pria lokal duduk di bawah pohon, melirik sekilas tapi tak terlalu peduli. Alexander berhenti di depan sebuah
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha