Daffa terbangun memegangi dadanya yang berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras dari dahi dan seluruh tubuhnya. Napasnya naik turun tidak beraturan seperti lelah berlari kerena dikejar sesuatu dan tercekik.
Ia bermimpi. Mimpi yang selalu sama seperti tujuh tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali nadinya berdetak dengan jantung orang lain yang ada dalam tubuhnya.
Menyibak selimut tebalnya, Daffa bangkit untuk mengambil air minum di dapur. Ia menuruni tangga dan melihat jam besar yang ada di ujung ruangan masih menunjukkan pukul dua dinihari.
Waktu untuk semua orang mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Begitu juga semua orang di rumah Daffa yang juga sudah terlelap dalam tidurnya, tidak dengan ayah dan ibu Daffa sedang berlibur ke Italia bersama dengan teman mereka selama satu minggu.
Daffa meneguk banyak-banyak air yang kini sudah berada digelas yang ia genggam.
Ada satu hal yang mengganjal pikiran Daffa.
Shine.
Sejak pulang kerja, ia belum melihat adiknya itu sama sekali dan buru-buru masuk ke kamarnya untuk mandi kemudian tak sengaja ia tertidur karena merasa sangat lelah.
Karena pikirannya belum tenang, Daffa memutuskan untuk melihat Shine sebentar dikamarnya.
Setelah menaruh gelas dengan asal di pantry dapur, Daffa segera menuju kamar gadis itu.
Hal yang pertama ia lihat ketika membuka pintu hanyalah Shine yang sedang meringkuk dalam selimutnya.
Seperti biasa, gadis itu tidak pernah mengunci pintu kamar, kebiasaannya sejak dulu untuk mempermudah Ema dan Brata masuk ke kamar dan mencium dahi Shine ketika gadis itu tidur, termasuk dirinya.
Daffa tersenyum dan kembali ingin menutup pin.....tunggu dulu, ia hampir saja lupa mengecup kening adiknya, semenjak Shine tumbuh menjadi dewasa, Daffa jadi jarang melakukannya.
Dengan pelan Daffa mendekat dan menyibak selimut Shine.
Kosong.
Shine tidak ada dikamarnya. Dengan pintar ia mengganti tubuhnya dengan guling dan bantal, seolah-olah ia sedang tertidur. Beruntung Daffa mengetahui hal itu.
Dengan langkah panjang Daffa naik lagi ke kamar untuk mengecek ponselnya dan melacak keberadaan Shine.
Secara diam-diam Daffa memang sudah memasang alat pelacak di ponsel Shine setelah kerap kali pembantu dan orangtuanya mengatakan jika Shine sering pulang larut dengan alasan belajar kelompok bersama teman-temannya untuk Ujian Nasional.
Ternyata benar kecurigaan Daffa selama ini. Shine memang tidak benar-benar belajar, tetapi ia sering menghabiskan malam bersama teman-temannya di Bar, terbukti dari lokasi Shine yang tergambar jelas diponselnya.
Selama ini Daffa masih diam, karena setiap kali ia pulang ke rumah, Shine selalu sudah berada di rumah. Tapi kali ini Daffa tidak akan diam, Shine sudah pergi melampaui jam malam yang ia dan orangtuanya berikan, bahkan hampir pagi. Tanggung jawab ada ditangan Daffa selama ayah dan ibunya pergi.
Dan Daffa yakin Shine memanfaatkan kesempatan untuk bisa bersenang-senang dengan teman-temannya.
Sungguh kelalaian Daffa dalam mengawasi gadis itu.
Daffa segera memakai jaket tebalnya dan mengambil kunci mobil di atas nakas meja kamar.
Ia buru-buru menaiki mobil dan melaju secepat mungkin mengikuti petunjuk arah yang ada di ponsel yang akan membawanya pada Shine.
Miracle Shine.
Nama lengkap adiknya itu. Nama yang unik dan indah pemberian orang tua kandung Shine.
Gadis itu diambil oleh keluarga mereka sejak tujuh tahun lalu. Sejak kakaknya mendonorkan jantung untuk Daffa.
Setelah itu, Daffa tidak pernah merasakan nyeri pada jantungnya lagi.
Setelah itu juga Daffa mendapatkan seorang adik perempuan yang selalu dapat membuat kepalanya mendadak pusing karena kelakuan gadis kecil itu.
Daffa sangat berterima kasih dan berhutang budi pada Edward, karena kakak Shine itu, ia masih bisa hidup hingga sekarang tanpa rasa sakit yang menderanya lagi. Dan karena itulah Daffa merasa memiliki tanggung jawab, sekarang tugas Daffa menjaga dan melindungi Shine layaknya kakak.
Lagipula, Ibu dan Ayahnya sangat menyayangi Shine dengan tulus. Darren pun kerap memanjakan gadis itu, begitupun Daffa.
Shine harus hidup bahagia, tapi tidak dengan seperti ini caranya.
Ia tidak suka Shine terjerumus ke dalam pergaulan negatif di usianya yang masih 18 tahun yang sebentar lagi akan menjalani ujian. Daffa ingin gadis itu fokus pada sekolahnya saja.
Tak lama Daffa sampai ke tempat yang dituju karena jalanan tengah malam cukup renggang. Daffa memarkirkan mobilnya asal. Kemudian dengan buru-buru masuk ke dalam bar yang dimaksud.
Di lantai dansa, ia dapat melihat Shine sedang berliuk-liukan tubuhnya bersama dengan beberapa gadis sebayanya. Walau mereka jauh dari kerumunan lelaki, tetap saja Daffa tidak suka melihatnya.
Ia mendekat, kemudian menarik tangan Shine.
"Kau bau alkohol, kau mabuk?" tanyanya mengendus Shine.
"Ah kakak. Kenapa kau ada disini? Tidak, aku tidak mabuk."
Shine tersenyum, kemudian bergelayut manja pada Daffa dan menggoyangkan pinggulnya, seolah mengajak Daffa berdansa.
Daffa menurunkan tangan Shine yang ada di lehernya. "Kau minum alkohol?"
"Aku tidak minum alkohol kak, aku hanya mencicipinya, sedikit." ujar Shine menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya membuat tanda sedikit. Ucapan Shine sudah tidak seperti gadis yang waras.
Daffa tau Shine sedang mabuk. Ia segera menarik Shine untuk keluar dari tempat itu. Tidak peduli pandangan para teman-teman Shine padanya.
Ia membawa Shine pulang ke rumah mereka.
.
"Aku adalah sang putri, lalalala, aku bebas ingin kemanapun aku pergi, lalala...."
Sepanjang perjalanan Shine hanya bernyanyi tak jelas, juga ketika Daffa mencoba memapahnya dari mobil ke dalam kamar, karena cara berjalan Shine yang sudah sempoyongan tak seimbang.
Daffa sedikit kesusahan mengatur Shine. Gadis itu menggoyangkan tangan dan kakinya seolah-olah sedang menari.
"Shine, berhentilah." pinta Daffa mencoba bersabar. Ia selalu bersabar jika menyangkut Shine.
"Hey kak, kenapa kau menjemputku pulang? Aku masih ingin menari."
Daffa hanya menghela napas. "Ini sudah malam Shine, dan hampir pagi, besok kau harus bersekolah." ucapnya lembut.
"Kau tidak ingin menari denganku kak, ayo menari. Kau sangat kaku." ejek Shine sambil tertawa. Ia tidak sadar apa yang tengah ia ucapkan.
Dengan perlahan Daffa mendudukkan Shine ke ranjang kamar Shine dan melepas sepatu gadis itu, ia mengangkat kaki Shine dan meletakkan kepala Shine di bantal, agar shine dapat tidur dengan nyenyak, walau masih menggunakan pakaian yang lengkap dengan rok mini yang ketat.
Daffa mencoba menutupnya dengan selimut.
Shine masih menyanyi-nyanyi tidak jelas, sedangkan Daffa memilih keluar dari kamar Shine untuk membiarkan gadis itu tidur.
.
"Kau sudah bangun?"
Shine melengos mendengar suara Daffa yang sudah duduk manis dimeja makan dan memakan sarapannya.
"Apa kau yang menjemputku semalam kak?" tanya Shine tanpa menunjukkan perasaan bersalah.
"Ya, dan kau mabuk." jawab Daffa. Ia menuangkan segelas air dan memberikannya pada Shine. "Minum ini, kepalamu pasti sangat sakit."
Dengan mencebikkan mulutnya Shine mengambil gelas itu kemudian menegaknya hingga habis.
"Kenapa kau belum pergi kak? Biasanya pagi-pagi sekali kau sudah ke kantor?" Shine mulai memakan rotinya.
"Aku akan mengantarmu ke sekolah."
"Apa? No. Tidak kak, Sophie akan menjemputku." tolak Shine karena sudah punya janji dengan temannya yang akan menjemput.
"Aku tidak suka kau pergi ke bar, lalu mabuk Shine." tegas Daffa.
Shine memutar bola matanya malas. "Kak, aku bukan anak kecil lagi. Itu sudah biasa untukku dan teman-temanku."
"Aku tetap tidak suka. Akan aku laporkan ini pada ayah dan ibu kalau kau tetap melakukannya, bahkan pada Darren." ancam Daffa.
"Tapi--"
"Lakukan semaumu setelah kau lulus Shine. Untuk saat ini bertingkahlah seperti gadis yang baik seusiamu." Daffa tersenyum, kemudian ia mengelus kepala Shine.
Dan seketika tidak ada bantahan dari Shine. Dia paling lemah jika Daffa sudah membelai rambutnya. Apalagi jika Daffa sudah mengancam akan melaporkan pada Ema dan Brata apa yang ia lakukan, walau selama ini Daffa selalu menutupi tingkah laku buruknya.
Lebih parahnya lagi jika nanti Daffa akan mengadukannya kepada Darren. Kakaknya yang satu itu akan bertindak lebih kejam padanya.
Pernah dulu, sewaktu ia membolos sekolah karena ada janji dengan seorang pria. Darren menemukannya dan membanting ponsel mahal keluaran terbarunya itu hingga hancur. Shine menangis sejadi-jadinya, karena usianya ia masih benar-benar labil kala itu, dan sampai di rumah, Darren memarahinya habis-habisan dan mengatakan tidak akan memberi uang jajan serta ponsel baru untuk Shine. Beruntung ada Daffa yang menenangkan dan membelikannya ponsel baru.
Shine masih beruntung Darren tidak menetap satu rumah dengannya, hanya sesekali saja pulang ke Indonesia. Tapi walau bagaimanapun galaknya Darren, sebenarnya ia selalu memberikan apapun yang Shine mau, dan Shine benar-benar menyayanginya. Menyayangi kedua kakaknya.
"Cepat habiskan makanmu Shine." ujar Daffa melihat arloji ditangannya.
"Baiklah kak."
.
Mobil yang dikendarai Daffa berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Disana teman-teman Shine sudah menantinya.
Shine tau apa tujuan mereka, begitu Shine mengatakan kalau mereka tidak perlu menjemputnya karena ia akan diantar oleh Daffa, teman-temannya itu justru bersemangat bahkan sampai menunggunya di depan gerbang.
Shine turun dari mobil diikuti Daffa.
Teman-temannya dengan bersamaan melambaikan tangan pada Shine, tetapi tidak dengan mata mereka yang menatap Daffa.
Pria itu balas melambaikan tangan dengan senyuman yang membuat siapapun meleleh melihatnya.
Shine hanya melongo ketika melihat teman-temannya makin bersemangat melambaikan tangan.
"Cepat pergi kak, atau kau akan membuat mereka seperti orang gila."
Daffa terkekeh, kembali mengacak rambut Shine dan memutar arah untuk masuk ke kemudinya. Tak lama, mobil itu meninggalkan Shine.
Shine berjalan mendekati teman-temannya yang antusias menyambutnya.
"Kau lihat tadi? Dia tersenyum padaku." ucap Sophie.
"Tidak, dia tersenyum padaku." Jane tak mau kalah.
"Kenapa kau punya kakak setampan itu Shine, aku benar-benar iri padamu." rengek Vonie. "Tapi kak Darren tetap favoritku." lanjutnya.
"Hentikan imaginasimu, Kak Darren akan bertunangan sebentar lagi." Shine menarik kesal teman-temannya untuk berjalan ke kelas.
"Benarkah? Dengan dokter cantik itu?"
"Ya tentu saja, kau bukan tandingannya Vonie." Shine tersenyum meremehkan.
"Kalau begitu aku dengan kak Daffa saja." ujar Vonie yang kemudian dihadiahi jitakan dari Sophie dan Jane.
"Dia milikku." balas Sophie.
Shine hanya tertawa melihat tingkah mereka yang memperebutkan Daffa. Tentu saja Daffa idaman. Dia benar-benar seperti malaikat.
"Pria dewasa memang mempesona ya." tambah Sophie masih belum bisa mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Tidak bisa dipungkiri bahwa diam-diam Shine juga mengidolakan Daffa. Suatu saat jika ia menikah, ia ingin menikah dengan pria seperti Daffa atau Darren. Daffa selalu melindunginya, memberi apapun yang Shine minta tanpa harus menunggu lama. Ia selalu memanjakan Shine, memperlakukan Shine seperti seorang Puteri raja. Benar-benar pria yang sulit dicari.
Sampai sekarang pun Shine masih terheran-heran kenapa ada keluarga yang sangat baik padanya. Padahal Shine tau, ia bukanlah anak kandung, atau saudara kandung mereka. Tapi Shine bahagia memiliki keluarga seperti keluarga Brata.
Shine merasa sangat beruntung.
Tapi tetap saja bagi Shine kedua kakaknya tetap sangat menyebalkan jika sudah mulai mengatur-atur apa yang Shine perbuat.
"Bolehkan pulang sekolah kami melihat-lihat perusahaanmu Shine? Sudah lama juga kau tidak menengoknya bukan?" tanya Jane dengan cengirannya yang mencurigakan, diikuti kedua temannya dengan mata berbinar-binar.
Shine hanya memutar bola matanya malas. Ia jelas tau apa yang ada dipikiran teman-temannya itu. Tentu saja untuk bertemu Daffa.
Ponsel Daffa berdering ketika baru saja ia menegakkan punggungnya dari sandaran kursi tempat biasa ia menandatangani dokumen-dokumen penting dan mengerjakan sesuatu dilaptopnya.Diraihnya ponsel itu, yang ternyata terlihat panggilan dari ayahnya, Brata. Daffa segera menggeser tanda terima panggilan."Hi Dad." sapanya sambil memutar-mutar kursi kerja. "Bagaimana kabar kalian? Apa kalian bersenang-senang?""Daff.." balas Brata pelan. "Ada hal yang ingin ayah sampaikan." Begitu mendengar suara Brata yang terdengar serius, Daffa mengerutkan keningnya."Ada apa? Apa terjadi sesuatu disana?""Tidak. Kami baik-baik s
"Kaaakk! Kak Daffa!"Suara teriakan Shine menggelegar memenuhi ruangan.Merasa namanya terus dipanggil dengan tidak sabar, Daffa dengan segera turun dari tangga kamar sambari mengancingkan lengan kemejanya."Ada apa Shine?" tanyanya mendekat."Apa-apaan ini kak?" Shine menunjuk dua pria berbadan kekar berpenampilan rapi dan berkacamata hitam yang berdiri tegap menghadap Shine."Oh, mereka yang akan menjagamu." jawab Daffa santai, sambil berlalu ke meja makan.Shine membuntutinya."Jadi, ini hukuman yang kau berikan padaku kak?" tanyanya geram.
Kepala Shine menoleh dengan cepat ketika ia mendengar kalimat yang baru saja Daffa lontarkan.Me..menikah? Ia tidak salah dengar bukan? Daffa baru saja mengajaknya menikah?Pria itu masih memegang setirnya, menatap kosong ke depan, seperti ada keraguan diwajahnya."Menikah?" Tanya Shine memastikan bahwa pendengarannya bekerja dengan baik.Daffa mulai menatapnya lembut, kemudian ia membelai rambut Shine seperti biasa."Ya, menikahlah denganku Shine.""Ke..kenapa?" Gadis itu mengerutkan dahinya bingung, ia tidak tahu bagaimana raut wajahnya dan nada bicaranya yang tidak mungkin akan nampak normal. "...i..ini..tiba..tiba sekali.." lanj
Semua terdiam."Aku bersedia menikah dengan kak Daffa." ucap Shine sekali lagi dengan pancaran kebahagiaan yang tentu tidak dapat ia tutupi.Ema mendekati Shine dan mengelus rambutnya lembut. "Ganti bajumu dulu Shine, kita akan membicarakan hal ini nanti setelah kau mengganti baju, dan kita akan makan bersama sekarang." tuntun Ema ke kamar Shine.Gadis itu hanya menurut, ia tersenyum ke Ema sebelum menutup pintu kamarnya yang dibalas dengan cubitan di pipinya. Ema kemudian kembali meninggalkan putri kesayangannya itu ke ruang keluarga."Jangan ada yang mengatakan sepatah katapun tentang rencana ini padanya, aku akan menceraikan Shine setelah usianya genap 25 tahun, setelah ia matang, dan dapat mengambil alih perusahaannya sendiri." te
Mobil Shine melaju mulus menuju ke sekolah, beberapa kali mereka mendapatkan kemacetan dijalan. Tetapi bukan itu yang Shine pikirkan.Wajah mungil Shine tertekuk, bibirnya mengerucut dan ia melipat tangannya ke depan dada. Sesekali ia menghentak-hentakkan kakinya ke bawah, membuat kedua bodyguardnya yang duduk di kemudi depan menengok, mengintip melalui kaca depan mobil. Mereka jelas tau apa yang membuat mood Shine begitu buruk.Nona mudanya itu baru saja resmi menjadi nyonya Daffa.Iya, mereka baru saja melangsungkan pernikahan sekitar 45 menit yang lalu, dan kini Shine harus menuju ke sekolah untuk menuntut ilmu.Shine mencebik. Ini adalah hari istimewanya, tapi apa yang ia dapat?
"Jadi dia tidak menyentuhmu sama sekali?"Pertanyaan yang ntah keberapa kali Sophie lontarkan hari ini membuat Shine kesal. Apalagi Sophie akan tertawa sangat keras sesudahnya."Hentikan menanyakan hal itu Soph," ucap Jane dikursi belakang sembari menepuk pundak Sophie yang sibuk menyetir mobilnya. Jane menutupi mulutnya dengan jemari. Shine tau bahwa gadis berlesung pipi itu sedang menahan tawa.Saat ini mereka sedang pergi bersama-sama mengantar Vonie menemui Jim, pria yang sewaktu itu tertangkap bersama mereka di pertandingan tinju liar. Shine berpikir Vonie benar-benar serius menyukai Jim.Setelah perdebatan yang cukup panjang dengan bodyguard Shine, akhirnya Shine diizinkan pergi dengan para sahabatnya itu sepulang sekol
Setelah malam itu, Shine mengikuti semua keinginan Daffa. Tidak berkeliaran setelah pulang sekolah selama menjelang ujian, tidak bermain-main setiap hari bersama teman-temannya dan belajar dengan giat.Ya... tentu saja itu karena Daffa selalu mengawasinya dengan sangat ketat.Bayangkan saja, Daffa mengantar jemput Shine ke sekolah dengan tepat waktu, memastikan Shine masuk ke dalam kelasnya dan menjemput Shine di depan pintu kelas, hingga beberapa temannya terus-menerus menanyai nomor ponsel Daffa, karena pria itu sangat mencuri perhatian.Shine bisa gila!Tapi gila yang dirasakan Shine terbayar sudah. Kini, ia sedang tertawa sambil berteriak-teriak memeluk teman-temannya yang baru saja melihat papan pengumuman kelulusan, dan mereka s
Setelah seminggu penuh Shine mempersiapkan pernikahan impiannya, tentu saja dengan bantuan para sahabat serta Ema dan Brata, karena Daffa terlalu sibuk bekerja, ia hanya mengiyakan apapun permintaan dan konsep yang Shine inginkan, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu gadis itu tiba.Hari pernikahannya.Shine mengenakan gaun putih gading menjuntai bak princess, gaun rancangan perdana Sophie khusus untuknya, dan hanya dikerjakan dalam satu Minggu setelah Daffa menawarkan sebuah pesta pernikahan malam itu.Dengan tatanan messy hair masih ala-ala putri kerajaan Shine nampak terlihat sangat cantik. Sedikit anak rambut nakalnya menjuntai dari pinggiran leher Shine."Kau sangat luar biasa Shine," puji Jane menatap sahabatnya
Namaku Daffa Revano Abrata.Aku terbangun dari tidurku yang cukup panjang. Ntah apa yang terjadi padaku, tiba-tiba aku terbangun dengan jantung yang masih berdetak.Ku pikir aku sudah mati. Mengingat bagaimana penyakitku.Ketika aku terbangun, yang aku lihat adalah wajah-wajah penuh air mata dari keluargaku, juga kembaranku yang matanya terlihat memerah walaupun sepertinya ia tak ingin menunjukkannya padaku.
Namaku Miracle Shine. Nama yang benar-benar indah untuk gadis malang sepertiku. Seseorang yang baru saja kehilangan seluruh hidupnya. Ayah dan Ibu meninggalkanku satu tahun yang lalu, dan kini aku juga harus kehilangan kakak yang paling aku sayangi karena kecelakaan.Gelap.Aku merasa hidupku diselimuti oleh kegelapan ketika aku menyaksikan pemakaman Edward.Sungguh aku tidak tahu bagaimana masa depanku tanpanya, aku merasa hancur dan sendiri.
Shine dan Daffa baru saja memasuki rumah orang tuanya, rumah yang setelah sekian lama baru saja mereka kunjungi.Mereka disambut ramah oleh para pekerja dan juga Ema yang begitu melihat Shine langsung memeluknya, padahal Daffa juga berada di samping Shine."Ibu merindukanmu, Nak."Shine mempererat pelukannya mendengar suara Ema yang bergetar. "Aku juga, Bu."Setelah puas
Desahan napas memburu terus beradu di sebuah ruangan yang cukup gelap dengan hanya penerangan cahaya lampu meja ala kadarnya.Disana, di atas ranjang king size yang berada di tengah ruangan, terdapat dua insan yang sedang bergumul, bercumbu menyalurkan hasrat manusiawi yang mereka miliki."Kak Daffa ..."Erangan Shine semakin menggila ketika Daffa menciumi dadanya secara bergantian, bekerja sama dengan jari jemarinya yang meremas dua gundukan yang selalu membuat pria itu gemas.
'Aku sudah mengetahui semuanya, Kak. Selama ini kau membohongiku. Kak Darren sudah memberitahuku, tentang siapa kita sebenarnya. Jika memang seperti ini takdir kita, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa marah. Aku mencintaimu, kau mencintaiku, bisakah kita mati saja bersama-sama? Aku akan menunggumu di tempat rahasia kita, kau tau kan tempat itu? Tempat yang hanya diketahui oleh kau dan aku saja. Aku akan pulang ke Indonesia pagi ini bersama mereka. Bukankah kau juga harus mengambil penerbangan pagi ini? Jika kau tidak datang, kau tau bukan senekat apa diriku? Aku benar-benar mencintaimu, Kak.'"Bali, pasti Bali," gumam Daffa mengingat sebuah villa yang ia
Satu tahun kemudian ....Ema, Brata, Darren juga Mikaela sedang bercakap-cakap di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas tapi cukup nyaman untuk berkumpul bersama, ruangan dengan nuansa warna coklat susu, juga terdapat beberapa manekin yang terpajang di sudut-sudutnya, lengkap dengan gaun-gaun menempel disana. Ya, itu adalah apartemen Shine yang sudah diubah menjadi tempat Sophie merancang busana.Mereka sekeluarga datang untuk menghadiri upacara kelulusan Shine yang diadakan hari ini.
"Jantung yang berdetak dalam diriku, adalah jantung milik Edward. Jantung milik kakakmu."Mata Shine membulat, dengan cepat ia membalikkan badannya menatap Daffa.Tidak ada kebohongan disana."A--apa?" Tanya Shine memastikan pendengarannya."Jantung yang aku miliki sekarang adalah jantung Edward," ulang Daffa tanpa ragu sembari membalas tatapan Shine.
Dua hari setelah mengetahui kenyataan pahit yang ada, Daffa mengasingkan diri di villa rahasia miliknya dan Shine yang berada di Bali. Darren sempat menghubungi Daffa dan menanyakan kenapa tiba-tiba Daffa menghilang, tetapi pria itu mengatakan jika ia ada urusan bisnis yang mendadak. Ia tak ingin memberi tahu pada siapapun keberadaannya, bahkan ia tidak ingin mendengar kebenaran apapun dari mulut Darren.Daffa memilih diam dan tetap berpura-pura tidak mengetahui apapun.Setidaknya itu pilihannya sebelum memutuskan sesuatu.
"Kau dimana?""Masih di London.""Bisakah kau pulang hari ini?""Ada apa?""Ada sesuatu yang sangat penting yang