Sepeninggal Fernanda, yang terburu-buru pergi ke bandara. Ia membersihkan diri, berganti baju dan memacu kendaraannya menuju rumah besar yang sudah beberapa tahun ini tak pernah ia datangi.
Deretan mobil mewah terparkir di halaman luas sebuah rumah berlantai lima dengan tembok bercat putih. Ada empat pilar kokoh, menyangga bagian teras. Pintu kayu yang berada di tengah teras, terbuka. Menampakkan ruang tamu luas, dengan sofa kulit berlapis beludru terhampar di ruangan.
”Wah-wah, anak yang hilang sudah pulang ternyata.” Suara seorang Iaki-laki tua terdengar menggelegar saat Daniel memasuki ruangan. la mengedarkan pandangan, pada beberapa orang yang duduk di atas sofa, seperti menunggunya. Matanya tertuju pada sosok wanita berusia setengah abad, yang duduk di sofa dekat dinding.
"Mama, apa kabar?" la menghampiri wanita itu dan mengecup kedua pipinya.
”Daniel, berapa lama kamu tidak datang menemuiku?” Suara sang wanita terdengar serak
Daniel duduk dengan tangan ditekuk di atas pangkuan. Sementara avah tirinya mondar-mandir di depannya dengan Iangkah linglung. la tak tahu apa yang terjadi di antara ayah tiri dan anak-anak perempuannya. Karena, setelah mereka datang Chen terlihat tertekan dan marah.Mereka berada di ruang baca yang terletak di samping halaman sarnping. Ada banyak buffet kaca berisi bendabenda dari kayu dan batu dengan ukiran rumit nan indah. Di depan meja panjang dengan pelitur coklat mengkilat, Chen berhenti. Menatap sekilas pada anak tirinya lalu berucap pelan."Ada yang curang di perusahaan. Aku tidak tahu siapa.”Daniel mengernyit. ”Benarkah? Perusahaan yang mana?"”Baja ringan.""Dari mana Anda tahu Tuan Chen?”Chen termenung, menatap hamparan taman di balik jendela yang terlihat dari tempatnya berdiri. Bunga-bunga yang tumbuh di sana diurus dengan baik oleh istrinya. Ia tahu, Safitri sangat menyukai berkebun. Bahkan balkon kond
Setiap malam, ia selalu merindukan sosok Fernanda. Mengingat tentang desah, rayuan, erangan, dan kabut gairah saat mereka bercinta. Tangannya gatal ingin membelai tubuh halus wanita itu, dan ingin mencium aroma bunga daritubuh wanita itu. Lagi-lagi, hubungan mereka yang tanpa ada kepastian dan status, membuat keinginannya pupus.”Harusnya, aku berani melamarnya. Mungkin itu adalah hal yang paling dia inginkan." Daniel bergumam pada cincin berlian yang ia letakkan di Iaci meja kerjanya.Sengaja ia menyiapkan untuk Fernanda. Namun, ia tak kunjung berani memberikannya pada Fernanda karena tahu, di hati wanita itu nama Julian Benedict masih bercokol kuat. Demi menghilangkan rasa gundah, ia tenggelam dalam pekerjaan tak berkesudahan tentang pajak dan keuangan.♡♡♡♡♡Suara-suara percakapan, gelak tawa, berbaur dengan denting peralatan makan beradu. Acara makan malam diadakan di ruang tengah yang luas dengan menggunakan dua meja panjang yang dipadu
Jalanan malam kota Jakarta, tidak padat namun juga tidak bisa dikatakan lengang. Di balik kemudi, seorang perempuan cantik berkonsentrasi penuh dengan jalanan di depannya. Fernanda memacu kuda besinya dengan kecepatan sedang. Ia sedang tidak terburu-buru, dan tujuannya sudah tidak jauh lagi. Hanya beberapa ratus meter, dan ia akan memasuki kompleks apartemen yang terbilang eksklusif.Setelah memarkirkan kendaraannya di basement khusus penghuni, ia memilih naik ke lobby terlebih dahulu. Memasuki salah satu coffee shop ternama di lobby, dan membeli 2 cup minuman serta beberapa kudapan ringan. Setelah menyelesaikan transaksi di kasir, kaki jenjangnya melangkah memasuki lift, dan dengan dibantu security untuk menekan tombol lift sesuai lantai yang dituju.Di dalam lift, Fernanda bertemu dengan sepasang suami istri muda. Dari tampilannya jelas sang suami adalah seorang eksekutif muda, dan istrinya sekalipun tidak berdandan mewah namun menampilkan kea
Daniel merasakan kejantanannya menegang dari balik selimut, saat sebuah tangan yang halus tanpa sengaja menyentuhnya. la tergugah, matanya terbuka dan menatap kamar dari balik remang-remang.la berguling, memeluk tubuh hangat dengan tangan menelusup untuk meremas dada yang padat. Secara reflek, mulutnya mencari dan menemukan kehangatan di ceruk Ieher Fernanda. Desahan dan erangan membuat ia sadar, jika wanita dalam pelukannya nyata.“Selamat pagi,” sapa Daniel dengan mulut berada di perut Fernanda, sementara baju wanita itu tersingkap hingga ke dada. ”seperti biasanya, kamu menggairahkan untuk dinikmati.”Fernanda tidak menjawab, matanya terbeliak saat merasakan mulut Daniel menyapu kewanitaannya. la menunggu dengan antipasti tinggi, dan hanya bisa pasrah saat laki-Iaki itu mempermainkannya dengan mulut dan tangan yang lihai.“Daniel, please.” Ia mengerang, tak mampu menahan gairah.“Sabar, Sayang.
Daniel kembali memusatkan fokusnya pada tujuan kedatangannya pagi itu. Tangannya merogoh tas hitam yang ia bawa dan mengeluarkan dua map merah. Dengangesit menjabarkannya di atas meja. Lalu, mulai menerangkan dengan tenang."Ada beberapa kenjanggalan yang ditemukan. Terkait pasokan bahan, pembayaran pada pemasok sayur-mayur, dan harga soft drink. Ditemukan, beberapa catatan yangmemperlihatkan permainan pegawaimu. Mereka menggunakan merek soft drink yangsama tapi dari pemasok berbeda. Menjual soft drink yang tidak ada dalam daftar menu, jugaaa ..., menggunakan bahan masakan berkualitas rendah demi mendulang untung.""Shit!" umpat Cloe sambil mengambil lembaran yang diperlihatkan Daniel."Bukan hanya itu, seorang manager bahkan memanipulasi jumlah stok, porsi yang terjual, hingga tidak membayar secara full pada pemasok sayur mayur dan daging, demi keuntungan pribadi."Cloe memijat pelipisnya, merasakan kemarahan menggelegak dalam dad
"Ahh...." Tubuh perempuan di atas meja itu melengkung ke belakang, sementara laki-laki yang terapit di kedua kakinya bergerak cepat. Derit meja kayu bergerak beriringan dengan suara rintihan keduanya. Desah napas, erang kenikmatan, dan panas tubuh, melebur dalam satu irama.Dalam satu hujaman yang dalam, tubuh keduanya terkulai. Tangan laki-Iaki itu merengkuh sang perempuan yang memejam dan meletakkan kepala perempuan itu di bahunya.“Apa kamu puas?” bisik laki-laki itu lembut. Tangannya mengelus lembut punggung halus dalam dekapannya. ”Mau aku gendong ke ranjang?”Sang perempuan menggeleng. “Nggak, aku bisa jalan sendiri.” Dengan sedikit tekanan, ia mendorong pelan tubuh laki-Iaki yang mendekapnya. Memandang sekilas pada wajah tampan dengan alis tebal dan iris kecoklatan yang dibingkai rambut pendek hitam, lalu turun dari atas meja. Tangannya menyambar jubah sembarangan yang tergeletak di atas ranjang dan melangkah menuju kamar mandi.“Fernanda..."Perempuan itu menghentikan langkah
“Bagaimana dengan panen sawit kita di Bengkulu? Apa semua berjalan lancar?””Iya, Pa. Siap proses dalam waktu dekat. Kemungkinan aku akan ke sana minggu depan.””Bagus, jangan lupakan juga soai pabrik kita di Lampung. Para buruh pabrik itu harus diberikan sedikit bonus, agar mau bekerja lebih keras."“Bukan sedikit, tapi banyak. Bonus akhir tahun,Pa.”Adiyaksa mengangguk senang. Ia menatap anak perempuannya yang sedang menyantap semangkuk bubur di depannya. Perasaan bangga sebagai seorang Papa begitu menguasai hatinya. Didikannya dalam dunia bisnis tidak sia-sia, anak perempuannya dapat berdiri dengan mandiri selama memimpin Perusahaan mereka.”Kamu hebat Nanda, bisa meneruskan apa yang Papa Iakukan.”Fernanda mendongak dari atas mangkuknya. Ditatapnya manik mata Sang Papa yang tengah menatapnya dengan bangga. Ditelannya lebih dahulu makanan dalam mulutnya sebelum menimpali perkataan Sang Papa.“Tapi, para pemegang saham itu sama sekali nggak percaya, Papa. Mereka menekanku untuk mend
Jam makan siang berlalu, tapi Fernanda masih berkutat dengan dokumen di atas meja. la hanya mengguyur lambungnya dengan kopi dan camilan. Itupun sudah dilakukannya tiga jam yang lalu, dan hingga lewat tengah hari hanya air putih dalam gelas di mejanya yang setia menemaninya. Ia sama sekali belum berniat mengisi perutnya dengan makanan lain.Pekerjaan yang menggunung dengan jadwal rapat yang padat, seperti membuatnya terjepit waktu. Ia harus bergerak cepat dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Baginya saat ini setiap menit dan detiknya sangat diperhitungkan guna efisiensi kinerjanya.Pintu diketuk dari luar, tanpa mendongak ia berteriak untuk memberikan izin masuk. Tak lama sosok sekretarisnya muncul. Seorang laki-laki kurus pertengahan dua puluhan datang dengan setumpuk dokumen di Iengan."Miss, mau makan siang? Saya bisa pesankan di restoran yang Anda mau.”Fernanda menggeleng, tak mengangkat wajah dari atas dokumen. ”Nggak bisa Wen, aku masih sibuk." Jawaban singkat ia berikan ke sekre