Ponsel Daffa berdering ketika baru saja ia menegakkan punggungnya dari sandaran kursi tempat biasa ia menandatangani dokumen-dokumen penting dan mengerjakan sesuatu dilaptopnya.
Diraihnya ponsel itu, yang ternyata terlihat panggilan dari ayahnya, Brata. Daffa segera menggeser tanda terima panggilan.
"Hi Dad." sapanya sambil memutar-mutar kursi kerja. "Bagaimana kabar kalian? Apa kalian bersenang-senang?"
"Daff.." balas Brata pelan. "Ada hal yang ingin ayah sampaikan."
Begitu mendengar suara Brata yang terdengar serius, Daffa mengerutkan keningnya.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu disana?"
"Tidak. Kami baik-baik saja. Hanya saja..."
"Ada apa?
"Kau ingat Lionel?"
Daffa tampak berpikir sejenak. "Lionel Jayadi?"
"Ya, dia pamannya Shine."
"Aku tau. Ada apa dengannya?"
"Dia menghubungiku, dia mengatakan ingin menemui Shine."
"Untuk apa?"
"Aku rasa ia akan mengambil hak asuh Shine."
"Bagaimana mungkin? Dia sudah tidak ber--"
"Dia bisa Daff." Potong ayahnya. "Dialah orang yang paling mungkin bisa mengambil hak asuh Shine, karena dia adalah satu-satunya keluarga yang memiliki hubungan darah dengan ayah Shine."
"Bukankah ayah sudah mengadopsi Shine secara hukum."
"Itulah yang ayah sesalkan, ayah pikir hal itu tidak perlu dilakukan karena Shine sudah dewasa waktu itu dan dia bisa mengerti kami sudah menganggapnya sebagai anak tanpa mengadopsinya secara resmi."
"......"
"Dan ayah juga tidak akan menyangka jika Lionel Jayadi akan kembali muncul untuk mengambil Shine."
Daffa mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.
"Tentu saja, perusahaannya yang ada di Vietnam sedang mengalami kebangkrutan, dia memerlukan biaya yang cukup besar untuk menyetabilkan perusahaannya itu."
"Kau juga mendengarnya Daff?"
"Iya aku mendengarnya. Dan aku tidak memperhitungkan hal itu sama sekali. Shine memiliki apa yang ia inginkan."
"Ayah akan segera pulang. Aku tidak akan rela jika dia mengambil Shine. Kenapa tidak dari dulu jika ia ingin melakukan itu."
"Tentu saja yang ia butuhkan hanya uang Shine saja, bukan gadis itu."
"Terus awasi Shine, Ayah dan Ibu akan segera kembali secepatnya."
Daffa menyimpan kembali ponselnya begitu panggilan terputus. Ia memijat keningnya. Kemudian kembali bekerja.
.
"Apa kau yakin dengan apa yang akan kita lakukan?"
"Jika kau ragu, maka kembalilah ke kelas Shine."
Shine melihat tas ranselnya yang sudah ada dalam pelukan. Ia tidak percaya jika ia akan mengikuti ide gila Vonie untuk membolos sekolah hari ini. Seumur-umur baru kali ini ia membolos. Selalunya ia akan pergi main dengan para sahabatnya sepulang sekolah.
Rencananya mereka akan keluar dengan melompati gerbang belakang kantin yang langsung terhubung dengan taman kota.
Vonie, salah satu sahabat Shine mengajak mereka bertiga untuk melihat pertandingan tinju salah satu lelaki yang menjadi targetnya. Ya, Vonie banyak menjadikan pria-pria target incaran untuk menjadi pacarnya termasuk Daffa.
Akhirnya mereka berhasil melompati gerbang satu persatu kemudian tertawa lepas sesudahnya saling memandang.
Tenyata Sophie sudah mengetahui rencana Vonie dari awal, ia sengaja memarkir mobilnya di luar, di depan salah satu minimarket dekat sekolah, agar mereka bisa melancarkan aksinya dengan mulus.
"Kau sudah mempersiapkannya soph?" tanya Jane membulatkan matanya begitu melihat mobil Sophie.
Gadis itu hanya mengangguk terlihat bersemangat. "Ehem.. aku juga ingin melihatnya, aku pernah melihatnya sekali dan dia sangat tampan."
"Jangan coba-coba merebutnya dariku Soph." ancam Vonie sambil masuk ke dalam mobil begitu Sophie membuka kuncinya.
Yang lain hanya tertawa termasuk Shine yang penasaran bagaimana tampang lelaki yang Vonie akan tunjukkan nanti.
Mobil melaju dengan kencangnya dan tape yang terpasang di mobil Sophie memainkan musik dengan gila-gilaan, mereka berjoget tanpa rasa malu di dalam mobil sambil mengikuti suara sang vokalis bernyanyi.
Tak lama mobil itu berhenti tepat di depan gedung pencakar langit yang kosong dan terbengkalai.
"Apa kau yakin?" Shine menatap sekitar gedung, tidak ada pekerja bangunan disana, gedung itu baru saja setengah dibangun, dan tidak ada tanda-tanda pembangunan akan dilanjutkan.
"Yep." jawab Vonie santai kemudian keluar dari mobil sambil memakai tasnya diikuti yang lain.
Shine dan Jane masih saja memperhatikan sekitar dengan wajah yang penuh pertanyaan. Sedangkan Sophie sepertinya sudah tahu untuk apa mereka datang.
"Ayo masuk." ajak Vonie.
Shine hanya mengikuti sahabatnya itu masuk ke dalam gedung.
Ternyata disana banyak terparkir mobil-mobil mewah dan motor-motor besar yang agak tersembunyi ke dalam.
Sebenarnya tempat apa ini? Shine tidak tahu, tapi ia merasa penasaran juga.
Di gedung kosong itu tidak ada lift, jadi mereka menaiki tangga untuk sampai ke atas.
Shine sudah kelelahan begitu sampai ke lantai lima. Tapi sayup-sayup ia dengar suara sorakan.
Sorakan-sorakan yang terdengar seperti sedang berteriak menyemangati seseorang.
Shine baru mengerti begitu terlihat banyak orang berkerumun mengelilingi dua orang yang sedang beradu tinju di tengahnya.
Ya Tuhan! Ternyata ini tinju liar!
Shine semakin mendekat mengikuti Vonie dan Sophie dan sudah tersenyum pada seseorang yang tampaknya sudah mereka kenal.
Ada banyak gadis muda yang terlihat seusia mereka, tapi hanya merekalah yang paling menarik perhatian, karena mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sekolah Shine adalah sekolah yang terkenal dikotanya. Shine sedikit risih ketika mereka menjadi pusat perhatian.
Sebuah tanda seperti alarm berbunyi menghentikan pertandingan, dua orang yang bertanding itu memisahkan diri dan mendekati temannya masing-masing. Begitu juga salah satu pria yang langsung mendekati pria yang tersenyum pada Vonie dan Sophie tadi.
Vonie terlihat sumringah. Sepertinya pria yang dimaksud Vonie adalah salah satu petinju yang sedang bermain ini.
Pria itu juga tersenyum pada Shine, yang kemudian dibalas senyuman oleh Shine.
"Kau datang?"
Vonie mengangguk antusias.
"Nikmati pertandingan ini." Pria itu menegak air mineralnya.
"Semangat Jim!" Vonie mengepalkan tangannya memberi dukungan pada Pria yang bernama Jim itu.
"I will." ucapnya kemudian berbalik setelah mendengar suara alarm tanda pertandingan kembali dimulai.
"Bagaimana?" Tanya Vonie pada Shine dan Jane.
"Dia tampan." jawab Shine jujur, ditambah anggukan Jane yang setuju dengan ucapan Shine.
"Sudah ku bilang bukan." Vonie tersenyum bangga, ia sudah tidak fokus lagi dan asik melihat pertandingan di hadapannya.
Shine mengernyit ketika melihat lawan Jim dipukul dengan kerasnya hingga ia akan terjatuh. Begitupun ketika Jim terkena pukulan dari lawannya. Bukannya menampakkan wajah kesakitan, pria itu malah tersenyum seperti menikmati.
Hingga tiba-tiba beberapa orang menyelundup masuk dan menodongkan pistolnya.
God. Itu pistol !
"Angkat tangan! Kalian sudah kami kepung!" teriak salah satu pria tinggi besar yang Shine yakin adalah pemimpin dari mereka.
Oh God. Mereka polisi.
Wajah Shine memucat begitu dengan ketiga temannya. Beberapa orang berusaha kabur mengacaukan suasana, membuat polisi-polisi itu mengejar mereka.
Jane panik, ia mengajak mereka untuk berlari karena mungkin kesempatan mereka untuk kabur ada dalam keadaan yang kacau itu.
Sophie dan Vonie ikut berlari, ketika kaki Shine terasa kaku. Ia menatap polisi-polisi itu dengan takut hingga seseorang memegang tangannya.
"Ayo pergi."
Jim, teman Vonie tadi menariknya berlari ke arah tangga, dimana Vonie, Jane dan Sophie sudah berlari terlebih dahulu.
Kaki Shine sangat sakit ketika menuruni tangga dengan terburu-buru.
"Ada apa ini sebenarnya? Apa.. apa yang kalian lakukan hingga polisi-polisi itu datang." tanya Shine terbata, dengan napas yang tak teratur.
"Kami tidak melakukan apapun." elak Jim.
"Shine!" di bawah, teman-teman Shine sudah menunggu, ternyata mereka tidak meninggalkan Shine seperti yang Shine duga.
"Syukurlah Jim kau menyelamatkannya." kata Vonie.
Mereka akan kembali berlari, tapi terlambat. Tiga orang polisi sudah menodongkan pistol di sekeliling mereka.
"Ikut kami ke kantor polisi."
.
"Kalian negatif, kalian diperbolehkan pulang setelah wali kalian datang menjemput." ucap salah satu polisi kepada Shine dan teman-temannya. "Dan kau akan tetap disini untuk penyelidikan." lanjut polisi itu pada Jim.
"Ada apa sebenarnya ini?" tanya Jim tidak terima. Hasil tesnya juga sama negatif.
"Kami mendapat laporan tentang adanya pesta narkoba disana. Dan kami masih akan menyelidiki."
"Tapi kami tidak melakukannya! Dan kami tidak terbukti memakainya." bela Jim.
"Tapi tetap saja pertandingan tinju liar itu dilarang." skak polisi itu membuat Jim terdiam.
Shine tertunduk, menutupi wajahnya. Terkadang ia melihat sekitar, kepada orang-orang yang juga bernasib sama seperti mereka. Para pria dan para wanita yang berada di lokasi kejadian sedang diinterogasi. Bedanya mereka tidak memakai atribut sekolah mereka ataupun sesuatu yang bisa mengenalkan diri mereka secara langsung.
Tadi seorang polisi melihat mereka dengan tatapan kecewa karena mereka masih menggunakan seragam sekolah lengkap. Apalagi jika Daffa datang nanti? Pasti ia akan kecewa dan marah besar pada Shine. Membayangkannya saja Shine tidak sanggup.
Sementara itu...
Daffa memijat keningnya begitu ia menutup ponsel. Ia baru saja mendapat panggilan dari kantor polisi untuk menjemput Shine.
Apa yang Shine lakukan hingga ia bisa berada di kantor polisi? Padahal ini masih jam anak-anak untuk sekolah.
Daffa menghela napas kemudian merenggangkan dasinya. Ia mengambil kunci mobil dari atas meja kerjanya dan keluar dari ruangan.
Terlihat sekretaris Daffa berdiri begitu Daffa melewatinya. "Batalkan rapat pukul sebelas ini, aku ada urusan." ucapnya.
"Baik pak."
Daffa berlalu dengan pikiran yang berkecamuk.
Shine luput dari pengawasannya, lagi. Padahal ia sudah menghantarkan Shine sampai ke sekolah, tetapi ia lupa memastikan adiknya itu masuk ke dalam dan belajar atau tidak.
Apa yang akan orangtuanya katakan nanti jika mereka mendengar Shine ditangkap?
Daffa buru-buru masuk ke dalam ketika ia sampai di kantor polisi.
Disana ia melihat Shine tertunduk dengan wajah yang pucat. Banyak orang yang melakukan hal yang sama. Daffa kembali memijat keningnya dan mendekat.
"Saya wali dari Miracle Shine." ucapnya pada polisi.
Shine kaget, ia mendongak dan menatap Daffa yang tidak menatapnya. Tangannya bergetar melirik ke arah teman-temannya yang justru terus memandangi Daffa.
Ya Tuhan, bisa-bisanya mereka disaat seperti ini? Batin Shine mengutuk ketiga temannya yang memancarkan wajah berbinar tanpa kekhawatiran.
"Kami mendapat laporan bahwa ada pesta narkoba di xxx tepatnya jalan xxx, nona Shine adalah salah satu orang yang ada di tempat kejadian, jadi kami juga mengamankannya, tapi dia tidak terbukti menggunakan narkoba. Ini hasil tesnya." Polisi itu menjelaskan panjang lebar tanpa menunggu pertanyaan dari Daffa sambil menyerahkan laporan hasil tes milik Shine.
"Terima kasih pak, aku akan lebih mengawasinya." tukas Daffa menyalami polisi itu. "Bisakah aku membawanya pulang sekarang?"
"Tentu saja pak, silahkan."
"Bagaimana dengan ketiga temannya?" tanya Daffa melihat Shine bersama ketiga temannya yang lain.
"Kami sudah menghubungi orang tua mereka."
"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi terima kasih."
Dengan meremas-remas tangannya Shine bangkit dari kursi. Ia melihat wajah-wajah kecewa sahabatnya dan memberikan kode 'aku duluan' pada mereka dan pada Jim yang masih bisa tersenyum melihatnya.
Perlahan Shine mengikuti Daffa yang berjalan di depan tanpa menatapnya. Tentu saja, pasti Daffa sangat marah dan kecewa padanya.
Shine akan melakukan apapun untuk menebus kesalahannya nanti, ia akan meminta maaf pada Daffa dan memohon pada pria itu untuk merahasiakannya dari ayah, ibu serta Darren.
Habislah ia jika mereka tahu.
Daffa membuka pintu mobil masih dengan kebisuan.
Dengan takut-takut juga Shine membuka pintu mobil di sebelahnya.
Ia merasa suasana semakin dingin ketika ia sudah berada di dalam mobil.
"Syukurlah."
Shine bergeming ketika sebuah tangan besar mengelus rambutnya. Terdengar helaan napas lega dari pria disampingnya itu. Shine memberanikan diri untuk menatap Daffa.
Pria itu tersenyum.
Kakaknya itu tersenyum dengan lembut menatapnya.
Manik hitam itu memancarkan sorot mata teduh.
"Syukurlah kau tidak menyentuh barang haram yang bisa merusakmu." ucap Daffa masih dengan penuh kelembutan yang membuat Shine terpana dan heran di waktu yang bersamaan. Membuat hatinya menghangat.
"Ka..Kak? Kau.. tidak marah padaku?" tanyanya takut-takut.
Daffa menggeleng. "Aku cukup lega mendengar kau tidak terbukti memakainya."
"Be..benarkah?"
"Apa kau lapar Shine?"
Shine mengangguk-angguk. Ia hampir saja menangis dan menerjang Daffa untuk memeluknya jika saja Daffa tidak sedang memutar kemudinya.
"Baiklah, ayo kita makan siang bersama."
"Kaaakk! Kak Daffa!"Suara teriakan Shine menggelegar memenuhi ruangan.Merasa namanya terus dipanggil dengan tidak sabar, Daffa dengan segera turun dari tangga kamar sambari mengancingkan lengan kemejanya."Ada apa Shine?" tanyanya mendekat."Apa-apaan ini kak?" Shine menunjuk dua pria berbadan kekar berpenampilan rapi dan berkacamata hitam yang berdiri tegap menghadap Shine."Oh, mereka yang akan menjagamu." jawab Daffa santai, sambil berlalu ke meja makan.Shine membuntutinya."Jadi, ini hukuman yang kau berikan padaku kak?" tanyanya geram.
Kepala Shine menoleh dengan cepat ketika ia mendengar kalimat yang baru saja Daffa lontarkan.Me..menikah? Ia tidak salah dengar bukan? Daffa baru saja mengajaknya menikah?Pria itu masih memegang setirnya, menatap kosong ke depan, seperti ada keraguan diwajahnya."Menikah?" Tanya Shine memastikan bahwa pendengarannya bekerja dengan baik.Daffa mulai menatapnya lembut, kemudian ia membelai rambut Shine seperti biasa."Ya, menikahlah denganku Shine.""Ke..kenapa?" Gadis itu mengerutkan dahinya bingung, ia tidak tahu bagaimana raut wajahnya dan nada bicaranya yang tidak mungkin akan nampak normal. "...i..ini..tiba..tiba sekali.." lanj
Semua terdiam."Aku bersedia menikah dengan kak Daffa." ucap Shine sekali lagi dengan pancaran kebahagiaan yang tentu tidak dapat ia tutupi.Ema mendekati Shine dan mengelus rambutnya lembut. "Ganti bajumu dulu Shine, kita akan membicarakan hal ini nanti setelah kau mengganti baju, dan kita akan makan bersama sekarang." tuntun Ema ke kamar Shine.Gadis itu hanya menurut, ia tersenyum ke Ema sebelum menutup pintu kamarnya yang dibalas dengan cubitan di pipinya. Ema kemudian kembali meninggalkan putri kesayangannya itu ke ruang keluarga."Jangan ada yang mengatakan sepatah katapun tentang rencana ini padanya, aku akan menceraikan Shine setelah usianya genap 25 tahun, setelah ia matang, dan dapat mengambil alih perusahaannya sendiri." te
Mobil Shine melaju mulus menuju ke sekolah, beberapa kali mereka mendapatkan kemacetan dijalan. Tetapi bukan itu yang Shine pikirkan.Wajah mungil Shine tertekuk, bibirnya mengerucut dan ia melipat tangannya ke depan dada. Sesekali ia menghentak-hentakkan kakinya ke bawah, membuat kedua bodyguardnya yang duduk di kemudi depan menengok, mengintip melalui kaca depan mobil. Mereka jelas tau apa yang membuat mood Shine begitu buruk.Nona mudanya itu baru saja resmi menjadi nyonya Daffa.Iya, mereka baru saja melangsungkan pernikahan sekitar 45 menit yang lalu, dan kini Shine harus menuju ke sekolah untuk menuntut ilmu.Shine mencebik. Ini adalah hari istimewanya, tapi apa yang ia dapat?
"Jadi dia tidak menyentuhmu sama sekali?"Pertanyaan yang ntah keberapa kali Sophie lontarkan hari ini membuat Shine kesal. Apalagi Sophie akan tertawa sangat keras sesudahnya."Hentikan menanyakan hal itu Soph," ucap Jane dikursi belakang sembari menepuk pundak Sophie yang sibuk menyetir mobilnya. Jane menutupi mulutnya dengan jemari. Shine tau bahwa gadis berlesung pipi itu sedang menahan tawa.Saat ini mereka sedang pergi bersama-sama mengantar Vonie menemui Jim, pria yang sewaktu itu tertangkap bersama mereka di pertandingan tinju liar. Shine berpikir Vonie benar-benar serius menyukai Jim.Setelah perdebatan yang cukup panjang dengan bodyguard Shine, akhirnya Shine diizinkan pergi dengan para sahabatnya itu sepulang sekol
Setelah malam itu, Shine mengikuti semua keinginan Daffa. Tidak berkeliaran setelah pulang sekolah selama menjelang ujian, tidak bermain-main setiap hari bersama teman-temannya dan belajar dengan giat.Ya... tentu saja itu karena Daffa selalu mengawasinya dengan sangat ketat.Bayangkan saja, Daffa mengantar jemput Shine ke sekolah dengan tepat waktu, memastikan Shine masuk ke dalam kelasnya dan menjemput Shine di depan pintu kelas, hingga beberapa temannya terus-menerus menanyai nomor ponsel Daffa, karena pria itu sangat mencuri perhatian.Shine bisa gila!Tapi gila yang dirasakan Shine terbayar sudah. Kini, ia sedang tertawa sambil berteriak-teriak memeluk teman-temannya yang baru saja melihat papan pengumuman kelulusan, dan mereka s
Setelah seminggu penuh Shine mempersiapkan pernikahan impiannya, tentu saja dengan bantuan para sahabat serta Ema dan Brata, karena Daffa terlalu sibuk bekerja, ia hanya mengiyakan apapun permintaan dan konsep yang Shine inginkan, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu gadis itu tiba.Hari pernikahannya.Shine mengenakan gaun putih gading menjuntai bak princess, gaun rancangan perdana Sophie khusus untuknya, dan hanya dikerjakan dalam satu Minggu setelah Daffa menawarkan sebuah pesta pernikahan malam itu.Dengan tatanan messy hair masih ala-ala putri kerajaan Shine nampak terlihat sangat cantik. Sedikit anak rambut nakalnya menjuntai dari pinggiran leher Shine."Kau sangat luar biasa Shine," puji Jane menatap sahabatnya
Shine melangkah keluar kamar mandi dengan hati yang berdebar. Tangannya kuat memegang kimono mandinya karena ia tidak memakai sehelai benangpun di dalam kimono itu.Dilihatnya Daffa berdiri di depan cermin, tengah sibuk memakai jam tangan."Ah, kau sudah selesai?" tanya pria itu menyadari keberadaan Shine."Ya." Shine memperhatikan Daffa, suaminya itu memakai t-shirtmaroonpolos dan memakai celana
Namaku Daffa Revano Abrata.Aku terbangun dari tidurku yang cukup panjang. Ntah apa yang terjadi padaku, tiba-tiba aku terbangun dengan jantung yang masih berdetak.Ku pikir aku sudah mati. Mengingat bagaimana penyakitku.Ketika aku terbangun, yang aku lihat adalah wajah-wajah penuh air mata dari keluargaku, juga kembaranku yang matanya terlihat memerah walaupun sepertinya ia tak ingin menunjukkannya padaku.
Namaku Miracle Shine. Nama yang benar-benar indah untuk gadis malang sepertiku. Seseorang yang baru saja kehilangan seluruh hidupnya. Ayah dan Ibu meninggalkanku satu tahun yang lalu, dan kini aku juga harus kehilangan kakak yang paling aku sayangi karena kecelakaan.Gelap.Aku merasa hidupku diselimuti oleh kegelapan ketika aku menyaksikan pemakaman Edward.Sungguh aku tidak tahu bagaimana masa depanku tanpanya, aku merasa hancur dan sendiri.
Shine dan Daffa baru saja memasuki rumah orang tuanya, rumah yang setelah sekian lama baru saja mereka kunjungi.Mereka disambut ramah oleh para pekerja dan juga Ema yang begitu melihat Shine langsung memeluknya, padahal Daffa juga berada di samping Shine."Ibu merindukanmu, Nak."Shine mempererat pelukannya mendengar suara Ema yang bergetar. "Aku juga, Bu."Setelah puas
Desahan napas memburu terus beradu di sebuah ruangan yang cukup gelap dengan hanya penerangan cahaya lampu meja ala kadarnya.Disana, di atas ranjang king size yang berada di tengah ruangan, terdapat dua insan yang sedang bergumul, bercumbu menyalurkan hasrat manusiawi yang mereka miliki."Kak Daffa ..."Erangan Shine semakin menggila ketika Daffa menciumi dadanya secara bergantian, bekerja sama dengan jari jemarinya yang meremas dua gundukan yang selalu membuat pria itu gemas.
'Aku sudah mengetahui semuanya, Kak. Selama ini kau membohongiku. Kak Darren sudah memberitahuku, tentang siapa kita sebenarnya. Jika memang seperti ini takdir kita, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa marah. Aku mencintaimu, kau mencintaiku, bisakah kita mati saja bersama-sama? Aku akan menunggumu di tempat rahasia kita, kau tau kan tempat itu? Tempat yang hanya diketahui oleh kau dan aku saja. Aku akan pulang ke Indonesia pagi ini bersama mereka. Bukankah kau juga harus mengambil penerbangan pagi ini? Jika kau tidak datang, kau tau bukan senekat apa diriku? Aku benar-benar mencintaimu, Kak.'"Bali, pasti Bali," gumam Daffa mengingat sebuah villa yang ia
Satu tahun kemudian ....Ema, Brata, Darren juga Mikaela sedang bercakap-cakap di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas tapi cukup nyaman untuk berkumpul bersama, ruangan dengan nuansa warna coklat susu, juga terdapat beberapa manekin yang terpajang di sudut-sudutnya, lengkap dengan gaun-gaun menempel disana. Ya, itu adalah apartemen Shine yang sudah diubah menjadi tempat Sophie merancang busana.Mereka sekeluarga datang untuk menghadiri upacara kelulusan Shine yang diadakan hari ini.
"Jantung yang berdetak dalam diriku, adalah jantung milik Edward. Jantung milik kakakmu."Mata Shine membulat, dengan cepat ia membalikkan badannya menatap Daffa.Tidak ada kebohongan disana."A--apa?" Tanya Shine memastikan pendengarannya."Jantung yang aku miliki sekarang adalah jantung Edward," ulang Daffa tanpa ragu sembari membalas tatapan Shine.
Dua hari setelah mengetahui kenyataan pahit yang ada, Daffa mengasingkan diri di villa rahasia miliknya dan Shine yang berada di Bali. Darren sempat menghubungi Daffa dan menanyakan kenapa tiba-tiba Daffa menghilang, tetapi pria itu mengatakan jika ia ada urusan bisnis yang mendadak. Ia tak ingin memberi tahu pada siapapun keberadaannya, bahkan ia tidak ingin mendengar kebenaran apapun dari mulut Darren.Daffa memilih diam dan tetap berpura-pura tidak mengetahui apapun.Setidaknya itu pilihannya sebelum memutuskan sesuatu.
"Kau dimana?""Masih di London.""Bisakah kau pulang hari ini?""Ada apa?""Ada sesuatu yang sangat penting yang