Share

Friend's - 4

“Apa?” Fernanda menjawab tanpa sadar. Matanya terbelalak kaget, jemarinya meremas ujung blazer yang ia kenakan. Reaksinya membuat Daniel tersenyum, sangat menggemaskan untuk ukuran seorang wanita dewasa.

“Jangan kaget begitu, hanya becanda. Ungkapan cinta selalu membuatmu kaget.”

“Daniel..."

”Aku tahu, hubungan kita hanya kontak fisik. Tanpa cinta, tanpa komitmen. Aku tahu, Nanda." Daniel mengangkat tangannya.

Berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri perempuan yang duduk termangu di depannya. Fernanda menatap Daniel dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Dengan lembut, Daniel meraih tangan Fernanda dan mengecup telapak tangan perempuan itu.

”Aku berharap, kamu mau mempertimbangkan perasaanku.” Daniel meremas lembut jemari Fernanda dalam genggamannya.

Fernanda memejamkan mata, merasakan ketidaknyamanan dari dalam hati. Sebagian dirinya menikmati sentuhan dan ucapan lembut Daniel, namun sebagian lagi seolah membatasi dirinya untuk membuka diri lebih jauh lagi dalam hubungan ini. la merasa bersalah pada Daniel yang telah begitu baik padanya, sedangkan ia tak pernah bisa membalas kebaikan laki-laki itu.

“Daniel, kamu tahu kan? Aku sedang sibuk membangun perusahaan."

”Aku tahu kamu sedang bekerja keras. Aku tidak memintamu berhenti.”

Daniel membelai rambut panjang Fernanda yang tergerai indah dan turun ke punggung perempuan itu. Siang ini, Fernanda memakai setelan blazer biru Iaut dengan kemeja satin putih sebagai dalaman. Terlihat begitu menawan, feminim namun memberikan kesan tangguh sekaligus.

Daniel sadar, Fernanda adalah satu-satunya harapan dan tumpuan kedua orangtuanya dalam meneruskan usaha keluarga mereka ini. Papanya telah mendidik Fernanda dengan sangat baik, hingga dalam usia yang relatif muda ia sudah mampu mengendalikan Perusahaan yang dirintis oleh Papanya.

“Aku juga tahu, kamu masih belum bisa melupakan Evan.”

Begitu saja nama terlarang itu meluncur dari bibir Daniel. Ia tahu tidak seharusnya ia menyebutkan nama itu. Satu nama yang telah merubah Fernanda hingga menjadi pribadi yang sulit ditembus oleh Daniel. Salah memang, tapi sudah terlambat.

Saat nama Evan disebut, punggung Fernanda mengeras. Dengan geram ia menepiskan tangan Daniel di atas punggunya dan bangkit dari sofa. la berdiri marah di hadapan Iaki-laki berkacamata yang selama beberapa bulan ini selalu menemaninya.

“Kenapa kamu mengungkit-ungkit soal itu?”

Daniel menggeleng. “Nggak ada maksud apa-apa. Aku hanya bertanya tentang kenyataan yang memang aku sudah tahu kebenarannya.”

Fernanda menghembuskan napas panjang. la merasa kesal, marah, tapi juga kecewa saat orang lain mengkaitkan dirinya dengan Evan. Baginya Evan adalah masa lalunya, dan hanya dia yang berhak mengungkit tentang laki-laki itu. la sudah berusaha mengubur dalam-dalam kenangannya bersama sang mantan tunangan, mencoba menutup luka. Dan kini, perkataan Daniel seperti menggali luka lama.

Seakan belum kering luka yang ditorehkan mantan tunangannya, kini Daniel menyiramkan garam dengan mengungkit kembali kenangan dengan sang mantan tunangan. Beberapa kali Fernanda menarik nafas panjangnya sebelum menjawab Daniel.

”Aku sudah melupakannya,” desahnya pelan. Dengan mata menatap meja kerjanya yang berada di ujung ruangan. Sengaja demikian, karena ia tidak mau ada kontak mata dengan Daniel.

“Benarkah? Aku tak melihat itu.”

Fernanda mengernyit, menatap Daniel yang memandangnya tajam dari balik Iensa kacamata. “Maksudmu apa berkata begitu?”

la tak beranjak dari tempatnya berdiri, saat Daniel mendekat. Iris keduanya beradu dalam satu garis lurus. Bisa dia rasakan napas berat laki-laki itu di telinganya, saat mereka berdekatan dengan tubuh menempel satu sama lain.

“Fernanda, siapa yang ingin kamu bohongi?” bisik Daniel dengan mulut menggigiti telinga Fernanda.

Seketika, rasa menggelenyar menjalari tubuh Fernanda. "Daniel, ini di kantor,” bisiknya lemah.

Ya, Fernanda memang selemah itu pada sentuhan Daniel. Sekalipun hatinya berusaha menolak namun respon tubuhnya tidak demikian. Bulu-bulu halus di lehar dan tengkuknya mulai meremang, saat sentuhan Daniel menjadi makin intens.

”Aku tahu ini di mana, nggak usah kamu ingatkan,” ucap Daniel dengan nada sensual yang makin membuat darah Fernanda berdesir hebat.

Dengan satu sentakan kecil, Daniel mengangkat dagu Fernanda. Tanpa aba-aba ia mencium bibir perempuan itu, melumat penuh gairah dan mengisap bibir Fernanda dengan kuat. Menyesapi setiap rasa dan inci bibir perempuan itu. la tak peduli meski Fernanda berusaha menghindar pada awalnya, karena beberapa detik berikutnya justru Fernanda sendiri yang memberikan respon atas setiap sentuhannya.

Setelah beberapa saat ia melepaskan dagu Fernanda. Membelai lembut bibir perempuan itu dengan ujung ibu jarinya. Bibit Fernanda yang memang sudah berwarna merah alami, merekah karena baru saja berciuman panas dengan Daniel.

“Tubuhmu, selalu bereaksi dengan tubuhku. Tapi, tidak hatimu," ujar Daniel dengan lembut.

Dengan perkataan terakhir, Daniel meninggalkan kantor Fernanda. Langkahnya mantap menuju pintu ruangan Fernanda. Membuat perempuan itu berdiri gamang dengan perasaan yang mengambang. Kesadarannya belum kembali sepenuhnya setelah mendapatkan ciuman lembut nan panas dari Daniel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status