Daniel merasakan kejantanannya menegang dari balik selimut, saat sebuah tangan yang halus tanpa sengaja menyentuhnya. la tergugah, matanya terbuka dan menatap kamar dari balik remang-remang.
la berguling, memeluk tubuh hangat dengan tangan menelusup untuk meremas dada yang padat. Secara reflek, mulutnya mencari dan menemukan kehangatan di ceruk Ieher Fernanda. Desahan dan erangan membuat ia sadar, jika wanita dalam pelukannya nyata.
“Selamat pagi,” sapa Daniel dengan mulut berada di perut Fernanda, sementara baju wanita itu tersingkap hingga ke dada. ”seperti biasanya, kamu menggairahkan untuk dinikmati.”
Fernanda tidak menjawab, matanya terbeliak saat merasakan mulut Daniel menyapu kewanitaannya. la menunggu dengan antipasti tinggi, dan hanya bisa pasrah saat laki-Iaki itu mempermainkannya dengan mulut dan tangan yang lihai.
“Daniel, please.” Ia mengerang, tak mampu menahan gairah.
“Sabar, Sayang.
Daniel kembali memusatkan fokusnya pada tujuan kedatangannya pagi itu. Tangannya merogoh tas hitam yang ia bawa dan mengeluarkan dua map merah. Dengangesit menjabarkannya di atas meja. Lalu, mulai menerangkan dengan tenang."Ada beberapa kenjanggalan yang ditemukan. Terkait pasokan bahan, pembayaran pada pemasok sayur-mayur, dan harga soft drink. Ditemukan, beberapa catatan yangmemperlihatkan permainan pegawaimu. Mereka menggunakan merek soft drink yangsama tapi dari pemasok berbeda. Menjual soft drink yang tidak ada dalam daftar menu, jugaaa ..., menggunakan bahan masakan berkualitas rendah demi mendulang untung.""Shit!" umpat Cloe sambil mengambil lembaran yang diperlihatkan Daniel."Bukan hanya itu, seorang manager bahkan memanipulasi jumlah stok, porsi yang terjual, hingga tidak membayar secara full pada pemasok sayur mayur dan daging, demi keuntungan pribadi."Cloe memijat pelipisnya, merasakan kemarahan menggelegak dalam dad
"Ahh...." Tubuh perempuan di atas meja itu melengkung ke belakang, sementara laki-laki yang terapit di kedua kakinya bergerak cepat. Derit meja kayu bergerak beriringan dengan suara rintihan keduanya. Desah napas, erang kenikmatan, dan panas tubuh, melebur dalam satu irama.Dalam satu hujaman yang dalam, tubuh keduanya terkulai. Tangan laki-Iaki itu merengkuh sang perempuan yang memejam dan meletakkan kepala perempuan itu di bahunya.“Apa kamu puas?” bisik laki-laki itu lembut. Tangannya mengelus lembut punggung halus dalam dekapannya. ”Mau aku gendong ke ranjang?”Sang perempuan menggeleng. “Nggak, aku bisa jalan sendiri.” Dengan sedikit tekanan, ia mendorong pelan tubuh laki-Iaki yang mendekapnya. Memandang sekilas pada wajah tampan dengan alis tebal dan iris kecoklatan yang dibingkai rambut pendek hitam, lalu turun dari atas meja. Tangannya menyambar jubah sembarangan yang tergeletak di atas ranjang dan melangkah menuju kamar mandi.“Fernanda..."Perempuan itu menghentikan langkah
“Bagaimana dengan panen sawit kita di Bengkulu? Apa semua berjalan lancar?””Iya, Pa. Siap proses dalam waktu dekat. Kemungkinan aku akan ke sana minggu depan.””Bagus, jangan lupakan juga soai pabrik kita di Lampung. Para buruh pabrik itu harus diberikan sedikit bonus, agar mau bekerja lebih keras."“Bukan sedikit, tapi banyak. Bonus akhir tahun,Pa.”Adiyaksa mengangguk senang. Ia menatap anak perempuannya yang sedang menyantap semangkuk bubur di depannya. Perasaan bangga sebagai seorang Papa begitu menguasai hatinya. Didikannya dalam dunia bisnis tidak sia-sia, anak perempuannya dapat berdiri dengan mandiri selama memimpin Perusahaan mereka.”Kamu hebat Nanda, bisa meneruskan apa yang Papa Iakukan.”Fernanda mendongak dari atas mangkuknya. Ditatapnya manik mata Sang Papa yang tengah menatapnya dengan bangga. Ditelannya lebih dahulu makanan dalam mulutnya sebelum menimpali perkataan Sang Papa.“Tapi, para pemegang saham itu sama sekali nggak percaya, Papa. Mereka menekanku untuk mend
Jam makan siang berlalu, tapi Fernanda masih berkutat dengan dokumen di atas meja. la hanya mengguyur lambungnya dengan kopi dan camilan. Itupun sudah dilakukannya tiga jam yang lalu, dan hingga lewat tengah hari hanya air putih dalam gelas di mejanya yang setia menemaninya. Ia sama sekali belum berniat mengisi perutnya dengan makanan lain.Pekerjaan yang menggunung dengan jadwal rapat yang padat, seperti membuatnya terjepit waktu. Ia harus bergerak cepat dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Baginya saat ini setiap menit dan detiknya sangat diperhitungkan guna efisiensi kinerjanya.Pintu diketuk dari luar, tanpa mendongak ia berteriak untuk memberikan izin masuk. Tak lama sosok sekretarisnya muncul. Seorang laki-laki kurus pertengahan dua puluhan datang dengan setumpuk dokumen di Iengan."Miss, mau makan siang? Saya bisa pesankan di restoran yang Anda mau.”Fernanda menggeleng, tak mengangkat wajah dari atas dokumen. ”Nggak bisa Wen, aku masih sibuk." Jawaban singkat ia berikan ke sekre
“Apa?” Fernanda menjawab tanpa sadar. Matanya terbelalak kaget, jemarinya meremas ujung blazer yang ia kenakan. Reaksinya membuat Daniel tersenyum, sangat menggemaskan untuk ukuran seorang wanita dewasa.“Jangan kaget begitu, hanya becanda. Ungkapan cinta selalu membuatmu kaget.”“Daniel..."”Aku tahu, hubungan kita hanya kontak fisik. Tanpa cinta, tanpa komitmen. Aku tahu, Nanda." Daniel mengangkat tangannya.Berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri perempuan yang duduk termangu di depannya. Fernanda menatap Daniel dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Dengan lembut, Daniel meraih tangan Fernanda dan mengecup telapak tangan perempuan itu.”Aku berharap, kamu mau mempertimbangkan perasaanku.” Daniel meremas lembut jemari Fernanda dalam genggamannya.Fernanda memejamkan mata, merasakan ketidaknyamanan dari dalam hati. Sebagian dirinya menikmati sentuhan dan ucapan lembut Daniel, namun sebagian lagi seolah membatasi dirinya untuk membuka diri lebih jauh lagi dalam hubungan ini
Rapat yang penuh tekanan berakhir setelah banyak adu argumentasi. Fernanda menyugar rambut panjangnya dan melangkah gontai menuju ruangan, setelah hampir tiga jam beradu urat dengan para peserta rapat. Masih terngiang di otaknya, bagaimana garangnya para jajaran direksi saat menuntut pertanggung- jawabannya. Laba berkurang dua persen dari tahun Ialu, dan dia dikuliti habis-habisan."Miss, mau saya buatkan sesuatu?" Arwen bertanya kuatir, menatap bosnya yang bersandar lemas pada punggung kursi.Sinar matahari menyelusup masuk melalu celah tirai jendela yang terbuka. Meski di dalam ruangan terang benderang karena lampu, masih terlihat bias cahaya menerpa wajah Fernanda. Kelelahan, terpeta jelas di pipi yang pucat.”Arwen, aku beruntung masih keluar hidup-hidup dari sane,” gumam Fernanda.“lya memang. Para direksi itu memang mengerikan.” Arwen bergerak cepat, merapikan dokumen yang berserak di atas meja dan menumpuknya dengan rapi. "Mau kopi, atau sesuatu untuk menyegarkan tenggorokan?”
“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?” Tiba-tiba Julia berteriak, sambil mengedip ke arah Daniel.Seketika gelak tawa terdengar di sekeliling meja.”Aku takut, bukan seleramu, Julia,” jawab Daniel enteng.“Wah, dari dulu aku selalu suka Iaki-laki berkacamata. Dan, itu termasuk kamu.”"Ciee! Udah jadian kalian.” Suara menyemangati membuat riuh suasana.Fernanda mengulum senyum, melihat Daniel tertawa Iirih karena digoda Julia. Mereka semua tahu, jika dari dulu Julia memendam perasaan pada Daniel.“Waah, terima kasih lo. Tapi, aku takut tak mampu membiayai hidupmu yang jetset!” Daniel menjawab diplomatis. Dengan mata melirik Fernanda yang asyik menyantap steaknya. Diam-diam ia merasa senang, saat melihat wanita itu makan dengan lahap.”Aku akan mengejarmu, Daniel. Camkan itu!” Julia berkata setengah mengancam.Fernanda mengulum senyum, masih menunduk di atas piringnya. Tanpa sadar ia tertawa lirih, mendengar rayuan-rayuan yang dilontarkan J
Fernanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.”Hai semua.” Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. ”Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang Iebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku.” Ia menegakkan tubuh dan tertawa. ”Aku pulang dulu, bye.”“Nanda, jangan pulangl” teriak Julia“Nanda, please.” Anis pun ikut merengek.“Maafkan kami, Nanda. Kami nggak ada maksud rnenghina!"Kali ini entah siapa ia yang bicara, Fernanda tak peduli. la rnelangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.Fernanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. la memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataa