Share

Friend's - 3

Jam makan siang berlalu, tapi Fernanda masih berkutat dengan dokumen di atas meja. la hanya mengguyur lambungnya dengan kopi dan camilan. Itupun sudah dilakukannya tiga jam yang lalu, dan hingga lewat tengah hari hanya air putih dalam gelas di mejanya yang setia menemaninya. Ia sama sekali belum berniat mengisi perutnya dengan makanan lain.

Pekerjaan yang menggunung dengan jadwal rapat yang padat, seperti membuatnya terjepit waktu. Ia harus bergerak cepat dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Baginya saat ini setiap menit dan detiknya sangat diperhitungkan guna efisiensi kinerjanya.

Pintu diketuk dari luar, tanpa mendongak ia berteriak untuk memberikan izin masuk. Tak lama sosok sekretarisnya muncul. Seorang laki-laki kurus pertengahan dua puluhan datang dengan setumpuk dokumen di Iengan.

"Miss, mau makan siang? Saya bisa pesankan di restoran yang Anda mau.”

Fernanda menggeleng, tak mengangkat wajah dari atas dokumen. ”Nggak bisa Wen, aku masih sibuk." Jawaban singkat ia berikan ke sekretarisnya.

Sang sekretaris mengernyit. “Tapi, Miss. Makan siang itu penting loh. Bagaimana Anda akan punya tenaga untuk mengerjakan semuanya kalau Anda nggak makan?”

Fernanda mendongak dan menatap sekretarisnya dengan heran. ”Astaga Arwen, kamu bawel banget, sih?"

Laki-laki muda yang dipanggil Arwen tersenyum kecil. “Jadi, mau makan apa?"

“Nggak Iapar, udah sana keluar! Panggil aku kalau rapat mau mulai!”

"Miss, masih dua jam lagi itu.”

“Keluar Arwen, kamu mengganggu!”

Mendengar pengusiran boss-nya, Arwen mengangkat bahu dan melangkah keluar. Meski begitu, ia menatap sekilas ke arah Fernanda yang menunduk di atas dokurnen. Saat kakinya mencapai pintu, terlintas ide di kepala Arwen dan membuatnya tersenyum. Dia memang tidak bisa memaksa atasannya untuk makan siang, namun dia tahu seseorang yang bisa melakukannya.

Setelah memeriksa bertumpuk-tumpuk dokumen, menerima panggilan yang nyaris tak berhenti di ponselnya, Fernanda merasa punggungnya kaku. Ia bangkit dari kursi, sedikit menggerakkan bahu dan menarik napas panjang. la berniat menghabiskan sekotak kue yang diberikan Arwen untuknya tadi pagi, saat ketukan di pintu kembali terdengar.

”Masuuk!"

Sosok yang muncul dari balik pintu membuatnya tertegun. Mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah tidak yakin akan kehadiran seseorang yang mulai melangkah memasuki ruangannya.

”Hai, kamu belum makan, Sayang? Aku bawakan salad kesukaanmu.”

Seorang laki-Iaki berkacamata datang dengan kantong makanan di tangan. Dengan cekatan laki-Iaki itu mengeluarkan kotak-kotak makanan itu dan menaruhnya di atas meja sofa.

“Daniel, ada apa? Tumben siang-siang begini datang.”

Daniel terseyum dari atas sofa, mengacungkan kotak di tangannya. ”Mau traktir kamu makan siang. Ayo, sini. Aku beli salad untukmu.”

Dengan enggan, Fernanda meninggalkan mejanya dan duduk di sofa besar di hadapan Daniel. Ia menatap dalam diam saat tangan laki-laki itu bergerak cekatan membuka kotak, mencampur mayonaise dalam sayuran dan menyerahkan padanya.

”Aku tahu kamu pasti belum makan siang. Ayo!”

Amandan menerima kotak, meraih garpu plastik dan mencicipi rasanya. Seketika rasa gurih menyerbu lidah dan membuat nafsu makannya terangkat. Tak menghiraukan Daniel yang duduk memandangnya, ia menyantap salad dengan lahap. Mengisi perutnya yang kosong dan ia butuh tenaga untuk rapat yang sebentar lagi akan berlangsung.

“Enak? Mau tambah buah?”

Fernanda menggeleng. ”Ini saja cukup.”

“Yogurt?”

”Terima kasih.”

Setelah satu kotak salad tandas dalam hitungan menit dan sebotol yogurt habis tak terisa, Fernanda merasa tenaganya pulih.

"Kamu kok tahu aku belum makan?" tanyanya pada laki-Iaki yang asyik makan buah di depannya.

“lyalah, sudah bisa menduga. Kamu kan selalu gitu, lupa makan saat sibuk.”

Fernanda mengernyit. ”Benarkah? Lalu, kamu sendiri nggak sibuk siang ini.”

Daniel mengangkat bahu. "Ada, nanti sore ingin bertemu klien. Yang kebetulan tak jauh dari sini tempat tinggalnya.”

”Tempat tinggal? Tumben? Klien perorangan?"

"lya, pribadi. Seorang mantan artis yang kini sudah menikah dengan salah satu anggota dewan. Ia punya banyak usaha restoran dan ingin berkonsultasi soal pajak penghasilan.”

“Wow, hebat.” Fernanda mengangguk sambil tersenyum. Menatap sosok Daniel yang duduk tenang dengan kacamata membingkai wajah tampan laki-Iaki itu. Daniel mernpunyai mata tajam, bulu mata lentik untuk ukuran seorang laki-laki dan rahang yang kuat. Ia mendesah, dibandingkan Evan yang cenderung macho, Daniel memang terkesan lebih Iembut.

"Sedang melamun apa kamu?”

Pertanyaan Daniel membuat Fernanda tersadar. ”Nggak ada, curna perhatiin aja kalau kamu tampan.”

Suara dengkusan terdengar dari mulut Daniel. “Kamu baru sadar? Astaga Fernanda,” desahnya dramatis.

Fernanda tertawa Iirih, menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. “Sudah tahu dari dulu, hanya saja sekarang mengamati lebih dalam.”

Daniel mengelap tangan dengan tisu dan mencondongkan tubuhnya ke arah Fernanda.

”Kenapa, apa kamu makin cinta sama aku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status