“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?” Tiba-tiba Julia berteriak, sambil mengedip ke arah Daniel.
Seketika gelak tawa terdengar di sekeliling meja.
”Aku takut, bukan seleramu, Julia,” jawab Daniel enteng.
“Wah, dari dulu aku selalu suka Iaki-laki berkacamata. Dan, itu termasuk kamu.”
"Ciee! Udah jadian kalian.” Suara menyemangati membuat riuh suasana.
Fernanda mengulum senyum, melihat Daniel tertawa Iirih karena digoda Julia. Mereka semua tahu, jika dari dulu Julia memendam perasaan pada Daniel.
“Waah, terima kasih lo. Tapi, aku takut tak mampu membiayai hidupmu yang jetset!” Daniel menjawab diplomatis. Dengan mata melirik Fernanda yang asyik menyantap steaknya. Diam-diam ia merasa senang, saat melihat wanita itu makan dengan lahap.
”Aku akan mengejarmu, Daniel. Camkan itu!” Julia berkata setengah mengancam.
Fernanda mengulum senyum, masih menunduk di atas piringnya. Tanpa sadar ia tertawa lirih, mendengar rayuan-rayuan yang dilontarkan Julia untuk Daniel. Hingga sebuah pertanyaan menghentikan tawanya.
”Bagaimana sama kabar mantan tunanganmu? Aku dengar anaknya dua sekarang." Julia bertanya riang.
Fernanda yang sebelumnya sedang memegang pisau dan garpu, kini terdiam. Peralatan makan mengambang di udara. Obrolan yang semula terdengar seru pun terhenti. la menunduk, saat merasa semua mata memandangnya.
“Oh, ayolah. Fernanda bukan tipe cewek yang mudah remuk gitu aja.” Anis, perempuan dengan rambut disanggul berkata sambil tertawa. “Biar saja Evan menikahi pacarnya. Fernanda akan mendapatkan laki-laki lain.”
Julia mengangguk, diikuti dua temannya yang lain.
”Cuma satu aja masalahnya, malu. Siapa sih yang nggak malu, kalau kita udah tunangan di hotel mewah dan ditinggal begitu saja demi perempuan dari masa lalu?”
“Brengsek emang Si Evan. Bisa-bisanya memilih gembel dari pada Fernanda.”
Berbagai guMamam dan celaan kini terdengar kembali. Semua percakapan bergulir menjadi Evan, Renata, dan dirinya. Fernanda merasa tenggorokannya tercekat. Daging yang semula terasa enak dan gurih di lidah, kini terasa hampar dan alot bagaikan karet. Dengan gemetar ia menyingkirkan piring dan peralatan makan. Mengabaikan perutnya yang mual, ia meneguk kopi demi untuk membantunya bersikap tenang.
“Evan memang brengsek!”
”Kasihan Fernanda, sudah dibuat malu!”
Semua memaki, menggerutu. Mengumpat Evan dan merendahkan Renata.
"Apa sih, hebatnya cewek itu. Sampai Evan harus milih dia dari pada Nanda.”
”Mungkin karena rasa kasihan saja.”
Tak tahan lagi, Fernanda meletakkan cangkir dan bangkit dari kursi. Berpamitan ingin ke toilet. Sesampainya di bilik kamar mandi, ia muntah-muntah. Menumpahkan semua makanan yang baru saja ia santap ke dalam kloset. Setelah beberapa saat dan yakin jika makanannya telah keluar tanpa sisa, ia bangkit dengan gemetar. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Di depan cermin, ia membasuh wajah dan mengelap dengan tisu. Menatap bayangannya di cermin dengan wajah yang terlihat makin tirus. Sepertinya, apa yang dikatakan sang Mama ada benarnya. Beberapa hari lalu, ia ditegur karena dilihat Iebih kurus.
Fernanda menarik napas, menyesali diri karena percakapan yang semula menyenangkan, berubah saat nama Evan disebut. la bisa melihat, semua orang merasa kasihan padanya. Sebagai perempuan yang tak diinginkan. Mengabaikan rasa dingin di hati, ia keluar dari toilet. Dengan ketenangan yang dipaksakan, akan menghadapi kembali teman-temannya.
“Kamu baik-baik saja?"
Fernanda terlonjak, saat suara teguran terdengar dari samping.
"Iya, aku baik-baik saja.” Fernanda tersenyum, menjawab pertanyaan Iaki-Iaki berkacamata yang menatapnya prihatin. "jangan menatapku seperti itu, Daniel. Aku sehat!" sentaknya kesal.
“Wajahmu pucat dan sepertinya kamu gemetar. Apa muntah lagi?”
Fernanda memejamkan mata lalu menangguk. ”Sedikit."
”Mau banyak atau sedikit, tetap saja itu muntah. Ayo, kita pamitan pulang!”
Fernanda membuka matanya. “Kenapa? Aku masih mau di sini?”
Daniel mengernyit. ”Benarkah? Setelah kejadian tadi?”
Ketidakyakinan dari perkataan Daniel membuat Fernanda kesal. ”Tentu saja, aku bisa atasi mereka. Aku bukan anak kemarin sore yang nggak pernah hadapi situasi sulit sebelumnya."
“Baiklah, aku tak memaksa asalkan kamu tetap tenang. Jangan terpengaruh omongan apa pun.”
Tawa nyaring keluar dari mulut Fernanda, ia menyibakkan rambutnya ke belakang. ”Kenapa? Kamu takut aku akan marah dan mengamuk?”
Daniel menggeleng, memandang prihatan dari balik Iensa kacamatanya. “Lebih baik kalau kamu mengamuk, dari pada menangis.” Ia menggeser tubuh, saat seorang laki-Iaki hendak masuk ke toilet dan rnelewatinya.
Fernanda terdiam, mengarnati laki-laki berkacamata yang berdiri rnengkuatirkannya. Entah kenapa, hal itu menyentuh perasaannya. la mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk lengan Daniel.
"I'm fine, don’t worry to much. Percaya, aku bisa atasi semua masalahku sendiri.” Ia melangkah gemulai menuju tempatnya semula, mengabaikan lututnya yang gemetar lemas dan mulutnya yang kini terasa pahit dan kering. Langkahnya terhenti, saat terdengar suara Julia yang cukup keras didengar.
“Kalau aku jadi Fernanda, setelah dicampakkan begitu saja, Iebih baik aku bersenang-senang. Meniduri banyak laki-laki dan pindah negara.”
Ucapannya diberi anggukan setuju di sekeliling meja.
“Untuk menghilangkan rasa malu.”
“lyaa, memang malu kalau dicampakkan.”
Fernanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.”Hai semua.” Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. ”Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang Iebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku.” Ia menegakkan tubuh dan tertawa. ”Aku pulang dulu, bye.”“Nanda, jangan pulangl” teriak Julia“Nanda, please.” Anis pun ikut merengek.“Maafkan kami, Nanda. Kami nggak ada maksud rnenghina!"Kali ini entah siapa ia yang bicara, Fernanda tak peduli. la rnelangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.Fernanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. la memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataa
"Di sini?”“Iyaaa..."Fernanda menggelinjang, saat jari Daniel kembali bergerak lincah. Membelai, meraba, dan memasukinya. la ingin menggigit bibir bawah, untuk menjaga agar tak berteriak. Ia membiarkan Daniel mengangkat sebelah paha dan meloloskan celana dalamnya hingga ke mata kaki.Lagi-lagi ia menjerit kecil, merasakan kewanitaannya berdenyut mendamba. Tak pelak lagi, erangan keluar dari mulutnya dan seketika dibungkam oleh ciuman bertubi-tubi dari Daniel.“Jika tak ingat kita berada di mana? lngin rasanya menenggelamkan diriku padamu, Nanda.” Dengan satu sentuhan terakhir, Daniel mengakhiri belaiannya. Menatap mata Fernanda yang bersinar redup dan merapikan celana dalam wanita itu.Tak ada kata, tanpa bertukar senyum. Saat sadar jika curah hujan berubah menjadi rintik, Fernanda menarik napas. Rupasnya, ia kehilangan kontrol, dan semua karena Daniel.”Hujan sudah berhenti, aku pulang dulu,” ucapnya parau.“Aku antar, ya?”Fernanda menggeleng, mendorong tubuh Daniel agar menyingkir
“Sial!” runtuk Daniel dalam hati, mengingat jika pertemuan nanti bersama keluarganya akan ada banyak caci-maki dan amarah.Ia paham betul tabiat keluarganya. Untuk kali ini sepertinya Daniel harus mempersiapkan hati dan juga telinganya saat berhadapan dengan keluarga besarnya. Mereka memang jarang berkumpul, namun seperti tidak ada kedamaian saat mereka berkumpul.Ponsel di atas dasbord bergetar, ia melihat nama Fernanda tertera di Iayar. Seketika, senyum merekah di mulutnya.“Hallo, Nanda.”Tak lama, suara Fernanda menyahut serak.”Kamu di mana? Aku ada di apartemenmu.”“Oh ya? Sudah lama atau baru sampai?"”Aku punya lingere baru, merah.”Daniel terdiam, merasa tubuhnya memanas. Pikiran tentang lingere merah membalut tubuh Fernanda yang sexy membuat darahnya berdesir. Mengabaikan perasaan aneh karena Fernanda yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu, ia berdehem.”Aku akan tiba, dalam tiga puluh menit.”Setelahnya, ia memacu mobil lebih cepat dari kecepatan semula. Mener
Sepeninggal Fernanda, yang terburu-buru pergi ke bandara. Ia membersihkan diri, berganti baju dan memacu kendaraannya menuju rumah besar yang sudah beberapa tahun ini tak pernah ia datangi.Deretan mobil mewah terparkir di halaman luas sebuah rumah berlantai lima dengan tembok bercat putih. Ada empat pilar kokoh, menyangga bagian teras. Pintu kayu yang berada di tengah teras, terbuka. Menampakkan ruang tamu luas, dengan sofa kulit berlapis beludru terhampar di ruangan.”Wah-wah, anak yang hilang sudah pulang ternyata.” Suara seorang Iaki-laki tua terdengar menggelegar saat Daniel memasuki ruangan. la mengedarkan pandangan, pada beberapa orang yang duduk di atas sofa, seperti menunggunya. Matanya tertuju pada sosok wanita berusia setengah abad, yang duduk di sofa dekat dinding."Mama, apa kabar?" la menghampiri wanita itu dan mengecup kedua pipinya.”Daniel, berapa lama kamu tidak datang menemuiku?” Suara sang wanita terdengar serak
Daniel duduk dengan tangan ditekuk di atas pangkuan. Sementara avah tirinya mondar-mandir di depannya dengan Iangkah linglung. la tak tahu apa yang terjadi di antara ayah tiri dan anak-anak perempuannya. Karena, setelah mereka datang Chen terlihat tertekan dan marah.Mereka berada di ruang baca yang terletak di samping halaman sarnping. Ada banyak buffet kaca berisi bendabenda dari kayu dan batu dengan ukiran rumit nan indah. Di depan meja panjang dengan pelitur coklat mengkilat, Chen berhenti. Menatap sekilas pada anak tirinya lalu berucap pelan."Ada yang curang di perusahaan. Aku tidak tahu siapa.”Daniel mengernyit. ”Benarkah? Perusahaan yang mana?"”Baja ringan.""Dari mana Anda tahu Tuan Chen?”Chen termenung, menatap hamparan taman di balik jendela yang terlihat dari tempatnya berdiri. Bunga-bunga yang tumbuh di sana diurus dengan baik oleh istrinya. Ia tahu, Safitri sangat menyukai berkebun. Bahkan balkon kond
Setiap malam, ia selalu merindukan sosok Fernanda. Mengingat tentang desah, rayuan, erangan, dan kabut gairah saat mereka bercinta. Tangannya gatal ingin membelai tubuh halus wanita itu, dan ingin mencium aroma bunga daritubuh wanita itu. Lagi-lagi, hubungan mereka yang tanpa ada kepastian dan status, membuat keinginannya pupus.”Harusnya, aku berani melamarnya. Mungkin itu adalah hal yang paling dia inginkan." Daniel bergumam pada cincin berlian yang ia letakkan di Iaci meja kerjanya.Sengaja ia menyiapkan untuk Fernanda. Namun, ia tak kunjung berani memberikannya pada Fernanda karena tahu, di hati wanita itu nama Julian Benedict masih bercokol kuat. Demi menghilangkan rasa gundah, ia tenggelam dalam pekerjaan tak berkesudahan tentang pajak dan keuangan.♡♡♡♡♡Suara-suara percakapan, gelak tawa, berbaur dengan denting peralatan makan beradu. Acara makan malam diadakan di ruang tengah yang luas dengan menggunakan dua meja panjang yang dipadu
Jalanan malam kota Jakarta, tidak padat namun juga tidak bisa dikatakan lengang. Di balik kemudi, seorang perempuan cantik berkonsentrasi penuh dengan jalanan di depannya. Fernanda memacu kuda besinya dengan kecepatan sedang. Ia sedang tidak terburu-buru, dan tujuannya sudah tidak jauh lagi. Hanya beberapa ratus meter, dan ia akan memasuki kompleks apartemen yang terbilang eksklusif.Setelah memarkirkan kendaraannya di basement khusus penghuni, ia memilih naik ke lobby terlebih dahulu. Memasuki salah satu coffee shop ternama di lobby, dan membeli 2 cup minuman serta beberapa kudapan ringan. Setelah menyelesaikan transaksi di kasir, kaki jenjangnya melangkah memasuki lift, dan dengan dibantu security untuk menekan tombol lift sesuai lantai yang dituju.Di dalam lift, Fernanda bertemu dengan sepasang suami istri muda. Dari tampilannya jelas sang suami adalah seorang eksekutif muda, dan istrinya sekalipun tidak berdandan mewah namun menampilkan kea
Daniel merasakan kejantanannya menegang dari balik selimut, saat sebuah tangan yang halus tanpa sengaja menyentuhnya. la tergugah, matanya terbuka dan menatap kamar dari balik remang-remang.la berguling, memeluk tubuh hangat dengan tangan menelusup untuk meremas dada yang padat. Secara reflek, mulutnya mencari dan menemukan kehangatan di ceruk Ieher Fernanda. Desahan dan erangan membuat ia sadar, jika wanita dalam pelukannya nyata.“Selamat pagi,” sapa Daniel dengan mulut berada di perut Fernanda, sementara baju wanita itu tersingkap hingga ke dada. ”seperti biasanya, kamu menggairahkan untuk dinikmati.”Fernanda tidak menjawab, matanya terbeliak saat merasakan mulut Daniel menyapu kewanitaannya. la menunggu dengan antipasti tinggi, dan hanya bisa pasrah saat laki-Iaki itu mempermainkannya dengan mulut dan tangan yang lihai.“Daniel, please.” Ia mengerang, tak mampu menahan gairah.“Sabar, Sayang.
Kalimat spontan yang diucapkan Fernanda dengan tegas dan lugas cukup mengajutkan lawan bicaranya. Kali ini, bukan hanya Mei Ling yang kaget, Daniel pun sama. Laki-laki itu memandang Fernanda dengan ekpresi tidak percaya. Seribu tanya ada di dalam isi kepalanya, namun dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya atau mendebat Fernanda.“Apa?” tanya Mei Ling sekali lagi. ”kamu mengaku-aku tunangan Daniel?"”Hah, aku memang tunangannya. Kami akan menikah bulan depan. Sudah sewajarnya kalau aku membelanya. Jangan lagi menuduhnya macam-macam!"Mei Ling mendengkus marah, memandang penuh dendam pada Daniel dan Fernanda. Lalu membalikkan tubuh tanpa mengatakan apa pun lagi.Fernanda memandang kepergian wanita itu dengan kelegaan. Tadinya, ia berpikir akan mencakar dan memukul wanita itu di sini, untunglah semua ketakutannya tak terjadi.“Nanda.”la mendongak, menatap Daniel yang tertegun."Iya, ada apa
Atmosfer tegang masih tercipta dalam ruangan itu, Ketiga anak perempuan Chen beserta suami mereka masih menatap Daniel dengan sinis. Chen mengangguk, menerima dokumen yang diulurkan padanya dan membawanya ke meja kayu. la membuka satu per satu lembaran dan tekun membaca.“Apa para kakakmu itu ada dendam padamu?” bisik Fernanda pada Daniel.“Nggak ada, kenapa?” tanya Daniel balik.“Entahlah, sikap mereka seakaan dengan senang hati akan mencincang tubuhmu jika diberi kesempatan. Terutama, Si Kurus yang sepertinya Kakak tertua.”Daniel tertawa Iirih. “Kalau begitu, kamu harus melindungiku. Karena, aku tak yakin bisa melawan mereka bertiga sendirian.”Fernanda terkikik sambil menutup mulut. Diam-diam mencuri pandang pada wanita- wnaita yang duduk di seberangnya. Mereka terlihat angkuh dan sombong. Sementara para laki-laki, hanya duduk tak peduli. la memandang tak suka pada suami Anaa, karena laki-laki itu
“Apa kamu siap?”“Apa, sih? Kayak mau diintrograsi polisi.”“Bukan memang tapi masuk tiang gantungan.”Fernanda tertawa. Meraih Iengan Daniel dan keduanya melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah besar di hadapan mereka. Rumah yang terasa sunyi meski ia tahu di dalam ada banyak penghuni sedang berkurnpul. Daniel memohon padanya, agar Fernanda menemani ke rumah orang tuanya. lni pertama kali baginya, menginjak rumah keluarga laki-laki itu.Setelah pembicaraan intens yang ditutup dengan dua sesi bercinta yang menggebu-gebu, keduanya sepakat untuk saling menjajaki dalam satu hubungan yang serius.“Aku nggak mungkin sesempurna Evan, tapi aku bisa pastikan kalau aku cinta sama kamu.”Fernanda menjawab lembut. “Aku bukan Renata. Aku hanya mengharap Daniel apa adanya, bukan Iaki-laki yang ingin menjadi seperti Evan.”Dengan tubuh berpeluh dan hati yang bertaut, keduanya berpel
“Ooh, begitu. Kamu menganggap aku kekanak-kanakan? Baiklah, kalau itu maumu.”Daniel merentangkan lengan, menunjuk ke arah pintu. “Silakan keluar, aku sibuk!”“Daniel, bukan begitu. Kamu salah paham.”“Bagian mana dari ucapanmu yang membuatku salah paham. Nanda,” ucap Daniel sedikit emosi. ”Kamu mengatakan aku kenak-kanakkan karena aku cemburu. Kamu nggak suka aku cemburu karena memang dari awal hubungan ita hanya sekadar sex! Baiklah, aku mengerti. Sekarang, tinggalkan aku sendiri!”Daniel berbalik, kembali menghadap meja. Mengabaikan wanita yang terlihat salah tingkah.”Aku tidak ada maksud seperti itu.” Fernanda memijat kepalanya. ”Aku mau minta maaf karena sudah membuatmu marah. Aku--,”“Aku mengerti, pergilah Nanda!” sela Daniel dingin.Fernanda mengerjap, matanya memanas. Titik air mata mulai menetes di ujung pelupuk. la merasa sakit
Malam kian larut, udara sejuk dari pendingin ruangan di kamar Fernanda membuat sesi curhat antara Mama dan anak malam itu semakin serius. Fernanda sudah menyamankan posisi setengah merebahnya dengan tumpukan bantal menopang punggungnya yang lelah. Sementara sang Mama masih setia dengan duduk di pinggir ranjang, dekat dengan posisi Fernanda berbaring.“Harusnya, kalau memang kamu nggak siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun, jauhi. Jangan clatangi dia saat kamu sedih, dan berpaling saat kamu bahagia.”“Nanda nggak berpaling, Ma. Kama hanya teman biasa.”“Jelaskan pada Daniel kalau begitu.”“Sudah, dia nggak mau dengar.”“Karena kamu melakukannya setengah hati.” Jihan mendatangi anaknya, mengelus rambut lembut milik Fernanda. "Mama ingat dulu kalian bertiga selalu bersama. Kamu, Evan, dan Daniel. Keduanya sama baik dan menawan. Tapi, dari dulu Daniel memang menunjukkan rasa cin
Kamar yang sepi, hanya terdengar dengung pelan dari pendingin ruangan. Fernanda yang baru saja pulang dari kantor, tanpa mengganti baju lebih dulu, merebahkan diri di ranjang, Menatap nanar pada langit-Iangit kamar yang dilukis bunga-bunga warna krem lembut. Ada lampu kristal kecil tergantung di tengah-tengah.Tangannya terulur ke dahi, memijat lembut di sekitar kepala. Migrain yang ia rasakan dari tadi sore tak jua sirna meski ia sudah meminum obat. Segelas Teh Camomile hangat pun sudah diteguknya hingga tandas, namun peningnya tak kunjung mereda.Benaknya berpikir cepat tentang rapat tak berkesudahan, penyelesaian cepat dari satu masalah ke masalah lain, memastikan produksi lancar, hingga memikirkan tentang Daniel.Desahan resah keluar dari mulutnya saat pikirannya tertuju pada Daniel. Laki-laki yang selama dua tahun ini selalu berada di sisinya. Dia masih tak mengerti salahnya di mana, dan kenapa Daniel begitu emosi saat melihatnya bersama Kama. Padahal, itu
Evan mengernyit memandang istrinya. Tidak memperhatikan anak perempuan mereka yang kini bernyanyi keras sambil berkeliling ruangan dengan air mineral di tangan.”Kenapa kamu kasihan padanya? Apa kamu masih ada rasa buat dia?”Renata mengernyit, rnulutnya mencebik. ”Jangan ngaco, Sayang. Dia kan temanmu.”“Justru itu, cukup aku saja yang mengkuatirkannya. Kenapa kamu ikut-ikutan?””Lah, kamu cerita dan aku menanggapi. Kok kamu aneh?” sungut Renata tak percaya.Evan mengulum senyum, meraih istrinya dalam pelukan dan mengecup dahi Renata. ”Aku cemburu, nggak mau kalau istriku memikirkan laki-laki Iain.””Lebay tahu nggak?”“Biar saja, itu tandanya aku cinta. Bagaimana kalau nanti malam kita titipkan anak- anak di rumah Mama? Kita nikmati malam berdua?” bisik Evan di telinga istrinya.”Mesum,” balas Renata dengan tubuh menghangat. &ldquo
Daniel meletakkan foto kembali ke atas meja. Benaknya berpikir cepat tentang masa-masa muda mereka. Bagaiman mereka bertiga selalu bersama. Jika diingat lagi, memang apa yang dikatakan Evan itu benar. Fernanda dari dulu terkenal wanita yang tak mudah menyerah jika menginginkan sesuatu. Wanita yang tidak suka jika harga dirinya diremehkan.“Entah kenapa, akhir-akhir ini dia terlihat rapuh,” gumam Daniel lebih pada diri sendiri.Ruangan sunyi, kedua laki-laki tampan yang duduk berhadapan di sofa terdiam dengan pikiran masing-masing. Jika Daniel merasa tidak berdaya, beda dengan Evan yang terbebani rasa bersalah. Mereka memikirkan tentang satu wanita yang sama.”Bagaimanapun, ada andilku yang turut merusak dirinya. Aku sadar dan sama sekali tidak merasa bangga pada apa yang sudah kulakukan. Tapi, aku juga tahu kalau dia wanita yang kuat dan tegar. Tidak akan berkubang dalam duka dan kesedihan.” Evan berucap pelan, setelah jeda kesunyian yang
Daniel mengamati kantor Evan, yang tidak berubah dari terakhir kali ia datang. Meja besar, sofa kulit, dan Iemari-Iemari besar untuk menyimpan dokumen yang berdiri kokoh menempel dinding. Yang berubah hanya satu, kini banyak foto dalam pigura besar yang dipajang di dinding. la melihat ada Evan dan keluarga kecilnya. Serta foto bayi laki-laki Iucu dalam berbagai ukuran.Pandangannya beralih pada laki-laki tinggi yang sedang menuang kopi di cangkir dan menyerahkan padanya. Dalam balutan kemeja biru langit yang lengannya digulung hingga siku, serta vest abu-abu dan celana bahan yang senada, Evan tampak terlihat cerah dan bahagia.”Kamu terlihat berbeda,” ucapnya sambil menerima kopi.“Apanya?” tanya Evan balik.Daniel menyeruput kopi perlahan, menghirup aroma pekat yang menggiurkan. Masih sama seperti kebiasaanya dahulu, Evan selalu meracik sendiri kopinya untuk dihidangkan pada tamu-tamunya. Pernah terbersit dalam pikiran Daniel dulu