Mobil Shine melaju mulus menuju ke sekolah, beberapa kali mereka mendapatkan kemacetan dijalan. Tetapi bukan itu yang Shine pikirkan.
Wajah mungil Shine tertekuk, bibirnya mengerucut dan ia melipat tangannya ke depan dada. Sesekali ia menghentak-hentakkan kakinya ke bawah, membuat kedua bodyguardnya yang duduk di kemudi depan menengok, mengintip melalui kaca depan mobil. Mereka jelas tau apa yang membuat mood Shine begitu buruk.
Nona mudanya itu baru saja resmi menjadi nyonya Daffa.
Iya, mereka baru saja melangsungkan pernikahan sekitar 45 menit yang lalu, dan kini Shine harus menuju ke sekolah untuk menuntut ilmu.
Shine mencebik. Ini adalah hari istimewanya, tapi apa yang ia dapat?
Ema membangunkan Shine pagi-pagi buta untuk bersiap-siap, ia menikah tepat pukul 5:30, hanya disaksikan oleh ayah, ibu, Darren dan beberapa pembantu serta bodyguardnya, bahkan Rendy pun turut hadir untuk menjadi saksi pernikahan mereka.
Secara hukum mereka telah sah menjadi suami istri.
Tapi tak berapa lama, Daffa memaksa Shine untuk mengganti baju kebayanya yang cantik dengan seragam sekolah.
Dan Shine dipaksa untuk pergi ke sekolah.
Pernikahan macam apa ini?
Ema memang sudah memberikan pengertian pada Shine, jika memang resepsi akan diadakan setelah Shine lulus.
Masuk diakal juga. Apa kata orang-orang nanti jika Shine menikah dalam status pelajar?
Mereka pasti akan mengira Shine hamil diluar nikah. Apalagi suaminya adalah kakaknya sendiri.
Tapi yang membuat Shine kesal adalah sikap Daffa yang datar, biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa, wajahnya pun datar-datar saja, tidak menyiratkan kegembiraan.
Justru, setelah dinyatakan sah, Daffa langsung masuk ke kamar untuk mengganti bajunya dengan baju kantor, dan langsung pergi bekerja.
Ini benar-benar bukan pernikahan impian Shine!
Jika saja Ema dan Brata tidak berjanji akan mengadakan pesta besar-besaran untuknya dan Daffa setelah lulus nanti, Shine pasti sudah menangis meraung-raung dikamarnya dan tidak ingin pergi ke sekolah.
Shine menampar-nampar pipinya pelan dengan kedua telapak tangan.
Tapi ini bukan mimpi kan?
Dia baru saja menjadi seorang istri sah Daffa Revano Abrata.
Wajah gadis itu bersemu merah, menebak-nebak apa yang akan terjadi setelahnya.
Malam ini adalah malam pertamanya.
Apa yang akan terjadi malam ini? Shine bahkan tidak bisa membayangkan.
Lamunan Shine buyar ketika salah satu bodyguardnya berdeham. Ia menatap pria besar itu yang memasang tampang heran. Kemudian Shine tersadar jika pasti baru saja wajahnya terlihat sangat aneh, lebih tepatnya mesum. Shine melotot ke arah bodyguardnya yang sedang terkekeh.
"Selamat atas pernikahan anda, nona Shine, kami turut bahagia." ucapnya tulus.
"Terima kasih." Shine membuang wajah cuek dengan pipi yang masih memerah.
.
"Apakah kau tidak terlalu kejam?" Rendy tertawa-tawa disebelah Daffa yang sedang fokus menyetir.
Melihat Daffa tidak meresponnya, ia kembali bersuara.
"Oh, ayolah Daff, ini hari pernikahanmu, ambillah cuti, satu atau dua hari tidak masalah." lanjutnya menggoda. Mereka sedang bersama-sama menuju kantor Daffa untuk pertemuan proyek kerjasama mereka.
"Hentikan mengolok-olokku, Ren. Kau pikir pernikahan ini sungguhan?"
"Tentu saja, kalian sudah sah menjadi suami istri secara hukum. Pernikahan kalian bukannya pernikahan kontrak, seperti dalam drama."
Daffa mengangkat sedikit kepalanya, melonggarkan dasi yang ada dikemejanya dengan sebelah tangan. Dasi itu terasa mencekiknya. "Menurutku tidak lebih dari itu, aku hanya perlu berakting hingga saat itu tiba, ketika Shine sudah dewasa dan dapat mengambil keputusan sendiri."
"Sudah ratusan kali kau mengatakan hal itu padaku Daff."
"Lalu kenapa kau masih bertanya?"
"Aku hanya senang menggodamu." tukas Rendy kemudian tertawa. "Omong-omong, bukankah kau harus mempersiapkan pesta pernikahanmu?"
"Ren... kau..." Daffa menekan suaranya, lelah.
Rendy kembali tertawa melihat sahabatnya itu tersiksa.
"Kali ini aku serius Daff, kau dengar sendiri bukan, jika ibumu berjanji akan mengadakan pesta pernikahan yang megah untuk Shine."
Daffa memijat keningnya. Ia baru ingat bujukan ibunya pada Shine tadi, ketika dengan berat hati dan sedikit paksaan gadis itu harus kembali ke aktivitas hariannya.
"Ya, aku akan segera menyiapkan pernikahan impian Shine, begitu ia lulus, dunia akan tau jika aku adalah suaminya. Begitupun dengan Lionel, dia akan tau jika dia tidak mungkin dapat memanfaatkan Shine." ucap Daffa, kali ini dengan senyuman penuh makna pada Rendy.
"Tak ku sangka kau sedikit menyeramkan Daff."
Kali ini Daffa yang tertawa.
"Bukankah kau tau itu sejak dulu?"
"Kalau begitu, kau akan lebih dulu menikah daripada Darren."
"Aku sudah menikah lebih dulu daripada dia." ralat Daffa.
"Bukankah pesta pertunangan Darren akan diadakan di Singapura?"
"Ya." jawab Daffa singkat, sembari memposisikan mobilnya di lobi yang seterusnya akan diparkirkan oleh karyawannya. Ia mengajak Rendy untuk segera keluar.
"Baguslah, setelah itu mari kita pikirkan kejutan untuk Mikaela."
.
Shine menekuk tangannya menopang dagu. Sejak tadi ia hanya diam dikelilingi para sahabatnya yang juga terdiam menatapnya, menunggu Shine membuka suara.
Baru saja Shine sampai ke sekolah, teman-teman tak tau dirinya itu sudah mengerumuninya dan menyerangnya dengan berbagai macam pertanyaan. Tentu saja, Shine tidak merahasiakan pernikahannya dengan Daffa dari mereka. Ia sempat mengirimkan pesan singkat kepada Sophie yang kemudian diteruskan kepada yang lainnya bahwa ia akan menikah hari ini. Dan teman-temannya itu mengira bahwa Shine tidak jadi menikah karena kehadirannya di sekolah.
Mood gadis itu benar-benar tidak baik, sudah Daffa mengabaikannya, pernikahan dadakan yang tidak seperti ia bayangkan, dan wajah-wajah menyebalkan para sahabatnya yang sangat ingin tau apa yang terjadi, menyambutnya pagi ini.
"Kau benar-benar akan diam saja?" tanya Vonie kesal.
Shine hanya mengangguk-angguk.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa ada disini? Kau bilang.... " Jane yang berbisik tidak menyelesaikan ucapannya.
"Apa kau tidak jadi menikah?" timpal Sophie dengan wajah sumringah.
Ingin rasanya Shine melempar Sophie dengan buku fisika tebalnya saat ini juga. Tapi untuk berkedip saja, Shine cukup malas.
"Sayang sekali, padahal aku sudah menyiapkan hadiah untukmu." Sophie memasang tampang pura-pura sedih.
Vonie meletakkan tangannya pada pundak Shine lalu menggoyang-goyangkan pundak itu. "Ah, aku bisa mati penasaran. Cepat ceritakan pada kami!" rengeknya.
"Kau tidak tampak bahagia." komentar Jane. "Mungkin benar kata Sophie, kau tidak jadi menikah, ya?"
Kedua pipi Shine mengembang, menampilkan senyum yang sengaja ia buat semanis mungkin. "Tebakan kalian salah, sa-lah. Aku sudah menikah." ucapnya mantab setengah berbisik.
"APA?" teriak Sophie sambil berdiri yang kemudian ditarik oleh Jane untuk duduk kembali.
"Kau terlalu berlebihan Soph, kau orang yang pertama tau jika Shine akan menikah."
Sophie mencebikkan bibir ke arah Jane. "Lalu kenapa kau ada disini?" tanyanya makin penasaran."
"Itulah yang membuatku kesal Soph. Kami baru saja menikah dan dia menyuruhku datang ke sekolah untuk belajar." jawab Shine malas.
Tawa teman-temannya pecah, hingga beberapa orang menengok ke arah mereka. Sophie mati-matian menahan tawa.
"Apa yang terjadi? Kau benar-benar menikah bukan? Tidak pura-pura menikah?" Jane memelankan suaranya masih sambil terkikik. "Seharusnya kau absen untuk beberapa hari, dan bagaimana dengan pesta pernikahanmu? Kau bahkan tidak mengajak kami untuk merayakannya."
"Ibu mengatakan jika resepsi pernikahan kami akan diadakan setelah aku lulus, supaya tidak mengganggu pendidikanku."
"Sepertinya ibumu benar."
"Tentu saja, aku tidak akan mau menikah tanpa acara yang super mewah. Dan tentunya tanpa kalian."
"Omong-omong...." Sophie menggantung ucapannya.
"Ada apa lagi?" ketus Shine.
"Kau kan sudah resmi menikah.."
"Lalu?"
"Kau harus mempersiapkan dirimu nanti malam." tukas Sophie dengan senyum yang menggoda Shine.
Mulut Shine menganga, kemudian ia mengibas-ibaskan tangan, yang disambut oleh teman-temannya.
Mereka seperti heboh sendiri.
"Benar, kau akan... aaaaaaakkk aku tidak bisa membayangkannya!" seru Vonie.
Wajah Shine memerah. Tadi pagi saja ia sudah memikirkan hal itu, ditambah para sahabatnya yang kembali mengingatkannya.
Sophie melipat tangannya di atas meja. Dengan lemas ia menutup wajahnya lalu melirik Shine. "Apa sekarang kau sedang memikirkan tubuhnya yang sangat indah itu Shine?" tebaknya.
Shine menjadi salah tingkah dan memukul lengan Sophie. "Apa yang kau katakan, tentu saja tidak." sanggahnya.
"Diwajahmu sudah tercetak jelas." timpal Jane yang juga dihadiahi pukulan pelan oleh Shine.
Gadis itu tidak membayangkan bagaimana lengan kokoh Daffa akan memeluknya malam ini. Tidak!
.
Dan kenyataannya dia memikirkannya sepanjang hari.
Shine menelan salivanya berkali-kali, dengan gugup ia berjalan mondar-mandir menanti seseorang pulang. Tiap menit Shine menengok ke arah pintu, berharap bel akan berbunyi atau pintu akan terbuka dengan sendirinya.
Sedangkan Ema dan Brata yang bersantai di ruang keluarga memandang Shine dengan heran sejak tadi.
"Ada apa denganmu Shine? Kau terlihat gelisah." tanya Ema menutup tabloid bulanannya dan melipat kakinya.
Shine hanya menggeleng lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Brata menyesap teh dicangkirnya sambil memandang Shine. "Kau menunggu Daffa?"
Shine kembali menggeleng cepat. "Aku menunggu kak Darren. Kenapa dia belum pulang juga?"
"Kau lupa Shine, Darren sudah kembali ke Singapura siang tadi."
"Benarkah? Kenapa dia tidak memberitahuku Bu?"
Ema bangkit dari sofanya berjalan mendekati Shine. Ia membenarkan anak rambut Shine dan meletakkannya ke belakang telinga.
"Tidurlah, ini sudah malam sayang." Ema mengelus rambut Shine sambil menunjuk ke arah jam besar yang ada di ruangan itu.
Shine baru akan menuruti perintah ibunya ketika bel pintu rumahnya berbunyi nyaring, Shine refleks menengok, dilihatnya salah seorang pembantu berjalan untuk membukakan pintu.
Buru-buru Shine mencegah. "Aku saja bi!" Ia sedikit berlari menuju pintu dan dengan cepat membukanya.
Seseorang yang sudah ia tunggu berdiri diambang pintu.
"Kau belum tidur?"
"Kau pulang cepat?"
Ucap mereka berbarengan.
Daffa tersenyum, memang hari ini pekerjaannya tidak terlalu banyak sehingga ia dapat pulang lebih awal.
Pukul sembilan kurang, tentu jam pulang yang awal untuk Daffa, biasanya ia akan kembali ke rumah diatas jam sembilan.
Daffa melangkah masuk, tapi langkahnya terhenti ketika dengan sigap Shine memegang lengannya.
"Bi..biar aku yang membawakan tasmu kak." ucapnya tergagap.
Ya, tentu saja tindakannya itu hasil dari ucapan sahabat-sahabat Shine di sekolah tadi, bahwa istri harus melayani suaminya dengan baik, seperti menyiapkan segala keperluan Daffa, suaminya.
Daffa menatap Shine heran. "Tidak perlu, aku akan membawanya sendiri Shine." tolaknya mengacak rambut gadis itu.
Shine pasrah, mungkin tindakannya terlihat aneh karena tidak seperti biasa dan tiba-tiba. Atau mungkin teman-temannya sedang membohonginya?
Daffa melanjutkan langkahnya diikuti Shine.
Ketika pria itu akan naik ke tangga menuju kamarnya, ia menoleh ke arah Shine sambil mengerutkan dahi.
"Aku ingin ke kamarku dan mandi Shine."
Gadis itu mengangkat alis serta bahunya tidak paham.
Bukankah mereka sudah menjadi suami istri? Mereka akan berbagi kamar bukan? Batin Shine.
Terdengar suara Ema tertawa renyah disamping Brata.
"Shine, kembali ke kamarmu dan cepatlah tidur, ini sudah malam, besok kau harus sekolah." tutur Ema yang sepertinya tahu maksud Shine.
Anak gadisnya itu hanya menurut, menuruni beberapa tangga dengan langkah pelan.
"Shine."
Suara Daffa memanggilnya. Dengan cepat Shine menengok.
Daffa terlihat ikut menuruni tangga dan mendekatinya.
Pria itu pasti akan mengajaknya bersama-sama ke kamarnya. Iya kan?
Shine tersenyum sumringah.
Daffa menarik belakang kepala Shine untuk mendekat, dan mengecup keningnya. "Selamat malam." ucap pria itu kemudian dengan santai kembali menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.
Shine menganga.
Tidak ada yang akan mengajaknya ke kamar bersama.
Kecupan selamat malam seperti biasanya.
Daffa masih kakaknya.
Shine tersadar dan berjalan cepat ke kamarnya sendiri. Ia menutup pintu kamar dengan sedikit keras.
Apa ia hanya bermimpi tadi pagi? Kenapa ia bertingkah bodoh dan aneh?
Sebenarnya apa yang terjadi hari ini!!
Jerit Shine dalam hati.
"Jadi dia tidak menyentuhmu sama sekali?"Pertanyaan yang ntah keberapa kali Sophie lontarkan hari ini membuat Shine kesal. Apalagi Sophie akan tertawa sangat keras sesudahnya."Hentikan menanyakan hal itu Soph," ucap Jane dikursi belakang sembari menepuk pundak Sophie yang sibuk menyetir mobilnya. Jane menutupi mulutnya dengan jemari. Shine tau bahwa gadis berlesung pipi itu sedang menahan tawa.Saat ini mereka sedang pergi bersama-sama mengantar Vonie menemui Jim, pria yang sewaktu itu tertangkap bersama mereka di pertandingan tinju liar. Shine berpikir Vonie benar-benar serius menyukai Jim.Setelah perdebatan yang cukup panjang dengan bodyguard Shine, akhirnya Shine diizinkan pergi dengan para sahabatnya itu sepulang sekol
Setelah malam itu, Shine mengikuti semua keinginan Daffa. Tidak berkeliaran setelah pulang sekolah selama menjelang ujian, tidak bermain-main setiap hari bersama teman-temannya dan belajar dengan giat.Ya... tentu saja itu karena Daffa selalu mengawasinya dengan sangat ketat.Bayangkan saja, Daffa mengantar jemput Shine ke sekolah dengan tepat waktu, memastikan Shine masuk ke dalam kelasnya dan menjemput Shine di depan pintu kelas, hingga beberapa temannya terus-menerus menanyai nomor ponsel Daffa, karena pria itu sangat mencuri perhatian.Shine bisa gila!Tapi gila yang dirasakan Shine terbayar sudah. Kini, ia sedang tertawa sambil berteriak-teriak memeluk teman-temannya yang baru saja melihat papan pengumuman kelulusan, dan mereka s
Setelah seminggu penuh Shine mempersiapkan pernikahan impiannya, tentu saja dengan bantuan para sahabat serta Ema dan Brata, karena Daffa terlalu sibuk bekerja, ia hanya mengiyakan apapun permintaan dan konsep yang Shine inginkan, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu gadis itu tiba.Hari pernikahannya.Shine mengenakan gaun putih gading menjuntai bak princess, gaun rancangan perdana Sophie khusus untuknya, dan hanya dikerjakan dalam satu Minggu setelah Daffa menawarkan sebuah pesta pernikahan malam itu.Dengan tatanan messy hair masih ala-ala putri kerajaan Shine nampak terlihat sangat cantik. Sedikit anak rambut nakalnya menjuntai dari pinggiran leher Shine."Kau sangat luar biasa Shine," puji Jane menatap sahabatnya
Shine melangkah keluar kamar mandi dengan hati yang berdebar. Tangannya kuat memegang kimono mandinya karena ia tidak memakai sehelai benangpun di dalam kimono itu.Dilihatnya Daffa berdiri di depan cermin, tengah sibuk memakai jam tangan."Ah, kau sudah selesai?" tanya pria itu menyadari keberadaan Shine."Ya." Shine memperhatikan Daffa, suaminya itu memakai t-shirtmaroonpolos dan memakai celana
"Jadi dia tidak pernah menyentuhmu sampai sekarang Shine?" tanya Sophie setelah selesai mendengarkan curahan hati Shine.Shine mengangguk tak teratur kemudian kembali meminum birnya.Jane merebut gelas Shine."Sudah sebulan lebih, sejak pesta itu, dan kau masih perawan hingga saat ini?" Sophie tertawa geli, ia terlihat mengejek."Pasti karna dadamu yang rata itu, Shine,"
"Kau sudah sampai, sayang?"Daffa memeluk Ema erat begitu melihat wanita paruh baya itu menyambutnya."Ibu akan pergi?" tanya Daffa melihat pakaian Ema yang sangat rapi. Ia melepaskan pelukannya."Ya, kami akan pergi makan malam bersama, undangan rekan bisnis ayahmu."Daffa celingukan. "Dimana ayah?"
Setelah baru saja mendarat, Daffa membuka ponselnya ketika sudah duduk dalam mobil yang menjemputnya. Ia memijat-mijat dahi karena kelelahan. Ada dua panggilan tak terjawab dari Shine siang tadi, sebelum penerbangan. Daffa terburu-buru untuk sampai ke bandara kerena sedikit terlambat, jadi ia tak sempat mengangkat telpon Shine. Dan ketika di dalam pesawat ia segera menon-aktifkan ponselnya.Daffa menekan nomer Shine untuk balik menghubunginya.Sampai dering terakhir tidak ada jawaban dari seberang, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Kau ternyata sangat pintar memberiku kejutan kak, dan selera humormu memang sangat baik. Aku pulang.""Shine ..."Daffa menarik lengan Shine ketika ia berbalik, hingga gadis itu kembali menghadap ke arahnya."Kau bercanda kan, kak?" tanya Shine menatap Daffa lekat-lekat. "Kau ingin kita tinggal di apartemen yang hanya seluas ruang keluarga kita ini?" lanjutnya sedikit geram.
Namaku Daffa Revano Abrata.Aku terbangun dari tidurku yang cukup panjang. Ntah apa yang terjadi padaku, tiba-tiba aku terbangun dengan jantung yang masih berdetak.Ku pikir aku sudah mati. Mengingat bagaimana penyakitku.Ketika aku terbangun, yang aku lihat adalah wajah-wajah penuh air mata dari keluargaku, juga kembaranku yang matanya terlihat memerah walaupun sepertinya ia tak ingin menunjukkannya padaku.
Namaku Miracle Shine. Nama yang benar-benar indah untuk gadis malang sepertiku. Seseorang yang baru saja kehilangan seluruh hidupnya. Ayah dan Ibu meninggalkanku satu tahun yang lalu, dan kini aku juga harus kehilangan kakak yang paling aku sayangi karena kecelakaan.Gelap.Aku merasa hidupku diselimuti oleh kegelapan ketika aku menyaksikan pemakaman Edward.Sungguh aku tidak tahu bagaimana masa depanku tanpanya, aku merasa hancur dan sendiri.
Shine dan Daffa baru saja memasuki rumah orang tuanya, rumah yang setelah sekian lama baru saja mereka kunjungi.Mereka disambut ramah oleh para pekerja dan juga Ema yang begitu melihat Shine langsung memeluknya, padahal Daffa juga berada di samping Shine."Ibu merindukanmu, Nak."Shine mempererat pelukannya mendengar suara Ema yang bergetar. "Aku juga, Bu."Setelah puas
Desahan napas memburu terus beradu di sebuah ruangan yang cukup gelap dengan hanya penerangan cahaya lampu meja ala kadarnya.Disana, di atas ranjang king size yang berada di tengah ruangan, terdapat dua insan yang sedang bergumul, bercumbu menyalurkan hasrat manusiawi yang mereka miliki."Kak Daffa ..."Erangan Shine semakin menggila ketika Daffa menciumi dadanya secara bergantian, bekerja sama dengan jari jemarinya yang meremas dua gundukan yang selalu membuat pria itu gemas.
'Aku sudah mengetahui semuanya, Kak. Selama ini kau membohongiku. Kak Darren sudah memberitahuku, tentang siapa kita sebenarnya. Jika memang seperti ini takdir kita, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa marah. Aku mencintaimu, kau mencintaiku, bisakah kita mati saja bersama-sama? Aku akan menunggumu di tempat rahasia kita, kau tau kan tempat itu? Tempat yang hanya diketahui oleh kau dan aku saja. Aku akan pulang ke Indonesia pagi ini bersama mereka. Bukankah kau juga harus mengambil penerbangan pagi ini? Jika kau tidak datang, kau tau bukan senekat apa diriku? Aku benar-benar mencintaimu, Kak.'"Bali, pasti Bali," gumam Daffa mengingat sebuah villa yang ia
Satu tahun kemudian ....Ema, Brata, Darren juga Mikaela sedang bercakap-cakap di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas tapi cukup nyaman untuk berkumpul bersama, ruangan dengan nuansa warna coklat susu, juga terdapat beberapa manekin yang terpajang di sudut-sudutnya, lengkap dengan gaun-gaun menempel disana. Ya, itu adalah apartemen Shine yang sudah diubah menjadi tempat Sophie merancang busana.Mereka sekeluarga datang untuk menghadiri upacara kelulusan Shine yang diadakan hari ini.
"Jantung yang berdetak dalam diriku, adalah jantung milik Edward. Jantung milik kakakmu."Mata Shine membulat, dengan cepat ia membalikkan badannya menatap Daffa.Tidak ada kebohongan disana."A--apa?" Tanya Shine memastikan pendengarannya."Jantung yang aku miliki sekarang adalah jantung Edward," ulang Daffa tanpa ragu sembari membalas tatapan Shine.
Dua hari setelah mengetahui kenyataan pahit yang ada, Daffa mengasingkan diri di villa rahasia miliknya dan Shine yang berada di Bali. Darren sempat menghubungi Daffa dan menanyakan kenapa tiba-tiba Daffa menghilang, tetapi pria itu mengatakan jika ia ada urusan bisnis yang mendadak. Ia tak ingin memberi tahu pada siapapun keberadaannya, bahkan ia tidak ingin mendengar kebenaran apapun dari mulut Darren.Daffa memilih diam dan tetap berpura-pura tidak mengetahui apapun.Setidaknya itu pilihannya sebelum memutuskan sesuatu.
"Kau dimana?""Masih di London.""Bisakah kau pulang hari ini?""Ada apa?""Ada sesuatu yang sangat penting yang