Yuhu phuen ~ Sawadhikha ^^
Sebenarnya aku sempat menawarkan diri untuk ikut tapi entah mengapa Ajeng sendiri yang melarangku. Anak perempuan yang terlalu cepat dewasa itu berusaha mengepalkan keyakinan bahwa tidak akan ada apa-apa yang terjadi. Ia hanya ingin berbicara empat mata dengan Pak guru. Namun segera setelah tangan mungilnya berpindah ke tangan Esa dan ia berbalik untuk melambaikan tangan, disitu perasaanku jadi tidak karuan. âKalian nggak tidur?â tanyaku pada anak-anak yang masih bermain game VR di ruang TV. Karena tunggu giliran, Rico dan Toto yang bisa menyahut. âTunggu bentar, Bu guru.â âIngat loh. Jam 9 kalian sudah harus tidur.â Sambil memasang senyum rata yang lebar, keduanya mengangguk. âBaik, Bu guru. Siap.â Jawaban itu tak lantas membuat hatiku lega. Masih ada sesuatu yang terasa mengganjal dan membuat resah. âPak guru kok belum balik, ya?â âKan masih nganterin Kak Ajeng.â âIya, sih. Tapi kan sudah dari tadi.â âSabar, Bu guru.â âIya Toto âŚ. Bu guru pasti sabar. Tapi rasanya agak ngg
Anak itu memiliki tatapan sedingin marmer. Ia mendorong rodanya ke depan. Bergulir pelan sampai menyentuh kaki Esa. Kami semua masih membeku di tempat. Melihatnya terdiam mendongak sambil melihat pria jangkung yang tak sekalipun bergeming dari tempatnya itu dengan rasa yang mati.âA-a, Li-ci,â katanya. Meminta jawaban dari sang lawan yang tak dapat meresponnya dengan cepat selain terpaku mematung bagai kehilangan nyawa sendiri.âA-a, Li-ci,â katanya terus di hadapan Esa yang masih tercenung mengosongkan pikiran dan hati. Sementara aku menyuruh Rico mematikan game agar Tato berhenti meraba-raba udara dengan kedua stik tersebut di tangannya. Perhatian kami terfokus untuk Olin. Turut merasakan duka mendalam atas kepergian kakaknya.Aku mengingat satu dua hari yang lalu tentang aktifitas yang tidak banyak ingin ia lakukan selain makan, tidur, dan minum obat. Jika pagi ia tak ingin merasakan matahari, maka ia hanya akan duduk di kursi rodanya sambil mengintip lewat jendelaâmembayangkan bag
Aku melihat jauh kepada lingkaran cahaya berwarna orange yang perlahan terbenam diperbatasan laut. Merasakan deburan ombak menyentuh kuku kakiku di bibir pantai. Selepas melayat, Ajeng menawarkan adik-adiknya untuk pergi bermain di rumahnya karena katanya sang kakek sedang ulang tahun. Olin sang kakak tertua juga diajak meski kami khawatir ia dalam kondisi yang tidak stabil. âTenang aja. Ada Ajeng di sini,â kata anak itu yang tetap membujuk dan berjanji bisa menjaganya dengan baik. Esa pun mengangguk mengiyakan sebab ia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan berdua juga denganku. Tanpa anak-anak. Aku setuju. Tapi kami malah terdiam membisu di mobil. Membiarkan lagu Justin bieberâchanges menggema dalam playlist. Tidak ada yang mulai berbicara sampai akhirnya aku menangkap sunset ini saat perjalanan pulang dan Esa jadi menawarkan pantai Gading sebagai tempat yang tenang untuk mengobrol. âKamu mau ngomong apa?â tanyaku tepat ketika ia meletakkan bokongnya di pasir dan menyodorkanku
Aku berjalan cepat dipinggir jalan saat mobil Esa dengan pelan mengikuti langkahku. Membujuk untuk naik ke mobilnya. âKamu jangan gini dong, sayang. Kan bisa dibicarakan dulu baik-baik. â âAku lagi nggak pengen ngomong sama kamu. Udah! kamu pulang aja duluan. Aku bisa naik taksi nanti.â âYa masa aku tinggalin kamu sendirian.â âŚ. Aku tidak peduli. Langkah kaki tetap bergerak maju layaknya lomba jalan cepat, sementara Esa malah memanggil dengan nada sengau. âSayang. Dengerin aku dulu.â Tidak kugubris. âSayang âŚ.â Langkah kakiku pun mengerem. Pandangan menyipit ke depan. Berbalik badan. Berjalan melewati belakang mobilnya untuk menghentikan Taksi yang sudah terlihat dari jarak 50 meter. Esa langsung keluar dari mobilnya. Menangkapku cepat sebelum Taksi itu mendekat. â5 menit,â katanya sambil memegang pergelangan tanganku. Menatap dengan sangat serius. âKasih aku waktu 5 menit buat jelasin semuanya.â âHarus banget sekarang, ya?â tanyaku memekik heran. Ia menelan salivanya dengan
Ini begitu mendadak. Padahal kami berjanji untuk bertemu esok hari, namun sekarang ia malah mengirimkanku surat seolah tidak bisa diomongkan secara empat mata. Aku selalu butuh waktu untuk berpikir, sedangkan Esa tidak. Ia tipe orang yang ingin segala permasalahannya bisa diselesaikan hari itu juga.âHalo, kamu di mana?â tanyaku saat mengapit ponsel itu antara pipi dan bahu. Kedua tangan sedang memasang kaus kaki.âRumah,â jawabnya lesu. Ia tidak terdengar seperti baru habis bangun tidur. Apa dia begadang lagi? Bisa jadi. Dia mengirimkanku surat pagi ini. âJangan ke mana-mana, ya. Aku ke sana sekarang.âMau tidak mau aku jadi rapi. Entah mengapa dikirimi bunga dan surat malah membuatku takut karena seperti pertanda ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri. ***âHai,â sapanya santai selepas aku berlari gupuh masuk ke dalam rumahnya tepat setelah melepaskan sepatu di depan. Sejauh ini tak ada luka yang terlihat. Ia memakai celana katun coklat dengan kemeja panjang putih. Tersenyum bersa
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. âHei,â kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. âAku minta maaf, ya.â Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. ââŚ.â Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. âItu kenapa?â tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. âKamu baca whatssapp-ku, ya?â tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. âHm, anu, akuââ âLain kali jangan kayak gitu, ya.â Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. âOke!â seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. âTapi, untuk beberapa hari ke depan âŚ. kamu bakal membahas hal ini, kan?â Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. âNggak dulu,â katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. âAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir âŚ. mungkin aku bakal bahas itu.â *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
âDi sini ada yang suka baca?â Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. âAda yang mau jadi penulis?â tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. âSiapa namanya, sayang?â âAli.â âOh, Ali,â sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. âKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?â Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. âAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?â Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. âTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?â Ia mengangguk. âKira-kira, penulis itu apa, sih?â pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. âYang nulis cerita?â tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. âKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.â Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. âAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?â âMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaâmenghalalkan segala cara.âKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama âŚ. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.âIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. âAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. âKamu nggak menyesal, kan?â tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. âAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.â *** Wush~ âAyo kejar aku!â kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
âBapak ada siapa aja nih, di rumah?â tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.âIstri sama anak saya, si Soleh.â Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.âBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!â Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. âAyo! Ayo! mari masuk dulu.âSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.âNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?ââSendiri.ââOke, deh. Ayo kita letâs go!âSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaâmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
âTapi âŚ. tapiâââUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.âEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.âKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,â katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. âUpload di sini gambarnya,â jelasnya. âPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.ââKamu kan mau memberi, bukan menjual.ââIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.â Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
âDi sini ada yang suka baca?â Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. âAda yang mau jadi penulis?â tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. âSiapa namanya, sayang?â âAli.â âOh, Ali,â sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. âKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?â Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. âAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?â Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. âTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?â Ia mengangguk. âKira-kira, penulis itu apa, sih?â pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. âYang nulis cerita?â tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. âKamu baca whatssapp-ku, ya?â tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. âHm, anu, akuââ âLain kali jangan kayak gitu, ya.â Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. âOke!â seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. âTapi, untuk beberapa hari ke depan âŚ. kamu bakal membahas hal ini, kan?â Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. âNggak dulu,â katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. âAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir âŚ. mungkin aku bakal bahas itu.â *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. âHei,â kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. âAku minta maaf, ya.â Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. ââŚ.â Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. âItu kenapa?â tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis