Share

Friend's - 6

“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?” Tiba-tiba Julia berteriak, sambil mengedip ke arah Daniel.

Seketika gelak tawa terdengar di sekeliling meja.

”Aku takut, bukan seleramu, Julia,” jawab Daniel enteng.

“Wah, dari dulu aku selalu suka Iaki-laki berkacamata. Dan, itu termasuk kamu.”

"Ciee! Udah jadian kalian.” Suara menyemangati membuat riuh suasana.

Fernanda mengulum senyum, melihat Daniel tertawa Iirih karena digoda Julia. Mereka semua tahu, jika dari dulu Julia memendam perasaan pada Daniel.

“Waah, terima kasih lo. Tapi, aku takut tak mampu membiayai hidupmu yang jetset!” Daniel menjawab diplomatis. Dengan mata melirik Fernanda yang asyik menyantap steaknya. Diam-diam ia merasa senang, saat melihat wanita itu makan dengan lahap.

”Aku akan mengejarmu, Daniel. Camkan itu!” Julia berkata setengah mengancam.

Fernanda mengulum senyum, masih menunduk di atas piringnya. Tanpa sadar ia tertawa lirih, mendengar rayuan-rayuan yang dilontarkan Julia untuk Daniel. Hingga sebuah pertanyaan menghentikan tawanya.

”Bagaimana sama kabar mantan tunanganmu? Aku dengar anaknya dua sekarang." Julia bertanya riang.

Fernanda yang sebelumnya sedang memegang pisau dan garpu, kini terdiam. Peralatan makan mengambang di udara. Obrolan yang semula terdengar seru pun terhenti. la menunduk, saat merasa semua mata memandangnya.

“Oh, ayolah. Fernanda bukan tipe cewek yang mudah remuk gitu aja.” Anis, perempuan dengan rambut disanggul berkata sambil tertawa. “Biar saja Evan menikahi pacarnya. Fernanda akan mendapatkan laki-laki lain.”

Julia mengangguk, diikuti dua temannya yang lain.

”Cuma satu aja masalahnya, malu. Siapa sih yang nggak malu, kalau kita udah tunangan di hotel mewah dan ditinggal begitu saja demi perempuan dari masa lalu?”

“Brengsek emang Si Evan. Bisa-bisanya memilih gembel dari pada Fernanda.”

Berbagai guMamam dan celaan kini terdengar kembali. Semua percakapan bergulir menjadi Evan, Renata, dan dirinya. Fernanda merasa tenggorokannya tercekat. Daging yang semula terasa enak dan gurih di lidah, kini terasa hampar dan alot bagaikan karet. Dengan gemetar ia menyingkirkan piring dan peralatan makan. Mengabaikan perutnya yang mual, ia meneguk kopi demi untuk membantunya bersikap tenang.

“Evan memang brengsek!”

”Kasihan Fernanda, sudah dibuat malu!”

Semua memaki, menggerutu. Mengumpat Evan dan merendahkan Renata.

"Apa sih, hebatnya cewek itu. Sampai Evan harus milih dia dari pada Nanda.”

”Mungkin karena rasa kasihan saja.”

Tak tahan lagi, Fernanda meletakkan cangkir dan bangkit dari kursi. Berpamitan ingin ke toilet. Sesampainya di bilik kamar mandi, ia muntah-muntah. Menumpahkan semua makanan yang baru saja ia santap ke dalam kloset. Setelah beberapa saat dan yakin jika makanannya telah keluar tanpa sisa, ia bangkit dengan gemetar. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.

Di depan cermin, ia membasuh wajah dan mengelap dengan tisu. Menatap bayangannya di cermin dengan wajah yang terlihat makin tirus. Sepertinya, apa yang dikatakan sang Mama ada benarnya. Beberapa hari lalu, ia ditegur karena dilihat Iebih kurus.

Fernanda menarik napas, menyesali diri karena percakapan yang semula menyenangkan, berubah saat nama Evan disebut. la bisa melihat, semua orang merasa kasihan padanya. Sebagai perempuan yang tak diinginkan. Mengabaikan rasa dingin di hati, ia keluar dari toilet. Dengan ketenangan yang dipaksakan, akan menghadapi kembali teman-temannya.

“Kamu baik-baik saja?"

Fernanda terlonjak, saat suara teguran terdengar dari samping.

"Iya, aku baik-baik saja.” Fernanda tersenyum, menjawab pertanyaan Iaki-Iaki berkacamata yang menatapnya prihatin. "jangan menatapku seperti itu, Daniel. Aku sehat!" sentaknya kesal.

“Wajahmu pucat dan sepertinya kamu gemetar. Apa muntah lagi?”

Fernanda memejamkan mata lalu menangguk. ”Sedikit."

”Mau banyak atau sedikit, tetap saja itu muntah. Ayo, kita pamitan pulang!”

Fernanda membuka matanya. “Kenapa? Aku masih mau di sini?”

Daniel mengernyit. ”Benarkah? Setelah kejadian tadi?”

Ketidakyakinan dari perkataan Daniel membuat Fernanda kesal. ”Tentu saja, aku bisa atasi mereka. Aku bukan anak kemarin sore yang nggak pernah hadapi situasi sulit sebelumnya."

“Baiklah, aku tak memaksa asalkan kamu tetap tenang. Jangan terpengaruh omongan apa pun.”

Tawa nyaring keluar dari mulut Fernanda, ia menyibakkan rambutnya ke belakang. ”Kenapa? Kamu takut aku akan marah dan mengamuk?”

Daniel menggeleng, memandang prihatan dari balik Iensa kacamatanya. “Lebih baik kalau kamu mengamuk, dari pada menangis.” Ia menggeser tubuh, saat seorang laki-Iaki hendak masuk ke toilet dan rnelewatinya.

Fernanda terdiam, mengarnati laki-laki berkacamata yang berdiri rnengkuatirkannya. Entah kenapa, hal itu menyentuh perasaannya. la mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk lengan Daniel.

"I'm fine, don’t worry to much. Percaya, aku bisa atasi semua masalahku sendiri.” Ia melangkah gemulai menuju tempatnya semula, mengabaikan lututnya yang gemetar lemas dan mulutnya yang kini terasa pahit dan kering. Langkahnya terhenti, saat terdengar suara Julia yang cukup keras didengar.

“Kalau aku jadi Fernanda, setelah dicampakkan begitu saja, Iebih baik aku bersenang-senang. Meniduri banyak laki-laki dan pindah negara.”

Ucapannya diberi anggukan setuju di sekeliling meja.

“Untuk menghilangkan rasa malu.”

“lyaa, memang malu kalau dicampakkan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status