Share

Friend's - 5

Rapat yang penuh tekanan berakhir setelah banyak adu argumentasi. Fernanda menyugar rambut panjangnya dan melangkah gontai menuju ruangan, setelah hampir tiga jam beradu urat dengan para peserta rapat. Masih terngiang di otaknya, bagaimana garangnya para jajaran direksi saat menuntut pertanggung- jawabannya. Laba berkurang dua persen dari tahun Ialu, dan dia dikuliti habis-habisan.

"Miss, mau saya buatkan sesuatu?" Arwen bertanya kuatir, menatap bosnya yang bersandar lemas pada punggung kursi.

Sinar matahari menyelusup masuk melalu celah tirai jendela yang terbuka. Meski di dalam ruangan terang benderang karena lampu, masih  terlihat bias cahaya menerpa wajah Fernanda. Kelelahan, terpeta jelas di pipi yang pucat.

”Arwen, aku beruntung masih keluar hidup-hidup dari sane,” gumam Fernanda.

“lya memang. Para direksi itu memang mengerikan.” Arwen bergerak cepat, merapikan dokumen yang berserak di atas meja dan menumpuknya dengan rapi. "Mau kopi, atau sesuatu untuk menyegarkan tenggorokan?”

Fernanda menggeleng, kembali merebahkan punggung pada kursi hitam beroda. Sementara di depannya, meja kokoh persegi panjang dengan alas kaca, penuh dengan tumpukan dokumen.

“Aku mau mandi, ada pertemuan dengan beberapa teman malam ini.”

”Baiklah, saya tinggal kalau begitu.”

“Pulang sana! Jangan nunggu aku!”

“lya, yaa. Saya pulangl”

Sosok Arwen menghilang di balik pintu. Meski begitu Fernanda tahu, jika sang sekretaris tidak akan pernah pulang mendahuluinya. Tak peduli, seberapa besar ia memaksa, Arwen akan meninggalkan kantor setelah ia pulang.

Dengan tubuh penat, Fernanda melangkah menuju kamar mandi yang terletak di samping kantornya. la mengguyur tubuh menggunakan air hangat dan memoleh wajah. Malam ini, ada pertemuan dengan beberapa teman lama. Ia dipaksa datang, dengan alasan demi persahabatan.

Malam ini, harusnya Daniel sudah pasti hadir. Kalau Iaki-laki itu memang tidak ada pekerjaan. Karena, mereka berada di lingkungan pergaulan yang sama. Mereka saling kenal satu sama lain sudah sekian lama. Dan, malam ini bisa dibilang adalah reuni pertama semenjak dua tahun tak berjumpa.

Ingatan tentang Daniel membuat Fernanda menarik napas panjang. Bayangan tentang tubuh maskulin, panas, dan bergairah yang menyelimuti dirinya, kini kembali terlintas dalam otaknya. Daniel memang Iaki-Iaki menarik, setidaknya bagi Fernanda. Sayangnya, ia hanya membutuhkan tubuh laki-laki itu, bukan cinta.

”Aku tahu, hanya ada Evan dalam hatimu. Tapi, Iaki-laki itu sudah bahagia bersama perempuan lain. Coba buka hatimu, Nanda?”

Permohonan Daniel, terdengar dalam otaknya. la paham, setiap orang mengatakan dia belum bisa melupakan sang mantan tunangan. Benarkah? Ia sendiri pun tak tahu. Apakah ia belum bisa melupakan Evan atau hanya rasa sakit hati yang tertinggal.

Semenjak peristiwa keguguran Renata, yang membuatnya dicaci-maki oleh Evan, ia tak lagi berniat menghubungi laki-Iaki itu. Tidak juga datang ke acara-acara yang dihadiri Friska, Mama Evan. la ingin menjauh, menyembuhkan luka dan harga dirinya.

Setelah mengganti pakaian menjadi gaun ketat merah sedengkul, dengan Iengan pendek dan potongan leher berbentuk sabrina, ia melangkah keluar. Persis dugaannya, saat semua karyawan sudah pulang, Arwen rnasih berada di mejanya.

”Arwen, pulang! Sudah malam ini!” tegurnya keras.

Arwen berdiri dari kursi dan memberi hormat. "Siap, Miss. Hati-hati di jalan.”

Fernanda mengancam dengan telunjuk, sebelum berlalu menuju lift. Lobi kantor sudah sepi, tidak banyak yang nnasih tertinggal untuk bekerja. Di luar, gerimis menerpa bumi saat Fernanda melangkah menuju mobilnya.

Sepanjang perjalanan menuju kafe, tidak banyak kemacetan yang dia alami. Mungkin, karena jam pulang kantor sudah berlalu. Meski begitu, keadaan lalu-lintas masih padat. Para pengendara motor seperti tidak peduli dengan gerimis yang menerpa mereka. Waktu menunjukkan pukul Sembilan, saat ia memarkir

kendaraan di halaman kafe.

Setelah memastikan penampilannya sempurna, ia turun dari mobil dan memasuki tempat dia membuat janji.

”Hai, Nanda!”

Berbagai sapaan terdengar saat ia menuju meja panjang dalam ruangan privat di dalam kafe. Ada empat orang perempuan dan dua laki-laki yang sudah menunggunya. Seperti tebakannya, ada Daniel di sana. Laki-laki itu terlihat menawan dalam balutan kemeja abu-abu muda. Di sebelahnya, duduk seorang laki-laki lain seumuran dengan rambut dicat pirang.

“Hai, kalian. Apa kabarnya?”

Fernanda memeluk satu per satu temannya. Lalu bersalaman dengan laki-laki pirang. Tersenyum ke arah Daniel dan mengenyakkan diri di samping seorang perempuan berambut pendek.

“Tambah cantik aja. Apa sih, rahasianya.” Perempuan itu menyapa dengan tawa.

Fernanda tersenyum. ”Apaan sih, kamu yang terlihat makin cetar. Potongan rambutmu kayak Demi Moore dalam film ghost yang fenomenal itu!”

”Iyakah? Ah, hanya style biasa.” Meski berkata begitu, perempuan berambut pendek tetap terlihat berseri-seri.

“Julia memang hebat. Terbang dari satu negara ke negara lain dengan pacarnya yang kaya raya.” Seorang perempuan dengan anting-anting besar di telinga dan rambut disanggul membingkai wajah tirus, menunjuk pada temannya yang berambut pendek. "Kita mana mampu begitu!”

Fernanda tertawa. Percakapan bergulir seru dari mulai fashion, film, musik, dan sesekali ditimpali oleh para laki-laki. Makanan yang mereka pesan berdatangan dan menumpuk di atas meja. Tanpa memikirkan kalori yang masuk ke tubuh, ia menyantap steak dan berusaha menikmati tekstur daging sapi yang terasa lembut dan gurih di Iidah.

“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status