Petir menyamba-nyambar. Hujan deras berderai bersama air mata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipi. Aku memeluk anak-anak dalam keadaan basah kuyup oleh keringat dan air mata sendiri—meringkuk duduk di atas lantai marmer yang dingin. “Pak guru …. Pak guru ….” Mereka terus menangisi Esa yang telah angkat kaki dari rumahnya sendiri sekitar lima belas menit yang lalu. Meninggalkan kami semua dalam kondisi mental yang tidak baik. Tak lama, beberapa saat kemudian, kami mendengar bunyi alat-alat melayang dan terbentur di dinding dari balik pintu gelap Olin. Aku segera menggeser tubuh anak-anak ke samping untuk lekas berdiri. Mendekat dengan ketakutan yang terasa pekat namun lantang menggebrak pintu itu secara lebar-lebar. “Astaga! Olin!” Kulihat dengan mata kepala sendiri anak itu duduk mepet berhadapan dengan dinding bersama kursi roda tengah membentur-benturkan kepalanya sendiri yang masih di bungkus perban. “Olin! Olin!” Jantungku tak habis-habisnya terkejut. Segera kusin
Esa terkekeh saat menyadari sesuatu.“Kau tahu, yang lebih mencengangkannya lagi?” tanyanya tapi bukan bertanya. Seperti hanya mengikuti caraku berbicara. “Makasi atas Quotesnya. Cukup menghibur.”Kuterima dengan gaya anak indie yang mencintai senja. Tidak menyangka pula bahwa kata-kata itu malah menghiburnya.“Tapi kamu gimana dulu? Katamu pernah berada di posisi Olin waktu—eh, keadaan Olin gimana?”Ia keburu mengubah topik saat menyebut anak tersebut. Ada kekhawatiran sekaligus ketakutan yang cukup pekat di matanya. Aku spontan menjawab. “Baik.” Membuatnya tidak percaya.“Seriusan? Nggak mungkin. Pagi ini gimana keadaannya?”“Sedang tidur setelah minum obat sehabis sarapan.”“Dia bilang apa tentangku?”“Nggak ada.”“Seriusan?”“Serius .…”Aku memang tidak ingin membebani pikirannya dengan rasa sakit yang sudah-sudah. Namun setiap kali bertatapan lama, ia seolah mendesakku untuk berbicara jujur.“Aku ini laki-laki, sayang. Nggak apa-apa. Bicara aja secara jujur. Justru saat aku tahu
“Pertanyaan itu juga yang sering muncul dikepalaku belakangan ini,” akuku beberapa saat ketika ia nyaris menumpahkan air matanya. Kemudian tersenyum lebar-lebar ketika ia melihatku dengan wajah parau. “Ternyata aku nggak sendiri.” Membuatnya mengelap air mata cepat-cepat bagai anak kecil yang dimarahi Ibunya karena terlalu banyak menangis sementara aku melompat kecil untuk menjongkok kemudian duduk tepat di depannya. “Udah jangan sedih,” cetusku mengambang. Mengulurkan singsingan lengan panjang hingga punggung tangan untuk ikut mengelap air matanya. “It’s okay. Bukan masalah besar ketika kita nggak tahu siapa diri kita yang sebenarnya. Kamu nggak punya masa lalu? Nggak jadi masalah! Kita bisa buat masa lalu itu dari sekarang.” Aku mengangkat alis. Tersenyum sampai menyentuh pipi. “Gimana?” Membuatnya berkeluh kesah. “Kenapa kamu begitu positif, Nom?” “Hm?” Aku berpikir. Kemudian mengendikan bahu. “Nggak tahu. Aku Cuma pengen bahagia. Karena mau senang atau sedih, ujung-ujungnya jug
Esa masih belum siap memampangkan muka dihadapan anak-anak. Jadi aku berinisiatif masuk lebih dulu untuk perlahan menyelipkannya kedalam perbincangan kami. Di ruang tengah, TV sedang menyala. Segala jenis mainan berhamburan. Saluran channel dari salah satu youtuber luar negeri tentang pengenalan hewan di kebun binatang menjadi tontonan mereka semua. Aku bergeming. Berpikir kapan waktu yang tepat untuk berbicara saat suara TV mendominasi pikiran dan imajinasi hingga sepenuhnya mengambil alih fokus anak-anak begini. “Wah! itu gajah afrika, ya?” tanyaku bersorak seru. Mereka malah tidak menanggapi. Kudiamkan beberapa menit dengan kaki yang mulai bergerak-gerak saat kuselonjorkan di atas karpet buludru. “Oh, jadi begitu caranya memberi makan kudanil,” kataku sambil mengangguk-angguk. “Iya, iya.” Mencoba santai namun terkesan seperti orang mabuk. “Makanannya semangka utuh, ya! Wah, hebat-hebat!” Aku pun membuat suara ribut dengan bertepuk tangan sendiri kala melihat Monyet bergelantunga
Di rumahmu banyak hantunya, ya? ketikku untuk membalas pesan. Esa pun menjawab dengan singkat dan padat. Nggak ada. Aku mengerti betapa lelah dan membosankannya berdiri di depan rumah sendiri. Tidak banyak orang yang bisa bersabar menunggu meski hanya sebentar, namun aku ingin meluruskan mengenai hantu ini. Jangan bohong. Ajeng barusan cerita kalau di sini banyak hantunya. Ya terus mau gimana? Ya gimana, kek. Izinin aja dulu aku masuk. Masalah hantu kan bisa diusir nanti. Gampang. Kata Ajeng hantunya tinggi kurus kayak kamu, terus bawa pisau ke mana-mana. Bener? Hm, bisa jadi. Saya bisa masuk dulu, nggak, buk? Sudah mulai hujan, nih. Oke, 5 menit. “Hm. Anak-anak,” panggilku spontan karena didesak waktu. Ponsel Kutengkurepkan di permukaan karpet. Menatap anak-anak dengan mata yang terasa bergetar karena bahan untuk beralasan pun belum kusiapkan. “Pak guru kayaknya akan ke sini, deh.” “Hahh?!” Dengan serentak, mereka semua terkejut. Tanpa sadar, gerak tubuh reflek terban
Ajeng membuat kontak mata dengan Pak gurunya. Setelah itu meringsuk mendesakku dengan rengekan bayi. “Mau pulang,” katanya nyaris menangis. Aku merasa pusing. Mengurusi anak-anak memang bukan pekerjaan yang mudah. Salut dengan Ibu-Ibu di luar sana yang bersedia menikah untuk memiliki anak. Lebih-lebih saat ekonomi sedang tidak stabil lalu membiarkan anaknya tumbuh dalam serba kekurangan. Aku tidak pernah mengerti caranya menjadi Ibu yang baik selain merasa khawatir tidak bisa membiayai hidup mereka lalu tanpa sengaja membuat mereka menderita sepanjang hidupnya. Namun derita itu tak lantas hanya mengenai ekonomi yang sulit. Banyak faktor lain seperti: perceraian, penganiayaan, pengabaian, dan kekerasan yang membuatku semakin tidak mempercayai pernikahan. Kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan meski saat menikah di hadapan Tuhan, kau akan dengan yakin berjanji untuk saling mencintai hingga maut memisahkan. “Aku juga bawa Dinosaurus untuk Rico, lho.” Esa memecahkan la
Sebenarnya aku sempat menawarkan diri untuk ikut tapi entah mengapa Ajeng sendiri yang melarangku. Anak perempuan yang terlalu cepat dewasa itu berusaha mengepalkan keyakinan bahwa tidak akan ada apa-apa yang terjadi. Ia hanya ingin berbicara empat mata dengan Pak guru. Namun segera setelah tangan mungilnya berpindah ke tangan Esa dan ia berbalik untuk melambaikan tangan, disitu perasaanku jadi tidak karuan. “Kalian nggak tidur?” tanyaku pada anak-anak yang masih bermain game VR di ruang TV. Karena tunggu giliran, Rico dan Toto yang bisa menyahut. “Tunggu bentar, Bu guru.” “Ingat loh. Jam 9 kalian sudah harus tidur.” Sambil memasang senyum rata yang lebar, keduanya mengangguk. “Baik, Bu guru. Siap.” Jawaban itu tak lantas membuat hatiku lega. Masih ada sesuatu yang terasa mengganjal dan membuat resah. “Pak guru kok belum balik, ya?” “Kan masih nganterin Kak Ajeng.” “Iya, sih. Tapi kan sudah dari tadi.” “Sabar, Bu guru.” “Iya Toto …. Bu guru pasti sabar. Tapi rasanya agak ngg
Anak itu memiliki tatapan sedingin marmer. Ia mendorong rodanya ke depan. Bergulir pelan sampai menyentuh kaki Esa. Kami semua masih membeku di tempat. Melihatnya terdiam mendongak sambil melihat pria jangkung yang tak sekalipun bergeming dari tempatnya itu dengan rasa yang mati.“A-a, Li-ci,” katanya. Meminta jawaban dari sang lawan yang tak dapat meresponnya dengan cepat selain terpaku mematung bagai kehilangan nyawa sendiri.“A-a, Li-ci,” katanya terus di hadapan Esa yang masih tercenung mengosongkan pikiran dan hati. Sementara aku menyuruh Rico mematikan game agar Tato berhenti meraba-raba udara dengan kedua stik tersebut di tangannya. Perhatian kami terfokus untuk Olin. Turut merasakan duka mendalam atas kepergian kakaknya.Aku mengingat satu dua hari yang lalu tentang aktifitas yang tidak banyak ingin ia lakukan selain makan, tidur, dan minum obat. Jika pagi ia tak ingin merasakan matahari, maka ia hanya akan duduk di kursi rodanya sambil mengintip lewat jendela—membayangkan bag