bam bam bam, hak!
Anak itu memiliki tatapan sedingin marmer. Ia mendorong rodanya ke depan. Bergulir pelan sampai menyentuh kaki Esa. Kami semua masih membeku di tempat. Melihatnya terdiam mendongak sambil melihat pria jangkung yang tak sekalipun bergeming dari tempatnya itu dengan rasa yang mati.“A-a, Li-ci,” katanya. Meminta jawaban dari sang lawan yang tak dapat meresponnya dengan cepat selain terpaku mematung bagai kehilangan nyawa sendiri.“A-a, Li-ci,” katanya terus di hadapan Esa yang masih tercenung mengosongkan pikiran dan hati. Sementara aku menyuruh Rico mematikan game agar Tato berhenti meraba-raba udara dengan kedua stik tersebut di tangannya. Perhatian kami terfokus untuk Olin. Turut merasakan duka mendalam atas kepergian kakaknya.Aku mengingat satu dua hari yang lalu tentang aktifitas yang tidak banyak ingin ia lakukan selain makan, tidur, dan minum obat. Jika pagi ia tak ingin merasakan matahari, maka ia hanya akan duduk di kursi rodanya sambil mengintip lewat jendela—membayangkan bag
Aku melihat jauh kepada lingkaran cahaya berwarna orange yang perlahan terbenam diperbatasan laut. Merasakan deburan ombak menyentuh kuku kakiku di bibir pantai. Selepas melayat, Ajeng menawarkan adik-adiknya untuk pergi bermain di rumahnya karena katanya sang kakek sedang ulang tahun. Olin sang kakak tertua juga diajak meski kami khawatir ia dalam kondisi yang tidak stabil. “Tenang aja. Ada Ajeng di sini,” kata anak itu yang tetap membujuk dan berjanji bisa menjaganya dengan baik. Esa pun mengangguk mengiyakan sebab ia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan berdua juga denganku. Tanpa anak-anak. Aku setuju. Tapi kami malah terdiam membisu di mobil. Membiarkan lagu Justin bieber—changes menggema dalam playlist. Tidak ada yang mulai berbicara sampai akhirnya aku menangkap sunset ini saat perjalanan pulang dan Esa jadi menawarkan pantai Gading sebagai tempat yang tenang untuk mengobrol. “Kamu mau ngomong apa?” tanyaku tepat ketika ia meletakkan bokongnya di pasir dan menyodorkanku
Aku berjalan cepat dipinggir jalan saat mobil Esa dengan pelan mengikuti langkahku. Membujuk untuk naik ke mobilnya. “Kamu jangan gini dong, sayang. Kan bisa dibicarakan dulu baik-baik. ” “Aku lagi nggak pengen ngomong sama kamu. Udah! kamu pulang aja duluan. Aku bisa naik taksi nanti.” “Ya masa aku tinggalin kamu sendirian.” …. Aku tidak peduli. Langkah kaki tetap bergerak maju layaknya lomba jalan cepat, sementara Esa malah memanggil dengan nada sengau. “Sayang. Dengerin aku dulu.” Tidak kugubris. “Sayang ….” Langkah kakiku pun mengerem. Pandangan menyipit ke depan. Berbalik badan. Berjalan melewati belakang mobilnya untuk menghentikan Taksi yang sudah terlihat dari jarak 50 meter. Esa langsung keluar dari mobilnya. Menangkapku cepat sebelum Taksi itu mendekat. “5 menit,” katanya sambil memegang pergelangan tanganku. Menatap dengan sangat serius. “Kasih aku waktu 5 menit buat jelasin semuanya.” “Harus banget sekarang, ya?” tanyaku memekik heran. Ia menelan salivanya dengan
Ini begitu mendadak. Padahal kami berjanji untuk bertemu esok hari, namun sekarang ia malah mengirimkanku surat seolah tidak bisa diomongkan secara empat mata. Aku selalu butuh waktu untuk berpikir, sedangkan Esa tidak. Ia tipe orang yang ingin segala permasalahannya bisa diselesaikan hari itu juga.“Halo, kamu di mana?” tanyaku saat mengapit ponsel itu antara pipi dan bahu. Kedua tangan sedang memasang kaus kaki.“Rumah,” jawabnya lesu. Ia tidak terdengar seperti baru habis bangun tidur. Apa dia begadang lagi? Bisa jadi. Dia mengirimkanku surat pagi ini. “Jangan ke mana-mana, ya. Aku ke sana sekarang.”Mau tidak mau aku jadi rapi. Entah mengapa dikirimi bunga dan surat malah membuatku takut karena seperti pertanda ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri. ***“Hai,” sapanya santai selepas aku berlari gupuh masuk ke dalam rumahnya tepat setelah melepaskan sepatu di depan. Sejauh ini tak ada luka yang terlihat. Ia memakai celana katun coklat dengan kemeja panjang putih. Tersenyum bersa
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
“Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
“Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu