"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.
Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya. "Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya. Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya. "Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut. Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatinya. "Bunda..." rengek Cio, sambil menarik-narik tangan Luna. Wajahnya terlihat kesal karena bundanya hanya terdiam, tak merespon apa pun. Luna menghela napas panjang. "Ayo pulang. Om Dylan lagi kerja," jawabnya dengan suara lembut. Kemudian ia mengajak anaknya untuk kembali berjalan. Ardan memutar tubuhnya, menatap Luna dan Cio yang berjalan menjauh darinya. Namun, sebelum mereka menyeberang ke halte bus, ia buru-buru menghampirinya. "Ayo, saya antar pulang," ujar Ardan. "Nggak usah," balas Luna ketus, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya. Cio yang merasa terganggu langsung menatap Ardan dengan tatapan tajam. "Jangan ganggu bundaku!" tegurnya dengan nada tegas. Ardan tertegun sejenak, lalu menghela napas kasar. Ia tidak tahu bagaimana cara mendekati anak kecil, sehingga ia masih merasa canggung dan sedikit kaku. "Kelamaan kalau nunggu bus. Pulang sama saya aja," ujar Ardan, berusaha meyakinkan Luna. Namun, Luna tetap tidak menggubrisnya. Kesal karena tak mendapat respon, Ardan mulai berpikir untuk menggunakan cara lain. Melihat jalanan yang mulai lengang, ia tiba-tiba bergerak cepat, mengangkat tubuh Cio dan membawanya berlari menuju mobilnya. Luna yang terkejut langsung berbalik dan mengejar mereka dengan wajah penuh amarah. "MAS ARDAN!" teriaknya kesal. Cio yang takut langsung meronta-ronta, memukul-mukul tubuh Ardan dengan kedua tangan kecilnya. "Turunin aku! Bunda, bantuin aku!" teriak Cio sambil menangis, berusaha turun dari gendongan Ardan. Tenaga bocah itu jelas tak sebanding dengan kekuatan Ardan. Dengan kasar, Ardan membuka pintu mobilnya dan mendudukkan Cio di kursi tengah, lalu segera menutup pintunya kembali. "KAMU GILA?" bentak Luna sambil berusaha membuka pintu mobil, namun Ardan sudah lebih dulu menguncinya dengan kunci remote. "Masuk ke dalam kalau nggak mau anak kamu saya bawa pulang ke rumah," ancam Ardan, lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Luna menghentakkan kakinya kesal, ia kemudian menendang pintu mobil dengan keras sebelum akhirnya ikut masuk ke dalam. "Huwaaa... Bunda... kita diculik!" teriak Cio sambil menangis kencang. Tanpa berpikir panjang, Luna melompat dari kursi depan ke kursi tengah, lalu mengangkat tubuh Cio ke atas pangkuannya dan memeluknya erat-erat. Melihat itu, Ardan hanya menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Tak mau membuang waktu, ia segera menginjak gas dan melajukan mobilnya dengan tenang. "Om nakal! Cio nggak mau sama Om!" teriak Cio di sela-sela isakan tangisnya, tangannya terayun di udara, membentuk pukulan kecil yang tak berarti. Luna hanya menghela napas panjang, lalu dengan lembut mengusap air mata dan keringat yang membasahi wajah anaknya. Melihat Ardan yang terus melirik dari spion tengah, Luna langsung membentaknya dengan kesal. "Tanggung jawab! Dia susah diam kalau udah nangis." "Gimana mau tanggung jawab? Dia aja nggak mau sama saya," balas Ardan. "Makanya jadi orang itu jangan gegabah! Bukan kayak gitu caranya deketin anak kecil, kamu tuh jatuhnya malah kayak penculik," omel Luna, suaranya meninggi karena terlalu geram. Ardan hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Sebagai seorang pria yang tidak pernah tahu bagaimana harus menghadapi anak kecil, ia benar-benar merasa pasrah dimarahi seperti itu. "Dia benar-benar anak saya?" tanya Ardan memastikan, suaranya masih terdengar ragu. "Masih aja nggak percaya, padahal udah lihat sendiri?!" suara Luna semakin meninggi, seolah tak bisa menahan amarahnya. "Emang hati kamu tuh udah ketutup sama batu neraka, dan pikiran kamu itu udah terinfeksi sama sifat licik Mbak Wulan!" Ardan hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Luna masih menatapnya tajam. "Kalau masih nggak percaya, tes DNA aja. Kita buktikan, apakah fitnahan istri kamu itu benar." Ardan menghela napas panjang. "Nggak usah. Kita rujuk aja. Kita rawat anak itu bareng-bareng." Seketika, Luna mendengus sinis. "Cuih, kamu pikir aku mau? Jadi istri kamu aja udah jadi penyesalan terbesar dalam hidupku. Masa depan dihancurin, mental dihancurin, harga diri dihancurin. Kalau aja waktu itu aku nggak bodoh mau jadi istri kedua kamu, mungkin sekarang aku udah jadi Dokter!" Ya, cita-cita Luna sejak kecil adalah menjadi seorang Dokter. Bahkan sebelum menikah, ia sempat ditawari beasiswa kedokteran di Universitas ternama berkat prestasinya selama bersekolah. Sekarang, mimpi itu terasa terlalu jauh untuk diraih. Luna merasa sudah terlambat untuk memulai perjalanan menjadi Dokter, sehingga ia terpaksa mengambil jurusan manajemen bisnis untuk mewujudkan cita-citanya yang lain. "Saya minta maaf," ujar Ardan lirih. "Dimaafin, tapi nggak ada kesempatan buat rujuk lagi. Sekarang uangku udah banyak, aku nggak butuh kamu sama Mbak Wulan lagi," balas Luna ketus tanpa ragu. Ardan menghela napas panjang. "Saya cuma mau memperbaiki semuanya. Kita bisa mulai lagi, demi anak kita." Luna tertawa getir. "Orang pintar nggak akan jatuh dua kali di lubang yang sama," balasnya. "Kamu nggak kasihan lihat dia tumbuh tanpa Ayah?" "Kenapa harus kasihan? Aku masih cantik, masih muda. Aku bisa carikan Ayah yang jauh lebih baik buat dia." "Sebagai ayahnya, saya juga berhak merawat dia." Seketika, tawa sumbang langsung keluar dari mulut Luna. "Ke mana aja selama ini? Setelah ngatain anakku anak haram, anak dari hubungan terlarang, sekarang tiba-tiba minta hak sebagai Ayah. Kamu nggak malu, Mas? Atau emang udah nggak punya urat malu?" "Luna—" "Lima tahun ini, aku sengsara sendirian, Mas. Sekarang, aku cuma berharap keadaan itu berbalik ke kamu sama Mbak Wulan." Ardan terdiam. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu menyandarkan kepalanya di kursi sambil menarik napas panjang. "Saya sudah sengsara, Luna. Saya sudah mendapatkan balasan dari perbuatan saya," ucapnya lirih. “Wulan lumpuh... dan usaha saya bangkrut.”*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r