Yuhu~ Yuhu mulu.
Di rumahmu banyak hantunya, ya? ketikku untuk membalas pesan. Esa pun menjawab dengan singkat dan padat. Nggak ada. Aku mengerti betapa lelah dan membosankannya berdiri di depan rumah sendiri. Tidak banyak orang yang bisa bersabar menunggu meski hanya sebentar, namun aku ingin meluruskan mengenai hantu ini. Jangan bohong. Ajeng barusan cerita kalau di sini banyak hantunya. Ya terus mau gimana? Ya gimana, kek. Izinin aja dulu aku masuk. Masalah hantu kan bisa diusir nanti. Gampang. Kata Ajeng hantunya tinggi kurus kayak kamu, terus bawa pisau ke mana-mana. Bener? Hm, bisa jadi. Saya bisa masuk dulu, nggak, buk? Sudah mulai hujan, nih. Oke, 5 menit. “Hm. Anak-anak,” panggilku spontan karena didesak waktu. Ponsel Kutengkurepkan di permukaan karpet. Menatap anak-anak dengan mata yang terasa bergetar karena bahan untuk beralasan pun belum kusiapkan. “Pak guru kayaknya akan ke sini, deh.” “Hahh?!” Dengan serentak, mereka semua terkejut. Tanpa sadar, gerak tubuh reflek terban
Ajeng membuat kontak mata dengan Pak gurunya. Setelah itu meringsuk mendesakku dengan rengekan bayi. “Mau pulang,” katanya nyaris menangis. Aku merasa pusing. Mengurusi anak-anak memang bukan pekerjaan yang mudah. Salut dengan Ibu-Ibu di luar sana yang bersedia menikah untuk memiliki anak. Lebih-lebih saat ekonomi sedang tidak stabil lalu membiarkan anaknya tumbuh dalam serba kekurangan. Aku tidak pernah mengerti caranya menjadi Ibu yang baik selain merasa khawatir tidak bisa membiayai hidup mereka lalu tanpa sengaja membuat mereka menderita sepanjang hidupnya. Namun derita itu tak lantas hanya mengenai ekonomi yang sulit. Banyak faktor lain seperti: perceraian, penganiayaan, pengabaian, dan kekerasan yang membuatku semakin tidak mempercayai pernikahan. Kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan meski saat menikah di hadapan Tuhan, kau akan dengan yakin berjanji untuk saling mencintai hingga maut memisahkan. “Aku juga bawa Dinosaurus untuk Rico, lho.” Esa memecahkan la
Sebenarnya aku sempat menawarkan diri untuk ikut tapi entah mengapa Ajeng sendiri yang melarangku. Anak perempuan yang terlalu cepat dewasa itu berusaha mengepalkan keyakinan bahwa tidak akan ada apa-apa yang terjadi. Ia hanya ingin berbicara empat mata dengan Pak guru. Namun segera setelah tangan mungilnya berpindah ke tangan Esa dan ia berbalik untuk melambaikan tangan, disitu perasaanku jadi tidak karuan. “Kalian nggak tidur?” tanyaku pada anak-anak yang masih bermain game VR di ruang TV. Karena tunggu giliran, Rico dan Toto yang bisa menyahut. “Tunggu bentar, Bu guru.” “Ingat loh. Jam 9 kalian sudah harus tidur.” Sambil memasang senyum rata yang lebar, keduanya mengangguk. “Baik, Bu guru. Siap.” Jawaban itu tak lantas membuat hatiku lega. Masih ada sesuatu yang terasa mengganjal dan membuat resah. “Pak guru kok belum balik, ya?” “Kan masih nganterin Kak Ajeng.” “Iya, sih. Tapi kan sudah dari tadi.” “Sabar, Bu guru.” “Iya Toto …. Bu guru pasti sabar. Tapi rasanya agak ngg
Anak itu memiliki tatapan sedingin marmer. Ia mendorong rodanya ke depan. Bergulir pelan sampai menyentuh kaki Esa. Kami semua masih membeku di tempat. Melihatnya terdiam mendongak sambil melihat pria jangkung yang tak sekalipun bergeming dari tempatnya itu dengan rasa yang mati.“A-a, Li-ci,” katanya. Meminta jawaban dari sang lawan yang tak dapat meresponnya dengan cepat selain terpaku mematung bagai kehilangan nyawa sendiri.“A-a, Li-ci,” katanya terus di hadapan Esa yang masih tercenung mengosongkan pikiran dan hati. Sementara aku menyuruh Rico mematikan game agar Tato berhenti meraba-raba udara dengan kedua stik tersebut di tangannya. Perhatian kami terfokus untuk Olin. Turut merasakan duka mendalam atas kepergian kakaknya.Aku mengingat satu dua hari yang lalu tentang aktifitas yang tidak banyak ingin ia lakukan selain makan, tidur, dan minum obat. Jika pagi ia tak ingin merasakan matahari, maka ia hanya akan duduk di kursi rodanya sambil mengintip lewat jendela—membayangkan bag
Aku melihat jauh kepada lingkaran cahaya berwarna orange yang perlahan terbenam diperbatasan laut. Merasakan deburan ombak menyentuh kuku kakiku di bibir pantai. Selepas melayat, Ajeng menawarkan adik-adiknya untuk pergi bermain di rumahnya karena katanya sang kakek sedang ulang tahun. Olin sang kakak tertua juga diajak meski kami khawatir ia dalam kondisi yang tidak stabil. “Tenang aja. Ada Ajeng di sini,” kata anak itu yang tetap membujuk dan berjanji bisa menjaganya dengan baik. Esa pun mengangguk mengiyakan sebab ia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan berdua juga denganku. Tanpa anak-anak. Aku setuju. Tapi kami malah terdiam membisu di mobil. Membiarkan lagu Justin bieber—changes menggema dalam playlist. Tidak ada yang mulai berbicara sampai akhirnya aku menangkap sunset ini saat perjalanan pulang dan Esa jadi menawarkan pantai Gading sebagai tempat yang tenang untuk mengobrol. “Kamu mau ngomong apa?” tanyaku tepat ketika ia meletakkan bokongnya di pasir dan menyodorkanku
Aku berjalan cepat dipinggir jalan saat mobil Esa dengan pelan mengikuti langkahku. Membujuk untuk naik ke mobilnya. “Kamu jangan gini dong, sayang. Kan bisa dibicarakan dulu baik-baik. ” “Aku lagi nggak pengen ngomong sama kamu. Udah! kamu pulang aja duluan. Aku bisa naik taksi nanti.” “Ya masa aku tinggalin kamu sendirian.” …. Aku tidak peduli. Langkah kaki tetap bergerak maju layaknya lomba jalan cepat, sementara Esa malah memanggil dengan nada sengau. “Sayang. Dengerin aku dulu.” Tidak kugubris. “Sayang ….” Langkah kakiku pun mengerem. Pandangan menyipit ke depan. Berbalik badan. Berjalan melewati belakang mobilnya untuk menghentikan Taksi yang sudah terlihat dari jarak 50 meter. Esa langsung keluar dari mobilnya. Menangkapku cepat sebelum Taksi itu mendekat. “5 menit,” katanya sambil memegang pergelangan tanganku. Menatap dengan sangat serius. “Kasih aku waktu 5 menit buat jelasin semuanya.” “Harus banget sekarang, ya?” tanyaku memekik heran. Ia menelan salivanya dengan
Ini begitu mendadak. Padahal kami berjanji untuk bertemu esok hari, namun sekarang ia malah mengirimkanku surat seolah tidak bisa diomongkan secara empat mata. Aku selalu butuh waktu untuk berpikir, sedangkan Esa tidak. Ia tipe orang yang ingin segala permasalahannya bisa diselesaikan hari itu juga.“Halo, kamu di mana?” tanyaku saat mengapit ponsel itu antara pipi dan bahu. Kedua tangan sedang memasang kaus kaki.“Rumah,” jawabnya lesu. Ia tidak terdengar seperti baru habis bangun tidur. Apa dia begadang lagi? Bisa jadi. Dia mengirimkanku surat pagi ini. “Jangan ke mana-mana, ya. Aku ke sana sekarang.”Mau tidak mau aku jadi rapi. Entah mengapa dikirimi bunga dan surat malah membuatku takut karena seperti pertanda ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri. ***“Hai,” sapanya santai selepas aku berlari gupuh masuk ke dalam rumahnya tepat setelah melepaskan sepatu di depan. Sejauh ini tak ada luka yang terlihat. Ia memakai celana katun coklat dengan kemeja panjang putih. Tersenyum bersa
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis