“Bagaimana dengan panen sawit kita di Bengkulu? Apa semua berjalan lancar?”
”Iya, Pa. Siap proses dalam waktu dekat. Kemungkinan aku akan ke sana minggu depan.”
”Bagus, jangan lupakan juga soai pabrik kita di Lampung. Para buruh pabrik itu harus diberikan sedikit bonus, agar mau bekerja lebih keras."
“Bukan sedikit, tapi banyak. Bonus akhir tahun,Pa.”
Adiyaksa mengangguk senang. Ia menatap anak perempuannya yang sedang menyantap semangkuk bubur di depannya. Perasaan bangga sebagai seorang Papa begitu menguasai hatinya. Didikannya dalam dunia bisnis tidak sia-sia, anak perempuannya dapat berdiri dengan mandiri selama memimpin Perusahaan mereka.
”Kamu hebat Nanda, bisa meneruskan apa yang Papa Iakukan.”
Fernanda mendongak dari atas mangkuknya. Ditatapnya manik mata Sang Papa yang tengah menatapnya dengan bangga. Ditelannya lebih dahulu makanan dalam mulutnya sebelum menimpali perkataan Sang Papa.
“Tapi, para pemegang saham itu sama sekali nggak percaya, Papa. Mereka menekanku untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.”
”Omong kosong! Kamu sudah nyaris mendekati pencapaianku!” Adiyaksa menggebrak meja dengan emosionai.
Fernanda tersenyum, menatap Papanya yang menggebrak meja. Mengulurkan tangan untuk menangkup tangan sang Papa dan berkata Iembut. “Nyaris, Papa. Tapi, belum.”
”Tapi...."
"Nanda akan berusaha."
”Sudah-sudah, kalian makan dulu. Pekerjaan aja yang dibahas!” Jihan datang dari arah dapur, membawa nampan berisi obat-obatan dan menyodorkannya ke arah sang suami. ”lngat tekanan darah, Pa. Percaya saja sama Fernanda. Jangan marah-marah.”
Adiyaksa menarik napas dan menerima obat yang diulurkan istrinya. Obat rutin yang harus ia konsumsi demi menjaga stabilitas kondisi fiisknya. Dengan segelas air, ia meneguk butiran obat di dalam telapak tangan.
“Papa, jangan lupa jadwal terapi hari ini." Fernanda berkata sambil mengelap mulut. “Maaf aku nggak bisa anterin. Ada jadwal rapat nanti sore.”
Adiyaksa mengangguk, ditepuknya lembut bahu putrinya ”Aku bisa pergi sama Mamamu. Kamu urus saja perusahaan dengan baik Nanda.”
Fernanda bangkit dari kursinya, meraih tas hitam yang sedari tadi ia letakkan di atas kursi sampingnya. Setelah mengecup pipi kedua orang tuanya, ia melangkah keluar menuju halaman depan, tepat ke arah mobilnya yang telah terparkir untuk berangkat ke kantor. Suara sepatunya beradu dengan lantai terdengar nyaring.
Adiyaksa menarik napas, memijat pelipisnya. Gurat kesedihan tergambar pada kerutan di pelipisnya. Ia memperhatikan kepergian anak perempuannya dengan keprihatian. Ia merasa gagal sebagai orangtua, tak dapat diandalkan saat anaknya membutuhkan bantuan.
“Apa dia belum punya kekasih baru?" tanyanya pada sang istri yang kini duduk di sampingnya.
Jihan menggeleng lemah. “Setahuku belum. Semenjak kandasnya hubungan dengan Evan seperti membuatnya terluka begitu dalam.”
”Brengsek! Laki-iaki itu telah menghancurkan Fernanda! Dan kini, dia bisa bahagia bersama anak dan istrinya. Sedangkan anak kita terus menerus berkubang dalam kesedihan. Kenapa ini sungguh tidak adil untuk anak kita.”
Jihan mendesah sedih, memikirkan nasib anak perempuannya. ”Terlalu banyak kenangan yang sudah mereka lalui bersama. Sudah dua tahun berlalu dan Fernanda belum bisa melupakan Evan.”
"Bahkan setelah laki-laki itu menghancurkan hatinya.” Adiyaksa meraih gelas dan meneguknya. Perasaan marah yang menggerogoti hati, membuat rasa hausnya meningkat. ”Jika aku masih sekuat dulu, andai aku bisa bergerak bebas, ingin rasanya kuhajar hingga babak belur si Julian Benedict!”
”Kamu pikir, Fernanda akan membiarkan kita melakukan itu?” Jihan mengembuskan napas berat. "Bahkan sampai sekarang, ia masih menyimpan foto-foto kenangan dan pertunangan mereka di dalam Iaci. Aku tahu, anak kita belum bisa melupakan Evan."
Adiyaksa tertunduk lesu, merasa tak berdaya. Bagimana pun, apa yang dikatakan istrinya memang benar adanya. Fernanda belum melupakan sang mantan tunangan, tak peduli jika laki-laki itu kini telah bahagia bersama perempuan lain.
Dengan mata nanar menatap meja yang penuh dengan hidangan, ia berharap anaknya akan bahagia segera. Mendadak, suatu ide terlintas di kepalanya. Adiyaksa menoleh ke arah istrinya yang sedang mengoles mentega di atas roti dan berkata pelan.
”Aku ingin mengadakan makan malam, bisakah kamu membantuku mengaturnya?”
Jihan mendongak heran. ”Kok mendadak sekali? Dalam rangka apa?”
Ada nada penuh kecurigaan dalam pertanyaan Jihan. Suaminya bukan seseorang yang suka mengadakan pesta atau jamuan secara mendadak dan tanpa perencanaan yang matang sebelumnya.
Adiyaksa mengangkat bahu. “Anggap perayaan kesembuhanku. Undang seluruh jajaran direksi. Acara diadakan di rumah ini.”
“Baiklah, ada lagi?”
“Yah, khusus Pak Prambudi, minta dia untuk membawa anak Iaki-lakinya yang pengacara itu. Aku ingin konsultasi sesuatu.”
Jihan mengangguk, mencatat dalam otaknya semua permintaan sang suami yang terasa mendadak. la tak membantah, hanya mengangguk dan berpikir cepat bagaimana agar permintaan suaminya bisa diwujudkan dengan sempurna. Namun tak dapat ditampik, Jihan mencium adanya suatu rencana yang sedang dirancang oleh suaminya.
Jam makan siang berlalu, tapi Fernanda masih berkutat dengan dokumen di atas meja. la hanya mengguyur lambungnya dengan kopi dan camilan. Itupun sudah dilakukannya tiga jam yang lalu, dan hingga lewat tengah hari hanya air putih dalam gelas di mejanya yang setia menemaninya. Ia sama sekali belum berniat mengisi perutnya dengan makanan lain.Pekerjaan yang menggunung dengan jadwal rapat yang padat, seperti membuatnya terjepit waktu. Ia harus bergerak cepat dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Baginya saat ini setiap menit dan detiknya sangat diperhitungkan guna efisiensi kinerjanya.Pintu diketuk dari luar, tanpa mendongak ia berteriak untuk memberikan izin masuk. Tak lama sosok sekretarisnya muncul. Seorang laki-laki kurus pertengahan dua puluhan datang dengan setumpuk dokumen di Iengan."Miss, mau makan siang? Saya bisa pesankan di restoran yang Anda mau.”Fernanda menggeleng, tak mengangkat wajah dari atas dokumen. ”Nggak bisa Wen, aku masih sibuk." Jawaban singkat ia berikan ke sekre
“Apa?” Fernanda menjawab tanpa sadar. Matanya terbelalak kaget, jemarinya meremas ujung blazer yang ia kenakan. Reaksinya membuat Daniel tersenyum, sangat menggemaskan untuk ukuran seorang wanita dewasa.“Jangan kaget begitu, hanya becanda. Ungkapan cinta selalu membuatmu kaget.”“Daniel..."”Aku tahu, hubungan kita hanya kontak fisik. Tanpa cinta, tanpa komitmen. Aku tahu, Nanda." Daniel mengangkat tangannya.Berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri perempuan yang duduk termangu di depannya. Fernanda menatap Daniel dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Dengan lembut, Daniel meraih tangan Fernanda dan mengecup telapak tangan perempuan itu.”Aku berharap, kamu mau mempertimbangkan perasaanku.” Daniel meremas lembut jemari Fernanda dalam genggamannya.Fernanda memejamkan mata, merasakan ketidaknyamanan dari dalam hati. Sebagian dirinya menikmati sentuhan dan ucapan lembut Daniel, namun sebagian lagi seolah membatasi dirinya untuk membuka diri lebih jauh lagi dalam hubungan ini
Rapat yang penuh tekanan berakhir setelah banyak adu argumentasi. Fernanda menyugar rambut panjangnya dan melangkah gontai menuju ruangan, setelah hampir tiga jam beradu urat dengan para peserta rapat. Masih terngiang di otaknya, bagaimana garangnya para jajaran direksi saat menuntut pertanggung- jawabannya. Laba berkurang dua persen dari tahun Ialu, dan dia dikuliti habis-habisan."Miss, mau saya buatkan sesuatu?" Arwen bertanya kuatir, menatap bosnya yang bersandar lemas pada punggung kursi.Sinar matahari menyelusup masuk melalu celah tirai jendela yang terbuka. Meski di dalam ruangan terang benderang karena lampu, masih terlihat bias cahaya menerpa wajah Fernanda. Kelelahan, terpeta jelas di pipi yang pucat.”Arwen, aku beruntung masih keluar hidup-hidup dari sane,” gumam Fernanda.“lya memang. Para direksi itu memang mengerikan.” Arwen bergerak cepat, merapikan dokumen yang berserak di atas meja dan menumpuknya dengan rapi. "Mau kopi, atau sesuatu untuk menyegarkan tenggorokan?”
“Daniel, kamu makin lama makin tampan. Kenapa sih, kamu nggak pernah mau macari aku?” Tiba-tiba Julia berteriak, sambil mengedip ke arah Daniel.Seketika gelak tawa terdengar di sekeliling meja.”Aku takut, bukan seleramu, Julia,” jawab Daniel enteng.“Wah, dari dulu aku selalu suka Iaki-laki berkacamata. Dan, itu termasuk kamu.”"Ciee! Udah jadian kalian.” Suara menyemangati membuat riuh suasana.Fernanda mengulum senyum, melihat Daniel tertawa Iirih karena digoda Julia. Mereka semua tahu, jika dari dulu Julia memendam perasaan pada Daniel.“Waah, terima kasih lo. Tapi, aku takut tak mampu membiayai hidupmu yang jetset!” Daniel menjawab diplomatis. Dengan mata melirik Fernanda yang asyik menyantap steaknya. Diam-diam ia merasa senang, saat melihat wanita itu makan dengan lahap.”Aku akan mengejarmu, Daniel. Camkan itu!” Julia berkata setengah mengancam.Fernanda mengulum senyum, masih menunduk di atas piringnya. Tanpa sadar ia tertawa lirih, mendengar rayuan-rayuan yang dilontarkan J
Fernanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.”Hai semua.” Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. ”Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang Iebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku.” Ia menegakkan tubuh dan tertawa. ”Aku pulang dulu, bye.”“Nanda, jangan pulangl” teriak Julia“Nanda, please.” Anis pun ikut merengek.“Maafkan kami, Nanda. Kami nggak ada maksud rnenghina!"Kali ini entah siapa ia yang bicara, Fernanda tak peduli. la rnelangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.Fernanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. la memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataa
"Di sini?”“Iyaaa..."Fernanda menggelinjang, saat jari Daniel kembali bergerak lincah. Membelai, meraba, dan memasukinya. la ingin menggigit bibir bawah, untuk menjaga agar tak berteriak. Ia membiarkan Daniel mengangkat sebelah paha dan meloloskan celana dalamnya hingga ke mata kaki.Lagi-lagi ia menjerit kecil, merasakan kewanitaannya berdenyut mendamba. Tak pelak lagi, erangan keluar dari mulutnya dan seketika dibungkam oleh ciuman bertubi-tubi dari Daniel.“Jika tak ingat kita berada di mana? lngin rasanya menenggelamkan diriku padamu, Nanda.” Dengan satu sentuhan terakhir, Daniel mengakhiri belaiannya. Menatap mata Fernanda yang bersinar redup dan merapikan celana dalam wanita itu.Tak ada kata, tanpa bertukar senyum. Saat sadar jika curah hujan berubah menjadi rintik, Fernanda menarik napas. Rupasnya, ia kehilangan kontrol, dan semua karena Daniel.”Hujan sudah berhenti, aku pulang dulu,” ucapnya parau.“Aku antar, ya?”Fernanda menggeleng, mendorong tubuh Daniel agar menyingkir
“Sial!” runtuk Daniel dalam hati, mengingat jika pertemuan nanti bersama keluarganya akan ada banyak caci-maki dan amarah.Ia paham betul tabiat keluarganya. Untuk kali ini sepertinya Daniel harus mempersiapkan hati dan juga telinganya saat berhadapan dengan keluarga besarnya. Mereka memang jarang berkumpul, namun seperti tidak ada kedamaian saat mereka berkumpul.Ponsel di atas dasbord bergetar, ia melihat nama Fernanda tertera di Iayar. Seketika, senyum merekah di mulutnya.“Hallo, Nanda.”Tak lama, suara Fernanda menyahut serak.”Kamu di mana? Aku ada di apartemenmu.”“Oh ya? Sudah lama atau baru sampai?"”Aku punya lingere baru, merah.”Daniel terdiam, merasa tubuhnya memanas. Pikiran tentang lingere merah membalut tubuh Fernanda yang sexy membuat darahnya berdesir. Mengabaikan perasaan aneh karena Fernanda yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu, ia berdehem.”Aku akan tiba, dalam tiga puluh menit.”Setelahnya, ia memacu mobil lebih cepat dari kecepatan semula. Mener
Sepeninggal Fernanda, yang terburu-buru pergi ke bandara. Ia membersihkan diri, berganti baju dan memacu kendaraannya menuju rumah besar yang sudah beberapa tahun ini tak pernah ia datangi.Deretan mobil mewah terparkir di halaman luas sebuah rumah berlantai lima dengan tembok bercat putih. Ada empat pilar kokoh, menyangga bagian teras. Pintu kayu yang berada di tengah teras, terbuka. Menampakkan ruang tamu luas, dengan sofa kulit berlapis beludru terhampar di ruangan.”Wah-wah, anak yang hilang sudah pulang ternyata.” Suara seorang Iaki-laki tua terdengar menggelegar saat Daniel memasuki ruangan. la mengedarkan pandangan, pada beberapa orang yang duduk di atas sofa, seperti menunggunya. Matanya tertuju pada sosok wanita berusia setengah abad, yang duduk di sofa dekat dinding."Mama, apa kabar?" la menghampiri wanita itu dan mengecup kedua pipinya.”Daniel, berapa lama kamu tidak datang menemuiku?” Suara sang wanita terdengar serak