Beberapa hari setelah percakapan yang intens itu, Alya dan Alexander mulai merasa hubungan mereka memasuki tahap yang lebih kuat dan dewasa. Namun, bayangan masa lalu yang baru saja terungkap belum sepenuhnya hilang. Alya menyadari bahwa Alexander masih membawa beban yang berat di dalam dirinya, meskipun ia telah berusaha sekuat mungkin untuk melangkah ke depan bersama Alya.Suatu malam, Alya kembali menerima pesan dari nomor tak dikenal, kali ini hanya berisi satu kalimat singkat: "Berhati-hatilah, Alya. Masa lalu Alexander bisa lebih gelap daripada yang kau kira."Kali ini, peringatan itu membuat Alya tidak hanya merasa was-was, tetapi juga marah. Ia merasa bahwa ada seseorang di luar sana yang berusaha mengganggu hubungannya dengan Alexander dan menimbulkan ketakutan dalam dirinya. Alya memutuskan untuk mengabaikan pesan itu, percaya pada Alexander dan semua yang telah ia ceritakan.Namun, rasa penasaran tetap ada. Mengapa masa lalu Alexander begitu dipenuhi teka-teki? Siapa yang b
Setelah percakapan yang berat itu, Alya dan Alexander memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda. Mereka sepakat untuk memberikan ruang satu sama lain untuk merenung, terutama setelah banyaknya ketegangan yang muncul karena masa lalu Alexander. Mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan waktu untuk berpikir dan menemukan kembali fondasi yang kuat dalam hubungan mereka.Beberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk pergi mengunjungi keluarganya di desa, jauh dari hiruk-pikuk kota. Ia merasa bahwa suasana yang tenang akan membantunya merenung dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Di sana, Alya berharap bisa menemukan ketenangan, sambil menyusun kembali perasaannya terhadap Alexander dan memahami seberapa kuat cintanya bisa bertahan dalam menghadapi tantangan ini.Di desa, Alya menghabiskan hari-hari dengan berjalan-jalan di alam terbuka, berbincang dengan keluarga, dan merenung. Namun, Alexander tetap ada di benaknya. Kenangan mereka bersama, ca
Pagi itu, Alya merasa ada ketenangan yang berbeda. Meskipun masalah besar menunggu di depan mata, langkahnya terasa lebih pasti. Keputusan untuk mulai menyelidiki siapa yang mengirimkan pesan-pesan misterius itu membawa semangat baru, meski hati kecilnya masih dipenuhi kekhawatiran. Setelah percakapan semalam dengan Alexander, ia tahu bahwa mereka tidak akan bisa menghindari kenyataan selamanya.Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya sebelum berangkat. Ia tahu hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini, ia dan Alexander akan menggali lebih dalam, menyelami masa lalu yang selama ini disembunyikan. "Semoga saja kita bisa menemukan apa yang sebenarnya terjadi," gumam Alya pada dirinya sendiri.Saat ia keluar dari kamar, Alexander sudah berada di ruang tamu, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat semakin tegas. Tapi, meski penampilannya rapi dan penuh percaya diri, Alya bisa melihat kelelahan di wajahnya. Perjalanan mereka untuk menemukan kebenaran jelas tidak akan mudah, da
Setelah percakapan dengan Ethan, Alya dan Alexander semakin serius memikirkan langkah selanjutnya. Pesan misterius yang terus menghantui Alya kini tak bisa lagi mereka abaikan. Malam itu, Alexander menghubungi seorang detektif pribadi yang dikenal dapat menyelidiki tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.Keesokan harinya, saat Alexander bersiap pergi ke kantor, Alya menemuinya di ruang tamu.“Alex, boleh aku ikut? Mungkin, kalau aku ikut, kita bisa menemukan petunjuk lebih cepat,” ucap Alya, mencoba meyakinkan.Alexander memandang Alya dengan ragu. “Aku nggak mau kamu terlibat lebih jauh dalam masalah ini, Alya. Aku bisa mengatasinya sendiri.”Alya mendesah, menahan frustrasi yang mulai muncul. “Alex, ini juga menyangkut aku. Lagi pula, kalau kita ingin ini berhasil, aku harus tahu semua yang terjadi. Aku nggak mau terus dalam ketidaktahuan.”Melihat keteguhan Alya, Alexander akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi kamu harus janji tetap berada di belakangku.”Saat mereka tiba di kantor, Ale
Alexander sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi, berkomunikasi intens dengan Pak Arif yang memberi laporan terbaru tentang pencarian Raka. Pak Arif telah berusaha melacak keberadaan Raka melalui jaringan kenalannya, namun setiap kali mereka merasa sudah menemukan jejak, seolah-olah Raka tahu dan menghilang lagi.Alya, yang biasanya menunggu Alexander di luar ruang kerjanya saat dia sedang sibuk, kali ini memutuskan untuk masuk. Ia tahu betul bahwa suaminya sedang berada di bawah tekanan besar, dan ia ingin menjadi tempat sandaran meskipun Alexander terus menutup dirinya.“Sudah ada kabar?” tanya Alya pelan, berdiri di ambang pintu.Alexander mengangkat pandangannya dari ponsel dan menatapnya dengan lelah. “Belum,” jawabnya singkat. “Raka pintar. Dia tidak meninggalkan jejak yang mudah diikuti.”Alya berjalan mendekat, duduk di kursi di hadapan Alexander. “Apa menurutmu Raka benar-benar ingin membuat semuanya hancur? Bukankah kalian dulu sahabat?” tanyanya hati-hati.Alexander terd
Pagi itu, cuaca mendung dan sepi. Alexander duduk di ruang tamu rumahnya, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Setelah pertemuan dengan Raka kemarin, semuanya terasa begitu berat. Ia merasa seolah-olah tak ada jalan keluar dari labirin emosi yang mengikatnya. Setiap percakapan dengan Raka hanya menambah luka lama yang belum sembuh, dan perasaan bersalah itu semakin menekan dirinya.Alya yang baru saja keluar dari kamar tidur, mendekat dengan langkah ringan, menyadari betapa dalamnya pikiran suaminya. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di samping Alexander dan memeluknya dengan lembut. Keheningan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata apapun.“Alya…” kata Alexander pelan, suaranya penuh penyesalan. “Aku merasa aku sudah kehilangan segalanya. Raka, persahabatan kita, bahkan diri kita sendiri. Semua yang pernah kita bangun bersama terasa seperti pecahan kaca yang tak bisa disatukan lagi.”Alya menggenggam tangan Alexander, merasakan getaran ketegangan yang ada di tubuhnya
Seminggu setelah pertemuan yang emosional itu, Alexander mulai merasa hidupnya sedikit lebih ringan. Ia tidak lagi dihantui oleh rasa bersalah yang menyesakkan. Walaupun hubungannya dengan Raka belum sepenuhnya pulih, mereka setidaknya telah membuka pintu untuk dialog. Itu cukup untuk membuat Alexander merasa ada harapan.Namun, seperti biasa, hidup tidak pernah berjalan lurus. Pada pagi yang tampak tenang, Alexander menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab."Hallo, ini Alexander," katanya."Alex, ini aku, Andra." Suara di seberang terdengar berat, hampir seperti orang yang menahan emosi.Alexander terdiam. Andra adalah mantan rekan kerjanya yang dulu pernah terlibat dalam proyek besar yang akhirnya gagal total. Hubungan mereka tidak berakhir baik, terutama karena Alexander merasa Andra mengkhianatinya."Ada apa, Andra?" tanya Alexander dingin.Andra menghela napas. "Aku butuh bicara denganmu. Aku tahu ini tiba-tiba, tapi aku benar-benar mem
Alexander tidak pernah mengira bahwa pertemuannya kembali dengan Andra akan menjadi awal dari serangkaian kejadian yang mengguncang hidupnya. Hari-hari berikutnya, ia mulai terlibat dalam proyek Andra. Walaupun hatinya masih dipenuhi keraguan, Alexander mencoba memberikan keahliannya untuk membantu Andra memperbaiki rencana yang tampak penuh lubang itu.Namun, seperti biasa, tidak ada yang benar-benar sederhana.---Saat Alexander memeriksa dokumen-dokumen proyek, ia menemukan beberapa hal aneh. Ada anggaran yang terlalu besar untuk kebutuhan kecil, transaksi yang tidak jelas, dan mitra kerja yang namanya bahkan tidak ia kenal. Ia mencoba menahan dirinya untuk tidak langsung menyimpulkan yang terburuk, tetapi naluri bisnisnya berkata ada sesuatu yang salah."Ini terlalu berisiko," pikir Alexander suatu malam. Ia mencoba membahas ini dengan Andra pada pertemuan berikutnya."Andra," katanya sambil menunjuk ke dokumen yang terbuka di depannya, "ini tidak masuk akal. Kenapa kamu menyisihk
Alya melangkah mendekati Radit, sorot matanya tajam namun penuh harapan. "Kalau kau benar-benar ingin membantu, buktikan sekarang," katanya tegas.Radit mengangguk pelan, menelan ludah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan serangkaian pesan dari seseorang bernama Ares, salah satu nama yang juga tercatat dalam buku Samuel. "Ini orang yang selalu menghubungiku. Dia mengatur semuanya. Aku hanya perantara, Alya," katanya lirih.Alexander, yang masih menahan nyeri di bahunya, menyahut dengan suara serak, "Kalau begitu, kita gunakan dia untuk memancing Ares keluar. Tapi ingat, Radit... satu kesalahan kecil saja, dan aku tidak akan ragu menghentikanmu."Alya menyentuh lengan Alexander, mencoba meredam ketegangan. "Kita tidak punya pilihan lain, Alex. Kalau Radit mau bekerja sama, kita harus memberinya kesempatan."Radit memalingkan wajah, jelas merasa tertekan. "Aku tahu cara menghubungi Ares. Tapi kalau ini gagal, bukan cuma aku yang tamat, kalian
Pagi itu terasa lebih kelam dari biasanya. Langit mendung, dan udara dingin menusuk kulit. Alya duduk di sudut kamar hotel kecil tempat mereka menginap, menatap buku catatan Samuel yang kini terbuka di pangkuannya. Alexander berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan di bawah dengan gelisah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sejak pelarian semalam."Alex," suara Alya memecah keheningan. "Ada sesuatu yang aneh di sini."Alexander menoleh, meninggalkan jendela untuk duduk di sampingnya. Alya menunjuk salah satu halaman buku yang penuh dengan tulisan tangan rapi, namun di tengahnya ada sebuah nama yang tampak mencolok."Ini nama salah satu teman dekatku," katanya, suaranya bergetar. "Kenapa nama Radit ada di sini?"Alexander membaca halaman itu dengan saksama. Di samping nama Radit, ada catatan singkat yang berbunyi: 'Pembocor informasi. Penghubung utama.'"Radit? Apa kau yakin?" tanya Alexander dengan nada tajam."Aku tid
Mobil melaju cepat meninggalkan rumah tua itu, membelah jalan gelap di tengah malam. Alya duduk di kursi penumpang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Di luar, bayangan pepohonan melintas cepat, seakan ikut mengejar mereka. Di dalam pikirannya, nama Samuel Hartwell terus bergema, menyisakan rasa penasaran sekaligus kegelisahan."Kemana kita sekarang?" tanya Alya akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.Alexander tetap fokus pada jalan, rahangnya mengeras seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. "Ada satu tempat lagi yang harus kita periksa. Samuel pernah bekerja di sebuah galeri seni di kota ini. Jika kita beruntung, mungkin ada jejak yang ditinggalkannya di sana."Alya mengernyit. "Galeri seni? Itu terdengar... tidak biasa untuk seseorang yang kau bilang bagian dari organisasi besar."Alexander tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Samuel bukan hanya anggota biasa. Dia pernah menjadi kepala divisi intelije
Suara derit pintu tua itu menggema di rumah kosong. Udara dingin terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kayu lapuk yang melekat di setiap sudut ruangan. Alya berjalan pelan di belakang Alexander, tatapannya bergantian antara pria itu dan dinding-dinding rumah yang tampak seperti menyimpan ribuan cerita tak terucap."Apa yang kita cari di sini, Alex?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.Alexander tidak menjawab. Ia melangkah dengan pasti menuju lorong panjang di tengah rumah, di mana ujungnya terlihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu. Alya memperhatikan bagaimana tangan Alexander sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu itu."Apa ada sesuatu di sana?" desaknya, kini dengan nada sedikit panik.Alexander menoleh, tatapannya tajam namun sekaligus terlihat lelah. "Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu. Tapi kau harus berjanji, Alya. Apapun yang kau lihat atau dengar, jangan pernah menceritakannya pada siapa pun."Aly
Setelah malam penuh ketegangan di garasi, Alexander dan Alya kini berada di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Matahari sudah mulai terbit, tetapi rasa lelah dan kekhawatiran yang menyelimuti mereka masih begitu kental. Alya duduk di tepi ranjang, tatapannya terarah ke jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi membawa aroma rumput basah, tapi tidak ada ketenangan yang menyertainya."Berapa lama kita akan terus seperti ini?" Alya akhirnya membuka suara.Alexander, yang sedang membersihkan luka di tangannya dengan kain basah, menatapnya sekilas. "Sampai semuanya selesai.""Kau tahu itu bukan jawaban," Alya mendesah. "Kita berdua tahu bahwa orang-orang itu tidak akan berhenti hanya karena kita bersembunyi."Alexander menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di hadapan Alya. "Aku mencoba melindungimu, Alya. Tapi jika kau merasa ini terlalu berat, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin pergi."Kata-kata Alexander membuat Alya tertegu
Lorong sempit itu terasa semakin menyesakkan ketika langkah kaki berat mendekat. Alexander berdiri di depan Alya, tubuhnya tegang, siap menghadapi apa pun. Dari kegelapan, seorang pria bertubuh besar muncul, wajahnya terlihat keras dan dingin.“Alexander.” Suara pria itu rendah, mengancam. “Kita sudah lama menunggumu. Kau tak bisa lari lagi.”Alexander tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia meluncurkan pukulan yang berhasil membuat pria itu tersentak. Namun, pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Ia balas menyerang dengan kekuatan besar, memaksa Alexander mundur beberapa langkah.“Alya, pergi sekarang!” teriak Alexander sambil berusaha menahan serangan pria itu.Alya tidak bergerak. Matanya tertuju pada dua sosok lain yang muncul di ujung lorong. Mereka membawa senjata, membuat situasi semakin genting.“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” jawab Alya keras, namun Alexander memotongnya.“Lari, Alya! Aku menyusul!”Alya berlari, meskipun hatinya terasa berat. Langkahnya te
Perjalanan menuju Asia Tenggara bukanlah hal mudah. Dua hari setelah pertemuan dengan Vincent, Alya dan Alexander kini berada di sebuah kota kecil dekat perbatasan. Udara lembap dan aroma khas pasar tradisional menyambut kedatangan mereka. Warga sekitar tampak tak acuh terhadap dua orang asing yang berjalan cepat di antara gang-gang sempit. Namun bagi Alya, setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk."Kita ke mana sekarang?" bisik Alya sambil menyesuaikan topi yang sengaja ia kenakan untuk menyembunyikan wajah."Jalur bawah tanah itu tidak jauh dari sini. Vincent bilang lokasinya ada di gudang tua dekat pelabuhan," jawab Alexander, suara rendah namun tegas. Ia terus melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti.Mereka tiba di sebuah kawasan pelabuhan tua. Gudang-gudang berkarat berdiri kokoh di samping kapal-kapal kecil yang bersandar tanpa aktivitas. Beberapa pria lokal duduk di bawah pohon, melirik sekilas tapi tak terlalu peduli. Alexander berhenti di depan sebuah
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha