Rapat yang penuh tekanan berakhir setelah banyak adu argumentasi. Fernanda menyugar rambut panjangnya dan melangkah gontai menuju ruangan, setelah hampir tiga jam beradu urat dengan para peserta rapat. Masih terngiang di otaknya, bagaimana garangnya para jajaran direksi saat menuntut pertanggung- jawabannya. Laba berkurang dua persen dari tahun Ialu, dan dia dikuliti habis-habisan.
"Miss, mau saya buatkan sesuatu?" Arwen bertanya kuatir, menatap bosnya yang bersandar lemas pada punggung kursi.
Sinar matahari menyelusup masuk melalu celah tirai jendela yang terbuka. Meski di dalam ruangan terang benderang karena lampu, masih terlihat bias cahaya menerpa wajah Fernanda. Kelelahan, terpeta jelas di pipi yang pucat.
”Arwen, aku beruntung masih keluar hidup-hidup dari sane,” gumam Fernanda.
“lya memang. Para direksi itu memang mengerikan.” Arwen bergerak cepat, merapikan dokumen yang berserak di atas meja dan menumpuknya dengan rapi. "Mau kopi, atau sesuatu untuk menyegarkan tenggorokan?”
Fernanda menggeleng, kembali merebahkan punggung pada kursi hitam beroda. Sementara di depannya, meja kokoh persegi panjang dengan alas kaca, penuh dengan tumpukan dokumen.
“Aku mau mandi, ada pertemuan dengan beberapa teman malam ini.”
”Baiklah, saya tinggal kalau begitu.”
“Pulang sana! Jangan nunggu aku!”
“lya, yaa. Saya pulangl”
Sosok Arwen menghilang di balik pintu. Meski begitu Fernanda tahu, jika sang sekretaris tidak akan pernah pulang mendahuluinya. Tak peduli, seberapa besar ia memaksa, Arwen akan meninggalkan kantor setelah ia pulang.
Dengan tubuh penat, Fernanda melangkah menuju kamar mandi yang terletak di samping kantornya. la mengguyur tubuh menggunakan air hangat dan memoleh wajah. Malam ini, ada pertemuan dengan beberapa teman lama. Ia dipaksa datang, dengan alasan demi persahabatan.
Malam ini, harusnya Daniel sudah pasti hadir. Kalau Iaki-laki itu memang tidak ada pekerjaan. Karena, mereka berada di lingkungan pergaulan yang sama. Mereka saling kenal satu sama lain sudah sekian lama. Dan, malam ini bisa dibilang adalah reuni pertama semenjak dua tahun tak berjumpa.
Ingatan tentang Daniel membuat Fernanda menarik napas panjang. Bayangan tentang tubuh maskulin, panas, dan bergairah yang menyelimuti dirinya, kini kembali terlintas dalam otaknya. Daniel memang Iaki-Iaki menarik, setidaknya bagi Fernanda. Sayangnya, ia hanya membutuhkan tubuh laki-laki itu, bukan cinta.
”Aku tahu, hanya ada Evan dalam hatimu. Tapi, Iaki-laki itu sudah bahagia bersama perempuan lain. Coba buka hatimu, Nanda?”
Permohonan Daniel, terdengar dalam otaknya. la paham, setiap orang mengatakan dia belum bisa melupakan sang mantan tunangan. Benarkah? Ia sendiri pun tak tahu. Apakah ia belum bisa melupakan Evan atau hanya rasa sakit hati yang tertinggal.
Semenjak peristiwa keguguran Renata, yang membuatnya dicaci-maki oleh Evan, ia tak lagi berniat menghubungi laki-Iaki itu. Tidak juga datang ke acara-acara yang dihadiri Friska, Mama Evan. la ingin menjauh, menyembuhkan luka dan harga dirinya.
Setelah mengganti pakaian menjadi gaun ketat merah sedengkul, dengan Iengan pendek dan potongan leher berbentuk sabrina, ia melangkah keluar. Persis dugaannya, saat semua karyawan sudah pulang, Arwen rnasih berada di mejanya.
”Arwen, pulang! Sudah malam ini!” tegurnya keras.
Arwen berdiri dari kursi dan memberi hormat. "Siap, Miss. Hati-hati di jalan.”
Fernanda mengancam dengan telunjuk, sebelum berlalu menuju lift. Lobi kantor sudah sepi, tidak banyak yang nnasih tertinggal untuk bekerja. Di luar, gerimis menerpa bumi saat Fernanda melangkah menuju mobilnya.
Sepanjang perjalanan menuju kafe, tidak banyak kemacetan yang dia alami. Mungkin, karena jam pulang kantor sudah berlalu. Meski begitu, keadaan lalu-lintas masih padat. Para pengendara motor seperti tidak peduli dengan gerimis yang menerpa mereka. Waktu menunjukkan pukul Sembilan, saat ia memarkir
kendaraan di halaman kafe.
Setelah memastikan penampilannya sempurna, ia turun dari mobil dan memasuki tempat dia membuat janji.
”Hai, Nanda!”
Berbagai sapaan terdengar saat ia menuju meja panjang dalam ruangan privat di dalam kafe. Ada empat orang perempuan dan dua laki-laki yang sudah menunggunya. Seperti tebakannya, ada Daniel di sana. Laki-laki itu terlihat menawan dalam balutan kemeja abu-abu muda. Di sebelahnya, duduk seorang laki-laki lain seumuran dengan rambut dicat pirang.
“Hai, kalian. Apa kabarnya?”
Fernanda memeluk satu per satu temannya. Lalu bersalaman dengan laki-laki pirang. Tersenyum ke arah Daniel dan mengenyakkan diri di samping seorang perempuan berambut pendek.
“Tambah cantik aja. Apa sih, rahasianya.” Perempuan itu menyapa dengan tawa.
Fernanda tersenyum. ”Apaan sih, kamu yang terlihat makin cetar. Potongan rambutmu kayak Demi Moore dalam film ghost yang fenomenal itu!”
”Iyakah? Ah, hanya style biasa.” Meski berkata begitu, perempuan berambut pendek tetap terlihat berseri-seri.
“Julia memang hebat. Terbang dari satu negara ke negara lain dengan pacarnya yang kaya raya.” Seorang perempuan dengan anting-anting besar di telinga dan rambut disanggul membingkai wajah tirus, menunjuk pada temannya yang berambut pendek. "Kita mana mampu begitu!”
Fernanda tertawa. Percakapan bergulir seru dari mulai fashion, film, musik, dan sesekali ditimpali oleh para laki-laki. Makanan yang mereka pesan berdatangan dan menumpuk di atas meja. Tanpa memikirkan kalori yang masuk ke tubuh, ia menyantap steak dan berusaha menikmati tekstur daging sapi yang terasa lembut dan gurih di Iidah.
“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?”
“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?” Tiba-tiba Julia berteriak, sambil mengedip ke arah Daniel.Seketika gelak tawa terdengar di sekeliling meja.”Aku takut, bukan seleramu, Julia,” jawab Daniel enteng.“Wah, dari dulu aku selalu suka Iaki-laki berkacamata. Dan, itu termasuk kamu.”"Ciee! Udah jadian kalian.” Suara menyemangati membuat riuh suasana.Fernanda mengulum senyum, melihat Daniel tertawa Iirih karena digoda Julia. Mereka semua tahu, jika dari dulu Julia memendam perasaan pada Daniel.“Waah, terima kasih lo. Tapi, aku takut tak mampu membiayai hidupmu yang jetset!” Daniel menjawab diplomatis. Dengan mata melirik Fernanda yang asyik menyantap steaknya. Diam-diam ia merasa senang, saat melihat wanita itu makan dengan lahap.”Aku akan mengejarmu, Daniel. Camkan itu!” Julia berkata setengah mengancam.Fernanda mengulum senyum, masih menunduk di atas piringnya. Tanpa sadar ia tertawa lirih, mendengar rayuan-rayuan yang dilontarkan J
Fernanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.”Hai semua.” Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. ”Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang Iebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku.” Ia menegakkan tubuh dan tertawa. ”Aku pulang dulu, bye.”“Nanda, jangan pulangl” teriak Julia“Nanda, please.” Anis pun ikut merengek.“Maafkan kami, Nanda. Kami nggak ada maksud rnenghina!"Kali ini entah siapa ia yang bicara, Fernanda tak peduli. la rnelangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.Fernanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. la memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataa
"Di sini?”“Iyaaa..."Fernanda menggelinjang, saat jari Daniel kembali bergerak lincah. Membelai, meraba, dan memasukinya. la ingin menggigit bibir bawah, untuk menjaga agar tak berteriak. Ia membiarkan Daniel mengangkat sebelah paha dan meloloskan celana dalamnya hingga ke mata kaki.Lagi-lagi ia menjerit kecil, merasakan kewanitaannya berdenyut mendamba. Tak pelak lagi, erangan keluar dari mulutnya dan seketika dibungkam oleh ciuman bertubi-tubi dari Daniel.“Jika tak ingat kita berada di mana? lngin rasanya menenggelamkan diriku padamu, Nanda.” Dengan satu sentuhan terakhir, Daniel mengakhiri belaiannya. Menatap mata Fernanda yang bersinar redup dan merapikan celana dalam wanita itu.Tak ada kata, tanpa bertukar senyum. Saat sadar jika curah hujan berubah menjadi rintik, Fernanda menarik napas. Rupasnya, ia kehilangan kontrol, dan semua karena Daniel.”Hujan sudah berhenti, aku pulang dulu,” ucapnya parau.“Aku antar, ya?”Fernanda menggeleng, mendorong tubuh Daniel agar menyingkir
“Sial!” runtuk Daniel dalam hati, mengingat jika pertemuan nanti bersama keluarganya akan ada banyak caci-maki dan amarah.Ia paham betul tabiat keluarganya. Untuk kali ini sepertinya Daniel harus mempersiapkan hati dan juga telinganya saat berhadapan dengan keluarga besarnya. Mereka memang jarang berkumpul, namun seperti tidak ada kedamaian saat mereka berkumpul.Ponsel di atas dasbord bergetar, ia melihat nama Fernanda tertera di Iayar. Seketika, senyum merekah di mulutnya.“Hallo, Nanda.”Tak lama, suara Fernanda menyahut serak.”Kamu di mana? Aku ada di apartemenmu.”“Oh ya? Sudah lama atau baru sampai?"”Aku punya lingere baru, merah.”Daniel terdiam, merasa tubuhnya memanas. Pikiran tentang lingere merah membalut tubuh Fernanda yang sexy membuat darahnya berdesir. Mengabaikan perasaan aneh karena Fernanda yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu, ia berdehem.”Aku akan tiba, dalam tiga puluh menit.”Setelahnya, ia memacu mobil lebih cepat dari kecepatan semula. Mener
Sepeninggal Fernanda, yang terburu-buru pergi ke bandara. Ia membersihkan diri, berganti baju dan memacu kendaraannya menuju rumah besar yang sudah beberapa tahun ini tak pernah ia datangi.Deretan mobil mewah terparkir di halaman luas sebuah rumah berlantai lima dengan tembok bercat putih. Ada empat pilar kokoh, menyangga bagian teras. Pintu kayu yang berada di tengah teras, terbuka. Menampakkan ruang tamu luas, dengan sofa kulit berlapis beludru terhampar di ruangan.”Wah-wah, anak yang hilang sudah pulang ternyata.” Suara seorang Iaki-laki tua terdengar menggelegar saat Daniel memasuki ruangan. la mengedarkan pandangan, pada beberapa orang yang duduk di atas sofa, seperti menunggunya. Matanya tertuju pada sosok wanita berusia setengah abad, yang duduk di sofa dekat dinding."Mama, apa kabar?" la menghampiri wanita itu dan mengecup kedua pipinya.”Daniel, berapa lama kamu tidak datang menemuiku?” Suara sang wanita terdengar serak
Daniel duduk dengan tangan ditekuk di atas pangkuan. Sementara avah tirinya mondar-mandir di depannya dengan Iangkah linglung. la tak tahu apa yang terjadi di antara ayah tiri dan anak-anak perempuannya. Karena, setelah mereka datang Chen terlihat tertekan dan marah.Mereka berada di ruang baca yang terletak di samping halaman sarnping. Ada banyak buffet kaca berisi bendabenda dari kayu dan batu dengan ukiran rumit nan indah. Di depan meja panjang dengan pelitur coklat mengkilat, Chen berhenti. Menatap sekilas pada anak tirinya lalu berucap pelan."Ada yang curang di perusahaan. Aku tidak tahu siapa.”Daniel mengernyit. ”Benarkah? Perusahaan yang mana?"”Baja ringan.""Dari mana Anda tahu Tuan Chen?”Chen termenung, menatap hamparan taman di balik jendela yang terlihat dari tempatnya berdiri. Bunga-bunga yang tumbuh di sana diurus dengan baik oleh istrinya. Ia tahu, Safitri sangat menyukai berkebun. Bahkan balkon kond
Setiap malam, ia selalu merindukan sosok Fernanda. Mengingat tentang desah, rayuan, erangan, dan kabut gairah saat mereka bercinta. Tangannya gatal ingin membelai tubuh halus wanita itu, dan ingin mencium aroma bunga daritubuh wanita itu. Lagi-lagi, hubungan mereka yang tanpa ada kepastian dan status, membuat keinginannya pupus.”Harusnya, aku berani melamarnya. Mungkin itu adalah hal yang paling dia inginkan." Daniel bergumam pada cincin berlian yang ia letakkan di Iaci meja kerjanya.Sengaja ia menyiapkan untuk Fernanda. Namun, ia tak kunjung berani memberikannya pada Fernanda karena tahu, di hati wanita itu nama Julian Benedict masih bercokol kuat. Demi menghilangkan rasa gundah, ia tenggelam dalam pekerjaan tak berkesudahan tentang pajak dan keuangan.♡♡♡♡♡Suara-suara percakapan, gelak tawa, berbaur dengan denting peralatan makan beradu. Acara makan malam diadakan di ruang tengah yang luas dengan menggunakan dua meja panjang yang dipadu
Jalanan malam kota Jakarta, tidak padat namun juga tidak bisa dikatakan lengang. Di balik kemudi, seorang perempuan cantik berkonsentrasi penuh dengan jalanan di depannya. Fernanda memacu kuda besinya dengan kecepatan sedang. Ia sedang tidak terburu-buru, dan tujuannya sudah tidak jauh lagi. Hanya beberapa ratus meter, dan ia akan memasuki kompleks apartemen yang terbilang eksklusif.Setelah memarkirkan kendaraannya di basement khusus penghuni, ia memilih naik ke lobby terlebih dahulu. Memasuki salah satu coffee shop ternama di lobby, dan membeli 2 cup minuman serta beberapa kudapan ringan. Setelah menyelesaikan transaksi di kasir, kaki jenjangnya melangkah memasuki lift, dan dengan dibantu security untuk menekan tombol lift sesuai lantai yang dituju.Di dalam lift, Fernanda bertemu dengan sepasang suami istri muda. Dari tampilannya jelas sang suami adalah seorang eksekutif muda, dan istrinya sekalipun tidak berdandan mewah namun menampilkan kea