Seorang gadis berumur sekitar sebelas tahun sedang termenung di ruang tamu.
Tanpa rasa takut ia memeluk boneka pandanya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Wajahnya tertekuk menanti seseorang.
Dari belakang datang wanita paruh baya yang tergopoh-gopoh, berjalan cepat ke arahnya.
"Nona Shine, nona Shine."
Gadis kecil itu menengok melihat seseorang memanggil namanya.
"Meri."
"Nona kenapa ada disini? Saya mencari nona kemana-mana. Ini sudah malam nona, ayo tidur. Tuan Ed akan marah kalau tuan tau nona masih belum tidur juga."
"Aku sedang menunggunya."
"Tuan Ed akan pulang besok pagi nona, jadi nona tidur saja."
"Kalau begitu tinggalkan aku sendiri disini. Aku ingin menunggunya."
Wanita yang dipanggil Meri hanya terdiam, nonanya memang keras kepala. Tidak ada seorangpun yang bisa membujuknya kecuali Edward, sang kakak. Akhirnya, dengan berat hati Meri memutuskan untuk menemani nona mudanya menunggu Ed.
.
Sementara itu...
"Kau tidak pulang Ed?"
"Tidak sekarang Caroline."
Caroline membenarkan tas, kemudian ikut duduk di kursi bar bersama sahabatnya itu.
"Kau sangat berubah Ed, kau lebih pendiam. Kenapa kau selalu pulang larut?"
"Aku hanya merasa jika aku pulang ke rumah sekarang, kenangan itu akan muncul kembali. Kenangan bersama orang tuaku."
Caroline tau yang Ed maksud, ia tau Ed sangat terpukul dengan apa yang menimpanya.
"Edward.. sudah satu tahun berlalu sejak kecelakaan itu. Kau harus bisa mengikhlaskan orang tuamu."
Pria itu meneguk satu gelas kecil sampanye.
"Kenapa mereka meninggalkan kami secepat itu?" Ia tersenyum hambar. "Padahal Shine masih membutuhkan mereka."
"Shine membutuhkanmu." tegas Caroline.
"Aku hanya takut jika aku tidak bisa menjadi kakak yang baik untuknya."
"Kau orang baik Ed, aku yakin kau bisa menjaganya."
"Kau tau Caroline? Aku sangat lelah. Andai aku bukan anak yang tertua, aku pasti tidak akan mewarisi perusahaan sebesar itu sendirian. Aku merasa aku tidak mampu."
Caroline menepuk pundak Edward. "Kau orang yang luar biasa Ed. Aku yakin kau bisa melewati semua ini."
Edward tersenyum. "Bagaimana denganmu? Kau juga terlihat sangat lelah." tanyanya balik.
"Ya sedikit ada masalah tentang pasien jantungku."
"Maksudmu, pria yang kau ceritakan waktu itu?"
"Ya, aku takut terjadi apa-apa padanya, kondisinya makin tidak stabil, dan keluarganya terlihat sangat bersedih dan putus asa." jelas Caroline menerawang.
"Apa keluarganya masih lengkap?"
"Ya, dan setiap hari, mereka selalu menantikan pria itu sadarkan diri, padahal aku tau kemungkinan ia sembuh sangatlah tipis." Caroline membuang napas.
Keheningan melanda, hanya suara dentuman musik halus dan dentingan gelas-gelas kaca yang beradu dengan meja.
Edward terus sibuk meneguk minumannya, sedangkan Caroline tetap menemani pria itu.
"Carol...."
"Hmm..ya?"
"Jika terjadi sesuatu padaku, bisakah kau ambil jantungku dan berikan pada pria itu?"
Caroline tertawa. "Hentikan omong kosongmu itu Ed."
Edward ikut tertawa dan kembali meminum minumannya.
"Setidaknya, masih banyak orang-orang yang menantinya untuk sembuh. Menantinya untuk kembali."
.
Ucapan adalah doa.
Pepatah itu mungkin sangat tepat untuk diri Edward sekarang.
Ia ditemukan sekarat setelah mobil yang ia tumpangi menabrak sebuah pembatas jalan hingga hancur.
"Kau benar-benar keterlaluan Ed." ucap Caroline dengan suara bergetar ketika terburu-buru membawa Ed ke ruang IGD bersama para perawat disampingnya.
Tangan Edward masih dapat bergerak. Ia dalam keadaan setengah sadar.
Dengan sigap para perawat itu memberi pertolongan pertama dan memasang selang infus untuk Edward dibantu oleh Caroline.
"Ca..roline.." panggil Ed lemah.
"Jangan bicara Ed."
"Ku mohon hentikan, aku sudah lelah."
"Tidak Ed."
"Aku tidak sanggup menerima semuanya."
"Hentikan Ed, kau pria yang baik."
Dengan perlahan Edward mencoba meraih tangan Caroline dengan sekuat tenaga.
"Ku mohon Carol, aku sudah lelah."
Caroline hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mulai berjatuhan ke pipi dan bibir pucatnya.
"Caroline, seperti permintaanku, tolong berikan jantungku pada pasienmu itu."
Caroline menggeleng kuat. "Tidak Ed."
Edward tersenyum. "Aku tau kau adalah dokter yang baik. Kau pasti.. tau.. apa yang terbaik untukku.. dan juga pasienmu." ucapnya terbata.
Air mata mengucur deras di pipi Caroline. "Maafkan aku Ed, maafkan aku." pungkasnya menggenggam erat tangan Ed sebelum membulatkan keputusan yang ia ambil dengan sangat berat hati.
Ia melepas tangan Ed dan memandangi sekelilingnya.
"Persiapkan operasi untuk tuan Daffa Revano Abrata yang ada di ruang ICU." perintahnya pada para perawat dan berlalu meninggalkan ruangan itu.
Dengan mengusap air matanya yang tanpa henti mengalir, Caroline pergi ke ruang ICU, tepatnya ruangan dimana Daffa berada.
Disana ia melihat ibu dari pria itu yang bernama Ema, tengah bersandar di pundak seorang pria paruh baya yang Caroline tau adalah ayah Daffa, Brata.
Sedangkan kembarannya, Darren, duduk disebelahnya.
Mata Ema terlihat sembab. Seperti terus menangis berhari-hari.
Begitu melihat Caroline, mereka semua bangkit dan mendekat.
"Kami akan segera mengoperasi Daffa." tukas Caroline tanpa basa basi.
"Apa?" kembarannya terlihat kaget. Begitu juga dengan orangtuanya.
"Ada seseorang yang ingin mendonorkan jantungnya pada Daffa. Jadi kami akan segera melakukan operasi."
"Benarkah?"
Tangan Caroline digenggam erat oleh Ema dengan mata berbinar yang dengan jelas menunjukkan harapan.
Caroline mengangguk.
"Siapa dia? Bisakah kami bertemu dengannya?"
Caroline menelan ludah. Kemudian mengiyakan permintaan Ema.
Ia mengantar ibu itu ke ruangan dimana Edward sudah dipindahkan. Disana pria itu sudah tergeletak tak berdaya.
Dan yang paling Caroline takuti adalah melihat kematian sahabatnya sendiri yang sudah di depan mata. Ia memutuskan mengoperasi Daffa dan menyetujui permintaan Ed untuk mendonorkan jantungnya pada pria itu. Artinya, ia tidak memberikan pengobatan pada Ed, dan membiarkan pria itu mendekati ajalnya untuk diambil jantungnya.
Demi Tuhan. Ini adalah keputusan terberat Caroline.
Ia harus melakukannya karena Ed menginginkannya.
Selama ini pria itu sudah bertahan lebih lama dengan kehidupannya. Beban yang sangat berat dan depresi yang berkepanjangan hanya akan menyiksanya.
Semoga keputusan yang Caroline buat adalah keputusan yang tepat untuk semuanya.
Ema terlihat menggenggam tangan Ed.
"Ya Tuhan, dokter Caroline, tolong selamatkan saja dia." pinta Ema.
Sepertinya wanita itu tidak tega.
Caroline membuang wajahnya, ia benar-benar tidak berdaya. Ed masih bisa tersenyum kemudian menggeleng.
Matanya sayu-sayu hampir tertutup.
"Tidak, aku.. bolehkah aku meminta satu permintaan sebelum aku pergi?" Erangnya terlihat seperti kesakitan.
Caroline mendekat.
"Apapun, apapun akan aku kabulkan." jawab Ema, masih menggenggam tangan Ed.
"Tolong jaga dia, adikku, dia hanya seorang diri di dunia ini."
Ema mengangguk-angguk. "Pasti, pasti aku akan menjaganya."
Caroline mulai menangis kembali.
Dibelakang mereka Brata dan Darren sudah menyaksikan semuanya.
Perlahan Ed tersenyum penuh kelegaan dan memejamkan mata, hingga ia benar-benar pergi diiringi tangis yang pecah.
.
Shine menatap kosong ke arah gundukan tanah di depannya sambil memeluk boneka panda kesayangannya.
Boneka pemberian Ed.
Diumurnya yang baru sebelas tahun, ia sudah harus kehilangan orang tuanya setahun yang lalu, dan kini kakak yang ia miliki satu-satunya, keluarga yang paling ia sayang, juga pergi meninggalkannya.
Tidak ada keluarga yang bisa Shine percaya. Mereka hanya menginginkan harta orangtuanya. Itu yang selalu Ed katakan pada Shine.
Ayah, Ibu dan Ed meninggalkan seluruh harta mereka pada Shine.
Tidakkah mereka jahat meninggalkan Shine sendirian dengan harta yang melimpah?
Shine tidak menangis.
Air matanya sudah habis ketika ia mendapat kabar bahwa kakaknya tewas dalam kecelakaan parah.
Ia tetap memeluk boneka pandanya dan tetap memandang gundukan dengan bunga-bunga yang masih segar menumpuk di tanah itu.
Tiba-tiba sepasang wanita dan pria paruh baya mendekatinya.
Dengan mata dan senyuman yang teduh, mereka mengulurkan tangan pada Shine.
"Ikutlah dengan kami, mulai hari ini kau adalah puteri kami."
...............
Daffa terbangun memegangi dadanya yang berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras dari dahi dan seluruh tubuhnya. Napasnya naik turun tidak beraturan seperti lelah berlari kerena dikejar sesuatu dan tercekik.Ia bermimpi. Mimpi yang selalu sama seperti tujuh tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali nadinya berdetak dengan jantung orang lain yang ada dalam tubuhnya.Menyibak selimut tebalnya, Daffa bangkit untuk mengambil air minum di dapur. Ia menuruni tangga dan melihat jam besar yang ada di ujung ruangan masih menunjukkan pukul dua dinihari.Waktu untuk semua orang mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Begitu juga semua orang di rumah Daffa yang juga sudah terlelap dalam tidurnya, tidak dengan ayah dan ibu Daffa sedang berlibur ke Italia bersama dengan teman mereka selama sa
Ponsel Daffa berdering ketika baru saja ia menegakkan punggungnya dari sandaran kursi tempat biasa ia menandatangani dokumen-dokumen penting dan mengerjakan sesuatu dilaptopnya.Diraihnya ponsel itu, yang ternyata terlihat panggilan dari ayahnya, Brata. Daffa segera menggeser tanda terima panggilan."Hi Dad." sapanya sambil memutar-mutar kursi kerja. "Bagaimana kabar kalian? Apa kalian bersenang-senang?""Daff.." balas Brata pelan. "Ada hal yang ingin ayah sampaikan." Begitu mendengar suara Brata yang terdengar serius, Daffa mengerutkan keningnya."Ada apa? Apa terjadi sesuatu disana?""Tidak. Kami baik-baik s
"Kaaakk! Kak Daffa!"Suara teriakan Shine menggelegar memenuhi ruangan.Merasa namanya terus dipanggil dengan tidak sabar, Daffa dengan segera turun dari tangga kamar sambari mengancingkan lengan kemejanya."Ada apa Shine?" tanyanya mendekat."Apa-apaan ini kak?" Shine menunjuk dua pria berbadan kekar berpenampilan rapi dan berkacamata hitam yang berdiri tegap menghadap Shine."Oh, mereka yang akan menjagamu." jawab Daffa santai, sambil berlalu ke meja makan.Shine membuntutinya."Jadi, ini hukuman yang kau berikan padaku kak?" tanyanya geram.
Kepala Shine menoleh dengan cepat ketika ia mendengar kalimat yang baru saja Daffa lontarkan.Me..menikah? Ia tidak salah dengar bukan? Daffa baru saja mengajaknya menikah?Pria itu masih memegang setirnya, menatap kosong ke depan, seperti ada keraguan diwajahnya."Menikah?" Tanya Shine memastikan bahwa pendengarannya bekerja dengan baik.Daffa mulai menatapnya lembut, kemudian ia membelai rambut Shine seperti biasa."Ya, menikahlah denganku Shine.""Ke..kenapa?" Gadis itu mengerutkan dahinya bingung, ia tidak tahu bagaimana raut wajahnya dan nada bicaranya yang tidak mungkin akan nampak normal. "...i..ini..tiba..tiba sekali.." lanj
Semua terdiam."Aku bersedia menikah dengan kak Daffa." ucap Shine sekali lagi dengan pancaran kebahagiaan yang tentu tidak dapat ia tutupi.Ema mendekati Shine dan mengelus rambutnya lembut. "Ganti bajumu dulu Shine, kita akan membicarakan hal ini nanti setelah kau mengganti baju, dan kita akan makan bersama sekarang." tuntun Ema ke kamar Shine.Gadis itu hanya menurut, ia tersenyum ke Ema sebelum menutup pintu kamarnya yang dibalas dengan cubitan di pipinya. Ema kemudian kembali meninggalkan putri kesayangannya itu ke ruang keluarga."Jangan ada yang mengatakan sepatah katapun tentang rencana ini padanya, aku akan menceraikan Shine setelah usianya genap 25 tahun, setelah ia matang, dan dapat mengambil alih perusahaannya sendiri." te
Mobil Shine melaju mulus menuju ke sekolah, beberapa kali mereka mendapatkan kemacetan dijalan. Tetapi bukan itu yang Shine pikirkan.Wajah mungil Shine tertekuk, bibirnya mengerucut dan ia melipat tangannya ke depan dada. Sesekali ia menghentak-hentakkan kakinya ke bawah, membuat kedua bodyguardnya yang duduk di kemudi depan menengok, mengintip melalui kaca depan mobil. Mereka jelas tau apa yang membuat mood Shine begitu buruk.Nona mudanya itu baru saja resmi menjadi nyonya Daffa.Iya, mereka baru saja melangsungkan pernikahan sekitar 45 menit yang lalu, dan kini Shine harus menuju ke sekolah untuk menuntut ilmu.Shine mencebik. Ini adalah hari istimewanya, tapi apa yang ia dapat?
"Jadi dia tidak menyentuhmu sama sekali?"Pertanyaan yang ntah keberapa kali Sophie lontarkan hari ini membuat Shine kesal. Apalagi Sophie akan tertawa sangat keras sesudahnya."Hentikan menanyakan hal itu Soph," ucap Jane dikursi belakang sembari menepuk pundak Sophie yang sibuk menyetir mobilnya. Jane menutupi mulutnya dengan jemari. Shine tau bahwa gadis berlesung pipi itu sedang menahan tawa.Saat ini mereka sedang pergi bersama-sama mengantar Vonie menemui Jim, pria yang sewaktu itu tertangkap bersama mereka di pertandingan tinju liar. Shine berpikir Vonie benar-benar serius menyukai Jim.Setelah perdebatan yang cukup panjang dengan bodyguard Shine, akhirnya Shine diizinkan pergi dengan para sahabatnya itu sepulang sekol
Setelah malam itu, Shine mengikuti semua keinginan Daffa. Tidak berkeliaran setelah pulang sekolah selama menjelang ujian, tidak bermain-main setiap hari bersama teman-temannya dan belajar dengan giat.Ya... tentu saja itu karena Daffa selalu mengawasinya dengan sangat ketat.Bayangkan saja, Daffa mengantar jemput Shine ke sekolah dengan tepat waktu, memastikan Shine masuk ke dalam kelasnya dan menjemput Shine di depan pintu kelas, hingga beberapa temannya terus-menerus menanyai nomor ponsel Daffa, karena pria itu sangat mencuri perhatian.Shine bisa gila!Tapi gila yang dirasakan Shine terbayar sudah. Kini, ia sedang tertawa sambil berteriak-teriak memeluk teman-temannya yang baru saja melihat papan pengumuman kelulusan, dan mereka s
Namaku Daffa Revano Abrata.Aku terbangun dari tidurku yang cukup panjang. Ntah apa yang terjadi padaku, tiba-tiba aku terbangun dengan jantung yang masih berdetak.Ku pikir aku sudah mati. Mengingat bagaimana penyakitku.Ketika aku terbangun, yang aku lihat adalah wajah-wajah penuh air mata dari keluargaku, juga kembaranku yang matanya terlihat memerah walaupun sepertinya ia tak ingin menunjukkannya padaku.
Namaku Miracle Shine. Nama yang benar-benar indah untuk gadis malang sepertiku. Seseorang yang baru saja kehilangan seluruh hidupnya. Ayah dan Ibu meninggalkanku satu tahun yang lalu, dan kini aku juga harus kehilangan kakak yang paling aku sayangi karena kecelakaan.Gelap.Aku merasa hidupku diselimuti oleh kegelapan ketika aku menyaksikan pemakaman Edward.Sungguh aku tidak tahu bagaimana masa depanku tanpanya, aku merasa hancur dan sendiri.
Shine dan Daffa baru saja memasuki rumah orang tuanya, rumah yang setelah sekian lama baru saja mereka kunjungi.Mereka disambut ramah oleh para pekerja dan juga Ema yang begitu melihat Shine langsung memeluknya, padahal Daffa juga berada di samping Shine."Ibu merindukanmu, Nak."Shine mempererat pelukannya mendengar suara Ema yang bergetar. "Aku juga, Bu."Setelah puas
Desahan napas memburu terus beradu di sebuah ruangan yang cukup gelap dengan hanya penerangan cahaya lampu meja ala kadarnya.Disana, di atas ranjang king size yang berada di tengah ruangan, terdapat dua insan yang sedang bergumul, bercumbu menyalurkan hasrat manusiawi yang mereka miliki."Kak Daffa ..."Erangan Shine semakin menggila ketika Daffa menciumi dadanya secara bergantian, bekerja sama dengan jari jemarinya yang meremas dua gundukan yang selalu membuat pria itu gemas.
'Aku sudah mengetahui semuanya, Kak. Selama ini kau membohongiku. Kak Darren sudah memberitahuku, tentang siapa kita sebenarnya. Jika memang seperti ini takdir kita, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa marah. Aku mencintaimu, kau mencintaiku, bisakah kita mati saja bersama-sama? Aku akan menunggumu di tempat rahasia kita, kau tau kan tempat itu? Tempat yang hanya diketahui oleh kau dan aku saja. Aku akan pulang ke Indonesia pagi ini bersama mereka. Bukankah kau juga harus mengambil penerbangan pagi ini? Jika kau tidak datang, kau tau bukan senekat apa diriku? Aku benar-benar mencintaimu, Kak.'"Bali, pasti Bali," gumam Daffa mengingat sebuah villa yang ia
Satu tahun kemudian ....Ema, Brata, Darren juga Mikaela sedang bercakap-cakap di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas tapi cukup nyaman untuk berkumpul bersama, ruangan dengan nuansa warna coklat susu, juga terdapat beberapa manekin yang terpajang di sudut-sudutnya, lengkap dengan gaun-gaun menempel disana. Ya, itu adalah apartemen Shine yang sudah diubah menjadi tempat Sophie merancang busana.Mereka sekeluarga datang untuk menghadiri upacara kelulusan Shine yang diadakan hari ini.
"Jantung yang berdetak dalam diriku, adalah jantung milik Edward. Jantung milik kakakmu."Mata Shine membulat, dengan cepat ia membalikkan badannya menatap Daffa.Tidak ada kebohongan disana."A--apa?" Tanya Shine memastikan pendengarannya."Jantung yang aku miliki sekarang adalah jantung Edward," ulang Daffa tanpa ragu sembari membalas tatapan Shine.
Dua hari setelah mengetahui kenyataan pahit yang ada, Daffa mengasingkan diri di villa rahasia miliknya dan Shine yang berada di Bali. Darren sempat menghubungi Daffa dan menanyakan kenapa tiba-tiba Daffa menghilang, tetapi pria itu mengatakan jika ia ada urusan bisnis yang mendadak. Ia tak ingin memberi tahu pada siapapun keberadaannya, bahkan ia tidak ingin mendengar kebenaran apapun dari mulut Darren.Daffa memilih diam dan tetap berpura-pura tidak mengetahui apapun.Setidaknya itu pilihannya sebelum memutuskan sesuatu.
"Kau dimana?""Masih di London.""Bisakah kau pulang hari ini?""Ada apa?""Ada sesuatu yang sangat penting yang