"Sebagai wanita yang punya malu dan tahu kalau dirinya pelakor, dia tidak akan searogan dan sombong itu memamerkan aibnya di hadapan orang banyak!" Ujarku dengan nafas memburu, aku mulai emosi dan kesal sekali hingga tidak mampu mengendalikan diriku, saking meluapnya amarah, napasku memburu dan rasanya wajah ini melepuh oleh hawa panas. Aku mulai berada di puncak emosi dan tak takut pada apapun. aku terus memupuk kesabaran dan diam saja sejak tadi tapi wanita itu terus saja menguji pengendalian diriku. Aku sungguh muak dengannya. Beberapa orang mendekati wanita itu dan membantu Dia bangkit, menjauhkan dia dariku yang sedang full energi dan emosi. Mereka mendudukkan rima yang ter batuk-batuk dan memegangi perutnya di sebuah bangku panjang yang diperuntukkan untuk pelanggan."Aku akan melaporkan ke kantor polisi dan memberitahu Mas Faisal bahwa kau sudah jahat sekali.""Oh ya? Kau pikir aku akan gemetar, meski dia mantan suamiku tapi aku tahu persis dia tidak akan menyalahkanku! Co
"Ayah! Ayah ingin melihat seseorang yang sudah kehilangan akalnya!" tanya Felicia sambil maju dan menabrakkan diri ke tubuh ayahnya yang jauh lebih tinggi dari dirinya."Hei, kau! Jangan melawan ayah!"Brak!Mas Faisal langsung mendorong putriku hingga terhempas ke bufet yang meyokong televisi, putriku terbelalak diperlakukan dengan kasar karena selama ini sebagai anak bungsu Dia sangat dimanjakan dan dielukan oleh Mas Faisal. Memang selama ini Felicia adalah anak yang paling cerdas dan cantik di antara ketiga putra dan putriku. Mantan suamiku sangat menyayanginya dan tidak pernah sedikitpun memarahinya."Ayah!!!" Felicia berteriak dan tidak terima dengan perlakuan Mas Faisal sementara mantan suamiku sendiri terlihat terkejut sendiri dengan perbuatannya kepada putrinya.Mas Faisal yang terlihat menyesal berusaha untuk mendekat dan minta maaf namun putriku yang sudah terlanjur jijik kepada ayahnya langsung menepiskan tangan dan menjauh."Dengan kedatangan ayah ke rumah ini dan marah-
Kupeluk putriku dengan penuh perasaan lalu tetap berusaha untuk menenangkan dia. Rina dan Heri juga begitu prihatin dengan adiknya yang rela menjadikan dirinya sebagai tumbal di hadapan ayahnya meski itu tidak benar-benar terjadi."Ayah benar benar keterlaluan," gumam Rena."Iya, betul, aku kecewa pada tindakan ayah," ujar Heri sambil memandangku dengan sedih."Ayo bangun, mari kita bersihkan bekas bensin dari ruangan ini," ujarku sambil mengusap air mata dan membangunkan anakku yang masih berduka.Kuantar felicia ke kamarnya lalu kuminta ia mandi, kusiapkan pakaian di atas ranjang lalu aku pun beranjak membersihkan diri. Kedua anakku yang lain sibuk membereskan bekas bensin dan barang barang yang pecah. Aku tercenung dan terdiam melihat pemandangan rumah dari balkon lantai dua. Dulu, rumahku adalah surgaku, tempat terbaik kami untuk pulang dan menenangkan perasaan. Sekarang semuanya sudah beda, hawanya suram, sepi dan tidak lagi tentram. Perasaan yang ada selalu was was dan berkecamu
Kemudian semuanya berlanjut seperti normal, meski ada kendala saat aku kekurangan uang belanja atau anak-anak yang harus menekan keinginannya untuk membeli sesuatu tapi kami mulai belajar tentang kesederhanaan dan arti kebersamaan. Kami mulai hidup apa adanya dan menikmati makanan dengan bersyukur di penghujung hari.Satu kebiasaan yang tidak pernah hilang di rumah kami adalah selalu makan malam bersama karena di momen itu kami akan bercerita dan curhat juga meminta pendapat dan diskusi dengan anggota keluarga yang lain.Seperti Malam ini aku dan dan ketiga anakku yang baru selesai mandi duduk di meja makan sambil menikmati makanan kami. Aroma hidangan mengepul sedap dan menggugah selera sehingga membuat Rena dan Felicia begitu bersemangat makan. Heri anak sulungku yang tidak terlalu suka pedas hanya tersenyum melihat adiknya terus mendesis kepedasan."Makanya jangan rakus, cabe aja dimakan kayak gitu," ujar Heri."Enak tahu, kakak ga tahu aja rasanya ...""Aku memang tidak bisa mera
"Eh, euhm, se-sebaikmya saya masuk..." Aku ingin menghindari percakapan canggung itu karena merasa belum siap mental.Aku belum menyiapkan diriku untuk tertarik kepada seorang lelaki mengingat diri ini baru saja ditinggalkan oleh suami. Bukannya menolak untuk move on dan melangkah ke depan, aku hanya butuh waktu untuk menghilangkan luka yang ada di hatiku kemudian membuka lebaran baru dengan orang lain."Kenapa Mutia menjadi gugup dan menghindari saya?"Aduh, kini dia menyebut namaku dengan suara yang begitu lembut hingga aku benar-benar gemetar."Bu-bukan begitu, Mas. Ehm, sa-saya merasa tidak enak saja dengan orang yang ada di dalam karena kita berdua duduk di luar sini.""Bukannya ayahnya Mutia yang meminta saya untuk mengajak kamu duduk ke teras?""Be-benar juga, ta-tapi ..." Mendadak mulutku ganggu tenggorokanku tercekat dan aku yang biasanya bicara lantang dan tegas tiba-tiba tidak mampu mengatakan apa-apa. Entah karena aku terpukau oleh pesona mas Rusdi ataukah aura dirinya
Aku tidak bisa mengatakan apapun lagi selain hanya mampu berdiri dan mengusap air mata sementara lelaki itu beringsut kemeja kasir lalu membayar semua roti yang tadi jatuh sekaligus roti yang kupegang di tanganku."Saya bayar roti ibu itu juga," ujarnya pada kasir.Aku menoleh dan menggeleng cepat tanda bahwa aku tidak menerima tawaran itu. "Tidak apa apa, toh itu rotinya untuk anak anak," ujarnya sambil menyerahkan struk pembayaran."Tidak usah bersikap baik Mas.""Aku hanya mencoba agar kita tidak bermusuhan lagi."Hidup kami mulai membaik, perasaan yang tadinya bergejolak mulai mereda dan kami sudah berdamai dengan kenyataan. Di setiap waktuku aku selalu berdoa semoga kita tidak bertemu tapi entah kenapa Tuhan kembali mempertemukan kita. Maaf, saya harus pergi," ujarku."Tunggu Mutia!""Apa lagi?""Aku belum mengirimkan uang belanja untuk anak-anak bulan ini, jadi kebetulan aku membawa uang cash, aku ingin langsung memberikannya padamu."Seandainya itu uang ditujukan untuk nafkah
Tentu aku sangat terkejut dengan kedatangan lelaki itu karena kami saat itu sedang berada di moment bahagia dan penuh keharuan. Melihat ekspresi wajahnya yang sedikit kebingungan dan sinis aku jadi merasa tidak nyaman."Ada apa?" tanyaku. Pikiranku mendadak kosong karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Seharusnya aku tidak perlu menanyakan ada apa dia kemari Karena sejujurnya rumah ini adalah hasil keringatnya jadi dia masih berhak untuk datang kapanpun dengan alasan ingin bertemu anaknya."Maaf kalau aku datang di waktu yang tidak tepat.""Iya, tidak apa apa, langsung saja kau ada perlu apa?""Sebaiknya aku pulang saja," ujarnya sambil melirik cincin yang ada di jariku. Dia terlihat sedih dan kecil hati lebih saat memandang Mas Rusdi yang nampak sumringah dan bahagia bersama keluarganya."Oh, baiklah." Kupersilahkan dia untuk pergi karena aku tidak punya alasan untuk menahannya, apa pentingnya dia mengunjungiku di malam-malam begini setelah percakapan kami di toko kue sore
Alhamdulillah hari-hariku mulai ceria dan bahagia, aku beruntung mengenal orang yang baik dan sudah diikat dengan tali kasih oleh keluarganya yang juga baik. Ini hari-hariku tidak sesepi dulu karena selalu ada yang mengirimkan pesan untuk sekedar menanyakan kabar atau mengingatkan bahwa aku harus hati-hati di jalan.Aku sedang sibuk bekerja, saat tiba-tiba istri mas Faisal datang ke hadapanku dan berdiri tanpa ekspresi apapun."Iya, selamat datang," ucapku dengan senyum ramah, senyum penuh kepalsuan yang sengaja aku tunjukkan dihadapannya padahal aku benar-benar muak dan benci."Aku ingin bicara!""Maaf aku sedang kerja," jawabku tak kalah dingin."Aku sudah bicara dengan puji bosmu, dia mengizinkanku.""Atas wewenang apa kamu memaksaku, kau pikir kau siapa?!""Mbak, aku hanya ingin minta maaf.""Maaf apa?""Atas sikapku sejak kemarin.""Oh, itu ... Ya udah, aku maafin, silakan pergi," jawabku sambil menulis nota Emas dengan cuek. Sejujurnya aku tidak pernah memaafkan dia tapi supaya