Jam makan siang berlalu, tapi Fernanda masih berkutat dengan dokumen di atas meja. la hanya mengguyur lambungnya dengan kopi dan camilan. Itupun sudah dilakukannya tiga jam yang lalu, dan hingga lewat tengah hari hanya air putih dalam gelas di mejanya yang setia menemaninya. Ia sama sekali belum berniat mengisi perutnya dengan makanan lain.
Pekerjaan yang menggunung dengan jadwal rapat yang padat, seperti membuatnya terjepit waktu. Ia harus bergerak cepat dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Baginya saat ini setiap menit dan detiknya sangat diperhitungkan guna efisiensi kinerjanya.
Pintu diketuk dari luar, tanpa mendongak ia berteriak untuk memberikan izin masuk. Tak lama sosok sekretarisnya muncul. Seorang laki-laki kurus pertengahan dua puluhan datang dengan setumpuk dokumen di Iengan.
"Miss, mau makan siang? Saya bisa pesankan di restoran yang Anda mau.”
Fernanda menggeleng, tak mengangkat wajah dari atas dokumen. ”Nggak bisa Wen, aku masih sibuk." Jawaban singkat ia berikan ke sekretarisnya.
Sang sekretaris mengernyit. “Tapi, Miss. Makan siang itu penting loh. Bagaimana Anda akan punya tenaga untuk mengerjakan semuanya kalau Anda nggak makan?”
Fernanda mendongak dan menatap sekretarisnya dengan heran. ”Astaga Arwen, kamu bawel banget, sih?"
Laki-laki muda yang dipanggil Arwen tersenyum kecil. “Jadi, mau makan apa?"
“Nggak Iapar, udah sana keluar! Panggil aku kalau rapat mau mulai!”
"Miss, masih dua jam lagi itu.”
“Keluar Arwen, kamu mengganggu!”
Mendengar pengusiran boss-nya, Arwen mengangkat bahu dan melangkah keluar. Meski begitu, ia menatap sekilas ke arah Fernanda yang menunduk di atas dokurnen. Saat kakinya mencapai pintu, terlintas ide di kepala Arwen dan membuatnya tersenyum. Dia memang tidak bisa memaksa atasannya untuk makan siang, namun dia tahu seseorang yang bisa melakukannya.
Setelah memeriksa bertumpuk-tumpuk dokumen, menerima panggilan yang nyaris tak berhenti di ponselnya, Fernanda merasa punggungnya kaku. Ia bangkit dari kursi, sedikit menggerakkan bahu dan menarik napas panjang. la berniat menghabiskan sekotak kue yang diberikan Arwen untuknya tadi pagi, saat ketukan di pintu kembali terdengar.
”Masuuk!"
Sosok yang muncul dari balik pintu membuatnya tertegun. Mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah tidak yakin akan kehadiran seseorang yang mulai melangkah memasuki ruangannya.
”Hai, kamu belum makan, Sayang? Aku bawakan salad kesukaanmu.”
Seorang laki-Iaki berkacamata datang dengan kantong makanan di tangan. Dengan cekatan laki-Iaki itu mengeluarkan kotak-kotak makanan itu dan menaruhnya di atas meja sofa.
“Daniel, ada apa? Tumben siang-siang begini datang.”
Daniel terseyum dari atas sofa, mengacungkan kotak di tangannya. ”Mau traktir kamu makan siang. Ayo, sini. Aku beli salad untukmu.”
Dengan enggan, Fernanda meninggalkan mejanya dan duduk di sofa besar di hadapan Daniel. Ia menatap dalam diam saat tangan laki-laki itu bergerak cekatan membuka kotak, mencampur mayonaise dalam sayuran dan menyerahkan padanya.
”Aku tahu kamu pasti belum makan siang. Ayo!”
Amandan menerima kotak, meraih garpu plastik dan mencicipi rasanya. Seketika rasa gurih menyerbu lidah dan membuat nafsu makannya terangkat. Tak menghiraukan Daniel yang duduk memandangnya, ia menyantap salad dengan lahap. Mengisi perutnya yang kosong dan ia butuh tenaga untuk rapat yang sebentar lagi akan berlangsung.
“Enak? Mau tambah buah?”
Fernanda menggeleng. ”Ini saja cukup.”
“Yogurt?”
”Terima kasih.”
Setelah satu kotak salad tandas dalam hitungan menit dan sebotol yogurt habis tak terisa, Fernanda merasa tenaganya pulih.
"Kamu kok tahu aku belum makan?" tanyanya pada laki-Iaki yang asyik makan buah di depannya.
“lyalah, sudah bisa menduga. Kamu kan selalu gitu, lupa makan saat sibuk.”
Fernanda mengernyit. ”Benarkah? Lalu, kamu sendiri nggak sibuk siang ini.”
Daniel mengangkat bahu. "Ada, nanti sore ingin bertemu klien. Yang kebetulan tak jauh dari sini tempat tinggalnya.”
”Tempat tinggal? Tumben? Klien perorangan?"
"lya, pribadi. Seorang mantan artis yang kini sudah menikah dengan salah satu anggota dewan. Ia punya banyak usaha restoran dan ingin berkonsultasi soal pajak penghasilan.”
“Wow, hebat.” Fernanda mengangguk sambil tersenyum. Menatap sosok Daniel yang duduk tenang dengan kacamata membingkai wajah tampan laki-Iaki itu. Daniel mernpunyai mata tajam, bulu mata lentik untuk ukuran seorang laki-laki dan rahang yang kuat. Ia mendesah, dibandingkan Evan yang cenderung macho, Daniel memang terkesan lebih Iembut.
"Sedang melamun apa kamu?”
Pertanyaan Daniel membuat Fernanda tersadar. ”Nggak ada, curna perhatiin aja kalau kamu tampan.”
Suara dengkusan terdengar dari mulut Daniel. “Kamu baru sadar? Astaga Fernanda,” desahnya dramatis.
Fernanda tertawa Iirih, menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. “Sudah tahu dari dulu, hanya saja sekarang mengamati lebih dalam.”
Daniel mengelap tangan dengan tisu dan mencondongkan tubuhnya ke arah Fernanda.
”Kenapa, apa kamu makin cinta sama aku?”
“Apa?” Fernanda menjawab tanpa sadar. Matanya terbelalak kaget, jemarinya meremas ujung blazer yang ia kenakan. Reaksinya membuat Daniel tersenyum, sangat menggemaskan untuk ukuran seorang wanita dewasa.“Jangan kaget begitu, hanya becanda. Ungkapan cinta selalu membuatmu kaget.”“Daniel..."”Aku tahu, hubungan kita hanya kontak fisik. Tanpa cinta, tanpa komitmen. Aku tahu, Nanda." Daniel mengangkat tangannya.Berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri perempuan yang duduk termangu di depannya. Fernanda menatap Daniel dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Dengan lembut, Daniel meraih tangan Fernanda dan mengecup telapak tangan perempuan itu.”Aku berharap, kamu mau mempertimbangkan perasaanku.” Daniel meremas lembut jemari Fernanda dalam genggamannya.Fernanda memejamkan mata, merasakan ketidaknyamanan dari dalam hati. Sebagian dirinya menikmati sentuhan dan ucapan lembut Daniel, namun sebagian lagi seolah membatasi dirinya untuk membuka diri lebih jauh lagi dalam hubungan ini
Rapat yang penuh tekanan berakhir setelah banyak adu argumentasi. Fernanda menyugar rambut panjangnya dan melangkah gontai menuju ruangan, setelah hampir tiga jam beradu urat dengan para peserta rapat. Masih terngiang di otaknya, bagaimana garangnya para jajaran direksi saat menuntut pertanggung- jawabannya. Laba berkurang dua persen dari tahun Ialu, dan dia dikuliti habis-habisan."Miss, mau saya buatkan sesuatu?" Arwen bertanya kuatir, menatap bosnya yang bersandar lemas pada punggung kursi.Sinar matahari menyelusup masuk melalu celah tirai jendela yang terbuka. Meski di dalam ruangan terang benderang karena lampu, masih terlihat bias cahaya menerpa wajah Fernanda. Kelelahan, terpeta jelas di pipi yang pucat.”Arwen, aku beruntung masih keluar hidup-hidup dari sane,” gumam Fernanda.“lya memang. Para direksi itu memang mengerikan.” Arwen bergerak cepat, merapikan dokumen yang berserak di atas meja dan menumpuknya dengan rapi. "Mau kopi, atau sesuatu untuk menyegarkan tenggorokan?”
“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?” Tiba-tiba Julia berteriak, sambil mengedip ke arah Daniel.Seketika gelak tawa terdengar di sekeliling meja.”Aku takut, bukan seleramu, Julia,” jawab Daniel enteng.“Wah, dari dulu aku selalu suka Iaki-laki berkacamata. Dan, itu termasuk kamu.”"Ciee! Udah jadian kalian.” Suara menyemangati membuat riuh suasana.Fernanda mengulum senyum, melihat Daniel tertawa Iirih karena digoda Julia. Mereka semua tahu, jika dari dulu Julia memendam perasaan pada Daniel.“Waah, terima kasih lo. Tapi, aku takut tak mampu membiayai hidupmu yang jetset!” Daniel menjawab diplomatis. Dengan mata melirik Fernanda yang asyik menyantap steaknya. Diam-diam ia merasa senang, saat melihat wanita itu makan dengan lahap.”Aku akan mengejarmu, Daniel. Camkan itu!” Julia berkata setengah mengancam.Fernanda mengulum senyum, masih menunduk di atas piringnya. Tanpa sadar ia tertawa lirih, mendengar rayuan-rayuan yang dilontarkan J
Fernanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.”Hai semua.” Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. ”Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang Iebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku.” Ia menegakkan tubuh dan tertawa. ”Aku pulang dulu, bye.”“Nanda, jangan pulangl” teriak Julia“Nanda, please.” Anis pun ikut merengek.“Maafkan kami, Nanda. Kami nggak ada maksud rnenghina!"Kali ini entah siapa ia yang bicara, Fernanda tak peduli. la rnelangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.Fernanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. la memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataa
"Di sini?”“Iyaaa..."Fernanda menggelinjang, saat jari Daniel kembali bergerak lincah. Membelai, meraba, dan memasukinya. la ingin menggigit bibir bawah, untuk menjaga agar tak berteriak. Ia membiarkan Daniel mengangkat sebelah paha dan meloloskan celana dalamnya hingga ke mata kaki.Lagi-lagi ia menjerit kecil, merasakan kewanitaannya berdenyut mendamba. Tak pelak lagi, erangan keluar dari mulutnya dan seketika dibungkam oleh ciuman bertubi-tubi dari Daniel.“Jika tak ingat kita berada di mana? lngin rasanya menenggelamkan diriku padamu, Nanda.” Dengan satu sentuhan terakhir, Daniel mengakhiri belaiannya. Menatap mata Fernanda yang bersinar redup dan merapikan celana dalam wanita itu.Tak ada kata, tanpa bertukar senyum. Saat sadar jika curah hujan berubah menjadi rintik, Fernanda menarik napas. Rupasnya, ia kehilangan kontrol, dan semua karena Daniel.”Hujan sudah berhenti, aku pulang dulu,” ucapnya parau.“Aku antar, ya?”Fernanda menggeleng, mendorong tubuh Daniel agar menyingkir
“Sial!” runtuk Daniel dalam hati, mengingat jika pertemuan nanti bersama keluarganya akan ada banyak caci-maki dan amarah.Ia paham betul tabiat keluarganya. Untuk kali ini sepertinya Daniel harus mempersiapkan hati dan juga telinganya saat berhadapan dengan keluarga besarnya. Mereka memang jarang berkumpul, namun seperti tidak ada kedamaian saat mereka berkumpul.Ponsel di atas dasbord bergetar, ia melihat nama Fernanda tertera di Iayar. Seketika, senyum merekah di mulutnya.“Hallo, Nanda.”Tak lama, suara Fernanda menyahut serak.”Kamu di mana? Aku ada di apartemenmu.”“Oh ya? Sudah lama atau baru sampai?"”Aku punya lingere baru, merah.”Daniel terdiam, merasa tubuhnya memanas. Pikiran tentang lingere merah membalut tubuh Fernanda yang sexy membuat darahnya berdesir. Mengabaikan perasaan aneh karena Fernanda yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu, ia berdehem.”Aku akan tiba, dalam tiga puluh menit.”Setelahnya, ia memacu mobil lebih cepat dari kecepatan semula. Mener
Sepeninggal Fernanda, yang terburu-buru pergi ke bandara. Ia membersihkan diri, berganti baju dan memacu kendaraannya menuju rumah besar yang sudah beberapa tahun ini tak pernah ia datangi.Deretan mobil mewah terparkir di halaman luas sebuah rumah berlantai lima dengan tembok bercat putih. Ada empat pilar kokoh, menyangga bagian teras. Pintu kayu yang berada di tengah teras, terbuka. Menampakkan ruang tamu luas, dengan sofa kulit berlapis beludru terhampar di ruangan.”Wah-wah, anak yang hilang sudah pulang ternyata.” Suara seorang Iaki-laki tua terdengar menggelegar saat Daniel memasuki ruangan. la mengedarkan pandangan, pada beberapa orang yang duduk di atas sofa, seperti menunggunya. Matanya tertuju pada sosok wanita berusia setengah abad, yang duduk di sofa dekat dinding."Mama, apa kabar?" la menghampiri wanita itu dan mengecup kedua pipinya.”Daniel, berapa lama kamu tidak datang menemuiku?” Suara sang wanita terdengar serak
Daniel duduk dengan tangan ditekuk di atas pangkuan. Sementara avah tirinya mondar-mandir di depannya dengan Iangkah linglung. la tak tahu apa yang terjadi di antara ayah tiri dan anak-anak perempuannya. Karena, setelah mereka datang Chen terlihat tertekan dan marah.Mereka berada di ruang baca yang terletak di samping halaman sarnping. Ada banyak buffet kaca berisi bendabenda dari kayu dan batu dengan ukiran rumit nan indah. Di depan meja panjang dengan pelitur coklat mengkilat, Chen berhenti. Menatap sekilas pada anak tirinya lalu berucap pelan."Ada yang curang di perusahaan. Aku tidak tahu siapa.”Daniel mengernyit. ”Benarkah? Perusahaan yang mana?"”Baja ringan.""Dari mana Anda tahu Tuan Chen?”Chen termenung, menatap hamparan taman di balik jendela yang terlihat dari tempatnya berdiri. Bunga-bunga yang tumbuh di sana diurus dengan baik oleh istrinya. Ia tahu, Safitri sangat menyukai berkebun. Bahkan balkon kond
Kalimat spontan yang diucapkan Fernanda dengan tegas dan lugas cukup mengajutkan lawan bicaranya. Kali ini, bukan hanya Mei Ling yang kaget, Daniel pun sama. Laki-laki itu memandang Fernanda dengan ekpresi tidak percaya. Seribu tanya ada di dalam isi kepalanya, namun dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya atau mendebat Fernanda.“Apa?” tanya Mei Ling sekali lagi. ”kamu mengaku-aku tunangan Daniel?"”Hah, aku memang tunangannya. Kami akan menikah bulan depan. Sudah sewajarnya kalau aku membelanya. Jangan lagi menuduhnya macam-macam!"Mei Ling mendengkus marah, memandang penuh dendam pada Daniel dan Fernanda. Lalu membalikkan tubuh tanpa mengatakan apa pun lagi.Fernanda memandang kepergian wanita itu dengan kelegaan. Tadinya, ia berpikir akan mencakar dan memukul wanita itu di sini, untunglah semua ketakutannya tak terjadi.“Nanda.”la mendongak, menatap Daniel yang tertegun."Iya, ada apa
Atmosfer tegang masih tercipta dalam ruangan itu, Ketiga anak perempuan Chen beserta suami mereka masih menatap Daniel dengan sinis. Chen mengangguk, menerima dokumen yang diulurkan padanya dan membawanya ke meja kayu. la membuka satu per satu lembaran dan tekun membaca.“Apa para kakakmu itu ada dendam padamu?” bisik Fernanda pada Daniel.“Nggak ada, kenapa?” tanya Daniel balik.“Entahlah, sikap mereka seakaan dengan senang hati akan mencincang tubuhmu jika diberi kesempatan. Terutama, Si Kurus yang sepertinya Kakak tertua.”Daniel tertawa Iirih. “Kalau begitu, kamu harus melindungiku. Karena, aku tak yakin bisa melawan mereka bertiga sendirian.”Fernanda terkikik sambil menutup mulut. Diam-diam mencuri pandang pada wanita- wnaita yang duduk di seberangnya. Mereka terlihat angkuh dan sombong. Sementara para laki-laki, hanya duduk tak peduli. la memandang tak suka pada suami Anaa, karena laki-laki itu
“Apa kamu siap?”“Apa, sih? Kayak mau diintrograsi polisi.”“Bukan memang tapi masuk tiang gantungan.”Fernanda tertawa. Meraih Iengan Daniel dan keduanya melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah besar di hadapan mereka. Rumah yang terasa sunyi meski ia tahu di dalam ada banyak penghuni sedang berkurnpul. Daniel memohon padanya, agar Fernanda menemani ke rumah orang tuanya. lni pertama kali baginya, menginjak rumah keluarga laki-laki itu.Setelah pembicaraan intens yang ditutup dengan dua sesi bercinta yang menggebu-gebu, keduanya sepakat untuk saling menjajaki dalam satu hubungan yang serius.“Aku nggak mungkin sesempurna Evan, tapi aku bisa pastikan kalau aku cinta sama kamu.”Fernanda menjawab lembut. “Aku bukan Renata. Aku hanya mengharap Daniel apa adanya, bukan Iaki-laki yang ingin menjadi seperti Evan.”Dengan tubuh berpeluh dan hati yang bertaut, keduanya berpel
“Ooh, begitu. Kamu menganggap aku kekanak-kanakan? Baiklah, kalau itu maumu.”Daniel merentangkan lengan, menunjuk ke arah pintu. “Silakan keluar, aku sibuk!”“Daniel, bukan begitu. Kamu salah paham.”“Bagian mana dari ucapanmu yang membuatku salah paham. Nanda,” ucap Daniel sedikit emosi. ”Kamu mengatakan aku kenak-kanakkan karena aku cemburu. Kamu nggak suka aku cemburu karena memang dari awal hubungan ita hanya sekadar sex! Baiklah, aku mengerti. Sekarang, tinggalkan aku sendiri!”Daniel berbalik, kembali menghadap meja. Mengabaikan wanita yang terlihat salah tingkah.”Aku tidak ada maksud seperti itu.” Fernanda memijat kepalanya. ”Aku mau minta maaf karena sudah membuatmu marah. Aku--,”“Aku mengerti, pergilah Nanda!” sela Daniel dingin.Fernanda mengerjap, matanya memanas. Titik air mata mulai menetes di ujung pelupuk. la merasa sakit
Malam kian larut, udara sejuk dari pendingin ruangan di kamar Fernanda membuat sesi curhat antara Mama dan anak malam itu semakin serius. Fernanda sudah menyamankan posisi setengah merebahnya dengan tumpukan bantal menopang punggungnya yang lelah. Sementara sang Mama masih setia dengan duduk di pinggir ranjang, dekat dengan posisi Fernanda berbaring.“Harusnya, kalau memang kamu nggak siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun, jauhi. Jangan clatangi dia saat kamu sedih, dan berpaling saat kamu bahagia.”“Nanda nggak berpaling, Ma. Kama hanya teman biasa.”“Jelaskan pada Daniel kalau begitu.”“Sudah, dia nggak mau dengar.”“Karena kamu melakukannya setengah hati.” Jihan mendatangi anaknya, mengelus rambut lembut milik Fernanda. "Mama ingat dulu kalian bertiga selalu bersama. Kamu, Evan, dan Daniel. Keduanya sama baik dan menawan. Tapi, dari dulu Daniel memang menunjukkan rasa cin
Kamar yang sepi, hanya terdengar dengung pelan dari pendingin ruangan. Fernanda yang baru saja pulang dari kantor, tanpa mengganti baju lebih dulu, merebahkan diri di ranjang, Menatap nanar pada langit-Iangit kamar yang dilukis bunga-bunga warna krem lembut. Ada lampu kristal kecil tergantung di tengah-tengah.Tangannya terulur ke dahi, memijat lembut di sekitar kepala. Migrain yang ia rasakan dari tadi sore tak jua sirna meski ia sudah meminum obat. Segelas Teh Camomile hangat pun sudah diteguknya hingga tandas, namun peningnya tak kunjung mereda.Benaknya berpikir cepat tentang rapat tak berkesudahan, penyelesaian cepat dari satu masalah ke masalah lain, memastikan produksi lancar, hingga memikirkan tentang Daniel.Desahan resah keluar dari mulutnya saat pikirannya tertuju pada Daniel. Laki-laki yang selama dua tahun ini selalu berada di sisinya. Dia masih tak mengerti salahnya di mana, dan kenapa Daniel begitu emosi saat melihatnya bersama Kama. Padahal, itu
Evan mengernyit memandang istrinya. Tidak memperhatikan anak perempuan mereka yang kini bernyanyi keras sambil berkeliling ruangan dengan air mineral di tangan.”Kenapa kamu kasihan padanya? Apa kamu masih ada rasa buat dia?”Renata mengernyit, rnulutnya mencebik. ”Jangan ngaco, Sayang. Dia kan temanmu.”“Justru itu, cukup aku saja yang mengkuatirkannya. Kenapa kamu ikut-ikutan?””Lah, kamu cerita dan aku menanggapi. Kok kamu aneh?” sungut Renata tak percaya.Evan mengulum senyum, meraih istrinya dalam pelukan dan mengecup dahi Renata. ”Aku cemburu, nggak mau kalau istriku memikirkan laki-laki Iain.””Lebay tahu nggak?”“Biar saja, itu tandanya aku cinta. Bagaimana kalau nanti malam kita titipkan anak- anak di rumah Mama? Kita nikmati malam berdua?” bisik Evan di telinga istrinya.”Mesum,” balas Renata dengan tubuh menghangat. &ldquo
Daniel meletakkan foto kembali ke atas meja. Benaknya berpikir cepat tentang masa-masa muda mereka. Bagaiman mereka bertiga selalu bersama. Jika diingat lagi, memang apa yang dikatakan Evan itu benar. Fernanda dari dulu terkenal wanita yang tak mudah menyerah jika menginginkan sesuatu. Wanita yang tidak suka jika harga dirinya diremehkan.“Entah kenapa, akhir-akhir ini dia terlihat rapuh,” gumam Daniel lebih pada diri sendiri.Ruangan sunyi, kedua laki-laki tampan yang duduk berhadapan di sofa terdiam dengan pikiran masing-masing. Jika Daniel merasa tidak berdaya, beda dengan Evan yang terbebani rasa bersalah. Mereka memikirkan tentang satu wanita yang sama.”Bagaimanapun, ada andilku yang turut merusak dirinya. Aku sadar dan sama sekali tidak merasa bangga pada apa yang sudah kulakukan. Tapi, aku juga tahu kalau dia wanita yang kuat dan tegar. Tidak akan berkubang dalam duka dan kesedihan.” Evan berucap pelan, setelah jeda kesunyian yang
Daniel mengamati kantor Evan, yang tidak berubah dari terakhir kali ia datang. Meja besar, sofa kulit, dan Iemari-Iemari besar untuk menyimpan dokumen yang berdiri kokoh menempel dinding. Yang berubah hanya satu, kini banyak foto dalam pigura besar yang dipajang di dinding. la melihat ada Evan dan keluarga kecilnya. Serta foto bayi laki-laki Iucu dalam berbagai ukuran.Pandangannya beralih pada laki-laki tinggi yang sedang menuang kopi di cangkir dan menyerahkan padanya. Dalam balutan kemeja biru langit yang lengannya digulung hingga siku, serta vest abu-abu dan celana bahan yang senada, Evan tampak terlihat cerah dan bahagia.”Kamu terlihat berbeda,” ucapnya sambil menerima kopi.“Apanya?” tanya Evan balik.Daniel menyeruput kopi perlahan, menghirup aroma pekat yang menggiurkan. Masih sama seperti kebiasaanya dahulu, Evan selalu meracik sendiri kopinya untuk dihidangkan pada tamu-tamunya. Pernah terbersit dalam pikiran Daniel dulu