Kupeluk putriku dengan penuh perasaan lalu tetap berusaha untuk menenangkan dia. Rina dan Heri juga begitu prihatin dengan adiknya yang rela menjadikan dirinya sebagai tumbal di hadapan ayahnya meski itu tidak benar-benar terjadi."Ayah benar benar keterlaluan," gumam Rena."Iya, betul, aku kecewa pada tindakan ayah," ujar Heri sambil memandangku dengan sedih."Ayo bangun, mari kita bersihkan bekas bensin dari ruangan ini," ujarku sambil mengusap air mata dan membangunkan anakku yang masih berduka.Kuantar felicia ke kamarnya lalu kuminta ia mandi, kusiapkan pakaian di atas ranjang lalu aku pun beranjak membersihkan diri. Kedua anakku yang lain sibuk membereskan bekas bensin dan barang barang yang pecah. Aku tercenung dan terdiam melihat pemandangan rumah dari balkon lantai dua. Dulu, rumahku adalah surgaku, tempat terbaik kami untuk pulang dan menenangkan perasaan. Sekarang semuanya sudah beda, hawanya suram, sepi dan tidak lagi tentram. Perasaan yang ada selalu was was dan berkecamu
Kemudian semuanya berlanjut seperti normal, meski ada kendala saat aku kekurangan uang belanja atau anak-anak yang harus menekan keinginannya untuk membeli sesuatu tapi kami mulai belajar tentang kesederhanaan dan arti kebersamaan. Kami mulai hidup apa adanya dan menikmati makanan dengan bersyukur di penghujung hari.Satu kebiasaan yang tidak pernah hilang di rumah kami adalah selalu makan malam bersama karena di momen itu kami akan bercerita dan curhat juga meminta pendapat dan diskusi dengan anggota keluarga yang lain.Seperti Malam ini aku dan dan ketiga anakku yang baru selesai mandi duduk di meja makan sambil menikmati makanan kami. Aroma hidangan mengepul sedap dan menggugah selera sehingga membuat Rena dan Felicia begitu bersemangat makan. Heri anak sulungku yang tidak terlalu suka pedas hanya tersenyum melihat adiknya terus mendesis kepedasan."Makanya jangan rakus, cabe aja dimakan kayak gitu," ujar Heri."Enak tahu, kakak ga tahu aja rasanya ...""Aku memang tidak bisa mera
"Eh, euhm, se-sebaikmya saya masuk..." Aku ingin menghindari percakapan canggung itu karena merasa belum siap mental.Aku belum menyiapkan diriku untuk tertarik kepada seorang lelaki mengingat diri ini baru saja ditinggalkan oleh suami. Bukannya menolak untuk move on dan melangkah ke depan, aku hanya butuh waktu untuk menghilangkan luka yang ada di hatiku kemudian membuka lebaran baru dengan orang lain."Kenapa Mutia menjadi gugup dan menghindari saya?"Aduh, kini dia menyebut namaku dengan suara yang begitu lembut hingga aku benar-benar gemetar."Bu-bukan begitu, Mas. Ehm, sa-saya merasa tidak enak saja dengan orang yang ada di dalam karena kita berdua duduk di luar sini.""Bukannya ayahnya Mutia yang meminta saya untuk mengajak kamu duduk ke teras?""Be-benar juga, ta-tapi ..." Mendadak mulutku ganggu tenggorokanku tercekat dan aku yang biasanya bicara lantang dan tegas tiba-tiba tidak mampu mengatakan apa-apa. Entah karena aku terpukau oleh pesona mas Rusdi ataukah aura dirinya
Aku tidak bisa mengatakan apapun lagi selain hanya mampu berdiri dan mengusap air mata sementara lelaki itu beringsut kemeja kasir lalu membayar semua roti yang tadi jatuh sekaligus roti yang kupegang di tanganku."Saya bayar roti ibu itu juga," ujarnya pada kasir.Aku menoleh dan menggeleng cepat tanda bahwa aku tidak menerima tawaran itu. "Tidak apa apa, toh itu rotinya untuk anak anak," ujarnya sambil menyerahkan struk pembayaran."Tidak usah bersikap baik Mas.""Aku hanya mencoba agar kita tidak bermusuhan lagi."Hidup kami mulai membaik, perasaan yang tadinya bergejolak mulai mereda dan kami sudah berdamai dengan kenyataan. Di setiap waktuku aku selalu berdoa semoga kita tidak bertemu tapi entah kenapa Tuhan kembali mempertemukan kita. Maaf, saya harus pergi," ujarku."Tunggu Mutia!""Apa lagi?""Aku belum mengirimkan uang belanja untuk anak-anak bulan ini, jadi kebetulan aku membawa uang cash, aku ingin langsung memberikannya padamu."Seandainya itu uang ditujukan untuk nafkah
Tentu aku sangat terkejut dengan kedatangan lelaki itu karena kami saat itu sedang berada di moment bahagia dan penuh keharuan. Melihat ekspresi wajahnya yang sedikit kebingungan dan sinis aku jadi merasa tidak nyaman."Ada apa?" tanyaku. Pikiranku mendadak kosong karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Seharusnya aku tidak perlu menanyakan ada apa dia kemari Karena sejujurnya rumah ini adalah hasil keringatnya jadi dia masih berhak untuk datang kapanpun dengan alasan ingin bertemu anaknya."Maaf kalau aku datang di waktu yang tidak tepat.""Iya, tidak apa apa, langsung saja kau ada perlu apa?""Sebaiknya aku pulang saja," ujarnya sambil melirik cincin yang ada di jariku. Dia terlihat sedih dan kecil hati lebih saat memandang Mas Rusdi yang nampak sumringah dan bahagia bersama keluarganya."Oh, baiklah." Kupersilahkan dia untuk pergi karena aku tidak punya alasan untuk menahannya, apa pentingnya dia mengunjungiku di malam-malam begini setelah percakapan kami di toko kue sore
Alhamdulillah hari-hariku mulai ceria dan bahagia, aku beruntung mengenal orang yang baik dan sudah diikat dengan tali kasih oleh keluarganya yang juga baik. Ini hari-hariku tidak sesepi dulu karena selalu ada yang mengirimkan pesan untuk sekedar menanyakan kabar atau mengingatkan bahwa aku harus hati-hati di jalan.Aku sedang sibuk bekerja, saat tiba-tiba istri mas Faisal datang ke hadapanku dan berdiri tanpa ekspresi apapun."Iya, selamat datang," ucapku dengan senyum ramah, senyum penuh kepalsuan yang sengaja aku tunjukkan dihadapannya padahal aku benar-benar muak dan benci."Aku ingin bicara!""Maaf aku sedang kerja," jawabku tak kalah dingin."Aku sudah bicara dengan puji bosmu, dia mengizinkanku.""Atas wewenang apa kamu memaksaku, kau pikir kau siapa?!""Mbak, aku hanya ingin minta maaf.""Maaf apa?""Atas sikapku sejak kemarin.""Oh, itu ... Ya udah, aku maafin, silakan pergi," jawabku sambil menulis nota Emas dengan cuek. Sejujurnya aku tidak pernah memaafkan dia tapi supaya
"Ibu?" ucapanku masih tertahan di udara saat ibu mertua menatapku dengan penuh kebencian dan dendam."Aku tahu kalau Rima datang dalam keluarga ini setelah dirimu, bahkan dia pun tahu diri, kalau dia adalah istri kedua dan dia selalu mengalah atas semua kepentinganmu. Dia tahu persis bahwa kau pasti ingin menguasai Faisal untuk dirimu sendiri, karenanya, selama 20 tahun aku mencegah Rima untuk timbul di hadapanmu, aku melarangnya datang di hari pertama idul Fitri agar tidak berjumpa denganmu dan anak-anakmu, aku selalu melarangnya datang di semua momen penting keluarga, apa kau tahu apa yang dia rasakan selama 20 tahun lebih? rasa tertolak!"Ibu mertua menatapku sambil menunjukkan jemarinya ke wajahku."Dan kau, sebagai istri pertama yang selalu dimuliakan bahkan selalu diutamakan oleh seluruh keluarga, kami selalu mementingkan dirimu, kami selalu berusaha untuk menjaga perasaan dan martabatmu. Tidak bisakah kau sekali saja berterima kasih dan tidak membuat keriuhan apalagi sampai m
Melihat rima dan bunda yang terperangah, kemudian melihatku yang menangis, ayah mertua langsung paham apa yang terjadi bahwa kami baru saja bertengkar."Ada apa ini?""Ayah ... Ayah tahu bahwa seumur hidup aku tidak pernah ingin membuat masalah di dalam keluarga. Maaf karena aku berada di puncak ketidak sabaranku lagi. Maaf, karena aku sudah tidak sanggup menerima penghinaan ini," ucapku sambil mengusap wajah lalu berlalu dari hadapan mereka semua."Ini sertifikat kan? Kok robek begitu!" Ayah mertua tentu saja marah melihat surat propertinya yang sudah tercabik-cabik dan menjadi potongan kecil-kecil berhamburan di lantai."Wanita itu merobeknya!" jawab Rima."Lho kok bisa?!""Ibu sudah melemparnya ke wajahku sebagai bentuk penghinaannya atas perlawananku kepada menantu barunya. Dia tidak suka bahwa aku telah mencemooh istri Faisal, jadi ibu gunakan sertifikat itu untuk melecehkan diriku!""Lalu kau merobeknya?""Iya, karena tidak sepantasnya seseorang melakukan itu untuk merendahka